BEBERAPA bulan setelah menduduki Jawa, balatentara Jepang membutuhkan banyak dukungan logistik, tak terkecuali sayuran. Untuk keperluan itulah Jepang mendirikan Pertaroehan dan Keloearan Sajoeran-sajoeran (Penyimpanan dan Distribusi Sayur-sayuran-Red) pada pengujung 1942 di Lembang, Bandung. Suratkabar Tjahaja menyingkatnya menjadi PKS. Organisasi yang mengatur hasil pertanian itu langsung di bawah pengawasan bagian pertanian balatentara Dai Nippon di Jawa.
Suratkabar Tjahaja, 7 November 1942, menurunkan berita tentang dua maklumat PKS yang diterbitkan tak lama setelah pembentukannya. Maklumat kesatu berbunyi, pertama, tanaman sayuran-sayuran di Lembang Gun akan dipasrahkan untuk keperluan Balatentara Dai Nippon, yang mana pengelolaannya dipasrahkan pada Dai Nippon Peratoeran Keboen PKS Lembang Gun. Kedua, Semua sayuran-sayuran yang baik harus dimasukkan pada Dai Nippon Peratoeran Keboen PKS Lembang Gun. Ketiga, sayuran-sayuran yang kurang baik, sebelum dijual ke luar, lebih dahulu harus mendapat ijin Dai Nippon Peratoeran Keboen PKS Lembang Gun atau Poesat Penjoealan di Bandung. Keempat, siapa yang tidak menurut pada undang-undang ini, berarti mengganggu keamanan Balatentara Dai Nippon dan akan mendapat hukuman yang berat.
Menurut Aiko Kurasawa dalam bukunya Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 kegiatan ekonomi Jepang di Jawa diarahkan untuk upaya perang Jepang. Produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer diberi prioritas utama. Meskipun Jawa telah bisa menopang dirinya sendiri dalam hal bahan makanan pokok di zaman Belanda, keadaan ini tidak bisa berlangsung di bawah pendudukan Jepang karena meningkatnya tuntutan yang dikenakan atas produksi bahan makanan di pulau Jawa.
“Selama pendudukan Jepang, slogan ‘Melipatgandakan Hasil’ diulang terus menerus dan sering muncul di surat kabar, teater, dan film-film. Dengan slogan ini, petani ditempatkan di bawah tekanan keras militer Jepang untuk memuaskan semua tenaga mereka bagi ‘Pelipatgandaan Hasil’,” tulis Aiko.
Propaganda Jepang itu, untuk sementara waktu, bisa berjalan secara sukses karena didukung oleh peraturan yang keras dan bersifat memaksa. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat, tak segan-segan Jepang menjatuhkan hukuman berat, bahkan sampai hukuman mati. Dalam soal PKS, Jepang pun memberlakukan yang sama, seperti tertera dalam maklumat kedua yang berbunyi, “Dipermaklumkan bahwa barang siapa yang menyiarkan kabar yang bukan-bukan, ataupun mempercakapkan yang tidak benar tentang PKS atau pengurus dan pegawainya, akan dianggap sebagai menyiarkan kabar bohong yang merusak keamanan rakyat dan Balatentara, dan akan dihukum berat. Bilamana ada sesuatu hal janganlah bersembunyi-sembunyi atau menyiarkan yang tidak-tidak, melainkan hendaklah dikemukakan pada pengurus atau lain-lain yang berwajib.”
Kedua maklumat tersebut mulai berlaku sejak hari Rabu 26 Hachigatsu 2602 (26 September 1942-Red.) ditandatangani tiga petinggi sekaligus yang mengatasnamakan Pembesar Balatentara Dai Nippon di Indonesia. Mereka adalah ketua bagian Nodzohan (pertanian-Red) balatentara Dai Nippon, Pengurus Nodzohan Lembang, dan Ketua I PKS Raden Djajakoesoemah.
“Tadi malam telah diadakan malam pembukaan Pusat PKS di Logeweg 20 Bandung. Acara ini dihadiri oleh orang-orang terkemuka, baik dari Balatentara Jepang maupun dari pihak Indonesia,” tulis Tjahaja, 16 November 1942.
Tepat pada pukul 20:00 malam, acara dibuka oleh ketua Bandung Kentyo (Kabupaten Bandung-Red) dengan mengucapkan selamat dan terima kasih atas kedatangan hadirin dan kemudian menerangkan maksud dan tujuan berdirinya PKS. Pembentukan PKS, menurut ketua, ditujukan untuk memenuhi pasokan sayur baik untuk keperluan Balatentara Jepang maupun kepentingan khalayak umum. Organisasi itu juga bertujuan supaya kaum tani mendapat perlindungan yang sempurna.
Dalam kesempatan itu K. Nakatuka pemimpin umum urusan PKS turut menyampaikan keterangan tentang maksud dan tujuan pendirian PKS. Dia pun berharap agar PKS mendapat hasil yang memuaskan di dalam aktivitasnya.
Sementara itu Kolonel K. Tanaka dari pihak Balatentara Jepang menyampaikan rasa syukur dan gembiranya atas pembentukkan organisasi pertanian itu. “Umumnya, bangsa Asia memang selalu mementingkan pertanian,” kata dia. Tanaka berharap agar balatentara Jepang dan bangsa Indonesia bersedia bekerjasama demi kemajuan dua bangsa yang bersaudara itu.
Sambutan terakhir disampaikan oleh Ir. Soezaja dari Nodzohan Lembang. “Dia membentangkan tentang usaha yang telah dijalankan oleh PKS untuk mencapai cita-citanya yang baik itu,” tulis Tjahaja, 16 November 1942.
Setelah semua sambutan selesai, acara dilanjutkan dengan jamuan makan sederhana sambil mendengarkan kecapi-orkes.
Harian Tjahaja edisi 21 November 1942 memberitakan berbagai kemajuan yang dicapai PKS. Menurut koran itu, sejak didirikan sampai dengan 10 November 1942, PKS telah berhasil menjual sayuran sebanyak 1268.843 kilogram, 83.344 kilogram buah-buahan, dan 46.408 kilogram bumbu-bumbu dengan jumlah pendapatan f.123.469,87. Bahkan, PKS telah mempunyai empat cabang, yakni di Cianjur, Bandung, Garut, dan Tanjungsari (Sumedang). Untuk buah-buahan PKS banyak mendatangkannya dari daerah Sumedang dan kedelai didatangkan dari Garut.
Tak hanya itu, organisasi pengepul dan penyuplai hasil pertanian ini pun melebarkan sayapnya. Di tiap-tiap Syuu (karesiden-Red) didirikan cabang PKS. Berdasarkan laporan Tjahaja, 21 Desember 1942, di Priangan Syuu telah didirikan beberapa cabang di antaranya di Lembang, Garut, Pangalengan, Sindanglaya, dan lain-lain. Daerah tersebut sudah dikenal sejak lama sebagai sentra penghasil sayur-sayuran di Jawa Barat. Seiring pesatnya perkembangan PKS, mereka pun menguasai produsen makanan berbahan baku sayuran di tingkat hilir seperti pabrik asinan di Lembang, Bandung. Suratkabar Tjahaja melaporkan, “Dalam bulan November dihasilkan lebih dari 50 ton asinan untuk keperluan Balatentara.”
Gerak PKS memang sangat agresif. Organisasi itu pun merambah ke distribusi minyak tanah, minyak kelapa, dan rokok. “Yang biasanya penjualan minyak tanah, minyak kelapa, dan rokok dilakukan para Lurah di Lembang, sekarang diusahakan oleh PKS dimulai di Lembang,” tulis Tjahaja, 26 Januari 1943.
Meski hanya 3,5 tahun, pendudukan Jepang di Indonesia telah meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Indonesia. Jepang melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan manusia. Para petani diperas untuk menyediakan pangan untuk keperluan militer Jepang dalam peperangan. Jepang juga mengerahkan penduduk Indonesia untuk dijadikan romusha. Dan, gadis-gadis pun dipaksa jadi jugun ianfu, pemuas nafsu serdadu Jepang. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Indonesia akibat pendudukan Jepang.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email