Sumanto al Qurtuby
Kelompok “Islam ekstrim” ketika melakukan aksi-aksi kekerasan adalah demi membela agama (Islam) atau demi membela Kitab Suci (Al-Qur’an). Dan yang lebih “fenomenal” lagi, demi membela Tuhan (Allah SWT).
Kekerasan baik kekerasan fisik, kultural, maupun simbolik yang mereka lakukan jika diamati tindakan, perilaku dan gerak-gerik mereka, akan semakin terlihat bahwa sesungguhnya apa yang mereka lakukan itu sebetulnya bukan demi agama, Kitab Suci, apalagi Tuhan.
Sumanto al Qurtuby, Senior Research Scholar di Middle East Institute, National University of Singapore, dan Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi dalam tulisannya di Deutsche Welle, Senin, 8 Agustus 2016 mengatakan, aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan itu sering kali, jika bukan selalu, untuk membela tafsir (tentang) agama bukan agama itu sendiri, untuk membela tafsir (tentang) Kitab Suci bukan Kitab Suci itu sendiri, serta untuk mempertahankan tafsir (tentang) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.
“Tidak sebatas itu, bahkan sering kali kekerasan komunal antarpemeluk agama atau kekerasan atas pemeluk agama tertentu dipicu oleh faktor-faktor yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan ajaran, doktrin, dan norma-norma keagamaan,” tulis Sumanto.
Kekerasan juga sering kali demi menuruti hawa nafsu dan egoisme kelompok tertentu umat beragama, tidak ada korelasinya dengan ajaran-ajaran fundamental agama. Teks-teks keagamaan hanya dicatut atau dipakai sebagai pembenar seolah-olah tindakan beringas dan konyol yang mereka lakukan itu mendapat “mandat” atau restu dari Tuhan.
Terkait dengan tudingan sesat umat agama atau pemeluk sekte keislaman tertentu yang juga sering dijadikan sebagai argumen oleh sejumlah kelompok “Islam ekstrim” untuk melakukan aneka tindakan kekerasan, lagi-lagi, atas nama (membela kemurnian) agama, Kitab Suci, dan Tuhan.
“Padahal, label sesat, kafir, bid’ah dan semacamnya adalah jelas hanyalah sebuah tafsir atas teks, ajaran, diskursus, dan sejarah keagamaan yang bersifat terbatas, relatif-subyektif dan bahkan politis,” terangya.
Menurut Sumanto sebuah kelompok atau sekte yang dianggap sesat oleh kelompok lain di suatu kawasan ternyata tidak dianggap sesat di kawasan lainnya, sebagaimana kelompok Syiah dan Ahmadiyah misalnya yang sering dikafir-sesatkan oleh sejumlah kelompok Islam ternyata banyak daerah dan negara di dunia ini yang sangat “welcome” dengan mereka.
“Di Wonosobo (begitu pula di daerah-daerah lain di Jawa Tengah seperti Semarang, Jepara dan sebagainya) umat Syiah dan Ahmadiyah hidup adem-ayem dengan umat lain. Di Qatar dan Oman, warga Syiah juga hidup dengan aman dan nyaman berdampingan dengan pemeluk Sunni dan Ibadi sebagai kelompok mayoritas di kedua negara di kawasan Arab Teluk ini. Begitu pula di berbagai kawasan Islam di China dan Asia Tengah, lebih-lebih di negara-negara Barat, umat Islam hampir-hampir tidak mempersoalkan sama sekali “status teologis” atau “legalitas keislaman” Syiah, Ahmadiyah dan sekte-sekte keislaman lain,” terang Sumanto.
Label “kafir-sesat” itu juga sangat politis. Sering kali agama hanya dijadikan sebagai “stempel sakral” kepentingan politik-kekuasaan. Perseteruan Sunni-Syiah juga lebih didorong oleh motivasi politik ketimbang masalah teologi-keagamaan.
Menurutnya, apa yang sering diklaim oleh (sebagian) umat Islam sebagai “nilai-nilai agama” yang dinilai suci dan religius dan dibela mati-matian bahkan sampai rela melakukan kekerasan dan beragam kejahatan kemanusiaan itu pada dasarnya adalah sebuah “nilai-nilai budaya” yang bersifat sekuler dan profan.
Pasalnya semua itu merupakan hasil interpretasi dan rekonstruksi pemikiran elit individu (seperti ulama dan fuqaha atau ahli Hukum Islam) serta produk sejarah pengalaman kemanusiaan dan kemasyarakatan kaum Muslim saat bersinggungan dengan fakta-fakta sosial-politik-kebudayaan sekitar.
“Karena itu, sekali lagi, bukan agama melainkan tafsir agama yang sering kali menjadi sumber pemicu dan peletup beragam kekerasan dan tindakan intoleransi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok agama radikal-konservatif di masyarakat,” tutupnya
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email