Pesan Rahbar

Home » » FALSAFAH KEBANGKITAN IMAM HUSEIN A.S

FALSAFAH KEBANGKITAN IMAM HUSEIN A.S

Written By Unknown on Tuesday 10 May 2016 | 12:31:00


Oleh: Muhammad Husein Thabathabai

Prasyahadah

Sejenak menilik kembali keadaan umum masa itu dapat menjelaskan dasar keputusan dan perlawanan Al-Husein, penghulu para syahid, terhadap kekuasaan Muawiyah. Masa-masa paling hitam dan getir yang dijalani keluarga Nabi saww. serta para pengikutnya sepanjang sejarah umat Islam ialah dua puluh tahun pemerintahan anak-anak Umayyah.

Segera setelah merebut khilafah Islam dengan segala cara dan menjadi penguasa negeri-negeri Islam yang luas, Muawiyah mengimpun kekuatan besar guna memperkokoh kekuasaannya dan menumpas habis Ahlul bait Nabi saww.. Penumpasan yang tidak sekadar genocide, tetapi malah diusahakan sampai nama dan citra-citra mereka tidak lagi membekas dalam ruang ingatan dan ruas lidah umat Islam.

Dalam rangka itu, Muawiyah merekrut sekelompok sahabat Nabi saww. yang disegani dan dipercayai oleh kalangan luas kaum muslim dari berbagai penjuru serta diajak bekerja sama; merancang hadis-hadis palsu yang menguntungkan kaum sahabat dan merugikan Ahlul Bait Nabi saww.. Tak pelak lagi, ia pun memerintahkan supaya mimbar-mimbar di seluruh pelosok negeri Islam mencaci maki dan melaknat Ali bin Abi Thalib, layaknya sebuah kewajiban agama.

Melalui pembantu-pembantunya seperti: Ziyad bin Ubay, Samrah bin Jundub, Bisr bin Arthah dan yang lainnya, Muawiyah tak segan-segan mengakhiri hidup para pengikut Ahlul bait Nabi di manapun ia temukan mereka. Demikian itu ia usahakan dengan berbagai cara; mengumbar janji, menyuap, menipu, memaksa, mengancam sejauh yang mungkin ia lakukan.

Sudah barang tentu, masyarakat luas muslim dalam suasana dan lingkungan seburuk itu sampai-sampai benci menyebut nama Ali dan keluarganya. Di pihak lain, orang-orang yang menyimpan kecintaan Ahlul bait dalam nadi dan hati sudi memutuskan segenap hubungan dengannya ketimbang memilih ancaman serius yang mengintai jiwa, harta dan kehormatan diri mereka.

Kenyataan di balik itu semua bisa dibongkar dari poin berikut ini, bahwa imamah (kepemimpinan Ilahi) Al-Husein berlanjut selama kurang lebih sepuluh tahun; kurun waktu yang –selain bebarapa bulan terakhir- semasa dengan kekuasaan Muawiyah. Selama kurun waktu tersebut, ironisnya tidak ada satu hadis pun sekaitan dengan masalah-masalah hukum fiqih Islam yang pernah dinukil dan direferensikan kepada Al-Husein selaku jubir hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam. Maksudnya, kita tidak menemukan satu hadis pun yang pernah diriwayatkan oleh masyarakat dari Al-Husein sebagai bukti kepercayaan mereka kepada beliau, bukan hadis yang diriwayatkan oleh keluarga beliau sendiri, seperti oleh para Imam yang datang setelah beliau.

Hal di atas ini cukup untuk mengingkapkan bahwa pintu-pintu rumah Ahlul bait Nabi saww. pada masa itu sudah disegel, dan kepercayaan masyarakat kepada mereka turun sampai titik nol.

Keadaan mencekik dan tekanan yang terus dipaksakan di dalam lingkungan kaum muslim tidak mengizinkan Al-Husein untuk melanjutkan kebangkitannya melawan Muawiyah. Ketika itu, perlawanan apapun akan menjadi sia-sia, karena:

Pertama, Muawiyah telah mengambil baiat (pengakuan) dari Al-Husein. Adanya baiat ini membuat orang tidak siap bergerak bersama beliau.

Kedua, Muawiyah sendiri meyakinkan dirinya di hadapan umat Islam sebagai salah satu sahabat besar Nabi saww., penulis wahyu dan pembantu kepercayaan tiga Khulafa Rasyidin (Abu Bakar, Umar dan Ustman). Lebih dari sekadar itu, ia mengatasnamakan Khalul mu'minin (paman umat Islam) sebagai sebuah gelar suci untuk dirinya.

Ketiga, dengan trik-triknya yang khas, Muawiyah amat bisa membunuh Al-Husein lewat tangan orang-orangnya, untuk kemudian tampil bersih sebagai penuntut darah beliau dan mengadakan majlis-majlis duka cita untuk beliau.

Pada masa hidup Al-Hasan, Muawiyah sedemikian rupa memperlakukan kehidupan sang saudara ini, sehingga tidak lagi menyisakan sedikitpun keamanan di dalam kediaman pribadinya. Pada akhirnya, tatkala Muawiyah meminta umat Islam untuk membaiat anaknya Yazid, ia pun meracuni Imam Hasan lewat tangan istri beliau dan meninggal sebagai syahid.

Al-Husein sendiri, yang bangkit melawan Yazid segera setelah kematian Muawiyah dan mengorbankan diri serta mereka yang menyertainya, termasuk bayinya yang masih merah, tidak mampu melakukan pengorbanan tersebut pada usia imamah-nya terhadap Muawiyah. Sebab, perlawanan dan kesyahidan tidaklah berarti apa-apa di hadapan kelicikan dan muslihat yang memperlihatkan kebenaran memihak Muawiyah, belum lagi baiat yang telah didapatkannya.

Inilah kilasan kondisi pahit yang dipaksakan Muawiyah atas masyarakat muslim. Ia mengunci mati pintu kediaman Rasulullah saww. serta melucuti Ahlul bait dari segala busana pengaruh, kesan dan citra.


Kematian Muawiyah dan Kekuasaan Yazid

Tusukan terakhir yang dilesakkan Muawiyah ke tubuh Islam dan muslimin ialah menjungkirbalikkan khilafah Islam menjadi kekuasaan dinasti yang diktator dan mengangkat sang putra mahkota, Yazid, sebagai penggantinya. Padahal, Yazid sama sekali bukanlah anak yang memiliki kepribadian dan karakter agamis, atau pun berusaha menunjukkannya dengan berlaga suci atau pura-pura sekalipun. Umurnya dihabiskan dengan hiburan tembang, musik, minum arak, permainan atraktif kera, tanpa lagi menghormati hukum-hukum agama.

Lebih dari itu, Yazid tidak percaya pada agama dan ajarannya. Hal ini tampak tatkala sejumlah tawanan dari keluarga Nabi saww. dan sederetan kepala para syahid yang dipenggang di padang Karbala diarak memasuki kota Damaskus, ia muncul untuk menonton arak-arakan prajuritnya. Pada saat itu, terdengar olehnya gaok parau burung gagak, segera ia berkata:

Gagak itu tlah menggaok

Ku jawab, biar kau katakan sesuatu atau tidak

Kini ku tlah mengambil penuh

Tuntutanku atas sang Rasul[2]


Ketika semua tawanan dari keluarga Nabi dan kepala para syahid dihadapkan pada Yazid, ia melantunkan bait-bait syair yang di antaranya:

Tlah bermain (Bani) Hasyim dengan kekuasaan

Meski tidak ada berita yang datang

Pun wahyu yang turun


Pemerintahan Yazid sebagai kepanjangan politik Muawiyah telah berhasil memperlakukan Islam dan muslimin, di antaranya menegaskan perihal hubungan Ahlul bait Nabi saww. dengan umat Islam dan dengan para pengikutnya yang diusahakannya supaya hilang bersih dari ingatan.

Dalam kondisi demikian ini, sebuah cara dan langkah yang paling dapat memastikan terkuburnya Ahlul bait dan runtuhnya asas kebenaran ialah bahwa Sayidul syuhada Al-Husein menyatakan baiatnya kepada Yazid dan mengakuinya sebagai khalifah Rasulullah saww. yang berdaulat dan harus ditaati.


Imam Al-Husein terhadap Baiat Yazid

Bersandar pada khalifah sejati sebelumnya, Al-Husein tidak siap membaiat Yazid; baiat yang berakibat fatal yang akan menginjak-injak agama dan ajaran sucinya. Baginya, tidak ada lagi taklif (kewajiban agama) selain menolak baiat. Sikap inilah yang hanya direstui oleh Tuhan.

Dari sisi lain, sikap penolakan Al-Husein tersebut malah meninggalkan resiko yang menyakitkan. Sebab, kekuatan besar yang begitu tangguh untuk dilawan saat itu mengerahkan segenap wujudnya dalam meminta baiat (yakni, merebut baiat atau kepala), dan tidak akan puas selain mendapatkan baiat. Oleh karena itu, kematian Al-Husein di balik penolakan baiatnya kepada penguasa adalah kepastian yang tidak bisa ditawar.

Al-Husein as. dengan mempertimbangkan kemaslahatan Islam dan muslimin mengambil keputusan tegas untuk tidak memberikan baiatnya dan siap dibunuh. Begitu mantapnya beliau memilih mati ketimbang hidup.

Keputusan dan pilihan ini beliau ambil sesuai dengan kewajiban Tuhan atasnya untuk menolak baiat dan memilih mati. Pada titik inilah kita memahami isyarat yang terkandung dalam sejumlah riwayat; tatkala Rasulullah dalam berkata kepada sang cucu Al-Husein dalam mimpinya: "Sesungguhnya Allah ingin melihatmu terbunuh". Atau, dalam jawaban beliau kepada mereka yang menahan keputusan bangkitnya: "Bahwasanya Allah ingin melihatku terbunuh".

Bagaimanapun, maksud keinginan Allah ini yaitu kehendak tinta (tasyri'i), bukan kehendak cipta (takwini), karena kehendak cipta allah –sebagaimana yang sudah dijelaskan pada tempatnya- tidak berpengaruh dalam kehendak dan tindakan.


Memilih Kematian di atas Kehidupan

Memang, Sayyidus-Syuhada Al-Husein telah mengambil keputusannya menolak berbaiat kepada Yazid dan resiko kematiannya. Ia mengutamakan kematian daripada kehidupan dunia. Rangkaian kejadian yang menyusul setelahnya membuktikan tepatnya keputusan beliau tersebut. Karena, kesyahidannya yang berlangsung dalam keadaan yang menggetirkan rasa dan dengan cara yang begitu keji menandaskan ketertindasan dan keberpihakan Ahlul bait Nabi saww.. pada kebenaran. Dan, sepanjang dua belas tahun pascakesyahidannya, berbagai kebangkitan dan perlawanan yang dihadapi penumpasan berdarah datang beruntun, silih berganti.

Sampai akhirnya, rumah itulah -yang tidak ada orang mengetuk pintunya semasa hidup Al-Husein- menjadi relatif tenang pada masa Imam Muhammad Baqir as, dan mulai kembali dihampiri banjir para pengikut dan pecinta dari berbagai pelosok. Sejak saat itu, jumlah pengikut Ahlul bait dari hari ke hari terus membesar, menebarkan kebenaran dan kegemilangan mereka di banyak negeri. Semua itu berawal dari kebenaran sekaligus kemadzluman Ahlul bait yang dipelopori oleh Imam Al-Husein as.

Kini, memperbandingkan kondisi Ahlul bait Nabi saww. dan kadar kepercayaan kepada mereka pada masa hidup Al-Husein dengan kondisi pascakesyahidannya sepanjang empat belas abad yang terus segar dan mengakar dalam dari tahun ke tahun, menyingkapkan kebenaran dan ketepatan putusan beliau. Adalah sebuah bait syair yang beliau rangkai –menurut sebagian riwayat- mengisyaratkan hal tersebut:

Penyelesaian kami bukanlah kekerdilan

Melainkan cita-cita kami

Dan keunggulan umat setelah kami

Atas dasar ini pula Muawiyah mewanti-wanti sang anak bahwa jika Husein bin Ali menolak baiat, maka biarkan dia dan jangan sampai membuatnya terusik. Muawiyah mewasiatkan amanat ini kepada Yazid bukan karena berbaik hati dan cinta pada Al-Husein, tetapi karena ia tahu benar bahwa Husein bukanlah orang yang bisa dinegosiasi untuk berbaiat, dan ia tahu persis bahwa sekiranya Yazid membunuhnya, sama artinya ia sendiri telah mengangkat Ahlul bait sebagai pihak yang madzlum. Hal inilah yang membahayakan dan mengancam dinasti Umayyah, pada saat yang sama membuka jalan sosialisasi dan kemajuan yang paling efektif untuk Ahlul bait Nabi saww.


Berbagai Isyarat Imam Al-Husein pada Kewajibannya

Al-Husein tahu dan yakin pada kewajiban Tuhannya supaya menolak baiat. Beliau menyadari -lebih daripada masyarakat yang ada- akan kekuatan besar dan tangguh Bani Umayyah serta watak Yazid. Beliau juga tahu benar bahwa konsekuensi penolakannya ialah kematian, dan mengemban tugas Ilahi ini akan berakhir pada kesyahidannya. Kesadaran yang dalam ini beliau nyatakan dalam berbagai kesempatan dan ungkapan.

Dalam pertemuannya dengan gubernur Madinah yang memintanya untuk berbaiat, Imam Al-Husein mengatakan: "Orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid".

Ketika pada malam hari keluar dari Madinah, ia menyampaikan hadis yang diterimanya dari datuknya Rasulullah saww. dalam mimpinya: "Sesungguhnya Allah menghendaki (yakni, dalam rangka taklif) bahwa aku akan dibunuh". Pernyataan yang sama beliau sampaikan dalam khutbahnya saat bergerak dari Mekah untuk menjawab keinginan orang-orang agar beliau mengurungkan niat menuju Irak.

Salah satu pemuka Arab yang meminta keras Imam Al-Husein agar membatalkan perjalanannya menuju Kufah (Irak), berusaha memperingatkan resiko kematian padanya. Beliau menjawab: "Resiko ini bukan tidak jelas bagiku, hanya saja mereka tidak akan membiarkanku, ke manapun aku pergi dan di manapun aku berada, mereka akan membunuhku".

Selain itu, ada sebagian riwayat yang kendati bertentangan dengan lainnya, atau lemah (dha'if) sanadnya, dengan merujuk kepada kondisi saat itu dan analisis kasus-kasus tersebut, malah menguatkan isyarat-isyarat Al-Husein di atas.


Strategi Al-Husein Sepanjang Perlawanan

Tentunya, apa yang kami katakan bahwa tujuan kebangkitan Al-Husein ialah kesyahidan dan Tuhan menuntut kesyahidannya, tidak berarti bahwa Tuhan menghendaki agar beliau menolak baiat pada Yazid, lalu beliau bergegas memberitahu orang-orang Yazid supaya datang membunuhnya, sehingga dengan cara yang lucu ini beliau menyelesaikan tugas Ilahinya sembari menyebut cara itu sebagai perjuangan.

Sesungguhnya tugas Al-Husein ialah bangkit melawan kekuasaan busuk Yazid, menolak baiat kepadanya. Penolakan tegas ini, yang berakhir dengan kesyahidannya, harus dituntaskannya sesempurna mungkin melalui cara yang mungkin ia tempuh.

Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana strategi dan taktik Al-Husein sepanjang perlawanannya begitu luwes menurut perkembangan kondisi. Sejak awal pergerakannya yang ditekan oleh gubernur Madinah, Al-Husein bergerak dari kota itu pada malam hari menuju Mekah; kota kehormatan Allah dan keamanan agama. Di sanalah beliau berlindung selama beberapa bulan. Selama itu pula beliau diawasi agen rahasia penguasa, sampai saatnya diputuskan pembunuhannya oleh sekelompok utusan di musim haji, atau penangkapannya untuk segera diserahkan ke pusat kekuasaan, Syam (Syiria).

Pada saat yang bersamaan, banjir surat terus mengalir deras dari masyarakat luas Irak untuk beliau. Lewat ratusan dan ribuan surat itu mereka mengundang beliau untuk datang ke sana sambil menyatakan jaminan dan ikrar setia membelanya. Al-Husein pun mengambil keputusan tegas untuk memulai perlawanan bersenjata tatkala surat terakhir dari penduduk Kufah (Irak) yang melengkapi kebulatan tekad mereka sampai ke tangan beliau.

Sebagai upaya menyempurnakan hujjah atas mereka, pertama-tama Al-Husein mengutus Muslim bin Aqil selaku delegasinya ke kota itu. Selang beberapa waktu, beliau menerima surat dari Muslim yang menerangkan bahwa kondisi kota dan masyarakat di sana mendukung rencana beliau.

Dengan menimbang dua faktor tersebut, yakni masuknya orang-orang penguasa Syam secara rahasia dalam rangka membunuh atau menangkap beliau dan kehormatan Rumah Allah serta kesiapan penduduk Kufah untuk menyertai perlawanan, Al-Husein bergerak menuju kota itu. Di tengah perjalanan, beliau menerima berita terbunuhnya Muslim dan Hani secara kejam. Lalu, beliau pun mengubah taktik perlawanan dan perang agresifnya menjadi perlawanan defensif, dan segera melakukan penyeleksian atas jemaah yang melingkunginya. Hanya orang-orang yang setia bertahan bersama sayidus-syuhada, sang penghulu para syahid, hingga darah penghabisan untuk kemudian menjumpai kesyahidan mereka.

Referensi:
[1] Dari jurnal Parsi Hukumat Islami,
[2] Dinukil oleh al-Alusi dalam tafsirnya, Ruhul Ma'ani, jild 26/66, dari Tarikh ibnul Wardi dan Kitabul Wafi bil Wafiyyat.

(Syiah-Menjawab/Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: