Mufti Besar Palestina, Muhammad Amin Al-Husaini dan Muhammad Ali Taher, pemimpin Palestina (sebelah kirinya) bersama-sama Pimpinan Panitia Pusat setelah beliau dapat lolos ke Kairo dari penangkapan Sekutu di Eropa dan dapat perlindungan dari Raja Faruk.
Setiap tanggal 17 Agustus Bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan Bangsa. Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI secara de facto pada 17 Agustus 1945. tetapi perlu diingat bahwa untuk berdiri (de jure) sebagai negara yang berdaulat, Indonesia membutuhkan pengakuan dari bangsa-bangsa lain.
Apalah arti proklamasi kemerdekaan suatu negara tanpa pengakuan dari negara lain. Hal itu hanya akan dianggap sebagai suatu pemberontakan dan masalah dalam negeri suatu negara.
Lalu negara manakah yang di awal proklamasi kemerdekaan Indonesia itu yang mengakuinya? Pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai negara, pertama kali bukan datang dari negara-negara Barat, apalagi Amerika Serikat yang sering mengklaim dirinya sebagai promotor kebebasan dan jaminan hak asasi manusia.
Ternyata gong dukungan untuk kemerdekaan Indonesia ini dimulai dari Palestina dan Mesir, seperti dikutip dari buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia , M. Zein Hassan Lc.
Ketika Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI di Jakarta pada 17 Agustus 1945. Dunia belum mengakuinya. H. Agus Salim pun menggalang dukungan ke Negara-negara di Timur Tengah. Namun, saat itu belum juga mendapat dukungan yang signifikan. Di tengah perjuangan diplomatis melalui pencarian dukungan, Palestina tampil sebagai Negara pertama kali yang mengakuinya.
Zein Hassan Lc. Lt. sebagai pelaku sejarah, menyatakan dalam bukunya pada hal. 40, menjelaskan tentang peran serta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap.
Dukungan Palestina ini diwakili oleh mufti besar Palestina, Muhammad Amin Al-Husaini yang secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia pada 6 September 1944. Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia.
“Sebagai contoh, pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut, kami sebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan,” tulis M. Zein Hassan Lc. Lt
Syekh Muhammad Amin Al-Husaini pun mendesak agar Negara-negara Timur Tengah mengakui kemerdekaan Indonesia sehingga berhasil meyakinkan Mesir dan kemudian diikuti oleh Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, Arab Saudi, dan Afghanistan.
Berita tersebut disiarkan melalui radio dua hari berturut-turut, disebar-luaskan, bahkan harian Al-Ahram yang terkenal telitinya juga menyiarkan. Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia” dan memberi dukungan penuh.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI.
Muhammad Amin Al-Husaini adalah seorang ulama yang kharismatik, mujahid, mufti besar Palestina begitu kuat mendukung kemerdekaan Indonesia, walaupun pada saat itu beliau sedang berjuang melawan imperialis Inggris dan Zionis yang ingin menguasai kota Al-Quds, Palestina.
Seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher. Beliau adalah seorang saudagar kaya Palestina yang spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata.
“Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia!” M. Ali Taher (Pemimpin Palestina).Suatu hari Muhammad Ali Taher menarik M. Zein Hassan ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (wadah perjuangan diplomasi revolusi kemerdekaan Indonesia di luar negeri) ke Bank Arabia, mengeluarkan semua uangnya yang tersimpan di bank itu dan kemudian memberikannya kepada ketua Panitia Pusat tanpa meminta tanda bukti penerimaan. (Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar negeri, hal 247).
Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya 10 November 1945 yang menewaskan ribuan penduduk Surabaya, demonstrasi anti Belanda-Inggris merebak di Timur Tengah, khususnya Mesir. Shalat ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu.
Pengakuan Mesir atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada Senin, 9 Juni 1947. Kelihatan H Agus Salim, ketua delegasi RI dan Pangeran Faisal, Menlu Arab Saudi (tengah) bercakap-cakap, sedang M Amin Al-Husaini, Mufti Besar palestina menunggu gilirannya.
Yang mencolok dari gerakan massa internasional adalah ketika momentum Pasca Agresi Militer Belanda ke-1, 21 juli 1947, pada 9 Agustus. Saat kapal Volendam milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said. Ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir berkumpul di pelabuhan itu. Yang mencengangkan, mereka menggunakan puluhan kapal boat dengan bendera merah putih yang berkeliaran di pesisir Port Said guna mengejar, menghalau dan melakukan blokade terhadap kapal-kapal perusahaan asing yang ingin menyuplai air & makanan untuk kapal Volendam milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez, hingga kembali ke pelabuhan.
Bukti cinta mereka pada bangsa Indonesia didokumentasikan oleh wartawan Al-Balagh pada 10 Agustus 1947 yang melaporkan, “Kapal-kapal boat yang dipenuhi warga Mesir itu mengejar kapal-kapal besar dan sebagian mereka dapat naik ke atas deknya. Mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokkan kapal-kapal besar itu ke jurusan lain.”
Sayangnya, peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat dinegeri ini. Sehingga tidak mengherankan ada suara yang sumir, minor, bahkan sinis ketika ada anak negeri ini membantu perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka, membebaskan tanah airnya dan masjid Al-Aqsha dari belenggu penjajah Zionis Israel sebagaimana yag diamanatkan konstitusi kita.
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email