“Aku mempunyai sebuah rahasia dengan Dia, yang tidak dapat disampaikan kecuali di atas tiang gantungan”
Oleh: Syekh Fariduddin Attar al Naishaburi
Husain al-Manshur, yang dijuluki al Hallaj (pemangkas bulu domba), mula-mula pergi ke Tustar, dan mengabdi kepada Sahl bin Abdullah selama dua tahun. Setelah itu ia pindah ke Baghdad. Ia memulai pengembaraannya ketika ia berusia delapan belas tahun. Setelah itu ia pergi ke Bashrah dan mengikuti Amr bin Utsman selama delapan belas bulan. Ya’qub bin Aqtha menikahkan putrinya kepada al Hallaj, dan setelah pernikahan itulah Amr bin Utsman tidak senang kepadanya. Maka al Hallaj meninggalkan kota Bashrah dan pergi ke Baghdad mengunjungi Junaid. Junaid menyuruh al Hallaj berdiam diri dan menyendiri. Setelah beberapa lama menjadi murid Junaid ia pergi ke Hijaz. Dia tinggal di Kota Mekkah selama setahun, kemudian kembali ke Baghdad. Bersama sekelompuk sufi, ia mendengarkan ceramah-ceramah Junaid dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak dijawab oleh Junaid.
“Akan tetapi tiba saatnya kelak, engkau akan membasahi sepotong kayu dengan darahmu”, kata Junaid kepada al Hallaj. “Sewaktu aku membasahi sepotong kayu itu engkau akan mengenakan pakaian golongan formalis”, balas al Hallaj.
Kata-kata mereka terbukti kebenarannya. Sewaktu para cerdik pandai yang terkemuka mengambil kesepakatan bahwa al Hallaj harus dihukum, Junaid sedang mengenakan jubah sufi dan karena itu ia tidak mau memberi tanda tangannya. Khalifah menyatakan bahwa mereka perlu mendapatkan tanda tangan Junaid. Maka pergilah Junaid untuk mengenakan sorban dan jubah kaum ilmuwan. Kemudian ia kembali ke madrasah dan menandatangani surat keputusan itu. Junaid menuliskan: “Kami memutuskan sesuai dengan hal-hal yang terlihat. Mengenai kebenaran yang terbenam di dalam kalbu, hanya Allah yang Maha Tahu”.
Ketika Junaid tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan, al Hallaj menjadi jengkel dan pergi menuju Tustar tanpa pamit. Di sini ia tinggal selama setahun dan mendapatkan sambutan luas. Karena al Hallaj kurang acuh terhadap doktrin yang populer pada masa itu, para teolog sangat benci kepadanya. Sementara Amr bin Utsman menyurati orang-orang Khuziatan dan memburuk-burukan nama al Hallaj. Tetapi al Hallaj sendiri sebenarnya sudah bosan di tempat itu. Pakaian sufi dilepaskannya dan ia mencebur ke dalam pergaulan orang-orang yang mementingkan duniawi. Tetapi pergaulan ini tidak mempengaruhi dirinya.
Lima tahun kemudian ia menghilang. Sebagian waktunya dilewatinya di Khurasan dan Transoxiana, dan sebagian lagi di Sistan. Kemudian al Hallaj kembali ke Ahwaz, khotbah-khotbahnya disambut baik oleh kalangan atas maupun rakyat banyak. Di dalam khotbah-khotbahnya itu ia mengajarkan rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai al Hallaj yang mengetahui rahasia-rahasia. Setelah itu ia mengenakan jubah guru sufi yang lusuh dan pergi ke Tanah Suci bersama-sama dengan orang-orang yang berpakaian seperti dia. Ketika ia sampai ke Kota Mekkah, Ya’qub an-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Oleh karena itu al Hallaj kembali ke Bashrah dan setelah itu ke Ahwaz.
“Kini telah tiba saatnya aku harus pergi ke negeri-negeri yang penduduknya ber-Tuhan banyak untuk menyeru mereka ke jalan Allah”, kata al Hallaj. Maka berangkatlah ia ke India, Transoxiana dan Cina untuk menyeru mereka ke jalan Allah dan memberikan pelajaran-pelajaran kepada mereka. Setelah ia meninggalkan negeri-negeri tersebut banyaklah oarng-orang dari sana yang berkirim surat kepadanya. Orang-orang India menyebut al Hallaj sebagai Abul Mughits, orang-orang Cina menyebutnya Abul Mu’in, dan orang-orang Khurasan menyebutnya Abul Muhr, orang-orang Fars menyebutnya Abu ‘Abdullah, dan orang-orang Khuzistan menyebutnya al Hallaj yang Mengetahui Rahasia-rahasia. Di kota Baghdad ia dijuluki sebagai Mustaslim dan di kota Bashrah sebagai Mukhabar.
Spirit al Hallaj
Setelah itu banyak cerita-cerita orang mengenai al Hallaj. Maka berangkatlah ia ke Mekkah dan menetap ia di sana selama dua tahun. Ketika kembali, al Hallaj telah mengalami banyak perubahan dan menyerukan kebenaran dengan kata-kata yang membingungkan siapapun jua. Orang-orang mengatakan bahwa al Hallaj pernah diusir dari lebih lima puluh kota.
Mengenai diri al Hallaj, orang-orang terpecah dua, orang-orang yang menentang dan mendukung al Hallaj sama banyaknya. Dan mereka telah menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh al Hallaj. Tetapi lidah fitnah menyerangnya dan ucapannya-ucapannya disampaikan orang kepada Khalifah. Akhirnya semua pihak sependapat bahwa al Hallaj harus dihukum mati karena menyatakan “Akulah Yang Haq” (Ana al Haq) –termuat dalam Kitab Tawasin karangan al Hallaj.
“Katakan, hanya Dia-lah yang Haq”, mereka berseru kepada al Hallaj.
“Ya, Dia-lah Segalanya”, jawab al Hallaj. “Kalian mengatakan bahwa Dia telah hilang. Sebaliknya, Husain-lah yang telah hilang. Samudera tidak akan hilang atau menysut airnya”.
“Kata-kata yang diucapkan al Hallaj ini mengandung makna-makna esoterik”, kata mereka kepada Junaid.
“Bunuhlah al Hallaj”, jawab Junaid, “Pada zaman ini kita tidak memerlukan makna-makna esoterik”.
Kemudian kelompok teolog yang menentang al Hallaj menyampaikan ucapan-ucapannya yang diputarbalikkan kepada Mu’tashim. Mereka berhasil membuat wazir ‘Ali bin Isa menentang al Hallaj. Khalifah memberikan perintah agar Hallaj dijebloskan ke dalam penjara.
Setahun lamanya al Hallaj mendekam di dalam penjara, tetapi orang tetap mengunjungi dan meminta nasihat sehubungan dengan masalah-masalah yang mereka hadapi. Kemudian dikeluarkanlah larangan untuk mengunjungi al Hallaj di dalam penjara. Selama lima bulan tidak ada yang datang kepadanya kecuali Ibnu Atha dan Ibnu Khafif, masing-masing sekali. Pada suatu kali Ibnu Atha’ menyurati Hallaj: “Guru, mohonkanlah ampunan karena kata-kata yang telah engkau ucapkan, sehingga engkau dapat dibebaskan”. “Katakanlah kepada Ibnu Atha’, jawab al Hallaj, “siapakah yang menyuruhku untuk minta maaf”. Mendengar jawaban ini, Ibnu Atha’ tidak dapat menahan tangisannya. Kemudian ia berkata: “Dibanding dengan al Hallaj kita lebih hina daripada debu”.
Orang-orang mengatakan bahwa pada malam pertama al Hallaj dipenjarakan, para penjaga mendatangi kamar tahanannya, tetapi mereka tidak menemukan dirinya. Seluruh penjara mereka geledah, namun sia-sia saja. Pada malam kedua, betatapun mereka mencari, mereka tidak menemukan Halaj dan kamar tahanannya. Pada malam ketiga barulah mereka dapat menemukan al Hallaj di dalam kamarnya.
Para penjaga bertanya kepada Hallaj. “Di manakah engkau pada malam pertama, dan dimanakah engkau beserta kamar tahananmu pada malam yang kedua? Tetapi kini engkau dan kamar tahananmu telah ada pula di sini, mengapakah bisa demikian?” Pada malam pertama”, kata al Hallaj, “Aku pergi ke Hadirat Allah, oleh karena itu aku tidak ada di tempat ini. Pada malam kedua Allah berada di tempat ini oleh karena itu aku dan kamar tahananku ini mejadi sirna. Pada malam yang ketiga aku disuruh kembali ke tempat ini agar hukum-Nya dapat dilaksanakan. Kini laksanakanlah kewajiban kalian”.
Ketika al Hallaj dijebloskan ke dalam penjara, ada tigaratus orang yang dikurung di tempat itu. Malam itu al Hallaj berkata kepada mereka: “Maukah kalian jika aku membebaskan kalian?” “Mengapa engkau tidak membebaskan dirimu sendiri?”, jawab mereka. “Aku adalah tawanan Allah. Aku adalah penjaga pintu keselamatan”, jawab al Hallaj.“Jika kukehendaki, dengan sebuah gerak isyarat saja semua belenggu yang mengikat kalian dapat kuputuskan”. Kemudian al Hallaj membuat gerakan dengan jarinya dan putuslah semua belenggu mereka. Tawanan-tawanan itu bertanya pula, “Kemanakah kami harus pergi, pintu-pintu penjara masih terkunci”. Kembali al Hallaj membuat sebuah gerakan dan seketika itu juga terlihatlah sebuah celah di tembok penjara. “Sekarang pergilah kalian”, seru al Hallaj. “Apakah sengkau tidak turut beserta kami?”, mereka bertanya. “Tidak”, jawab al Hallaj. “Aku mempunyai sebuah rahasia dengan Dia, yang tidak dapat disampaikan kecuali di atas tiang gantungan”.
Esok harinya para penjaga bertanya kepada al Hallaj. “Kemanakah semua tahanan di sini?” “Aku telah membebaskan mereka”, jawab al Hallaj. “Engkau sendiri, mengapa tidak meninggalkan tempat ini?” Tanya mereka. “Dengan berbuat demikian, Allah akan mencela diriku. Oleh karena itu aku tidak melarikan diri”. Kejadian ini disampaikan kepada Khalifah. Khalifah berseru, “Pasti akan timbul kerusuhan. Bunuhlah al Hallaj atau pukulilah dia dengan kayu sehingga ia menarik ucap-ucapannya kembali”. Tiga ratus kali al Hallaj dipukuli dengan kayu. Setiap kali tubuhnya dipukul terdengar sebuah suara lantang yang berseru: “Janganlah takut wahai putera Manshur”. Kemudian ia digiring ke panggung penghukuman. Dengan menyeret tigabelas rantai yang membelenggu dirinya, al Hallaj berjalan dengan mengacung-acungkan ke dua tangannya. “Mengapa engkau melangkah sedemikian angkuhnya? Mereka bertanya. “Karena aku sedang menuju ke tempat penjagalan”, jawabnya.
Ketika mereka sampai ke panggung penghukuman di Bab at Taq, al Hallaj mencium panggung itu sebelum naik ke atasnya. “Bagaimanakah perasanmu pada saat ini? Mereka menggoda al Hallaj. “Kenaikan bagi manusia-manusia sejati adalah di puncak tiang gantungan”, jawab al Hallaj.
Ketika itu al Hallaj mengenakan sebuah celana dan sebuah mantel. Ia menghadap ke arah kota Mekkah, mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Allah. “Yang diketahui-nya tidak diketahui oleh siapapun juga”, al Hallaj berkata dan naik ke atas. Sekelompok murid-muridnya bertanya: “Apakah yang dapat engkau katakan mengenai kami murid-muridmu ini dan orang-orang yang mengutukmu dan hendak merajammu itu?” “Mereka akan memperoleh dua buah ganjaran tetapi kalian hanya sebuah”, jawab al Hallaj. “Kalian hanya berpihak kepadaku, tetapi mereka terdorong oleh Iman yang teguh kepada Allah Yang Esa untuk mempertahankan kewibawaan hukum-Nya”.
Syibli datang dan berdiri di depan Hallaj. “Bukankah Kami telah melarang engkau?” Kemudian ia bertanya ke al Hallaj “Apakah Sufisme itu?” “Bagian yang terendah dari sufisme adalah hal yang dapat kau saksikan ini”, jawab al Hallaj. “Dan bagian yang lebih tinggi?, Tanya Syibli. “Bagian itu takkan terjangkau olehmu”, jawab al Hallaj.
Kemudian semua penonton mulai melempari al Hallaj dengan batu. Agar sesuai dengan perbuatan orang ramai, Syibli melontarkan sekepal tanah dan al Hallaj mengeluh. “Engkau tidak mengeluh ketika tubuhmu dilempari batu”, orang-orang bertanya kepadanya. “Tetapi mengeluh karena sekepal tanah?” “Karena orang-orang yang merajamku dengan batu tidak menyadari perbuatan mereka. Mereka dapat dimaafkan. Tetapi tanah yang dilemparkan ke tubuhku itu sungguh menyakitkan karena ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukan hal itu”.
Kemudian kedua tangan al Hallaj dipotong tetapi ia tertawa. “Mengapa engkau tertawa?”, orang-orang bertanya kepadanya. “Memotong tangan seseorang yang terbelenggu adalah gampang”, jawab al Hallaj. “Seorang manusia sejati adalah seorang yang memotong tangan yang memindahkan mahkota aspirasi dari atas tahta”. Kemudian kedua kakinya dipotong. Al Hallaj tersenyum. “Dengan kedua kaki ini aku berjalan di atas bumi”, ia berkata. “Aku masih mempunyai dua buah kaki yang lain, dua buah kaki yang pada saat ini sedang berjalan menuju surga. Jika kalian sanggup, putuskanlah kedua kakiku itu!”. Kemudian kedua tangannya yang bunting itu diusapkannya ke mukanya, sehingga muka dan lengannya basah oleh darah. “Mengapa engkau berbuat demikian?” Orang-orang bertanya. Al Hallaj menjawab: Telah banyak darahku yang tertumpah. Aku menyadari tentulah wajahku telah berubah pucat dan kalian akan menyangka bahwa kepucatan itu karena aku takut. Maka kusapukan darah ke wajahku agar tampak segar di mata kalian. Pupur para pahlawan adalah darah mereka sendiri”. “Tetapi mengapakah engkau membasahai lenganmu dengan darah pula?” “Aku bersuci”. “Bersuci untuk sholat apa?” “Jika seseorang hendak sholat sunnat dua roka’at karena cinta kepada Allah”, jawab al Hallaj. “Bersucinya tidak cukup sempurna jika tidak menggunakan darah”.
Kemudian kedua biji matanya dicungkil. Orang ramai gempar. Sebagian menangis dan sebagiannya lagi terus melemparinya dengan batu. Ketika lidahnya hendak dipotong, barulah al Hallaj bermohon: “Bersabarlah sebentar, berilah aku kesempatan untuk mengucapkan sepatah dua patah kata”. Kemudian dengan wajah menengadah ke atas al Hallaj berseru: “Ya Allah, janganlah engkau usir mereka (di akhirat nanti) karena meraka telah menganiaya aku demi engkau juga, dan janganlah Engkau cegah mereka untuk menikmati kebahagian ini. Segala Puji bagi Allah, karena mereka telah memotong kedua kakiku yang sedang berjalan di atas jalan-Mu. Dan apabila mereka memenggal kepalaku, berarti mereka telah mengangkatkan kepalaku ke atas tiang gantungan untuk merenungi keagungan-Mu”.
Kemudian telinga dan hidungnya dipotong. Pada saat itu muncullah seorang wanita tua yang sedang membawa kendi. Melihat keadaan al Hallaj itu, si wanita berseru: “Mampuslah dia. Apakah hak si pencuci bulu domba ini untuk berbicara mengenai Allah?” Kata-kata terakhir yang diucapkan al Hallaj adalah: “Cinta kepada yang Maha Esa adalah melebur ke dalam Yang Esa”. Kemudian disenandungkannya ayat berikut: “Orang-orang yang tidak mempercayai-Nya ingin segera mendapatkan-Nya, tetapi orang yang mempercayai-Nya takut kepada-Nya sedang mereka mengetahui kebenaran-Nya”.
Itulah ucapan yang terakhir. Kemudian mereka memotong lidahnya. Ketika tiba saatnya sholat, barulah mereka memenggal kepala al Hallaj. Ketika dipenggal itu al Hallaj masih tampak tersenyum. Sesaat kemudian ia pun wafat. Orang ramai menjadi gempar. Al Hallaj telah membawa bola takdir ke padang kepasrahan. Dan dari setiap anggota tubuhnya terdengar kata-kata : “Akulah yang Haq”.
Keesokan harinya mereka berkata: “Fitnah itu akan menjadi lebih besar daripada ketika ia masih hidup”. Maka mayat al Hallaj dibakarlah oleh mereka. Dari abu pembakaran mayatnya, terdengar seruan: “Akulah yang Haq”. Bahkan ketika bagian-bagian tubuhnya dipotong, setiap tetets darahnya membentuk perkataan Allah. Mereka menjadi bingung dan membuang abu itu ke sungai Tigris. Ketika abu-abunya mengambang di permukaan air, dari abu-abu itu terdengar ucapan : “Akulah yang Haq”.
Ketika ia masih hidup, Hallaj pernah berkata: “Apabila mereka membuang abu pembakaran mayatku ke sungai Tigris, kota Baghdad akan terancam air bah. Taruhlah jubahku di tepi sungai agar Baghdad tidak binasa”. Seorang hamba, setelah menyaksikan betapa air sungai mulai menggelora, segera mengambil jubah tuannya (jubah al Hallaj) dan menaruh jubah itu di pinggir sungai Tigris. Air sungai mereda kembali dan abu-abu itu tidak bersuara lagi. Kemudian orang-orang mengumpulkan abu-abu nya dan menguburkannya. Dalam akhir Buku Ana al Haqq, al Hallaj telah menulis : “Yang benar tetap Yang benar; Pencipta sebagai Khaliq; dan segala apa yang termasuk diciptakan tetaplah makhluk. Ini akan tetap selalu demikian” (Al-Hallaj, Kebun Ma’rifat : 16).
(Syiatulislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email