Jika kita berbicara tentang Aceh, maka yang terbayang di benak kita adalah para mujahid dan mujahidah yang berjuang gigih tanpa pamrih. Aceh telah melahirkan begitu banyak pahlawan. Sungguh heroik perjuangan putra-putri Aceh dalam melawan penjajah. Tak ada satupun penguasa Aceh yang mau bekerjasama dengan penjajah. Ini menyebabkan Aceh sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak pernah dikuasai oleh penjajah.
Kegigihan pejuang Aceh melawan penjajah tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat Aceh yang sangat relijius. Aceh merupakan tempat pertama kali Islam masuk ke bumi nusantara. Ini dibuktikan dengan peninggalan berupa makam Sultan Malik al-Saleh raja Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M di Pasai, Aceh Utara. Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Sejak saat itu landasan ajaran Islam sangat mempengaruhi perjalanan sejarah peradaban pemerintahan kerajaan-kerajaan di Aceh. Bahkan hingga kini landasan hukum berupa syariat Islam berlaku di sana.
Aceh terletak di daerah yang sangat strategis, yaitu di selat Malaka. Semua kapal-kapal Eropa yang bertujuan memasuki wilayah Indonesia terutama pulau Jawa harus melalui selat Malaka. Jalur selat Malaka ini sangat ramai, sering juga disebut jalur sutera dua. Para pedagang dari benua Eropa, China, Asia sering menggunakan jalur sutera dua ini untuk membeli rempah-rempah di kepulauan nusantara. Pada saat itu komoditi rempah-rempah sangat berharga.
Kondisi geografis seperti ini mengharuskan Aceh memiliki angkatan laut yang tangguh. Dan sejarah pun mencatat Aceh pernah berhasil menjadi penguasa selat Malaka yang gagah berani nan disegani. Aceh memiliki laksmana-laksmana yang gagah dan hebat. Salah satu laksmana yang begitu fenomenal dan spektakuler dalam sejarah adalah Malahayati. Dialah laksmana perempuan pertama di dunia. Ketika negara-negara maju menggembar-gemborkan emansipasi wanita di dunia ketiga, maka Malahayati telah melenggang menunjukan kemampuannya memimpin pasukan perang.
Malahayati yang memiliki nama asli Keumala Hayati berasal dari keluarga militer. Belum diketahui secara pasti kapan tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Menurut manuskrip yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia, diperkirakan Malahayati lahir tahun 1575. Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah. Sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika Malahayati masih kecil. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Malahayati kecil sering diajak berlayar oleh ayahnya. Hal ini menyebabkan Malahayati mencintai dunia bahari sejak dini. Dia bertekad untuk menjadi pelaut handal seperti ayahnya. Malahayati menempuh pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis yang dimiliki kerajaan Aceh Darussalam saat itu.
Ketika dewasa, Malahayati menikah dengan seorang Perwira Laut alumni dari Akademi Militer tersebut. Malahayati telah memantapkan tekadnya untuk menapaki karir di dunia militer. Pasangan suami istri ini menjadi pasangan perwira laut yang handal. Akan tetapi tak lama kemudian suaminya meninggal dalam pertempuran laut melawan Portugis. Malahayati berduka. Meski terpukul karena menjadi janda muda, tetapi Malahayati tidak mundur dari dunia militer. Malahayati menjabat sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Kemudian menjadi kepala dinas rahasia.
Pada saat itu menjadi janda karena ditinggal mati syahid oleh suami yang berperang adalah hal lumrah di Aceh. Malahayati bisa memahami kondisi kejiwaan para janda tersebut, karena dia pun janda. Pada masa itu hampir seluruh pria dewasa warga Aceh menyambut seruan jihad melawan penjajah Portugis. Mereka berperang sampai titik darah penghabisan, hingga syahid menjemput.
Perempuan Aceh bukanlah perempuan cengeng, mereka bangga apabila salah satu anggota keluarganya ada yang mati syahid. Karena orang yang mati syahid mampu memberikan syafaat bagi 70 anggota keluarganya di akhirat nanti. Meski menjadi janda, tetapi perempuan Aceh tetap tegar menapaki kehidupan. Bahkan janda-janda tersebut bertekad untuk hidup mulia atau mati syahid seperti para suami mereka. Malahayati berinisiatif untuk mengorganisir janda tersebut dengan membentuk Inong Balee.
Inong Balee adalah pasukan khusus perempuan yang terdiri dari para janda. Inoong Balee membangun benteng yang kokoh di Teluk Kreung Raya. Benteng ini sering disebut juga benteng Malahayati. Benteng Malahayati ini berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi 2000 janda anggota pasukan Inong Balee. Melalui benteng ini mereka mengawasi perairan Selat Malaka, mereka mengintai armada-armada Portugis, Belanda, dan Inggris. Malahayati berhasil melatih janda-janda tersebut menjadi pasukan marinir yang tangguh. Sungguh mereka adalah para janda luar biasa.
Sebagai seorang pimpinan, Malahayati secara ksatria memimpin pertempuran secara langsung di lapangan. Dia memimpin armada laut kerajaan Aceh yang jumlahnya cukup banyak. Menurut John Davis, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi kerajaan Aceh pada saat Malahayati menjadi Laksmana, Kerajaan Aceh memiliki 100 buah kapal perang. Diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Malahayati lah pimpinan tertinggi angkatan laut Kerajaan Aceh.
Armada Laut Kerajaan Aceh sangat ditakuti oleh Portugis, Inggris dan Belanda. Padahal pada masa itu ketiga negara tersebut adalah negara adidaya. Banyak catatan orang asing seperti China, Eropa, Arab, India, yang mengakui kehebatan Malahayati.
Salah satu peristiwa yang akan selalu dikenang oleh sejarah adalah Malahayati berhasil mengusir armada-armada Belanda dibawah pimpinan De Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman. Cornelis de Houtman adalah orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1596 dan berhasil menancapkan kuku imperialisme di Jawa.
Pada tahun 1599, De Houtman bersuadara melakukan kunjungan kedua ke Indonesia. Dalam kunjungan kedua ini de Houtman bersaudara bersandar di Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Mereka berniat untuk mengusai kerajaan Aceh karena letaknya yang sangat strategis sebagai gerbang kepulauan nusantara. Malahayati mengetahui niat busuk de Houtman bersaudara, dia bertekad akan bertempur habis-habisan mengusir penjajah terlaknat.
Malahayati mengerahkan seluruh pasukannya dan memegang komando tertinggi. Armada Belanda kelabakan, terdesak, dan akhirnya berhasil dihancurkan semua. Frederick de Houtman tertangkap kemudian dijadikan tawanan Kerajaan Aceh. Sedangkan Cornelis De Houtman berhasil dibunuh oleh Malahayati sendiri pada tanggal 11 September 1599. Pada awalnya Cornelis berniat menjebak Malahayati dalam suatu perjamuan makan malam untuk membicarakan gencatan senjata. Tetapi niat jahat tersebut tidak tercapai, Malahayati berhasil menyelamatkan diri bahkan berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertarungan duel satu lawan satu diatas geladak kapal. Saya merinding, saat menulis bagian ini. Membayangkan keperkasaan Malahayati ketika duel bersenjatakan rencong. Atas jasanya memukul mundur armada Belanda, Malahayati dianugerahi gelar Laksamana oleh Kerajaan Aceh.
Selain armada Belanda, Malahayati juga berhasil memukul mundur armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga Selat Malaka sangat ditakuti oleh negara-negara asing. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa, terutama Belanda. Sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Malahayati.
Kerajaan Belanda sangat menghormati kerajaan Aceh. Hal ini terlihat ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada Paulus Van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada kerajaan Aceh. Bayar denda tersebut adalah akibat dari tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh dan menenggelamkan kapal dagang Aceh. Setelah itu Van Caerden merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh.
Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Belanda, Portugis, Inggris, Arab, China dan India.
Bahkan Inggris pun tidak berani secara terang-terangan menunjukan keinginannya untuk menguasai rempah-rempah di nusantara. Inggris yang terkenal sebagai penguasa lautan memilih jalan damai dengan kerajaan Aceh. Ratu Elizabeth I mengirim surat diplomatik yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh. Surat diplomatik ini membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Malahayati menjabat sebagai laksmana kerajaan Aceh dalam waktu yang cukup lama, yaitu selama masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589-1604 M). Malahayati berhasil mengantarkan Aceh menjadi kerajaan yang disegani baik oleh kawan maupun lawan. Malahayati berhasil menjaga stabilitas Selat Malaka. Kehebatannya diakui oleh semua bangsa yang berhubungan dengan kerajaan Aceh. Nama Malahayati cukup membuat bergidik bangsa-bangsa adidaya saat itu.
Tapi saat ini, nama Malahayati tinggallah kenangan. Banyak orang yang tak mengenalnya. Namanya tenggelam ditelan zaman. Sungguh sangat menyedihkan, realitas pahlawan yang dilupakan oleh bangsanya sendiri. Padahal dialah Laksmana perempuan pertama di dunia. Dialah yang menggempur armada-armada Belanda dan Portugis. Di kala wanita-wanita barat belum mengenal emansipasi, Malahayati telah menjadi Laksmana dan memimpin beribu-ribu pasukan perang mengusir penjajah. Sungguh wanita hebat yang jarang tandingannya, baik di masa sebelumnya maupun masa sesudahnya. Malahayati……engkaulah pahlawan wanita sepanjang masa….
(Widi80-Blogdetik/Serba-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email