Mendiang Irma Bule
Saya terus terang terlambat terkejut membaca tulisan soal kematian penari dangdut Pantura yang dikenal dengan nama Irma Bule sementara nama aslinya Irmawaty. Kematian memang selalu memberikan pelajaran bagi kita yang hidup. Buat saya kisah Irma Bule sangat kuat dan lengkap: ironi, drama, paradoks dan ada wajah manusia. Layak ditulis di The New Yorker dan menjadi film dunia. Tak heran ratusan wartawan asing meliput kematian Irma.
Bagaimana ular kobra yang dipakai menjadi alat mencari rezeki, justru mematuk tuannya. Dan tuannya sanggup terus menari 45 menit lamanya setelah tersengat racun ular yang seharusnya 5 menit saja sudah membuatnya tumbang karena bisa meremas lunglai otot jantung. Irma mampu terus menari mungkin karena dia ingin menerima honornya sepenuhnya. Dia berhasil menipu waktu sekian menit dan menunjukkan kegigihan akibat situasi kemiskinan.
Kisah kematian penari dangdut Pantura Irma Bule menawarkan drama, ironi, paradoks dan telah mengukur kadar empati kita secara sosial. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya menjadi penonton aksi terakhir Irma Bule. Mengetahui dia tersengat bisa oleh ular yang seharusnya menjadi temannya mengais rezeki.
Lalu membayangkan menjadi penonton yang bergeming; terus menonton. Sementara penari mungkin mempunyai motif lain untuk terus menari: bertahan hidup menyelamatkan kehidupan 3 anaknya dengan cara justru mengorbankan dirinya. Kematian yang tak egois selalu memberi inspirasi dan cerita yang kuat.
Lalu kenapa kematian Irma Bule tak bisa menjadi pelajaran dan renungan besar di media kita sebagaimana kehebohan media kita meliput kisah-kisah orang kaya dan pesta pernikahan artis. Karena mungkin kita adalah penonton Irma dalam aspek yang lain. Penonton yang bergeming. Kehilangan rasa dan empati. Tak lagi terguncang dengan tragedi manusia.
Irma Bule hanya jadi catatan kaki betapa kejamnya hidup kita dan betapa miskinnya solidaritas sosial. Di tengah banyaknya kegandrungan kita pada pemenuhan aspek-aspek permukaan agama, kita justru semakin tidak menjadi manusia.
Labbayyaka ya Rasulullah yang telah mewasiatkan bahwa dia lahir bersama orang miskin, hidup bersama orang miskin dan ingin menutup mata di tengah-tengah orang miskin serta dikuburkan oleh mereka. Mengajarkan kita bahwa kita hanya bisa menghayati agama jika sebelumnya kita menjadi manusia.
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email