Raden Mas Mustahar (nama kecil Pangeran Diponegoro) dilahirkan di Keraton Yogyakarta pada hari Jumat Wage di bulan Sura atau 11 November 1785. Menurut penanggalan Jawa, orang yang lahir pada hari dan bulan tersebut dipercaya sangat cakap, kata-katanya berpengaruh, murah hati, berwatak pandita, tapi akan banyak menghadapi tentangan karena suka berterus terang dan kata-katanya “nyelekit”
Ayahnya adalah anak sulung Sultan HB II dari istri resmi, Ratu Kedaton. Ibu Diponegoro bernama R.Ay. Mangkorowati, yang nantinya menjadi istri tak resmi Sultan HB III. Semasa kecil Diponegoro dititipkan kepada nenek buyutnya, Ratu Ageng dan tinggal di Tegalrejo. Semasa kecilnya Diponegoro cukup dekat dengan pendiri Keraton Yogyakarta, Sultan Mangkubumi. Sultan Mangkubumi inilah yamg meramalkan bahwa cucunya ini akan memberikan kehancuran yang lebih hebat bagi Belanda daripada dirinya semasa perang tahun 1746-1755 yang harus diakhiri oleh Perjanjian Giyanti.
Karena ia hidup dan besar di luar keraton bersama nenek buyutnya, maka sifatnya amat merakyat (dekat dengan rakyat). Ia suka belajar dari para Kyai, sering bertapa di gua-gua di pegunungan kapur di selatan Yogyakarta. Sifat-sifat inilah yang membuatnya sedikit di pinggirkan oleh keraton.
Sepeninggal nenek buyutnya (17 Oktober 1803) menjadikannya penguasa Tegalrejo saat ia berusia 18 tahun. Ia semakin asyik dengan aktivitasnya di luar keraton sehingga jarang datang ke keraton walaupun diundang. Ia malah sering ke Surakarta untuk belajar agama kepada para kyai salah satunya adalah Kyai Mojo yang kelak mendampinginya selama ia memimpin Perang Jawa.
Ia juga berteman dengan Syekh Abdul Ahman bin Abdullah Al-Ansari (Ahmad Ansar Syarif), seorang saudagar Arab yang memperistri putri pangeran Blitar I. Selain itu ia juga berteman dengan para perampok dan bandit. Hal ini amat berkebalikan dengan kakek buyutnya (Sultan Mangkubumi), yang menghindari penggunaan hal-hal yang berbau kejahatan dalam perlawanannya terhadap Belanda selama Perang Giyanti.
Pergaulannya dengan masyarakat Tegalrejo membawa dirinya menikah dengan R.Ay. Madubrongto (putri Kyai Gede Dadapan dari Dadapan, Tempel, Turi). Dari perkawinan ini lahir putra sulung yang paling pandai R.M. Ontowiryo (Pangeran Diponegoro II). Diponegoro II mencatat ayah-ibunya tetap rukun sampai akhirnya tunduk kepada ayahnya, Sultan HB II untuk melakukan “pernikahan politik” yang mewah dan bergengsi dengan R. Aj. Supadmi (R. Ay. Retnokusumo), putri Bupati Kesultanan Yogya untuk Panolan, Raden Tumenggung Notowijoyo pada 25 Februari 1807. Diponegoro II mencatat bahwa ibu tirinya sombong dan berlaku tidak adil terhadap ibu kandungnya yang berasal dari kasta yang lbih rendah. Karena perlakuan inilah R. Ay. Madubrongto cepat meninggal.
(Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama Di Jawa)
(Memobee/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email