Pesan Rahbar

Home » » Asal Usul Peringatan Hari Kebangkitan Nasional

Asal Usul Peringatan Hari Kebangkitan Nasional

Written By Unknown on Thursday 26 May 2016 | 23:13:00

Poster peringatan 40 tahun Hari Kebangkitan Nasional pertama digelar pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan, Yogyakarta.

Republik menghadapi krisis politik yang mengarah ke perpecahan. Boedi Oetomo dipilih secara politik sebagai simbol kebangkitan dan persatuan.

Peringatan 40 tahun Hari Kebangkitan Nasional kali pertama digelar pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan, Yogyakarta. Presiden Sukarno berpidato soal Kebangkitan Nasional. Informasi pidatonya tidak ada yang lengkap, hanya “Inti Pidato Bung Karno” yang disimpulkan para pendengar serta media massa yang hadir dalam peristiwa penting ini.

“Kemungkinan juga Bung Karno bicara tanpa teks,” kata sejarawan Rushdy Hoesein.

Sukarno menyatakan bahwa meskipun kita sudah merdeka, namun bahaya tetap mengancam Republik dari segala penjuru. “Tetapi kita tidak perlu khawatir, akhirnya insya Allah kitalah yang menang, asal kita memenuhi beberapa syarat yang perlu untuk kemenangan itu… yaitu menyusun machtspolitik, yakni kekuatan massa untuk mendukung perjuangan politik; dan menggalang persatuan nasional,” kata Sukarno, sebagaimana dimuat dalam Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan, Kenang-kenangan Ki Hadjar Dewantara.

Menurut sejarawan Hilmar Farid, penentuan Hari Kebangkitan Nasional terkait dengan politik historiografi atau politik penulisan sejarah dari pemerintah, bukan sejarah itu sendiri. Pemerintah memerlukan sebuah organisasi yang mewakili kepentingan nasional karena saat itu terjadi krisis politik internal yang sangat serius, ditambah lagi agresi militer Belanda. Selain itu, ada kebutuhan untuk memberi legitimasi historis pada perjuangan melawan kolonialisme dengan menelusuri asal-usul atau akar perjuangan tersebut.

“Kelompok-kelompok politik dominan pada masa itu semuanya pegang senjata punya tafsirnya sendiri-sendiri kemana arah Republik harus dibawa. Sehingga muncul persoalan yang sangat serius,” kata Hilmar Farid.

Pemerintahan pun berpikir harus mencari unsur pemersatu sehingga orang tidak mencari relnya sendiri-sendiri. Pemilihan Boedi Oetomo sebagai unsur pemersatu harus dipahami secara politik dan simbolik, bukan secara akademik tentang makna dari organisasi itu.

“Boedi Oetomo dipilih karena ia organisasi yang paling moderat, nasionalis, jalan tengah, dan yang paling penting tidak berhasil secara politik,” tegas Hilmar Farid. “Karena kalau berhasil secara politik, orang akan melacak asal usul dirinya kepada organisasi ini; kalau ini tidak bisa."


Republik dalam Bahaya

Pasca proklamasi kemerdekaan, Republik yang masih belia dalam keadaan bahaya. Belanda dengan membonceng Sekutu kembali mendirikan pemerintahannya dan melancarkan agresi militer pertama pada 1947. Banyak wilayah Indonesia didudukinya, termasuk ibukota Jakarta sehingga pemerintahan hijrah ke Yogyakarta. Belanda juga mensponsori pembentukan negara-negara boneka untuk melawan legitimasi negara kesatuan Republik Indonesia.

Dalam keadaan menghadapi kembali kolonialisme Belanda, pemerintah juga dirongrong oleh oposisi yang digalang mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR), gabungan partai dan organisasi sayap kiri: Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan Barisan Tani Indonesia.

Menurut Rushdy, FDR melakukan provokasi di mana-mana dan Amir sendiri menyatakan amat menyesal menandatangani Perjanjian Renville, yang membuatnya jatuh sebagai perdana menteri. Selain itu, FDR menggerakan pemogokan-pemogokan buruh seperti di pabrik karung goni Delangu pada awal Mei 1948. Gerakan ini memancing reaksi dari partai lawan seperti Masyumi, sehingga timbul konflik fisik.

Keadaan ekonomi amat kacau. Jawa Tengah yang padat penduduk kekurangan beras, antara lain akibat blokade Belanda. Ini ditambah kedatangan kaum pengungsi, termasuk pasukan hijrah berjumlah sekira 35.000 yang berdatangan ke daerah Republik –akibat Perjanjian Renville secara de facto wilayah Indonesia hanya sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Uang dicetak tanpa perhitungan sehingga timbul inflasi hebat. Sementara negara-negara federal bermunculan dan mereka secara politik semakin kuat karena didukung Belanda.

“Dalam keadaan Republik yang krusial itu, sebuah simbol baru persatuan sangat dibutuhkan,” tulis sejarawan Taufik Abdullah dalam “May 2008 and One Hundred Years Ago: History, Myth, and Consciousness,” jurnal Masyarakat Indonesia, No. 2, 2008.

Untuk itu, kata Rushdy, Ki Hadjar Dewantara dan Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Sukarno-Hatta dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo agar memperingati peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1948 sebagai hari Kebangkitan Nasional (saat itu istilahnya Kebangunan Nasional) yang ke-40.

Tetapi, menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan, inisiatif itu datang dari Sukarno. “Hari itu (20 Mei 1908) menurut beliau adalah hari yang patut dianggap hari mulia oleh bangsa Indonesia, karena pada hari itu perhimpunan kebangsaan yang pertama, yaitu Boedi Oetomo, didirikan dengan maksud menyatukan rakyat, yang dulu masih terpecah-belah, agara dapat mewujudkan suatu bangsa yang besar dan kuat,” tulis Ki Hadjar.

Sukarno kemudian menugaskan Mr. Asaat, ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk mengadakan pertemuan dengan berbagai perwakilan golongan dan partai. Hasilnya tersusun panitia pusat dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara dengan anggota: Tjugito (tokoh PKI mewakili FDR), A.M. Sangadji (Masyumi), Sabilal Rasjad (Partai Nasional Indonesia), Ny. A. Hilal (Kongres Wanita Indonesia), Tatang Mahmud (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan H. Benyamin (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).

Melihat komposisi kepanitiaan tersebut, menurut Rusdhy, penyelenggara acara Hari Kebangkitan Nasional lebih dimotori masyarakat ketimbang pihak pemerintah. Ini terlihat di mana penyelenggaraan lebih banyak dipimpin oleh pihak KNIP yang ketuanya Mr. Asaat, dan sebagai ketua panitia penyelenggara bukan pejabat pemerintah tapi tokoh masyarakat yaitu Ki Hadjar Dewantara, pimpinan Taman Siswa. Para anggotanya juga bukan menteri atau eselon di bawahnya, tapi tokoh masyarakat dari berbagai kekuatan sosial politik.

Perayaan Hari Kebangkitan Nasional berhasil diselenggarakan dan menghasilkan “Dokumen Kesatuan Nasional,” yang ditandatangani partai-partai politik, serikat buruh dan tani, organisasi pemuda, dan golongan masyarakat baik yang berdasarkan keagamaan, kebudayaan, kerguruan, kewanitaan, perekonomian, kepanduan, persuratkabaran, kesenian dan sebagainya. Dokumen tersebut “menetapkan hari 20 Mei 1908 ini sebagai saat permulaan menggalang kesatuan sikap program dan tindakan."

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: