Hari ini, 28 Safar bertepatan dengan wafatnya cucu tercinta Rasulullah Saw, Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Setiap tahun umat Islam memperingati hari wafatnya manusia suci ini dan mereka tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Umat Islam tak pernah melupakan jasa dan peran manusia suci ini dalam membela agama kakeknya. Imam Hasan gugur syahid setelah empat puluh tahun dari meninggalnya Rasulullah. Cucu nabi ini syahid di tahun 50 Hijriah.
Di akhir kehidupannya Imam Hasan menggengam tangan saudaranya, Imam Husein as dan berkata, “Di detik-detik terakhir kehidupanku, Aku sedih karena harus berpisah darimu. Namun Aku senang karena segera akan bertemu dengan kakek, ayah dan ibuku Fatimah. Saudaraku! Aku mewasiatkan kepadamu untuk memaafkan keluargaku jika mereka melakukan kesalahan dan menerima mereka yang berbuat baik. Dan Aku berharap kamu menjadi ayah bagi mereka.”
Imam Hasan adalah putra Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fatimah as, putri tercinta Rasulullah. Beliau selama delapan tahun hidup di bawah asuhan kakeknya, Nabi Muhammad Saw. Selama itu, Imam Hasan banyak belajar dari kakeknya tentang hakikat dan rahasia Ilahi. Delapan tahun tumbuh di bawah kasih sayang Rasulullah membuat Imam Hasan menjadi pemuda yang terampil di kemudian hari dan memiliki hati yang lembut. Terkadang Imam Hasan berada di sisi Rasulullah ketika beliau menerima wahyu. Imam Hasan mendengarkan langsung lantunan ayat suci al-Quran langsung dari Rasulullah dan kemudian membacakannya kepada ibunda beliau, Sayidah Fatimah as.
Karakteristik Imam Hasan as disebutkan dalam sebuah riwayat sangat mirip dengan Rasulullah Saw baik dari sisi wajah maupun akhlak. Imam Hasan dikenal memiliki sifat tawadhu dan pemurah. Bahkan beliau menginfakkan hartanya di jalan Allah tiga kali, dan setiap kali, Imam Hasan memberikan separuh hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Imam Hasan juga dikenal sebagai Karim Ahlul Bait. Karim dilekatkan kepada sosok yang sangat pemurah.
Imam Hasan pasca syahidnya Imam Ali as memegang tampuk Imamah. Saat itu masyarakat Islam berada di kondisi sangat sensitif. Kepemimpinan umat Islam adalah isu sangat vital. Imam Hasan setelah gugurnya sang ayah, di sebuah pidatonya menjelaskan kebenaran jalan Rasulullah dan Imam Ali kepada umat Islam. Beliau juga mengingatkan bahwa Ahlul Bait Nabi adalah cahaya penerang hakikat (kebenaran) setelah Nabi Muhammad. Secara transparan Imam Hasan membela posisi Ahlul Bait dan mengungkapkan kesiapannya untuk memegang tanggung jawab berbahaya sebagai pemimpin umat.
Banyak umat Islam yang berbaiat kepada Imam Hasan di kota Kufah dan beliau menerima Imamah di kondisi yang penuh kegelisaan dan tak tenang. Baiat warga kepada Imam Hasan sangat tidak diharapkan oleh Muawaiya yang menjadi gubernur Syam. Oleh karena itu, ia bangkit menentang Imam Hasan. Sementara itu, Imam Hasan meminta Muawiyah untuk tidak bersikap keras kepala dan mengikuti kebenaran. Namun penentangan Muawiyah kepada Imam Hasan akhirnya berujung pada pengiriman pasukan ke Irak untuk memerangi khalifah resmi umat Islam. Di balik militeralisasi ini, Muawiyah juga tak segan-segan menyuap tokoh-tokoh berpengaruh di Kufah.
Bani Umayyah dengan janji yang muluk-muluk berhasil merekrut sejumlah tokoh berpengaruh dan memiliki nama di Kufah serta memisahkannya dari Imam Hasan. Saat itulah, Muawiyah berani mengumumkan perang terhadap Imam Hasan. Imam pun tak tinggal diam dan mengirim pasukan sebanyak 4000 orang untuk melawan pembangkang dan menyeru umat Islam untuk bangkit membela kebenaran. Namun Imam harus menelan kekecewaan besar, karena beliau menyaksikan sikap pengecut, dan menyerah di sejumlah warga, khususnya pada komandan di pasukannya.
Cinta dunia dan mengejar kepentingan pribadi, mendorong pada komandan pasukan Imam Hasan rela mengkhianati pemimpinnya. Di suasana seperti itu, Imam secara teliti mempertimbangkan kondisi dan menyadari bahwa ia berada dalam kondisi sulit dan perang melawan Muawaiyah banyak ruginya ketimbang manfaat. Oleh karena itu, Imam yang sangat mengkhawatirkan masa depan Islam dan nasib umat Islam berpendapat bahwa maslahat yang ada adalah menghindari perang. Dengan demikian Imam Hasan bersedia menerima perjanjian damai dengan Muawiyah.
Di sisi lain, di kondisi sensitif tersebut, perbatasan wilayah Islam mendapat ancaman dari Romawi Timur dan setiap saat imperium ini siap untuk menyerang umat Islam. Pastinya bentrokan dan perang antara umat Islam di kondisi seperti ini akan menguntungkan Romawi. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Imam Hasan setelah menerima perjanjian damai dalam sebuah pidatonya menjelaskan bahwa perang tidak menguntungkan umat Islam dan kemudian beliau membacakan ayat 111 surat Anbiya. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian damai beliau merupakan ujian bagi umat Islam dan menguntungkan beliau.
Abu Said, salah satu sahabat Imam Hasan berkata, “Pasca penandatanganan perjanjian damai, Aku mendatangi Imam Hasan dan Aku berkata, Wahai Anak Rasulullah! Mengapa Anda berdamai dengan Muawiyah, padahal Anda mengetahui Anda adalah pemuka kebenaran? Imam saat memberikan jawaban pertanyaanku mengisyaratkan perjanjian damai Rasulullah dengan musyrik Mekah di Hudaibiyah dan kemudian dengan bersandar pada al-Quran beliau menjaskan kisah Nabi Khidir dan Musa di mana Khidir melubangi kapal dan merusaknya untuk menjaga pemilik serta penumpangnya. Di sisi lain, hikmah tindakan Nabi Khidir tersebut tidak diketahui oleh Nabi Musa. Imam Hasan kemudian bersabda bahwa perdamian dirinya dengan Muawiyah juga memiliki rahasia yang untuk saat ini tidak kalian ketahui dan hasilnya akan terungkap nanti.”
Di riwayat lain, Imam Hasan kepada Abu Said mengatakan, “Jika Aku tidak melakukan hal ini, maka tidak ada satu pun pengikut Ahlul Bait yang akan tersisa di muka bumi dan semuanya akan terbunuh. Di kasus sengketa antara Aku dan Muawiyah, Aku berada di pihak yang benar, namun Aku menyerahkan kepada Muawiyah. Aku melakukan hal ini untuk melindungi nyawa, darah dan harta kalian.”
Setelah perjanjian damai, Imam Hasan kembali ke kota Madinah dan dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan beliau memulai program kerjanya dengan bentuk baru. Mengingat aktivitas penguasa Bani Umayah dilakukan dengan kedok agama, maka kemungkinan penyimpangan dan interpretasi keliru terkait ideologi Islam semakin besar. Oleh karena itu, aktvitas Imam Hasan bertumpu pada upaya menjelaskan prinsip-prinsip Islam secara transparan dan jelas bagi ulama dan masyarakat, sehingga mereka mampu membedakan kebenaran dan kebatilan.
Setelah Imam Hasan kembali ke kota Madinah, para ulama dan ahli hadis berkumpul di majelis Imam Hasan. Mereka adalah sahabat Nabi dan juga sahabat Imam Ali. Di antara mereka ada tokoh terkenal seperti Jabir bin Abdullah Ansari, Habib bin Madhahir, Hujr bin Adi, Zaid bin Arqam, Sulaiman bin Surd Khuzai, Kumail bin Ziyad dan Muslim bin Aqil. Mereka adalah tokoh-tokoh yang datang dari berbagai kota dan setelah mendapat bimbingan dari Imam Hasan, menjadi tokoh terkenal dan benteng kuat yang menghambat pergerakan Bani Umayah.
Aktivitas lain Imam Hasan adalah membela pengikutnya dari represi Bani Umayah. Dalam hal ini, Imam Hasan menjadi tempat berlindung bagi pengikutnya dan dengan penuh keberanian beliau menentang kezaliman antek-antek Muawiyah. Imam Hasan berulang kali mempertanyakan legalitas pemerintahan Bani Umayah dan menyatakan kebenciannya terhadap pesuruh Bani Umayah. Imam Hasan di berbagai kasus bahkan memperingatkan Muawiyah.
Suatu hari Imam Hasan mengingatkan kepada Muawiyah bahwa Khalifah umat Islam adalah mereka yang bertindak sesuai dengan sunnah Rasulullah dan taat kepada perintah Allah. Khalifah bukan sosok yang menyalahi umat dan menghentikan sunnah serta menjadikan dunia sebagai ayah serta ibunya serta menjadikan hamba Allah sebagai budak dan mengklaim harta mereka milik pemerintah. Karena orang seperti ini ibaratnya seorang raja yang menduduki tahta dan hanya menikmatinya untuk waktu singkat serta kemudian ia akan terpisah dari nikmat tersebut.
Imam Hasan melalui metode politik, sosial dan budayanya di kota Madinah berhasil menciptakan gelombang baru pencerahan di tengah umat Islam. Aktivitas Imam Hasan sangat luas dan memiliki pengaruh kuat. Bahkan saat itu, umat Islam mengakui bahwa tindakan Imam Hasan telah mengingatkan pada usaha ayahnya sendiri, Imam Ali bin Abi Thalib. Tentunya kondisi ini sangat menakutkan bagi Bani Umayah. Oleh karena itu, mereka berusaha menghentikan aktivitas Imam Hasan di kota Madinah. Namun segala upaya yang mereka tempuh gagal mencegah Imam Hasan untuk menghentikan aktivitasnya. Akhirnya Bani Umayah memutuskan untuk membunuh cucu Rasulullah ini. Maka akhirnya salah satu penghulu pemuda surga ini gugur di tangan anasir Muawiyah melalui racun, tepatnya di tahun 50 hijriah.
(IRIB-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email