Pesan Rahbar

Home » » Sejarah: Imam Ali bin Abi Thalib dan Khawarij (Mariqin)

Sejarah: Imam Ali bin Abi Thalib dan Khawarij (Mariqin)

Written By Unknown on Tuesday, 23 February 2016 | 17:58:00


Dapat dikatakan bahwa, secara alami, munculnya Khawarij karena peperangan yang terjadi di Jamal dan Shiffin. Sebagaimana tidak dapat di pisahkan penyimpangan yang terjadi pada mereka dalam masalah kekhalifahan dikarenakan penyimpangan mereka dari garis Ahli Bayt AS. Salah satu sifat penting orang-orang Khawarij adalah kebekuan, kejumudan, kontekstual dalam memahami agama,, fanatisme, kekerasan dan ketidakmampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Mereka sangat cepat dipengaruhi oleh isu dan dengan sedikit keraguan mereka akan kembali kepada sikap awalnya.

Nabi sendiri sebelumnya telah menjelaskan sifat-sifat mereka. Diriwayatkan dari Rasulullah saw, 'Akan keluar dari umat ini -tanpa disebutkan nama- kelompok yang memandang rendah salat kalian bila dibandingkan dengan salat mereka. Mereka membaca Al-Quran tapi tidak lebih dari lewatnya suara dari tenggorokkan. Mereka keluar dari agama bagaikan lepasnya anak panah dari busurnya'.

Imam Ali bin Abi Thalib tidak mampu mengobati sakit dan penyimpangan orang-orang Khawarij. Peperangan dan pembangkangan di perang Jamal dan Shiffin dalam waktu singkat lebih dahulu dari usaha yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Mungkin dapat dicari hubungan tentang munculnya golongan Khawarij pada:

1. Frustrasi dan ketidakmampuan mewujudkan kemenangan. Khususnya peperangan Imam Ali bin Abi Thalib menghadapi pembangkangan orang-orang yang mengaku muslim secara lahiriah. Kelompok Khawarij tidak mampu memahami bagaimana Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan para pembangkang. Kelompok Khawarij tidak mampu menerima hasil dari penghakiman (tahkim). Pada waktu yang sama mereka sendiri yang memaksa Imam Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkim. Mereka tidak berani menghadapi diri sendiri setelah tahu penyimpangan yang dilakukan. Akhirnya mereka berusaha untuk membiarkan dan menggantungkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain dan orang itu tidak lai adalah Imam Ali bin Abi Thalib.

2. Pengekangan mereka akan kebebasan berpikir yang telah dibuka lebar-lebar oleh Imam Ali bin Abi Thalib agar umat dapat berusaha untuk menyadari risalah Islam. Diriwayatkan bahwa golongan Khawarij bahkan mengkritik Imam Ali bin Abi Thalib di tengah pidatonya dengan klaim 'tidak ada hukum kecuali hukum Allah'. Jawaban Imam Ali bin Abi Thalib kepada mereka tidak lain kecuali, 'Ungkapan kebenaran dengan niat kebatilan'. Imam Ali menambahkan, 'Kalian memiliki tiga kekhususan di sisi kami; Kami tidak melarang kalian untuk melakukan salat di masjid-masjid kami, Kami tidak mencegah kalian untuk mendapatkan ganimah selama kalian ikut berperang dengan kami dan kami tidak akan memerangi kalian sampai kalian yang mendahului'. Dari sini, pergerakan mereka yang awalnya bersifat individual menjadi terorganisir dalam sebuah kelompok.


Imam Ali bin Abi Thalib menolak keputusan penghakiman (tahkim)

Begitu Imam Ali bin Abi Thalib mendengar kabar hasil dari pertemuan Abu Musa Al-Asy'ari dan Amr bin Ash, beliau sangat terpukul dan tersiksa. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berpidato di hadapan manusia dan mendorong mereka serta menunjukkan bagaimana cara memperbaiki kesalahan fatal yang telah mereka lakukan. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, 'Sesungguhnya mencoba berpaling dari nasihat orang yang betul-betul prihatin dengan masalah dan berpengalaman hanya akan menghasilkan penyesalan dikemudikan hari. Aku telah memerintahkan kepada kalian selaku pemimpin untuk tetap berperang. Aku telah memilih dan memilah buat kalian dari khazanah pemikiranku yang bila ditaati akan mencapai tujuan lebih cepat. Namun kalian enggan mengikutinya bahkan berpaling bak oposan yang bermaksiat sehingga yang menasihati pun menjadi ragu dengan nasihatnya dan tangan yang kikir pun ragu dengan keburukannya. Aku telah memperingatkan kalian seperti ucapan saudara Hawazin:

Sungguh aku telah memerintahkan kalian dengan menurunkan bendera

Kalian tidak dapat kejelasan dari nasihat kecuali pada pagi di keesokan hari

Ketahuilah kedua orang ini, Abu Musa Al-Asy'ari dan Amr bin Ash, yang kalian pilih untuk menjadi wakil kalian telah mencampakkan hukum Al-Quran dari belakang. Mereka menghidupkan apa yang telah dihancurkan oleh Al-Quran. Mereka hanya mengikuti hawa nafsunya tanpa tuntutan dari Allah swt. Hukum dan keputusan yang diambil oleh keduanya tidak dapat diterima karena bukan argumentasi yang jelas dan sunah yang paten. Keduanya berselisih dalam hukum dan keputusan, sementara keduanya tidak mendapat hidayah. Allah berlepas tangan dari keduanya begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang saleh. Persiapkan diri kalian untuk menuju Syam. Berkumpullah kalian dalam pasukan kalian. Insya Allah'.

Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menulis surat kepada Abdullah bin Abbas agar mempersiapkan orang-orang Basrah untuk bergabung dengan pasukannya untuk memerangi Muawiyah bin Abu Sufyan. Abdullah bin Abbas mengumpulkan orang-orang Basrah dan kemudian bergabung di kota Kufah dengan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi kelompok Khawarij kemudian melakukan perbuatan-perbuatan merusak di mana pada awalnya mereka berkumpul di Basrah dan Kufah kemudian menuju Nahrawan. Kepergian kelompok Khawarij secara sembunyi-sembunyi sangat menggusarkan Imam Ali bin Abi Thalib karena jangan sampai mereka pergi ke Syam lalu bergabung dengan Muawiyah. Oleh karenanya pasukan meminta dari Imam Ali bin Abi Thalib untuk lebih dahulu menghabisi golongan Khawarij.

Perbuatan onar yang dilakukan oleh golongan Khawarij adalah menangkap Abdullah bin Khabbab dan istrinya lalu kemudian dibunuh. Mereka membelah perut istrinya kemudian memasukkan apa saja yang bisa dimasukkan. Demikian juga mereka membunuh Al-Harits bin Murrah Al-Abdi utusan Imam Ali bin Abi Thalib AS.


Perang dengan Khawarij

Kelompok Khawarij berkumpul dan bergabung di dekat Nahrawan. Imam Ali bin Abi Thalib berkali-kali berusaha untuk meyakinkan mereka agar meninggalkan sikap, pemikiran dan pembangkangan serta usaha mereka untuk tetap berperang. Yang ada pada mereka hanya kebodohan, kesesatan dan pemaksaan. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menyiapkan pasukannya dan memberi petunjuk lewat akhlak Islam bagaimana caranya bersikap dengan golongan Khawarij, terlebih-lebih lagi dalam kondisi seperti ini. Hal yang sama pernah dilakukannya pada peperangan sebelumnya. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib sampai di tempat mereka, beliau mengutus seseorang untuk meminta siapa pembunuh Abdullah bin Khabbab, istrinya dan utusan sebelumnya Al-Harits bin Murrah. Mereka menjawab dengan kesepakatan, 'Kami semua yang membunuhnya maka kami semua juga yang harus kalian qisas'.

Imam Ali bin Abi Thalib mengutus Qais bin Saad dan Abu Ayub Al-Anshari kepada kelompok Khawarij untuk menasihati mereka. Imam Ali bin Abi Thalib masih berusaha agar mereka masih dapat memahami kejadian apa sebenarnya yang terjadi serta berusaha agar tidak lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih antara sesama muslim. Setelah itu Imam Ali bin Abi Thalib sendiri yang menemui mereka dan berkata:

'Wahai kelompok yang muncul dikarenakan permusuhan yang pada akhirnya tidak mau lagi melihat kenyataan dan kebenaran. Kelompok yang mengikuti ketamakan yang pada akhirnya akan menemui hasil yang tidak diinginkan. Aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian. Jangan berbuat sesuatu yang kelak umat akan melaknat kalian dan terpelanting di dalam lembah ini, menuai bau busuk tanpa alasan dan argumentasi yang jelas dari Tuhan kalian'. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menjelaskan kepada mereka kalau ia sejak awal tidak suka dengan proses penghakiman (tahkim). Imam Ali bin Abi Thalib juga tidak lupa menerangkan sebab-sebab ketidaksetujuannya dengan jelas bahkan beliau menyalahkan mereka yang telah memaksanya untuk menerima penghakiman. Imam Ali bin Abi Thalib juga menambahkan bahwa kedua orang yang menjadi wakil dari kedua belah pihak tidak bersandarkan Al-Quran dan Sunah Nabi. Saat ini Imam Ali bin Abi Thalib ingin menghadapi Muawiyah bin Abu Sufyan untuk yang kedua kalinya. Oleh karenanya, beliau menyayangkan mengapa mereka harus keluar dari barisannya. Semua yang diucapkan tidak didengar oleh kelompok Khawarij bahkan menuntutnya agar segera bertaubat dengan cara mengkafirkan dirinya sendiri kemudian mengumumkan taubatnya. Mendengar itu Imam Ali bin Abi Thalib lantas menjawab:

'Kalian telah diterpa angin yang disertai debu, tidak ada seorang pun dari kalian yang keimanannya dapat melebihiku terhadap Rasulullah saw. Aku melakukan hijrah bersamanya dan bagaimana aku berjihad di jalan Allah. Dengan semua ini aku harus mengatakan kekafiranku? Bila memang demikian berarti kalian telah betul-betul sesat sedangkan aku adalah orang yang termasuk dari orang-orang yang mendapat hidayah. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian meninggalkan mereka. Kelompok Khawarij maju ke depan dan memilih untuk berperang. Imam Ali bin Abi Thalib tidak punya pilihan lain. Ia kemudian menyiapkan pasukannya untuk menghadapi kelompok Khawarij. Pada saat-saat terakhir Imam Ali bin Abi Thalib masih sempat mengirim Abu Ayub Al-Anshari untuk mengangkat bendera pengamanan kepada kelompok Khawarij sambil berteriak lantang, 'Barang siapa yang kemudian menuju bendera ini maka ia akan aman. Barang siapa yang kemudian tidak ingin melanjutkan peperangan dan kembali ke Kufah dan daerah Madain maka ia aman. Kami tidak akan menyulitkan orang-orang seperti yang telah kami sebutkan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang telah membunuh saudara-saudara kami'.

Sejumlah besar orang-orang dari kelompok Khawarij yang kemudian meninggalkan induk pasukannya. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada sahabatnya, 'Biarkan dan jangan berperang sampai mereka yang mendahului!

Kelompok Khawarij kemudian mulai menyerang dengan meneriakkan 'tidak ada hukum kecuali Allah. Mari dengan tenang kita menuju surga. Peperangan terjadi. Tidak lebih dari satu jam peperangan terjadi, banyak dari kelompok Khawarij yang terbunuh. Yang selamat dari mereka tidak lebih dari sepuluh orang. Sementara dari pihak Imam Ali bin Abi Thalib yang terbunuh tidak lebih dari sepuluh orang.

Ketika medan perang menjadi tenang dan perang telah berakhir, Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan untuk dihadapkan seseorang yang bernama Dzu As-Tsudyah, salah satu komandan pasukan kelompok Khawarij. Imam Ali bin Abi Thalib bersikeras agar orang tersebut didatangkan karena Rasulullah saw pernah berkata kepadanya bahwa dalam peperangan dengan kelompok Khawarij ada salah satu komandannya yang bernama Dzu As-Tsudyah. Ketika mereka mencari dan menemukan orang yang bernama Dzu As-Tsudyah segera mereka menghadapkannya ke depan Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali bin Abi Thalib kemudian berkata, 'Allahu Akbar! Engkau tidak berbohong dan engkau, Rasulullah saw, tidak pernah membohongi siapa pun. Seandainya aku tidak khawatir kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang fitnah niscaya aku ceritakan kepada kalian tentang apa yang diceritakan Allah lewat lisan Nabi-Nya siapa saja yang akan membunuh kalian. Rasulullah saw tahu dengan pasti apa yang sedang kita lakukan sekarang'. Setelah itu beliau kemudian melakukan sujud syukur kepada Allah swt.


Pendudukan Mesir

Setelah terjadi pembunuhan Usman bin Affan, Imam Ali bin Abi Thalib mengangkat Qais bin Saad bin Ubadah Al-Anshari sebagai gubernur Mesir. Setelah itu beliau melihat bahwa Muhammad bin Abu Bakar lebih tepat menduduki jabatan itu dan kemudian menggantikan Qais bin Saad dengan Muhammad bin Abu Bakar. Muawiyah bin Abu Sufyan masih merasa gelisah karena Mesir belum dikuasainya. Dan itu setelah kekacauan yang terjadi dalam masyarakat Islam setelah perang. Untuk itu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash bergerak menuju Mesir untuk mendudukinya sekaligus sebagai upah dari jerih payah Amr bin Ash yang dengan ide dan tipu muslihat berhasil merusak pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib dan menghancurkan agama. Imam Ali bin Abi Thalib berusaha mensuplai Muhammad bin Abu Bakar dengan pasukan dan bahan-bahan lain yang dibutuhkan setelah mendengar Muawiyah bin Abu Sufyan ingin menguasai Mesir. Namun tidak lama ketika terdengar kabar bahwa Mesir telah dikuasai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan dan pasukannya sementara Muhammad bin Abu Bakar mati dibunuh oleh mereka. Mendengar kematian Muhammad bin Abu Bakar, Imam Ali bin Abi Thalib sangat bersedih. Setelah itu, Imam Ali bin Abi Thalib kemudian menetapkan Malik Al-Asytar sebagai wali kota Mesir akan tetapi Muawiyah yang melakukan apa saja dengan menghalalkan segala cara berhasil membunuh Malik Al-Asytar dengan racun.


Kehancuran dan perpecahan umat Islam

Penyimpangan yang terjadi semenjak peristiwa Saqifah mulai tampak secara jelas di akhir-akhir hari kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abu Sufyan dan mereka yang mengikuti caranya mulai melakukan peperangan terhadap Islam dari dalam dengan menguraikan dan memisahkan relasi dan hubungan yang masih tersisa dalam masyarakat Islam dan akhirnya merusaknya. Setelah melakukan perusakan mereka kemudian membangun sebuah masyarakat yang serasi dan harmoni dengan keinginan dan kepentingan mereka. Dengan memperhatikan secara seksama keadaan umat setelah pertempuran yang dilakukan sebanyak tiga kali oleh Imam Ali bin Abi Thalib ada beberapa hal penting yang bisa dirasakan:

1. Imam Ali bin Abi Thalib dan umat Islam tertimpa musibah dengan ketiadaannya para sahabat yang sadar dan berpengaruh dalam masyarakat dan pergerakan risalah Islam. Dengan keberadaan mereka pembangunan umat yang saleh sesuai dengan cara dan metode Al-Quran dan Sunah dengan dipimpin oleh Imam Ali bin Abi Thalib menjadi mungkin dan mudah. Ketiadaan mereka membuat Imam Ali bin Abi Thalib sangat bersedih. Hal itu dapat dilihat dari penggambaran tentang kebaikan mereka selama hidup:

'Sahabat-sahabat kita yang telah mengucurkan darahnya di Shiffin tidak lagi merasakan kesulitan bila hidup saat ini pasti mereka akan merasakan kesedihan dan kepahitan. Demi Allah! Sungguh mereka telah menemui Allah dan Allah telah memberikan pahala mereka dan menempatkan mereka di tempat yang aman setelah masa ketakutan. Sekarang, mana sahabat-sahabatku yang menjalani jalan ini memperjuangkan kebenaran? Di mana Ammar? Kemanakah Abu At-Tihan? Di mana dzu Syahadatain? Di mana juga orang-orang yang telah sepakat untuk melakukan perbuatan jahat?

Imam Ali bin Abi Thalib kemudian meletakkan tangannya di atas anak wanitanya dan melanjutkan tangisannya. Setelah itu beliau berkata, 'Aaah... Terasa berat bagiku terhadap sahabat-sahabatku yang membaca Al-Quran dan kemudian menguatkan pemahamannya. Kewajiban dimengerti dan kemudian dilaksanakan. Mereka menghidupkan Sunah Nabi dan melenyapkan bid'ah. Ketika diajak untuk melakukan jihad pasti mereka mengiakannya. Mereka percaya kepada pemimpin kemudian menaatinya'.

2. Pembangkangan pasukan, perpecahan dan munculnya kelemahan yang diakibatkan oleh keletihan dalam berperang karena banyaknya orang yang terbunuh dari penduduk Irak. Sementara penduduk Irak adalah tulang punggung unit pasukan Imam Ali bin Abi Thalib. Semua ini membuat Imam Ali bin Abi Thalib tidak mampu, dengan kemampuan retorika yang luar biasa, mendorong mereka untuk bertahan dan tetap menjadikan basis masyarakat untuk melanjutkan peperangan. Dan pada sisi yang lain, untuk menceraiberaikan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan tidak pernah berhenti mengajak para pemimpin kabilah dan orang-orang yang tampaknya memiliki kecenderungan untuk mencintai dunia. Ia senantiasa mengiming-imingi mereka dengan harta dan posisi bila mereka mau bekerja sama untuk melemahkan kekuatan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib dan pasukannya. Usaha ini berhasil hingga Imam Ali bin Abi Thalib tidak mampu menyiapkan pasukan An-Nakhilah (nama tempat perkumpulan pasukan terkahir Imam Ali untuk menyerang Muawiyah) untuk menyerang pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan setelah peperangan Nahrawan. Hal itu dikarenakan secara sembunyi-sembunyi mayoritas pasukan Imam Ali bin Abi Thalib memasuki kota Kufah yang pada gilirannya pasukan yang disiapkan untuk menyerang Muawiyah ditiadakan dan perang diundur sampai ada kesiapan.

3. Kondisi yang ada lebih memihak dimenangkan oleh kubu Muawiyah bin Abu Sufyan ketimbang Imam Ali bin Abi Thalib dan umat Islam. Hal itu dikarenakan banyaknya kejadian perampokan dan pembunuhan di sekeliling negara Islam. Sering terjadi pembunuhan, penistaan dan teror. Kondisi ini dimulai dengan penyerangan di sekitar Irak. Muawiyah mengutus Nu'man bin Basyir Al-Anshari untuk melakukan perampokan di daerah Ain At-Tamr. Sufyan bin Auf diperintahkan untuk melakukan perampokan dan pembunuhan di daerah Hit kemudian menyebar ke Al-Anbar wa Al-Madain yang dilanjutkan ke daerah Waqishah. Sementara itu Muawiyah bin Abu Sufyan juga mengutus orang-orang seperti Dhahhak bin Qais Al-Fihri ke tempat-tempat lain. Setiap kali ada usaha melakukan pengonaran, Imam Ali bin Abi Thalib senantiasa mengajak masyarakat untuk mempertahankan diri menghadapi tindakan kejahatan terorganisir yang dikomandoi oleh Muawiyah, namun masyarakat tidak tanggap untuk memenuhi seruan Imam Ali bin Abi Thalib. Di sini, kekuatan Imam Ali semakin melemah sementara kekuatan Muawiyah semakin baik.

Muawiyah bin Abu Sufyan tidak puas hanya melakukan keonaran di sekitar Irak tapi juga mengutus Basar bin Urthah untuk melanjutkan tindakan kriminalnya di daerah Jijaz dan Yaman. Pada masa-masa itu perilaku melanggar hukum dan membuat onar menjadi pemandangan yang biasa yang diikuti dengan pembunuhan dan teror orang-orang baik. Melihat kondisi yang semakin buruk, Imam Ali bin Abi Thalib merasa sangat sedih dan tertekan dengan perbuatan para pembuat onar yang menghina dan merendahkan manusia. Ia menjelaskan perasannya, 'Ya Allah, Aku sudah berusaha menasihati, mengingatkan dan mengubah mereka sehingga aku benar-benar capai karenanya sementara perilaku mereka membuat aku letih. Gantikan mereka dengan orang-orang yang lebih baik atau sebagai gantiku jadikan orang buruk menjadi pemimpin mereka'.

Imam Ali bin Abi Thalib sebenarnya telah memperingatkan umat Islam tentang gelapnya masa depan yang akan mereka alami sebagai akibat dari tidak adanya usaha untuk menolong kebenaran bahkan sebaliknya berusaha untuk menghinakan kebenaran. Beliau berkata, 'Ketahuilah! Sepeninggalku nanti kalian akan mengalami kehinaan karena pedang tajam yang menguasai kalian. Kalian akan terzalimi dan perbuatan zalim ini akan menjadi aturan dan contoh bagi penguasa setelahnya. Kesatuan dan masyarakat kalian akan dicabik-cabik. Air mata kalian akan mengucur menangisi nasib kalian sementara kalian hidup dalam kemiskinan. Sebagian kecil saja dari kalian yang melihat kondisiku dan mau menolongku. Akan kalian lihat nanti bahwa apa yang kukatakan kepada kalian ini adalah kebenaran'.


Akhir usaha Imam Ali bin Abi Thalib

Setelah terjadi keonaran di berbagai tempat dan Muawiyah bin Abu Sufyan berhasil menebarkan kekhawatiran dan ketakutan di sekitar negara Islam. Melihat kondisi yang semakin sulit, Imam Ali bin Abi Thalib kemudian bersiap-siap untuk melakukan penyerangan habis-habisan dan berusaha untuk membangkitkan kembali umat Islam. Untuk itu beliau berpidato sekaligus mengancam mereka:

'Ketahuilah bahwa aku telah letih untuk menasihati dan berbicara kepada kalian. Sekarang sampaikan kepada saya apa yang telah kalian lakukan? Bila kalian siap untuk ikut bersamaku memerangi musuhku niscaya itu yang aku inginkan dan suka. Bila kalian tidak ingin melakukan apa-apa maka biarkan aku yang menyingkap dan menetapkan apa yang harus kalian lakukan. Demi Allah! Bila kalian seluruhnya tidak keluar bersamaku memerangi musuh kalian sehingga Allah memberikan hukumnya kepada kita dan mereka -Allah sebaik baik yang menghakimi- niscaya aku akan berdoa kepada Allah agar kalian mendapat celaka kemudian kalian akan ditawan oleh musuh kalian. Aku akan tetap keluar menyerang musuh walaupun dengan sepuluh orang'.

Dengan ancaman ini Imam Ali bin Abi Thalib berharap dapat membangun jiwa-jiwa manusia. Dan agar mereka merasa yakin bahwa Imam Ali bin Abi Thalib akan keluar sendiri dengan keluarga dan beberapa sahabat khususnya menuju Muawiyah sekalipun tidak ada yang menolongnya. Keyakinan mereka bila tidak mengikuti Imam Ali bin Abi Thalib niscaya akan celaka di hari kiamat. Oleh karenanya, para tokoh masyarakat untuk mengikuti seruan Imam Ali bin Abi Thalib untuk memerangi Muawiyah dan menghancurkan para perusuh. Orang-orang akhirnya keluar dan berkumpul dengan segala perlengkapan meliternya di daerah An-Nakhilah di luar kota Kufah. Sebagian peleton dari induk pasukan bergerak lebih dahulu dari yang lain bersama Imam Ali bin Abi Thalib namun tetap menunggu hingga akhir bulan Ramadhan untuk memulai penyerangan.

(Al-Hassanain/Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: