Para pencetus fitnah
Pembaiatan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib AS. oleh mayoritas kaum muslimin laksana petir yang menyambar bagi Quraisy dan bagi mereka yang memusuhi Islam. Mereka tahu bahwa pemerintahan Ali bin Abi Thalib adalah kepanjangan tangan pemerintahan Rasulullah saw yang merendahkan dan menghina kezaliman, permusuhan dan pemberontakan. Pemerintahan yang membawa nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebenaran. Pemerintahan yang mengumumkan perang terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang berlandaskan riba, monopoli dan eksploitasi. Pemerintahan yang memberikan hak yang sama kepada para tokoh Quraisy dengan masyarakat lainnya dari manapun ia. Itu setelah mereka mendapat perlakukan istimewa di zaman Usman.
Thalhah dan Zubeir keduanya melihat dirinya setara dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu dikarenakan keduanya adalah sama-sama kandidat dalam syura yang dibentuk oleh Umar bin Khatthab untuk dipilih menjadi khalifah. Setidak-tidaknya, bila tidak menjadi khalifah mereka mendapat bagian menguasai sebagian dari negara Islam. Sementara Aisyah memiliki posisi yang cukup diperhitungkan oleh khalifah-khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib sebagaimana terlihat pada zaman itu ia dapat berbicara apa saja yang diinginkannya. Saat ini ia tahu benar bahwa kebebasan yang seperti itu tidak akan didapatkannya lagi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang senantiasa bersandarkan Al-Quran dan Sunah sebagai sumber perundang-undangan dan eksekutif.
Di Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan berlaku bagaikan penguasa mutlak yang tidak berada di bawah pemerintah pusat. Ketamakannya akan kekuasaan untuk memimpin umat Islam membuatnya ia mengatur urusan kaum muslimin secara mutlak. Muawiyah bin Abu Sufyan dan kroniknya tiba-tiba dikejutkan dengan aturan-aturan Imam Ali bin Abi Thalib AS. yang melakukan perbaikan sesuai dengan langkahnya mendapatkan kenyataan bahwa posisi yang didapatkan di zaman Usman bin Affan sedang dalam terancam. Keberadaan Imam Ali bin Abi Thalib AS. di puncak piramida kekuasaan dianggap sebagai ancaman bagi garis kebijakan para khalifah sebelumnya yang menguntungkan Quraisy. Hal itu dikarenakan Imam Ali bin Abi Thalib mampu untuk mengangkat kembali bendera Islam dan kebenaran tanpa ada rasa takut sedikit pun. Ia pasti akan membuka kedok penyelewengan yang selama ini terjadi tanpa ada rasa khawatir sedikit pun.
Dari sini mereka sepakat memunculkan fitnah untuk mencegah kestabilan pemerintah yang baru. Adanya elemen-elemen yang memusuhi pandangan dan perjalanan pemerintahan Islam yang sah tidaklah aneh bagi Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw telah memberitahukannya bahwa pada masa pemerintahannya akan ada kelompok-kelompok pemberontak yang menentangnya. Nabi juga mengatakan bahwa ia akan memerangi mereka sebagaimana kelompok-kelompok ini, dinamai oleh Rasulullah dengan Nakitsin, Qasithin dan mariqin.
Aisyah mengumumkan pemberontakan
Posisi Ummul Mukminin Aisyah pada Usman bin Affan adalah sangat aneh dan kontradiktif yang tidak pantas disandang oleh seorang wanita, istri Nabi. Ia berkali-kali berkata, 'Bunuh Na'tsal (orang tua yang bego, Usman bin Affan)! Aisyah juga mengajak orang-orang untuk membangkang terhadap Usman dan bahkan membunuhnya. Ia keluar dari kota Madinah menuju Mekkah di tengah-tengah pengepungan Usman bin Affan. sebelum terjadi pembunuhan Usman. pengharapannya sangat besar agar Usman cepat terbunuh, ia ingin sekali Thalhah, yang masih keluarga dekatnya menjadi khalifah.
Sekonyong-konyong harapan Aisyah buyar karena pemerintahan berada di tangan Ali bin Abi Thalib setelah umat Islam membaiatnya. Aisyah membatalkan rencananya menuju Madinah dan kembali ke Mekkah. Di Mekkah ia menampakkan kesedihan dan keteraniayaannya atas kematian Usman bin Affan. Ada yang bertanya kepadanya, 'Bukankah engkau yang mengajak orang untuk membunuhnya dan sekarang engkau berubah pikiran dengan alasan yang terlalu sederhana'. Ia menjawab, 'mereka telah memintanya agar bertaubat namun kemudian tetap membunuhnya. Ucapannya memberikan kesan seakan-akan ia hadir di tempat kejadian dan menyaksikan pembunuhan Usman bin Affan.
Aisyah mengumumkan perang terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dalam pidato yang diucapkannya di Mekkah dengan memberi semangat pendukungnya untuk perang.
Ketamakan Aisyah tidak cukup sampai di sini saja, ia mengajak istri-istri Nabi untuk ikut bersamanya memerangi Imam Ali bin Abi Thalib. Aisyah kecewa karena ajakannya tidak bersambut. Para istri Nabi tidak ada yang mau ikut dengannya memerangi Ali bin Abi Thalib. Selain tidak ikut, Ummu Salamah malah menasihatinya untuk tidak melanjutkan niatnya. Alasannya sederhana agar tidak terjadi pertumpahan darah antar sesama muslimin. Aisyah menjawab, 'Engkau sebelumnya termasuk orang yang mengajak untuk membunuh Usman. Setiap kali engkau berbicara mengenai Usman niscaya dengan bahasa yang buruk. Engkau tidak pernah memanggilnya selain dengan kata Na'tsal. Engkau juga tahu bagaimana posisi Ali bin Abi Thalib di sisi Rasulullah saw. Apakah aku perlu mengingatkanmu tentang hal ini? Ummu Salamah menjawab, 'Apakah engkau ingat ketika Nabi datang dan kita bersamanya. Bagaimana Nabi bersama Ali bin Abi Thalib berduaan dengan menghamparkan sebuah alas di sebelah kiri kemudian keduanya berbicara agak lama. Melihat percakapan mereka sedemikian lamanya, engkau ingin menuju ke arah mereka dengan kesal namun aku menahanmu tapi engkau tetap bersikeras menuju ke arah mereka. Yang membuatku heran pada waktu itu adalah mengapa engkau kembali sambil berderaian air mata. Aku kemudian ingin mengetahui apa yang terjadi padamu sehingga kutanya, 'Apa yang terjadi denganmu? Pada waktu itu engkau menjawab, 'Aku menerobos ke arah keduanya ternyata mereka lagi berdialog. Aku lalu menatap Ali dan berkata kepadanya, 'Aku tidak punya waktu bersama Rasulullah saw kecuali satu hari dari sembilan hari yang dimilikinya. Apakah engkau mau meninggalkan aku bersama hariku? Nabi kemudian mengarahkan wajahnya membelakangi Ali bin Abi Thalib dan menatapku. Ia tampak marah wajahnya kemerah-merahan saking marahnya dan kemudian berkata, 'Kembali ke tempatmu! Demi Allah, orang yang membenci Ali bin Abi Thalib, siapa pun dia, berarti telah keluar dari imannya'. Mendengar itu aku kembali ke tempatku menyesali apa yang telah kulakukan namun aku marah besar terhadap Ali bin Abi Thalib'. Aisyah mengangguk dan berkata, 'Aku ingat apa yang kau ucapkan'. Ummu Salamah kemudian menambahkan, 'Apa yang membuat harus keluar memerangi Ali bin Abi Thalib setelah kejadian ini? Aisyah menjawab, ' Aku keluar melakukan ini untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan mendamaikan mereka. Aku hanya ingin mendapat balasan dari Allah swt'. Ummu Salamah menyela,'Itu engkau dan pikiranmu'. Mendengar itu Aisyah langsung pergi dari situ.
Diriwayatkan bahwa istri-istri Nabi keluar bersama Aisyah sampai pada sebuah tempat bernama Dzatu 'Araq. Tampaknya penyertaan mereka adalah usaha untuk menggagalkan keinginan Aisyah ke Madinah agar tidak terjadi fitnah. Ketika dirasa bahwa usaha mereka sia-sia mereka kemudian menangis bersama-sama karena membayangkan apa yang akan terjadi dengan Islam. Orang-orang yang ikut bersama mereka ikut pula menangis. Pada hari itu disebut dengan hari An-Nahib (hari ratapan).
Perbuatan makar Muawiyah dan pelanggaran janji baiat dari Zubeir dan Thalhah
Muawiyah bin Abu Sufyan menikmati kekuasaannya di Syam. Ia memiliki alat-alat dan pendukung yang dapat digerakkan sesuai dengan keinginannya. Di samping itu, ia tidak memiliki masalah dengan masyarakat Syam karena kota Syam semenjak mengenal Islam itu dibarengi dengan pengenalan mereka kepada keluarga Abu Sufyan dan Muawiyah adalah gubernur yang ditunjuk oleh khalifah. Sebelum Muawiyah, saudaranya Yazid menjadi gubernur di sana yang kemudian digantikannya. Dan Muawiyah diuntungkan karena letak geografis Syam jauh dari ibu kota Islam yang memberinya kekuatan yang cukup untuk menyusun kekuatan. Dengan memperhatikan semua ini, Muawiyah bin Abu Sufyan mulai melaksanakan ide-idenya untuk membesarkan api fitnah yang sudah mulai menyala dengan pembunuhan Usman bin Affan. Ia memanfaatkan kondisi ini untuk meraih tujuan-tujuannya. Ia berbicara kepada Zubeir dan Thalhah dan mengompori keduanya agar ketamakan akan kekuasaan yang ada dalam dirinya semakin kuat muncul ke permukaan dan dengan itu secara serius memasuki medan pertempuran dengan Ali bin Abi Thalib yang pada gilirannya menambah besar cakupan fitnah di ibu kota. Ia mengirimkan surat kepada Zubeir yang isinya:
'Kepada Amir Mukminin Zubeir dari Muawiyah bin Abu Sufyan. Salam untukmu. Aku membaiatmu atas nama rakyat Syam. Mereka mendengar perintah dan akan menaatimu. Kuasailah kota Kufah dan Basrah karena Ali bin Abi Thalib tidak dapat mendahuluimu bila engkau telah lebih dahulu berkuasa di sana. Kedua kota ini adalah segala-galanya. Bila engkau telah menguasai keduanya sama artinya engkau telah menguasai yang lain. Aku telah membaiat Thalhah bin Ubaidillah sebagai khalifah sepeninggalmu. Tunjukkan tuntutanmu akan darah Usman bin Affan dan ajak manusia mengikuti langkahmu. Tentunya ini semua akan berhasil bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Semoga Allah memenangkan kalian berdua dan mengalahkan musuh kalian'.
Ketika surat Muawiyah bin Abu Sufyan sampai di tangannya ia betul-betul gembira dan merasa yakin dan percaya akan kebenaran niat Muawiyah. Ia bersama Thalhah kemudian sepakat untuk melanggar baiat terhadap Ali bin Abi Thalib. Langkah pertama yang diambil adalah menunjukkan penyesalan mengapa melakukan baiat kepada Ali bin Abi Thalib. Dan kedua, mengajak Aisyah ikut dalam gerakannya untuk memberi dukungan. Untuk dapat menarik Aisyah, oleh keduanya kemudian menyusun rencana untuk ikut bersama mereka. Diriwayatkan bahwa keduanya datang dan menuntut haknya untuk ikut dalam pemerintah Imam Ali bin Abi Thalib setidak-tidaknya sebagai pejabat dalam pemerintahannya namun keduanya gagal karena Ali bin Abi Thalib tidak menerima. Kemudian mereka berdua ingin bergabung dengan Aisyah dan untuk itu meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Mekkah mengerjakan umrah. Imam Ali bin Abi Thalib memberikan izin sambil berkata, 'Baiklah. Demi Allah! Kalian tidak benar-benar hendak melakukan umrah. Yang akan kalian lakukan adalah ingin melakukan sesuatu untuk posisi kalian'. Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata kepada keduanya, 'Bahkan kalian ingin melakukan pengkhianatan'.
Mereka yang melanggar janji dan baiatnya kepada Ali bin Abi Thalib berkumpul di rumah Aisyah di Mekkah setelah sebelumnya orang-orang ini adalah penentang keras Usman bin Affan. Zubeir, Thalhah dan Marwan bin Hakam bergabung dengan mereka dan sepakat menjadikan darah Usman bin Affan sebagai simbol perlawanan mereka kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka mengangkat baju Usman sebagai bentuk penentangan dan Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling bertanggung jawab terjadinya pembunuhan Usman bin Affan. Hal itu disimpulkan dari sikap Ali bin Abi Thalib yang melindungi dan keengganan Ali bin Abi Thalib untuk membalas dendam kepada mereka. Mereka sepakat untuk pergi ke Basrah mendudukinya dan menjadikannya sebagai pusat gerakan dan peperangan mereka menghadapi Ali bin Abi Thalib dan pasukannya sementara Muawiyah menguasai daerah Syam sedangkan Madinah senantiasa dalam kondisi tidak aman.
Pergerakan Aisyah menuju kota Basrah
Aisyah tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan apa yang telah direncanakan untuk mengobarkan fitnah dan langsung terjun secara langsung berperang dengan Imam Ali bin Abi Thalib AS. selaku khalifah yang sah. Aisyah mengumpulkan sejumlah orang yang punya kedengkian terhadap Islam dan Ali bin Abi Thalib serta ditambah dengan para spekulan kekuasaan. Ya'la bin Muniyyah mempersiapkan persenjataan untuk mereka mulai dari pedang dan unta yang dicurinya dari Yaman ketika Imam Ali bin Abi Thalib mengusirnya ke sana. Datang juga Abdullah bin 'Amir membantu sejumlah besar uang dari Basrah yang juga dicurinya dari sana. Mereka menyiapkan sebuah unta khusus untuk Aisyah yang diberi nama Askar. Posisi Aisyah berada di tengah pasukan dan dilindungi dengan mengitarinya Bani Umayyah. Aisyah dengan posisi seperti ini berada paling depan dan pasukan besar mengiringnya dari belakang menuju kota Basrah. Sebelum sampai ke Basrah, surat yang ditulis untuk beberapa tokoh Basrah telah sampai terlebih dahulu. Isi surat itu mengajak mereka untuk sama-sama dengannya merobek perjanjian dan meninggalkan baiat yang telah dilakukan dengan alasan menuntut darah Usman.
Dimulailah usaha makar dan tipuan yang memang menjadi kebiasaan siapa saja yang ingin menentang Imam Ali bin Abi Thalib. Ketika pasukan Aisyah hendak keluar dari kota Mekkah, Marwan bin Hakam mengucapkan azan untuk melakukan salat. Ia mendatangi Thalhah dan Zubeir untuk mengadu domba antara keduanya dan pada suatu saat menguasai keduanya. Ia berkata, 'kepada salah satu dari kalian kuserahkan kekuasaan padanya, dengan menjadi imam salat, dan aku meminta izin darinya untuk mengucapkan azan salat. Pengikut keduanya saling berlomba-lomba untuk mendudukan pemimpinnya sebagai yang paling utama untuk menjadi imam salat sebagai lambang kekhalifahan. Aisyah yang paling dahulu memahami apa yang akan terjadi karena kelihatannya pertikaian sudah di depan hidung. Ia kemudian mengutus Zubeir anak saudaranya untuk menjadi imam salat.
Saat pasukan Aisyah memasuki sebuah tempat bernama Authas mereka bertemu denga Said bin Al-'Ash dan Mughirah bin Syu'bah. Ketika Said mengetahui bahwa Aisyah mengklaim 'menuntut darah Usman', ia menertawakannya dan berkata, 'Yang membunuh Usman adalah orang-orang yang bersamamu, wahai ummul mukminin!
Diriwayatkan, Said berkata, 'Kalian hendak ke mana? Apakah kalian ingin meninggalkan dendam kalian di balik unta-unta yang lemah? Yang dimaksud dengan ucapannya adalah Thalhah, Zubeir dan Aisyah. Pasukan melanjutkan perjalanan hingga sampai ke tempat yang bernama Hauab. Di pertengahan jalan mereka menemui sekelompok anjing yang menggonggong. Gonggongan itu menakutkan hati Aisyah yang membuatnya akhirnya bertanya kepada Muhammad bin Thalhah tempat yang sedang mereka lalui ini, 'Air yang ada di sini disebut apa? Muhammad menjawab, 'Air Hauab, wahai ummul mukminin'. Serentak badannya menggigil dan berteriak dengan lantang, 'Kita harus kembali! Di tanya kepadanya, 'Mengapa? Aisyah berkata, 'Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata, 'Seakan-akan ada salah satu dari kalian (istri-istri Nabi), yang akan digonggong oleh anjing-anjing Hauab. Pada saat itu engkau, wahai Humaira (panggilan kesayangan Nabi untuk Aisyah), harus berhati-hati dan meninggalkan tempat itu. Aisyah kemudian menghentakkan kakinya agar untanya bergerak dan berkata, 'Pulangkan aku! Demi Allah, akulah yang disebut oleh Rasulullah sebagai air Hauab dan aku harus kembali. Pasukan yang ada kemudian untanya di tahan sambil mengitarinya sehari semalam. Kemudian Abdullah bin Zubeir mendatanginya dan bersumpah di hadapannya, 'Demi Allah di sini bukan tempat yang bernama Hauab'. Ia kemudian mendatangkan dua orang Arab badui dan dipaksanya keduanya untuk mengucapkan sumpah bahwa tempat ini bukan Hauab. Ini adalah sebuah sumpah yang diucapkan dengan paksaan yang pertama kali dicatat dalam Islam.
Pertempuran-pertempuran kecil Basrah
Ketika pasukan Aisyah sampai di kota Basrah, Usman bin Hanif menjelaskan kepada masyarakat Basrah apa tujuan kelompok ini. Ia mewanti-wanti mereka untuk berhati-hati dengan mereka karena fitnah yang akan ditimbulkan pemimpin-pemimpinnya. Ia mengajak mereka yang ikhlas dan masih setia kepada Imam Ali bin Abi Thalib untuk menyiapkan dirinya mempertahankan kebenaran dan syariat Islam yang suci sekaligus menahan pasukan Nakitsin untuk menguasai kota Basrah.
Usaha yang dapat dilakukan oleh Usman bin Hanif adalah memperlakukan Aisyah dengan segala penuh penghormatan sebagaimana layaknya akhlak Islam. Ia berusaha sebisa mungkin agar perang tidak terjadi. Ia mengutus kepada mereka Imran bin Hashin dan Abu Aswad Ad-Duali untuk berdiplomasi dengan Aisyah dan pengikutnya serta meyakinkan mereka bahwa sikap yang diambil ini adalah satu kesalahan besar. Akan tetap usaha ini menemui jalan buntu dan gagal. Aisyah dan Thalhah serta Zubeir yang senantiasa bersamanya bersikeras untuk tetap ingin mengobarkan api fitnah dan mengumumkan perang.
Aisyah dan pasukannya merangsek maju hingga mencapai daerah Al-Marbad. Para petinggi pasukan memasuki kota. Usman bin Hanif bersama penduduk kota Basrah keluar menemui mereka. Aisyah, Thalhah dan Zubeir mengajak orang-orang untuk meninggalkan janji baiat yang telah mereka ucapkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan alasan menuntut darah Usman bin Affan. Orang-orang yang mendengar pidato ketiga orang itu langsung terbagi antara yang pro dan kontra.
Budak wanita dari Ibn Qudamah As-Sa'di maju menemui Aisyah dan menasihatinya siapa tahu ia mau mengurungkan niatnya untuk mengobarkan api fitnah dan perpecahan. Ia berkata, 'Wahai ummul mukminin! Demi Allah, orang-orang yang membunuh Usman bin Affan lebih rendah dari usahamu keluar dari rumah sambil menunggang unta terlaknat ini. Urungkanlah senjatamu! Sesungguhnya engkau memiliki kemuliaan tersendiri di sisi Allah namun sekarang engkau yang membuka penutup dirimu dan merusak kehormatanmu sendiri. Sesungguhnya siapa saja yang melihat engkau berperang pasti mengetahui bahwa suatu saat ia akan memerangimu. Bila engkau datang kepada kami dengan ketaatan maka lebih baik engkau pulang ke rumahmu. Dan bila engkau cengkal maka masyarakat akan membantuku'.
Peperangan, gencatan senjata dan pengkhianatan
Kedatangan Aisyah ke kota Basrah membuat penduduk kota terbagi menjadi dua kelompok. Sebagian setuju dengan cara pandang Aisyah dan sebagian lain tidak setuju. Mulailah perang mulut di antara mereka. Yang memisahkan mereka adalah malam ketika mereka harus istirahat dan tidur. Usman bin Hanif tetap bersikeras agar jangan sampai terjadi pertumpahan darah. Ia berusaha untuk menjaga agar kota tetap dalam kedamaian sambil menunggu kedatangan Imam Ali bin Abi Thalib ke Basrah. Ketika akhirnya peperangan dimulai dari kedua belah pihak mereka sama-sama menginginkan perdamaian. Untuk itu dilakukanlah gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata berisikan permintaan untuk mengirim seorang utusan ke Madinah dan bertanya kepada penduduk kota Madinah. Bila Thalhah dan Zubeir memang melakukan baiat dengan dipaksa maka Usman bin Hanif harus keluar dari Basrah dan bila ternyata memang mereka ini melakukan baiat maka Thalhah dan Zubeir yang harus keluar dari kota Basrah.
Ka'ab bin Musawwir utusan yang dikirim oleh kedua belah pihak yang mengadakan gencatan senjata kembali dari Madinah dengan klaim Usamah bin Ziyad yang mengatakan bahwa memang benar ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keduanya dipaksa untuk melakukan baiat sementara pandangan penduduk kota Madinah berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pendapat Usamah. Namun para komandan pasukan Aisyah mengambil pendapat Usamah dan pada malam harinya ketika hujan turun mereka langsung menyerang bangunan pemerintah dan membunuh setiap yang ada di sana kecuali Usman bin Hanif karena saudaranya, Sahl bin Hanif adalah gubernur Ali bin Abi Thalib di Madinah. Tidak membunuhnya tidak berarti Usman bin Hanif aman dari penyiksaan. Mereka mencabut bulu-bulunya mulai dari kepala, jenggot dan alisnya.
Usaha Imam Ali bin Abi Thalib menumpas pemberontak
Saat Imam Ali bin Abi Thalib menerima tampuk kepemimpinan menjadi khalifah kaum muslimin ada ganjalan yang mengganggu kestabilan pusat pemerintahan kewibawaannya. Ganjalan itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang tidak mau berbaiat kepadanya. Imam Ali bin Abi Thalib AS. telah menyiapkan angkatan bersenjatanya untuk siap setiap saat menjaga kestabilan negara dari para perusuh. Hal itu agar ada jaminan keamanan dan tidak terjadi pertumpahan darah dari umat Islam.
Pasukan yang disiapkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib sebenarnya disiapkan untuk menyerang Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan karena mengetahui pergerakan pasukan yang dikomandoi oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir, beliau kemudian membawa pasukannya menuju Basrah. Pasukan ini diikuti oleh tokoh-tokoh dari kaum Anshar dan Muhajirin.
Imam Ali bin Abi Thalib sampai di sebuah tempat yang bernama Rabadzah, beliau menulis surat kepada pemerintah-pemerintah daerah untuk menambah personil dan menjelaskan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Hal ini agar setiap pemerintah yang ada ikut membantu memadamkan api fitnah yang ada dan memblokirnya agar tidak menyebar. Untuk itu, Imam Ali bin Abi Thalib mengirim utusan ke Kufah. Ketika Muhammad bin Abu Bakar dan Muhammad bin Ja'far mendatanginya dan menerangkan apa maksud kedatangan mereka, Abu Musa Al-Asy'ari gubernur Kufah tidak ingin terlibat membantu Imam Ali bin Abi Thalib bahkan untuk memainkan peran positif memblokir penyebaran fitnah ia pun enggan. Untuk kedua kalinya Imam Ali bin Abi Thalib mengirim utusan. Kali ini sebagai utusan adalah Abdullah bin Abbas. Ia pun tidak mampu meyakinkan Abu Musa untuk meminta pertolongan darinya agar membantunya dan menguatkan semangat masyarakat untuk tetap memihaknya. Akhirnya, untuk kali yang ketiga Imam Ali bin Abi Thalib mengirim anaknya Hasan dan Ammar bin Yasir yang kemudian Malik bin Asytar ikut bergabung. Tugas mereka adalah menurunkan Abu Musa dari kedudukannya. Dengan demikian Kufah dengan segala kekuatannya memihak Imam Ali bin Abi Thalib dan bergabung dengan kekuatan Imam Ali di tempat bernama Dzi Qar.
Dalam hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib juga tidak luput mengirim surat dan utusan kepada Thalhah, Zubeir dan Aisyah. Imam Ali bin Abi Thalib tetap masih berharap dapat mengembalikan mereka ke jalan yang benar dan agar mereka faham langkah yang sedang diambil sangat berbahaya bagi keselamatan umat Islam secara keseluruhan. Hendaknya mereka juga berpikir untuk menghindarkan umat dari kesulitan-kesulitan, cobaan-cobaan dan pertumpahan darah. Imam Ali bin Abi Thalib mengirim utusan kepada Aisyah dan kelompoknya. Zaid bin Shuhan, Abdullah bin Abbas dan beberapa orang lain ditugaskan untuk berdialog dengan mereka. Setelah berargumentasi dengan teks-teks wahyu dan akal sehingga pada akhirnya Aisyah berkata kepada Ibnu Abbas, 'Aku tidak mampu berargumentasi di hadapanmu'. Ibnu Abbas berkata, 'Bila engkau tidak mampu berargumentasi di hadapan makhluk bagaimana engkau mampu berargumentasi di hadapan khaliq kelak?!
Nasihat terakhir
Semakin mendekati pintu gerbang kota Basrah, Imam Ali bin Abi Thalib semakin banyak menyurati Thalhah dan Zubeir. Aisyah merasa khawatir dengan surat-surat yang dikirimkan oleh Ali bin Abi Thalib. Kekhawatiran bisa dimaklumi karena jangan-jangan mereka berdua terpengaruh oleh ucapan dan argumentasi Ali bin Abi Thalib. Akhirnya Aisyah mengajak pasukannya untuk keluar menahan pasukan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pasukan telah saling berhadap-hadapan, Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan seseorang untuk berteriak mengumumkan kepada sahabatnya, 'Jangan ada yang melepaskan busur dari anak panahnya, tidak juga melemparkan batu dan tombak sehingga jelas terlebih dahulu bagi mereka bahwa mereka telah mendengar argumentasi terakhir dan tidak lagi punya alasan untuk mengingkarinya dikemudikan hari'.
Ketika Ali bin Abi Thalib melihat bahwa mereka bersikeras untuk berperang, ia keluar dari barisan pasukan menuju Zubeir dan Thalhah yang berada di antara dua barisan pasukannya. Imam Ali bin Abi Thalib berkata kepada keduanya:
'Demi Allah! Kalian berdua telah menyiapkan pasukan lengkap dengan senjata, kuda dan orang-orang yang siap berperang. Bila kalian berdua menyiapkan semua ini karena memiliki alasan di sisi Allah maka takutlah kepada Allah. Jangan sampai kalian berdua seperti seorang wanita yang menguraikan benang yang sudah dipintalnya dengan kuat menjadi bercerai berai kembali. Apakah aku bukan saudara kalian dalam agama Allah? Kalian mengharamkan darahku dan aku mengharamkan darah kalian. Lalu, ada kejadian apakah yang tiba-tiba membuat darahku halal bagi kalian?
Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berbicara khusus kepada Thalhah, 'Engkau membawa istri Rasulullah saw untuk berperang bersamanya sementara engkau meninggalkan istrimu sendirian di rumah?! Apakah alasannya hanya karena tidak berbaiat kepadaku? Kemudian beliau berpaling kepada Zubeir dan berkata, 'Kami telah menganggapmu sebagai bagian dari Bani Abdul Mutthalib sampai anakmu menjadi seorang yang bejat yang berusaha memisahkan kita. Kemudian beliau melanjutkan, 'Apakah engkau masih ingat wahai Zubeir, ketika aku bersama Rasulullah saw melewati Bani Ghanam. Kemudian Nabi melihatku dan kemudian tertawa dan aku juga akhirnya ikut tertawa. Kemudian engkau berkata kepada Rasulullah saw, 'Jangan biarkan ia menjadi sombong dan takabur'. Kemudian Rasulullah saw menjawab omonganmu, 'Ia, Ali bin Abi Thalib, bukan orang yang sombong dan takabur. Pada suatu hari nanti engkau akan memeranginya dan engkau dalam posisi sebagai orang yang zalim! Zubeir menjawab, 'Betul apa yang engkau katakan'.
Diriwayatkan juga bahwa Zubeir kemudian meninggalkan medan pertempuran namun di tempatnya yang jauh dari medan pertempuran ia dibunuh. Sayangnya itu terjadi setelah api fitnah telah menyala. Sebagaimana juga akhir nasib Thalhah yang kemudian dibunuh oleh Marwan bin Hakam jauh dari medan pertempuran.
Perang dimulai
Imam Ali bin Abi Thalib AS. sangat berharap pada akhirnya sebelum perang dimulai kelompok Nakitsin berbalik dari niat mereka semula. Ia tidak memperbolehkan satu orang pun dari pasukannya untuk memulai peperangan sekalipun ia melihat bagaimana para komandan pasukan Nakitsin sudah tidak sabar lagi untuk memulia peperangan. Imam Ali bin Abi Thalib berkata kepada para pengikutnya, 'Tidak kuperkenankan satu orang pun dari kalian memanah musuh dan tidak kuperbolehkan untuk melempar tombak ke barisan musuh sehingga mereka yang terlebih dahulu memulai peperangan dan terjadi sesuatu pada kalian. Tunggu sampai mereka memulai peperangan'.
Akhirnya, pasukan Jamal (unta) tidak lagi dapat menahan kesabarannya dan memulai peperangan. Mereka memulai memanah pasukan Ali bin Abi Thalib dan membunuh satu orang dari pasukannya. Imam Ali bin Abi Thalib masih belum memperkenankan pasukannya untuk bergerak. Orang kedua pun gugur terkena panah. Ali bin Abi Thalib masih tetap dengan sikapnya semula menahan pasukannya. Ketika orang ketiga pun akhirnya gugur, Imam Ali bin Abi Thalib tidak lagi dapat menahan dirinya. Ia memberikan izin dan memerintahkan pasukannya untuk mulai bergerak mempertahankan kebenaran dan keadilan.
Kedua pasukan kemudian maju dan saling memerangi satu dengan yang lainnya. Peperangan yang sangat hebat dan betul-betul menakutkan. Kepala-kepala menggelinding terpisah dari badannya, tangan-tangan yang putus berserakan dan luka-luka yang diderita oleh kedua belah pihak sudah sangat banyak. Imam Ali bin Abi Thalib AS. berdiri mengevaluasi apa yang terjadi di medan pertempuran. Ia melihat bagaimana pasukan Jamal berusaha mati-matian mempertahankan unta mereka. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berteriak dengan suara lantang, 'Celakalah kalian! Sembelih unta itu. Unta itu adalah setan'.
Imam Ali bin Abi Thalib AS. bersama para sahabatnya kemudian menerjang merangsek ke depan sehingga berhasil mendekati unta yang dipertahankan mati-matian dan kemudian menyembelihnya. Melihat sepak terjang bin Abi Thalib dan pasukannya, sebagian dari pasukan Jamal melarikan diri dari medan pertempuran. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian memerintahkan pasukannya untuk membakar unta yang berhasil mereka bunuh dan kemudian menebarkan abunya ke udara agar tidak ada orang yang mempergunakannya untuk menipu orang-orang awam. Setelah melakukan semuanya Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berkata, 'Semoga Allah melaknat unta tadi. Ia sama persis dengan anak sapi Bani Israel'.
Imam Ali bin Abi Thalib memandang abu yang terbang di angkasa sambil membaca ayat 'Dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan)'.
Sikap Imam Ali bin Abi Thalib setelah perang Jamal
Perang Jamal dimenangkan oleh pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Perang telah selesai. Debu-debu yang beterbangan telah hilang. Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan salah seorang untuk mengumumkan pemberian amnesti umum untuk kategori-kategori berikut ini: Ketahuilah! Siapa saja yang tidak membunuh orang yang terluka, siapa saja yang tidak ikut pemimpin perang Jamal, siapa saja yang tidak menghina gubernur, siapa saja yang meletakkan senjata maka dia aman. Siapa saja yang menutup pintunya maka ia aman tidak akan diganggu. Dilarang kepada pasukan untuk mengambil harta pasukan Jamal kecuali yang ditemukan di medan pertempuran seperti senjata dan lain-lainnya yang dipakai untuk bertempur. Sementara harta mereka selain yang disebutkan menjadi milik pewarisnya.
Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar dan Ammar bin Yasir untuk membawa sekedup Aisyah yang tergeletak di antara orang-orang yang terbunuh di tengah-tengah medan pertempuran diletakkan kembali di atas unta. Muhammad bin Abu Bakar yang mengurusi semua urusan saudarinya Aisyah. Pada malam hari menjelang pagi hari Muhammad membawanya memasuki kota Basrah dan menginapkannya di rumah Abdullah bin Khalaf Al-Khuza'i.
Setelah semuanya beres, Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berputar mengelilingi mayat-mayat dari pasukan Jamal dan berbicara kepada mereka dengan mengulang-ulangi perkataan, 'Aku telah menemukan apa yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku sebagai sebuah kebenaran. Apakah kalian juga mendapatkan janji dari Tuhan kalian sebagai kebenaran?
Imam Ali bin Abi Thalib berkata lagi, 'Sungguh hari yang paling hina dan tercela bagi orang yang menginginkan kematian kami dan selain kami. Namun yang lebih celaka lagi adalah mereka yang hendak memerangi dan membunuh kami.
Imam Ali bin Abi Thalib tinggal sebentar di luar kota Basrah dan tidak langsung memasukinya. Ia memberikan izin kepada siapa saja yang memiliki kerabat yang terbunuh di peperangan Jamal untuk menguburkan mayatnya. Setelah itu, Imam Ali bin Abi Thalib memasuki kota Basrah pusat kelompok Nakitsin. Setelah sampai di Masjid Basrah Imam Ali bin Abi Thalib kemudian melakukan salat dan setelah itu berpidato di hadapan orang-orang Basrah dan pasukannya. Imam Ali bin Abi Thalib mengingatkan mereka akan baiat yang telah mereka ucapkan sebelumnya dan posisi serta sikap kelompok Nakitsin terhadap baiat. Masyarakat Basrah yang merasa bersalah meminta kebesaran hatinya untuk mengampuni mereka. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, 'Aku telah memberikan ampunan kepada kalian. Tapi kalian harus waspada untuk tidak lagi melakukan dan mengobarkan fitnah. Kalian adalah kelompok yang paling pertama merobek perjanjian yang telah kalian lakukan dengan membaiatku. Kalian orang pertama yang memorak-porandakan persatuan umat Islam. Kemudian masyarakat yang hadir termasuk tokoh-tokoh masyarakat Basrah kembali mengulangi dan memperbaiki baiat mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib.
Setelah menerima pembaiatan kedua kali dari masyarakat Basrah, Imam Ali bin Abi Thalib kemudian masuk ke Baitul Mal kota Basrah. Ketika ia melihat jumlah harta yang dimiliki sangat banyak ia berkata, 'Berikan harapan kepada selainku'. Beliau mengucapkannya berkali-kali. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian memerintahkan untuk membagi uang yang ada di Baitul Mal kepada semua penduduk dengan sama rata. Setiap orang pada saat itu menerima lima ratus dirham. Imam Ali sendiri juga mendapat bagian yang sama dengan yang lain. Ketika harta Baitul Mal telah terbagi habis, datang seorang menghadap Imam Ali bin Abi Thalib. Ia tidak hadir pada peperangan Jamal namun meminta bagiannya. Imam Ali bin Abi Thalib lalu memberikan kepada orang tersebut bagiannya yang didapat. Semua sudah mendapat bagian kecuali Imam Ali bin Abi Thalib yang telah memberikan bagiannya kepada orang tadi.
Kemudian Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan Aisyah menuju Madinah. Imam Ali bin Abi Thalib mengutus Muhammad saudaranya dan beberapa orang wanita yang dipersenjatai dengan memakai sorban untuk mendampingi Aisyah hingga tiba di Madinah dengan selamat. Akan tetapi Aisyah masih berburuk sangka dengan Imam Ali bin Abi Thalib karena menyangka dirinya tidak diperlakukan semestinya dengan diiringi oleh segerombolan laki-laki asing. Namun setelah ia tahu bahwa Imam Ali bin Abi Thalib tidak demikian karena yang mendampinginya adalah wanita-wanita yang dipakaikan sorban dan saudaranya Muhammad ia kemudian menyesal. Ia akhirnya menyesali atas perbuatannya keluar dan ikut dengan pasukan Jamal menentang khalifah terpilih yang kemudian menjadi fitnah yang tidak mungkin ditarik lagi. Nasi telah menjadi bubur. Aisyah kemudian menangis tersedu-sedu.
Dampak negatif perang Jamal
Perang Jamal meninggalkan akibat-akibat negatif terhadap masyarakat Islam, antara lain:
1. Masalah pembunuhan Usman makin berkembang luas sehingga menjadi masalah politik besar yang kemudian menjadi lokomotif bagi munculnya arus yang secara langsung menyerang risalah Islam baik dengan ucapan maupun dengan amal. Di sisi lain Muawiyah bin Abu Sufyan juga memanfaatkan kondisi ini untuk mengambil keuntungan pribadi menyempurnakannya dengan adanya peperangan Jamal dan darah yang tumpah di sana.
2. Kebencian dan kecurigaan mengancam integritas kaum muslimin yang terkadang menjadi sebab bagi peperangan di antara mereka. Seperti yang terjadi antara kelompok penduduk Basrah dengan kaum muslimin dari daerah-daerah yang lain. Kebencian dan permusuhan diakibatkan karena tuntutan akan kerabat mereka yang meninggal dan terbunuh di perang Jamal.
3. Penyimpangan yang terjadi di dalam kubu kaum muslimin sendiri semakin merekah. Kondisi ini mengakibatkan tugas Imam Ali bin Abi Thalib menjadi semakin berat. Hal itu ditambah dengan pembangkangan Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam. Pembangkangan ini sendiri telah membuka medan baru yang berakibat pada ekspansi dan perluasan wilayah Islam menjadi bermasalah. Demikian juga gerakan Muawiyah telah membuat sulit proses pembaharuan dan perbaikan peradaban yang mungkin dapat dilakukan di dalam masyarakat Islam.
4. Kebencian dan penyimpangan telah membuka jalan kepada mereka yang menentang pemerintahan yang sah untuk dengan mudah menyelesaikan masalah mereka dengan kekuatan senjata dan perang.
Kufah menjadi ibu kota pemerintahan Islam
Setelah kondisi perlahan-lahan tenang, Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya bergerak menuju kota Kufah untuk dijadikan ibu kota. Sebelum itu, Imam Ali bin Abi Thalib telah mengirikan utusan ke sana untuk menjelaskan detil masalah apa yang sebenarnya telah terjadi. Sebagaimana juga Imam Ali bin Abi Thalib telah mengutus dan menjadikan Abdullah bin Abbas sebagai gubernur di sana serta menjelaskan secara lengkap bagaimana bersikap dan menghadapi mereka setelah kejadian perang Jamal.
Alasan Imam Ali bin Abi Thalib memilih Kufah sebagai ibu kota baru bagi negara Islam dengan memperhatikan alasan-alasan yang di antaranya:
1. Perluasan area dan teritori dunia Islam. Hal ini harus diimbangi dengan adanya sebuah ibu kota yang terpusat baik secara administrasi dan politik. Dan untuk itu, ibu kota harus berada di tempat yang strategis untuk dapat bergerak cepat mencapai semua titik di negara Islam.
2. Pertimbangan terbesar lainnya adalah orang-orang yang turut membantu Imam Ali bin Abi Thalib dalam menumpas pasukan Jamal adalah tokoh-tokoh dan masyarakat Irak dan yang paling banyak memberikan bantuan adalah dari Kufah.
3. Kondisi politik dan ketegangan yang disebabkan oleh pembunuhan Usman bin Affan dan perang Jamal membuat Imam Ali bin Abi Thalib memutuskan memilih Kufah sebagai ibu kota baru untuk memastikan dan memberikan keamanan pada daerah sekitar itu.
(Al-Hassanain/Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email