Peristiwa penculikan para jenderal pada dinihari 1 Oktober 1965 yang merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia sungguh tidak disangka-sangka bakalan terjadi oleh siapapun. Bagaimana mungkin, sekelompok pasukan Tjakrabirawa (pasukan pengawal Presiden Soekarno) yang belakangan diketahui sudah diindoktrinasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), berbuat keji di luar batas kemanusiaan?
Salah satu jenderal yang menjadi korban gerakan mereka adalah Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (MT Haryono) yang menjabat sebagai Asisten III Menpangad bidang Perencanaan dan Pembinaan.
Faktanya, sebelum dibunuh pada dinihari 1 Oktober 1965, Jenderal Haryono sudah merasakan firasat bahwa dirinya akan menjadi target untuk dihabisi.
Sebenarnya, salah seorang ajudannya sudah memberi peringatan, namun ditampik oleh Jenderal Haryono. “Bapak harus berjaga-jaga. Kabar mengenai rencana penculikan dan pembunuhan itu barangkali benar,” lapor ajudan Sang Jenderal.
“Buat apa? Saya dan keluargan tak perlu dijaga!,” jawab Jenderal Haryono. Saat kejadian pun rumah Jenderal Haryono di Jalan Prambanan No. 8, Menteng, Jakarta Pusat, memang sama sekali tanpa penjagaan. Entah mengapa, Jenderal Haryono tak pernah mau memanfaatkan fasilitas pengamanan tentara di rumahnya.
Sebelum kejadian nahas tersebut, sebenarnya keluarga Mayjen MT Harjono sudah merasakan firasat-firasat aneh.
Sehari sebelum kejadian pada 30 September 1965 sore, anak-anak Jenderal Haryono melihat ada barisan tentara dekat rumahnya. Sebuah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Salah satu tentara tersebut bertanya, di mana letak rumah Jenderal MT Harjono? Dengan spontan, mereka pun menunjuk rumah mereka sendiri.
Enda Marina, putri bungsung Jenderal MT Haryono pun merasakan firasat lain. Ia mengingat ketika ayah sedang sibuk menata bunga anggrek sambil mendengarkan musik klasik, Enda yang ingin mendekati ayahnya justru disuruh menjauh. Hal itu pun dianggap ganjil oleh Enda yang sangat dekat dengan ayahnya.
Bukan cuma itu, pada malam sebelum kejadian, Enda bermimpi ayahnya ditusuk tombak oleh beberapa orang misterius, hingga tak berdaya dan bersimbah darah.
Dalam keseharian, Jenderal Haryono sangat anti politik sedikit pun dengan anak-anaknya di rumah. Namun pada suatu ketika, anak sulung MT Harjono, Harianto Haryono (Babab) tiba-tiba diajak bicara soal politik oleh ayahnya yang dirasakan dan diingat Babab bagai sebuah wejangan atau cenderung seperti petuah terakhir sang ayah.
“Bab, kalau kamu sudah besar nanti, sebaiknya hindarilah berpolitik. Karena politik itu sangat berisiko. Politik itu menghalalkan segala cara. Selagi kamu berada dalam satu kelompok, kelompok itu akan menganggapmu sebagai teman,” ujar sang ayah kepada Babab.
“Tetapi begitu kamu berpisah, kamu akan dianggap sebagai musuh. Persahabatan dan kebajikan yang telah kamu lakukan di masa yang sudah-sudah, akan mereka lupakan. Makanya kamu tak perlu masuk politik. Masuk tentara boleh, tapi masuk politik, sekali lagi, jangan!,” seru sang ayah dengan tegas.
Naasnya, apa yang dikhawatirkan oleh ajudannya ternyata benar-benar terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 sekitar 04.00 pagi. Rumah Jenderal Haryano didatangi segerombolan pasukan Tjakrabirawa.
“Assalaamualaikum!,” seru salah satu anggota gerombolan yang dipimpin oleh Sersan Mayor Boengkoes itu sembari mengetuk pintu. Kebetulan yang membukakan pintu adalah istri Jenderal Haryono, Mariatni.
Ny. Mariatni Haryono pun langsung bertanya maksud kedatangan mereka. Serma Boengkoes menjawab “Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga,”
Ketika Ny. Mariatni ingin membangunkan suaminya, para anggota gerombolan itu tanpa basa-basi ikut masuk rumah. “Di luar ada tentara yang mengaku utusan Bung Karno. Mereka minta Ayah ikut mereka. Ada rapat penting di Istana Bogor,” ujar Mariatni pada suaminya di kamar mereka yang gelap.
“Tidak ada rapat pagi buta seperti ini,” jawab MT Haryono. Saat itu pun Jenderal Haryono menjadi curiga karena teringat dengan peringatan ajudannya. Maka ia menyuruh istri dan anak-anaknya untuk pindah dari kamar masing-masing ke tempat aman.
“Kamu harus segera pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depan beserta anak-anak,” ucap Jenderal Haryono. Itulah kata-kata terakhirnya kepada sang istri.
Tak lama setelah Mariatni memindahkan anak-anaknya, terdengar bunyi rentetan senjata yang ternyata, menembus tubuh Jenderal MT Haryono yang berusaha kabur menuju pintu. Tubuhnya diseret keluar rumah, dilempar ke dalam truk yang lantas menuju Lubang Buaya.
Diorama yang menggambarkan pembunuhan Mayjen MT. Haryono
Ny. Mariatni segera berusaha menelepon kerabatnya, namun sayangnya kabel telepon rumah sudah diputus oleh gerombolan tersebut. Dia pun berinisiatif menuju rumah kolega suaminya, Mayjen S. Parman dan kemudian ke rumah atasan suaminya, Letjen Ahmad Yani. Ternyata, para Jenderal tersebut bernasib sama dengan suaminya.
(Dari-Berbagai-Sumber-Sejarah/Memobee/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email