Kalau memang benar bahwa pada masa Nabi saw ada dua arus politik yang bertentangan dari kalangan Muhajirin dalam memperebutkan khilafah dan kepemimpinan setelah beliau, maka harus diterima pula bahwa sejak dulu hubungan antara Ali as dengan dua sahabat besar pertama dan kedua tidaklah harmonis. Di dalam data-data sejarah, tidak ada yang merekam pertikaian antara mereka saat itu.
Namun juga tidak ada data sejarah yang menceritakan persahabatan mereka. Tapi, 'Aisyah sendiri mengakui bahwa sikap sentimen dan permusuhan dirinya terhadap Ali as sudah berkobar sejak masa Rasulullah saw hidup. Dan ini menjadi saksi atas pertentangan antara keluarga Ali dan keluarga Abu Bakar.
Diriwayatkan juga dalam sejarah, ketika Fatimah as meninggal dunia, semua istri Nabi saw turut serta dalam belasungkawa dan duka cita Bani Hasyim. Akan tetapi, Aisyah berpura-pura sakit dan tidak datang ke sana. Bahkan, lebih tragis lagi, dinukil juga oleh sejarah seakan-akan Aisyah juga menampakkan rasa gembiranya atas kematian Fatimah as.[1]
Apapun yang terjadi pada waktu itu, yang jelas, setelah Abu Bakar menduduki tampuk kekhilafahan, Imam Ali as segera bersikeras untuk memperjuangkan hak dan kebenarannya untuk menjadi khalifah Rasulullah saw secara langsung, dan hal inilah yang menjadi faktor timbulnya polemik antara mereka.
Serangan terhadap rumah beliau as, amarah Fatimah as terhadap dua sahabat dan juga larangan beliau terhadap mereka untuk menghadiri jenazah sucinya, [2] semua itu memperuncing perselisihan di atas. Setelah semua kejadian tersebut, Ali as menyendiri dan melanjutkan kehidupan pribadinya. Selain bai'at, pemerintah saat itu sangat menghendaki Ali as untuk tidak menyuarakan hak dan kebenarannya atas khilafah Nabi saw.
Di samping itu pula, pemerintah juga menghendakinya untuk menghunus pedang dan berperang untuk memperkuat tonggak kekuasaan mereka melawan musuh dan orang-orang yang murtad. Beliau as menolak permintaan itu. Dan melihat sikap seperti ini, sekilas tampak wajar pemerintah harus melecehkan dan merendahkan beliau di mata umum. Dan politik ini juga yang menambah keterasingan beliau as di tengah masyarakatnya.
Ali as berkata di dalam laknatnya terhadap Quraisy, "Ya Allah! Aku meminta pertolonganmu terhadap orang-orang Quraisy dan siapapun yang mendukung mereka. Sesungguhnya mereka telah memutus rahimku, mengerdilkan kedudukanku yang agung, dan bersepakat untuk memerangiku lantaran satu hal yang merupakan hak dan milikku." [3]
Beliau melanjutkan, "Kumenangis dan kulihat tak seorang pun yang menolong dan membelaku kecuali orang-orang khususku, yang mana aku tercegah untuk membawa mereka sampai titik kematian "."[4]
Ucapan beliau menunjukkan politik para khalifah saat itu dalam melecehkan jati diri beliau. Beliau berkata mengenai Dewan Syura di dalam ceramah asy-Syiqsyiqiyah-nya, "Karena hidupnya (Umar) tengah berakhir, maka dia mencalonkan sekelompok orang untuk khilafah setelahnya, dan aku diletakkan di antara mereka. Ya Allah, Syura macam apakah ini? Apa kekuranganku dibanding yang pertama (Abu Bakar) sehingga aku tidak dianggap ”minimalnya” sepadan dengan dia sehingga aku diposisikan sepadan dengan mereka (anggota Syura)?" [5]
Diposisikannya Amirul Mukminin as di tengah orang-orang seperti Thalhah, Zubair dan Utsman betul-betul dekonstruktif (menghancurkan). Tidak cukup di situ, melainkan mereka, anggota Syura, sendiri melecehkan beliau dari dalam. Lebih aneh lagi, di saat Umar memilih enam orang anggota Syura, dia menyandangkan kriteria tertentu pada masing-masing. Salah satunya, dia menuduhkan karakter yang sangat menghina dan tidak beralasan kepada Imam Ali. Umar menuduh beliau dengan ucapannya, "Ali adalah orang yang humoris (hobi bercanda)." [6]
Tuduhan Umar ini menjadi landasan kata-kata Muawiyah[7] dan Amr Bin 'Ash di kemudian hari, yaitu, "Ali suka main-main"[8].
Dan Amirul Mukminin as dengan tegas menepis tuduhan Amr Bin Ash tersebut yang berarti menepis tuduhan Umar Bin Khattab. [9]
Kehidupan terpencil Amirul Mukminin as di sudut kota Madinah berakibat beliau tidak dikenal untuk selanjutnya. Roda zaman bergulir dengan cepat sementara beliau sendiri di Madinah, hanya ditemani oleh muka-muka lama para sahabat. Adapun di Irak dan Syam, tak seorang pun yang mengenali beliau. Hanya sebagian kabilah Yaman, yang pernah melihat beliau semasa beberapa bulan missi ke Yaman, yang kenal. Jundab bin Abdillah bercerita, "Setelah berbaiat kepada Utsman, aku pergi ke Irak dan kuriwayatkan keistimewaan Ali as kepada masyarakat setempat. Jawaban terbaik yang kuterima dari mereka adalah singkirkan saja kata-kata seperti ini dan pikirkanlah sesuatu yang lebih bermanfaat untuk dirimu. Kujelaskan kepada mereka bahwa kata-kataku ini sungguh bermanfaat bagiku dan bagi kalian semua. Namun mereka bangkit dan pergi meninggalkanku." [10]
Ketika membawakan analisa Muhammad bin Sulaiman, Ibn Abil Hadid menegaskan bahwa salah satu faktor perpecahan pada masa pemeritahan Utsman adalah pembentukan Dewan Syura oleh Umar, karena masing-masing anggota Syura menjadi sangat haus pada khilafah. Thalhah adalah orang yang betul-betul menantikan khilafah. Zubair pun membelanya sekaligus memperkenalkan dirinya sebagai orang yang juga layak menduduki pemerintahan. Harapan mereka terhadap khilafah jauh lebih besar daripada harapan Ali as terhadapnya. Karena dua sahabat sebelum mereka itu selalu menjatuhkan martabat dan melecehkan kehormatan beliau di depan masyarakat umum, oleh karenanya, beliau di tengah masyarakatnya sendiri telah terlupakan.
Mayoritas sahabat yang mengetahui keutamaan Ali as sejak zaman Nabi saw telah meninggal dunia, dan telah lahir generasi baru yang mengenalnya seperti orang baru mengenal Islam. Yang tersisa dari kebanggaan beliau saat itu hanyalah Ali sebagai misan Rasulullah, suami putri tercinta dan ayah dari cucu-cucu Nabi saw. Adapun keistimewaan beliau yang lain telah terkubur. Ditambah lagi dengan permusuhan Quraisy terhadap beliau dimana mereka tidak pernah membenci seseorang seperti itu. Di sisi lain, Quraisy begitu menyenangi Thalhah dan Zubair, karena tidak alasan bagi mereka untuk dengki terhadap kedua orang itu. [11]
Setelah menjelaskan penantian massa di tengah pertempuran Siffin atas kehadiran Ammar bin Yasir di medan perang sebagai tolok ukur kebenaran salah satu dari dua belah pihak yang bertikai, Ibn Abil Hadid mengatakan, "Betul-betul aneh masyarakat ini! Bagaimana mungkin mereka menjadikan Ammar sebagai tolok ukur kebenaran dan kebatilan, sementara Ali as tidak diterima sebagai tolok ukurkeduanya? Padahal beliau adalah orang yang Rasulullah saw pernah bersabda di dalam hadis Wilayah, 'Tidak ada seorang pun yang mencintaimu kecuali dia adalah orang yang mukmin dan tidak satu orang pun yang membencimu kecuali dia adalah orang yang munafik.' Hal itu dikarenakan sejak awal, semua orang Quraisy berupaya keras menutupi keutamaan Ali as, menghapuskan memori tentang beliau, menghanguskan semua keistimewaan beliau, dan menggeser kedudukan beliau yang agung dari hati setiap orang." [12]
Ibn Abil Hadid juga membawakan analisa yang cukup menarik tentang mengapa Quraisy sangat membenci Amirul Mukminin as. [13]
Ada seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin as, "Menurutmu, seandainya Rasulullah saw mempunyai putra yang besar dan dewasa, apakah masyarakat Arab akan menyerahkan pemerintahan kepadanya?" Beliau menjawab, "Jika dia bertindak selain apa yang kulakukan, niscaya mereka akan membunuhnya. Masyarakat Arab membenci kerja Nabi Muhammad saw dan iri terhadap kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada beliau ".
Semenjak beliau masih hidup, mereka telah berencana untuk mengambil alih pekerjaan (pemerintahan) setelah wafatnya dan merebutnya dari tangan Ahlulbait as. Kalau bukan karena menjadikan nama beliau sebagai perantara kekuasaan dan tangga perkembangan, sesaat pun setelah beliau wafat, Quraisy tidak akan menyembah Allah SWT dan akan menjadi orang-orang yang murtad …. Tak lama kemudian, mulailah kemenangan dan penaklukan negara-negara luar mereka peroleh. Mereka merasa kenyang setelah lama kelaparan dan merasakan kemewahan selepas kemiskinan. Islam jadi mulia dan agama mulai menemukan tempat di hati sebagian dari mereka. Karena bagaimanapun juga, seandainya agama Islam tidak benar, maka hal ini dan hal itu tidak akan terjadi.
Setelah itu, mereka menisbatkan kemenangan dan penaklukan tersebut kepada pikiran dan kelayakan para amir dan wali mereka. Ada yang mereka besar-besarkan dan ada juga yang mereka hapus dari ingatan masyarakat. Kami adalah orang yang terhapus dari ingatan, cahaya yang padam dan suara yang terputus sehingga kami ditelan masa. Tahun-tahun berlalu dengan kondisi yang sama. Banyak dari wajah-wajah yang dikenal telah meninggal dunia dan lahir generasi baru yang tak dikenal. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang putera dalam kondisi semacam ini. Kalian sendiri tahu bahwa Rasulullah saw mendekatkan diriku pada beliau bukan lantaran hubungan famili, melainkan untuk jihad dan nasehat." [14]
Isolasi dan terlupakannya Amirul Mukminin di tengah masayarakat Islam saat itu mendesak beliau di masa kekhilafahannya untuk mengoptimalkan segala kesempatan demi memperkenalkan dirinya serta jerih payah beliau di masa Rasulullah saw dalam memperjuangkan agama Islam. [15]
Hubungan Amirul Mukminin as dengan Abu Bakar betul-betul dingin dan tidak ada kenangan apapun yang tercatat dalam sejarah. Adapun dengan Umar, ada banyak cerita yang sampai kepada kita, umumnya berkaitan dengan bantuan yudikatif (kehakiman) beliau terhadap Umar dan juga jawaban beliau terhadap konsultasi-konsultasi Umar yang akan kita bawakan di pembahasan mendatang. Umar berusaha menghindari sikap kurang ajar yang terang-terangan terhadap Amirul Mukminin as, dan kemungkinan besar beliau pun menghargai sikap tersebut. Berbeda dengan Utsman. Dia tidak tahan menyaksikan Amirul Mukminin as menuangkan gagasan-gagasan beliau. Sampai-sampai pernah dia berkata kepada beliau, "Kamu di sisiku tidak lebih baik dari pada Marwan Bin Hakam!" [16]
Abbas mengingatkan dan meminta Utsman untuk hati-hati terhadap Amirul Mukminin as. Tapi Utsman malah menjawab, "Pernyataan pertamaku padamu adalah kalau Ali menginginkan dirinya sendiri saja (tidak sampai mengusik yang lain), ketahuilah, tidak seorang pun yang lebih mulia di sisiku selain dia." [17]
Sudah barang tentu, Amirul Mukminin as tidak sudi menutup mata dari penyelewengan yang sedang terjadi hanya karena Utsman dan pershabatan dengannya. Oleh karena itu, dari satu sisi hubungan beliau dengan Utsman sangat dekat sebagai seorang sahabat dan di sisi lain tegas karena menyangkut kepentingan umum. [18]
Pernah suatu ketika ada seorang wanita dari Anshar bertikai dengan salah satu wanita dari Bani Hasyim, dan akhirnya yang menang secara hukum adalah wanita Anshar itu. Utsman berkata kepada wanita itu, "Ini adalah pendapat misananmu sendiri, Ali!" [19]
Perlawanan Amirul Mukminin as terhadap pemerintahan yang berkuasa adalah sebuah kerja yang sangat berat, khususnya pada tahun-tahun pertama. Dengan mengucilkan diri, beliau berusaha untuk menghindari bentrokan face to face dengan pemerintah. Sa'd Bin 'Ubadah adalah salah satu pengalaman terbaik untuk itu. Dia tidak berbaiat kepada pemerintah, dan tiba-tiba pada masa kekhilafahan pertama dan kedua tersebar berita bahwa makhluk-makhluk halus (jin) telah membunuhnya. Pada topik pembahasannya sendiri dapat kita sadari bersama bahwa berdasarkan referensi-referensi historis yang akurat, pembunuhan itu berlatar belakang politik. [20]
Ibn Abil Hadid bercerita, "Saya pernah bertanya kepada Abu Ja'far Naqib (Yahya bin Abi Zaid), 'Yang saya herankan dari Ali as adalah bagaimana beliau bisa bertahan hidup selama itu setelah wafatnya Rasulullah saw, padahal Quraisy sangat dengki tehadap beliau?' Abu Ja'far menjawab, 'Apabila beliau tidak mengecilkan diri sekecil mungkin dan tidak mengucilkan diri di pojok rumahnya, sungguh beliau telah diteror. Namun beliau telah mendelete file tentang dirinya dari memori masyarakat dan menyibukkan diri dengan ibadah, shalat dan membaca Al-Qur'an. Beliau telah keluar dari gaya pertamanya. Beliau melupakan pedang seperti halnya perajurit pemberani yang bertaubat dan merasuk ke dalam bumi atau menjadi biarawan di gunung-gunung. Karena beliau "menuruti" pemerintah waktu itu dan merendahkan diri sebisa mungkin, maka beliau pun dibiarkan. Andai saja beliau tidak berbuat demikian, niscaya mereka telah menerornya.'" Kemudian dia menjelaskan rencana serius Khalid untuk membunuh beliau as. [21]
Mukmin ath-Thaq juga berpendapat sama bahwa sikap vakum dalam politik beliau pada masa itu karena kekhawatiran jangan sampai makhluk-makhluk halus tadi membunuhnya (sebagaimana yang telah terjadi menimpa Sa'd). [22]
Sudah barang tentu, hal ini bukan berarti Amirul Mukminin as sama sekali menyia-nyiakan kesempatan yang sesuai untuk menjelaskan dan mempertahankan hak-haknya yang terampas. Contoh, periode pertama beliau menolak untuk berbaiat yang berlangsung beberapa bulan lamanya. [23]
Bahkan, di hari-hari pertama, beliau menggandeng tangan istri dan anak-anaknya dibawa ke depan rumah-rumah Anshar untuk berusaha mengembalikan haknya yang terampas. Kegetolan beliau sampai batas beliau dituduh sebagai orang yang rakus terhadap khilafah. Beliau berkata, "Ada seorang yang mengatakan kepadaku, 'Wahai putera Abu Thalib! Betapa rakusnya dirimu terhadap Khilafah!' Kukatakan kepadanya, 'Tidak, Demi Allah! Kalianlah yang rakus terhadap khilafah. Kalian lebih jauh dari Rasulullah saw sementara aku sangat spesial di sisi beliau. Aku hanya menghendaki hakku, tapi kalian tidak mengizinkan, bahkan kalian halangi aku untuk sampai pada hak yang sebenarnya.'"[24]
Sering beliau berargumentasi seperti di atas. Contoh lain, "Wahai masyarakat Quraisy! Sesungguhnya kami, Ahlulbait, lebih berhak daripada kalian atas hal ini (khilafah Islam). Apa tidak ada di tengah kita orang yang bisa membaca Al-Qur'an? Apa tidak ada di tengah kita orang yang memeluk agama yang benar?" [25]
Mengenai penilain beliau terhadap tiga khalifah sepeninggal Rasulullah saw, harus dikatakan bahwa Amirul Mukminin tidak pernah bebas untuk mengungkapkan penilannya terhadap khalifah pertama dan kedua. Berbeda dengan Utsman. Beliau dengan leluasa dapat mengungkapkan pandangannya tentang dia kapanpun ada kesempatan yang tepat untuk itu. Alasannya adalah karena bala tentara yang beliau pimpin di Kufah masih menerima mereka berdua. Hanya sebagian kecil saja yang menolaj mereka. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as tidak bisa secara leluasa berbicara tentang khalifah pertama dan kedua di tengah-tengah mereka. Sekali pernah ada peluang. Beliau segera mengungkapkan sakit hati yang dipendamnya selama ini. Namun tak lama berselang, beliau berhenti untuk melanjutkan pembicaraan. Ketika Ibn Abbas bersikeras agar beliau meneruskan curah hatinya, beliau hanya menjawab, "Tidak wahai Ibn Abbas! Yang kamu dengar tadi adalah nyala api yang tumpah." [26]
Kendatipun Amirul Mukminin as sudah sangat berhati-hati, akan tetapi beliau tidak menerima persyaratan Abdurrahman Bin Auf berkaitan dengan khilafah. Ibn Auf pernah mensyaratkan, "Apabila Ali bertindak sesuai dengan sunah dua khalifah pertama dan kedua, maka akan kuserahkan khilafah kepadanya." Amirul Mukminin as menegaskan, "Aku akan bertindak sesuai dengan pandanganku." Ini menunjukkan bahwa beliau secara terang-terangan menolak sunah dan logika tindakan dua khalifah tersebut. Menurut beliau, banyak tindakan mereka yang bertentangan dengan sunah Rasulullah saw dan hanya berlandaskan ijtihad yang menyeleweng. Kalaupun terkesan Amirul Mukminin as menuruti Abu Bakar dalam beberapa hal, tidak lain karena di sebagian hal itu terkandung juga ketaatan kepada Allah SWT. Jadi beliau melakukannya bukan karena menuruti khalifah pertama, tapi karena Allah menghendaki beliau untuk mengambil langkah demikian. [27]
Ucapan-ucapan Amirul Mukminin as di masa khilafahnya dan juga langkah-langkah beliau dalam menyikapi berbagai masalah menjelaskan kepada kita bahwa beliau tidak menerima cara-cara yang diberlakukan oleh khalifah-khalifah sebelum beliau.
Lama setelah itu, Muawiyah menuliskan dalam suratnya kepada Amirul Mukminin as, "Kamu iri terhadap khalifah-khalifah sebelummu dan kamu telah berlaku zalim atas mereka!" Amirul Mukminin as menjawab, "Kamu beranggapan bahwa aku hanya menghendaki keburukan khalifah-khalifah dan iri dengki terhadap mereka. Kalaupun memang demikian (apa yang kamu katakan itu benar), memangnya kamu ini siapa sehingga berhak menuntut sesuatu? Tidak pernah mereka berbuat jahat terhadap dirimu sehingga mereka mesti mohon maaf kepadamu ".
Sementara kamu sendiri menyatakan bahwa aku diberlakukan seperti unta yang hidungnya telah dijinakkan sehingga dengan mudah mereka dapat menyetirku untuk berbaiat. Demi Tuhan, kamu ingin mencela, tapi memuji, kamu hendak menjatuhkan, tapi kamu jatuhkan dirimu sendiri. Apa kekurangan muslimin sehingga mereka terzalimi dan tidak tahu lagi akan agama. Keyakinannya kokoh dan terlepas dari dua hati ... dan aku tidak akan minta maaf atas perlawananku terhadap Utsman lantaran bid'ah-bid'ah yang telah dia karang." [28]
Dengan adanya kritik tajam Amirul Mukminin as terhadap khalifah sebelumnya, khususnya sikap tegas beliau di tengah-tengah Dewan Syura, maka tidak bisa seseorang ”dengan beralasan hubungan kekeluargaan beliau dengan Umar dan Utsman” untuk mengatakan bahwa beliau meyakini kebenaran pemerintahan mereka. Bahkan, apabila terlihat beliau memuliakan sebagian khalifah dibandingkan dengan khalifah yang lain, sama sekali bukan berarti beliau menerima prinsip utama mereka dalam memerintah.
Ketika Amirul Mukminin as sadar akan kelemahannya melawan partai yang sedang berkuasa, dan tidaklah maslahat bagi Islam apabila beliau memulai perlawanan terhadap mereka, maka beliau memilih jalan damai. Di berbagai kondisi dan kesempatan, Amirul Mukminin as menjelaskan dan meluruskan bahwa bai'at dan penerimaan beliau terhadap Abu Bakar sebagaimana umumnya Muhajirin dan Anshar tidak lain karena keharusan dan menjaga persatuan muslimin. [29]
Terkadang beliau juga membawakan pendekatan untuk penjelasannya di atas dengan ucapan nabi Harun as kepada nabi Musa as, "Aku takut kau katakan bahwa aku telah memecah belah Bani Israel." (QS. Thaha : 94) [30]
Beliau berkata tentang Saqifah, "Bahkan aku sendiri sadar bahwa hakku telah dirampas dan aku tinggalkan hakku untuk mereka. Semoga Allah SWT mengampuni mereka." [31]
Dulu, Ahlusunah tidak menerima bahwa Ahlulbait as meyakini diri mereka lebih layak memerintah dari pada khalifah pertama, kedua dan ketiga. Namun sekarang ada beberapa golongan Ahlussunah yang tercerahkan yang menerima bahwa alasan Ali as berbaiat kepada Abu Bakar tidak lain adalah menjaga persatuan di saat beliau mengungkapkan hanya dirinya orang yang layak dan berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah saw. [32]
Bagaimanapun juga, kehidupan terpencil Amirul Mukminin as di tengah masyarakat merupakan sikap beliau dan para khalifah sendiri tahu kalau mereka tidak bisa bertemu, dalam artian mendukung satu sama lain, khususnya berhubungan dengan persoalan khilafah. Kendatipun demikian, pulang dan pergi ke masjid, bahkan jalinan kekeluargaan seperti pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum adalah sesuatu yang biasa.
Pernikahan ini terjadi karena Umar bersikeras untuk menikahinya. Pada mulanya Amirul Mukminin as menolak, tapi pada akhirnya beliau terima. Seperti juga yang pernah terjadi antara beliau dan Abu Bakar.
Amirul Mukminin as menikahi istri Abu bakar, Asma' binti Umais, sepeninggalnya, dan beliau mendidik putera Abu Bakar, yaitu Muhammad bin Abu Bakar, di rumah beliau sendiri.
Sumber: Balaghah
Referensi:
1. Syarh Nahjil Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 9, hal. 198.
2. Al-Mustadrak, jilid 3 hal. 162; ath-Thabaqat al-Kubra, jilid 8 hal. 29-30; At-Tanbih wa al-Asyraf, hal. 250; Wafa' al-Wafa', hal. 885-996 dan hal. 1000.
3. Nahjul Balaghah, pidato ke-172; Al-Gharat, jilid, hal. 309.
4. Nahjul Balaghah, pidato ke-217. Ceramah ini dimuat dua kali di dalam Nahjul Balaghah dengan masing-masing memiliki tambahan; al-Jamal hal. 123. Disebutkan di catatan kaki buku itu bahwa pidato beliau itu dinukil dari al-Imamah wa as-Siyasah, jilid 1, hal. 155; al-Gharat, hal. 204.
5. Nahjul Balaghah, pidato ke-3.
6. Tarikh Mukhtashar ad-Duwal, hal. 103.
7. Syarh Nahjil Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 25.
8. Al-Imta' wa al-Mu`anasah, jilid 3, hal. 25.
9. Nahjul Balaghah, pidato ke-84; Ansab al-Asyraf, jilid 2, hal. 127, 145,151; Nahj as-Sa'adah, jilid 2, hal. 88.
10. Syarh Nahjil Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 9, hal. 58.
11. Syarh Nahjil Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 9, hal. 28. Seseorang pernah bertanya kepada Imam ash-Shadiq as, Mengapa Quraisy begitu mendengki kakekmu (Ali as)?" Beliau menjawab, "Karena Ali as menjebloskan orang pertama dari mereka ke neraka, dan mengharuskan orang yang terakhir dari mereka dalam kehinaan." Natsr ad-Durr, jilid 1 hal. 340.
12. Syarh Nahjil Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 8, hal. 18.
13. Ibid. jilid 13, hal. 299-300.
14. Ibid. jilid 20, hal. 298-299.
15. Sebagai contoh, Anda bisa rujuk ke Nahj as-Sa'adah, jilid 2, hal. 222, 314.
16. Muraj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 342.
17. Ansab al-Asyraf, jilid 5, hal. 14.
18. Tarikh al-Madinah al-Munawarah, jilid 3, hal. 1045, 1046.
19. Ibid, hal. 967; Muntakhab Kanz al-'Ummal, jilid 2, hal. 204.
20. Syarh Nahjil Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 17, hal. 62.
21. Ibid, jilid 13, hal. 301-302.
22. Ibid, jilid 17, hal. 62.
23. Ansab al-Asyraf, jilid 1, hal. 585; al-Kâmil Fi at-Tarikh, jilid 2, hal. 325.
24. Nahjul Balaghah, pidato ke-172, al-Gharat, jilid 1, hal. 308.
25. Al-Gharat, jilid 1, hal. 307.
26. Nahjul Balaghah, pidato ke-3; Natsr ad-Durr, jilid 1, hal. 274.
27. Al-Gharat, pidato ke-3; Natsr ad-Durr, jilid 1, hal. 274.
28. Nahjul Balaghah, surat ke-28; Waq'ah ash-Shiffin, hal. 86-91.
29. Ansab al-Asyraf, jilid 2, hal. 281; al-Gharat, hal. 110-111.
30. Lihat al-Muqni', hal. 109.
31. Waq'ah ash-Shiffin, hal. 91.
32. Tafsir al-Manar, jilid 8, hal. 224.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email