Pesan Rahbar

Home » , » Ceritera - Ceritera Hikmah: Bab IV: Pengaruh Air Susu Ibu

Ceritera - Ceritera Hikmah: Bab IV: Pengaruh Air Susu Ibu

Written By Unknown on Monday 3 October 2016 | 13:15:00

Ilustrasi

Pengaruh Air Susu Ibu

Konon seekor keledai dan seekor unta sedemikian kurus kering, sampai tak sanggup lagi mengangkut barang. Keduanya dilepas dan dibuang pemiliknya. Bersama-sama keduanya merumput di sebuah padang rumput yang subur.

Keledai berkata, “Sebauknya sekarang kita hidup bersaudara dan tidak meninggalkan tempat yang penuh rumput dan air ini. Kita jangan sampai terlihat oleh orang-orang yang datang kemari, agar kita dapat tetap berada di tempat menyenangkan ini.”

Unta menjawab, “Sebuah usulan bagus jika tidak dipengaruhi air susu ibu.”

Keledai berkata , “Apakah pengaruh air susu ibu?”

Unta berkata , “Bukannya tidak berpengaruh.”

Dalam waktu lama, kedua binatang itu dengan bebas dan leluasa menikmati rerumputan dan air di padang itu. Kan keduanya merasa senang dan bahagia. Tiba-tiba datang kafilah yang memiliki beberapa ekor keledai, melintas di tepi padang rumput itu. Orang-orang dalam kafilah itu, demi beristirahat dan menghilangkan rasa letihnya, berhenti di padang tersebut. Saat itu, keledai-keledai yang di bawa kafilah itu bersuara. Keledai teman si unta itupun ikut-ikutan mengeluarkan suaranya.

Unta bertanya, “Mengapa engkau bersuara? Suaramu menyebabkan orang-orang mengetahui keberadaan kita. Mereka akan datang mengambil kita dan membebani kita dengan barang-barang yang berat.”
Keledai menjawab, “Ini adalah pengaruh air susu ibu.”

Tepat dugaan unta. Orang-orang mulai sibuk mencari sumber suara. Mereka kemudian melihat keberadaan keledai dan unta yang gemuk dan sehat yang tanpa pemilik. Mereka mengambilnya dan membebani punggung keduanya dengan barang bawaan yang berat. Setelah itu, kafilah kembali bergerak dan meninggalkan padang rumput. Kafilah terus berjalan sampai akhirnya mendekati sebuah bukit. Sewaktu mulai mendaki bukit itu, si keledai kehilangan tenaganya dan jutuh tergolek di tanah. Sebabnya, selama ini ia hnya sibuk makan, minum, dan tidur, sehingga tak terbiasa lagi membawa beban yang berat.

Melihat keledai dalam keadaan itu, orang-orang dalam kafilah langsung meletakkan keledai itu ke punggung unta. Unta pun melanjutkan perjalanannya menaiki bukit dengan membawa beban yang lebih berat. Setelah mencapai puncak bukit, unta menggoyang- goyangkan dirinya.

Keledai berkata, “Hai saudaraku! apakah engkau tahu di manakah kita sekarang ini? Kalau engkau terua bergoyang-goyang, niscaya aku akan terjatuh dari puncak ini dan tubuhku bakal hancur lebur.”
Unta menjawab, “Saudaraku ini adalah pengaruh air susu ibu!” Lalu keledai itu pun terjatuh dari punggung unta dan binasa.


Nasihat Rasulullah

Seorang lelaki menemui Rasulullah saww dan berkata, “Hai Rasulullah! Ajarilah aku.” Rasulullah saww bersabda, “Hendaklah engkau tidak mengharapkan apa-apa yang ada di tangan manusia; sesungguhnya itu adalah kekayaan nyata.”
Ia berkata, “Tambahkan lagi, wahai Rasulullah.”

Rasulullah saww bersabda, “Hindarilah rasa tamak; sesungguhnya itu adalah kefakiran yang nyata.”
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tambahkan lagi.”

Rasulullah saww bersabda, “Kalau engkau menginginkan suatu perkara maka pikirkanlah akibatnya. Sekiranya itu berakibat baik dan (memberi) petunjuk, laksanakanlah, dan sekiranya itu berakibat kesesatan, tinggalkanlah.”


Peristiwa Keracunan Rasulullah saww dan Pemaafannya

Pada tahun ketujuh Hijriah, dalam upaya melaksanakan perintah Rasulullah untuk menaklukkan Khaibar, kaum muslimin mengepung benteng orang-orang Yahudi pembangkang. Dengan terbunuhnya Marhab, pejuang Yahudi yang termasyhur, di tangan Imam Ali, benteng-benteng Yahudi berhasil dikuasai muslimin.
Saudari Marhab memutuskan meracuni Rasulullah saww dengan makanan yang dihadiahkan kepada Rasulullah saww. Ia memanggang dan memasak sejumlah daging dan kaki kambing, kemudian membubuhinya dengan racun. Setelah itu, ia memberikannya kepada Rasulullah saww sebagai hadiah.

Rasulullah saww dan para sahabatnya menyantap masakan itu. Namun tatkala memakannya, beliau saww mengetahui apa yang terjadi. Kemudian beliau saww memerintahkan para sahabatnya untuk berhenti makan. Beliau saww mengutus seseorang untuk menemui wanita Yahudi itu, dan membawanya ke hadapan beliau saww. Orang itu berangkat dan membawa wanita Yahudi itu ke hadapan Rasulullah saww.

Rasulullah saww bertanya kepada wanita itu, “Apakah daging kambing ini engkau campur dengan racun?”
Wanita ia menjawab, “Siapa yang memberitahumu tentang rahasia ini?”

Rasulullah saww bersabda, “Kaki kambing di tanganku itulah yang memberitahuku.”

Wanita menjawab, “Benar, aku membubuhinya dengan racun.”

Rasulullah saww bertanya, “Apa tujuanmu?”

Ia menjawab, “Saat itu aku berkata dalam hatiku sendiri bahwa seandainya ia seorang rasul, pasti racun ini tak akan mencelakakannya. Kalau bukan seorang rasul, kami niscaya akan terbebas darinya.”
Setelah mendengar jawaban itu, Rasulullah saww tidak jadi menghukumnya, melainkan malah memaafkannya.

Sebagian sahabat beliau saww yang telah memakan daging itu meninggal dunia. Lalu Rasulullah saww memerintahkan untuk mengeluarkan darah beliau dari tengkuk, agar dengan keluarnya darah itu, pengaruh racun berkurang. Abu Hind, seorang budak Bani Bayadhah (salah satu kabilah muslimin Anshar) yang telah dibebaskan, mengeluarkan darah beliau saww. Namun pengaruh racun dalam tubuh beliau saww masih ada. Sehingga adakalanya beliau sakit dan terbaring di tempat tidur. Akhirnya, akibat pengaruh racun yang sangat dahsyat itu, Rasulullah saww menderita sakit parah dan wafat.


Tangan Gaib

Imam Ali al-Sajjad beserta keluarga syuhada Karbala digiring pasukan Umar bin Sa’ad menuju Syam sebagai tawanan perang. Setibanya di Syam, Yazid berkata kepada Imam al-Sajjad, “Ayah dan kakekmu ingin menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Tapi alhamdulillâh, mereka terbunuh dan darahnya tertumpah.”

Imam Ali al-Sajjad menjawab, “Kedudukan kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (imamâh) khusus bagi ayah dan kekekku, jauh sebelim engkau dilahirkan.”

Tatkala Imam Ali al-Sajjad menisbatkan dirinya kepada Rasulullah saww (dan menjelaskan kepada Yazid bahwa dirinya dan penerusnya adalah pengganti dan penerus Rasul saww) seketika itu Yazid berkata kepada algojonya, “Bawalah orang ini (seraya menunjuk Imam Ali al-Sajjad) ke kebun dan galilah lubang kubur, lalu bunuh dan kuburkan di dalamnya.”

Kemudian algojo itu membawa Imam Ali al-Sajjad ke kubun. Selagi ia sibuk menggali kubur, Imam Ali al-Sajjad menunaikan shalat. Dan tatkala algojo itu hendak membunuh Imam, tiba-tiba muncul sebuah tangan di udara dan langsung menampar mukanya. Ia menjerit terjatuh ke tanah dan ... mati.

Tatkala menyaksikan peristiwa yang menimpa algojo itu, dengan segera Khalid (putera Yazid) menemui ayahnya dan menceritakan kejadiannya. Yazid memerintahkan untuk menguburkannya ke dalam kubur yang digalinya untuk Imam Ali al-Sajjad. Lalu Imam al-Sajjad dibebaskan dari kebun itu. Sampai sekarang dalam kebun itu berdiri sebuah masjid untuk mengenang peristiwa tersebut.


Kecerdasan Aqil

Suatu hari Aqil bin Abi Thalib (saudara Imam Ali bin Abi Thalib) menemui Muawiyah. Lalu Muawiyah berbisik kepada Amr bin Ash, “Hari ini aku akan membuatmu tertawa karena Aqil.”

Kemudian sampailah Aqil di hadapan Muawiyah dan memberi salam. Muawiyah berkata kepadanya, “Selamat datang, wahai orang yang pamannya adalah Abu Lahab.”

Seketika itu pula Aqil menjawab, “Selamat bagimu wahai orang yang bibinya pembawa kayu bakar (isteri Abu Lahab) yang di punggungnya terdapat tali yang terbuat dari sabut (perlu diperhatikan bahwa isteri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, putera Harb, kakek pertama Muawiyah).”

Muawiyah berkata, “Menurutmu di manakah Abu Lahab?”

Aqil menjawab, “Tatkala engkau masuk ke neraka dan menoleh ke samping kirimu, di situlah Abu Lahab dan isterinya sedang berbaring.”


Qadha Shalat

Seseorang senantiasa hadir di masjid dan tak pernah meninggalkan shalat berjamaah. Karenanya, ia selalu datang ke masjid lebih awal dari yang lain dan berada di barisan pertama shalat berjamaah. Ia juga orang terakhir yang keluar dari masjid. Jelas, orang semacam ini pasti memiliki ketakutan yang amat sangat kepada Allah dan taat dalam menjalankan ajaran agama. Suatu hari terjadi sesuatu yang menyebabkan dirinya sedikit terlambat hadir di masjid. Ia melihat sudah tak ada lagi tempat kosong di barisan pertama. Terpaksa ia berdiri di barisan terakhir. Namun ia merasa malu. Dan itu tampak jelas di raut wajahnya. Ia bergumam, “Mengapa aku berada di barisan terakhir?”

Tiba-tiba ia tersadar tentang betapa buruk pikirannya. “Kalau aku benar-benar ikhlas beribadah, tak ada beda antara baris pertama atau terakhir,” pikirinya. Lagi-lagi ia berkata dalam hatinya, “Wah! Jelas sudah bahwa shalat yang kukerjakan selama 30 tahun telah tercemari riya. Kalau tidak, seharusnya hatiku tidak merasa menyesal tatkala diriku berada di baris terakhir.”

Pikiran ini menerbitkan cahaya di hatinya. Ia merasa harus segera mencari jalan keluarnya demi membuang perasaan riya di hatinya dengan segera. Seraya tetap memohon perlidungan Allah dari godaan setan, bersabar, dan penuh semangat, ia bertobat dengan sebenar-benarnya serta membenahi diri setiap saat. Ia pun memutuskan untuk menganti (qadha’) shalatnya yang telah dikerjakannya selama 30 tahun. Sebab ia tahu bahwa selama itu, dirinya berada di barisan pertama namun hatinya tercemari perasaan riya.

Ya, ia tersadar dari kelalaiannya. Dengan semangat membaja, ia membersihkan jiwanya dngan air tobat dan mengqadha’ shalatnya selama tiga puluh tahun itu.


Syahid Keledai

Di masa Rasulullah saww terjadi peperangan sengit antara pasukan Islam dengan pasukan kafir. Darinya terdengar suara gemerincing pedang yang sangat keras. Saat itu, pandangan salah seorang tentara Islam tertumbuk pada seorang tentara kafir yang sedang menunggang keledai putih. Keindahan keledai itu menarik hatinya. Itulah yang menjadikan setan mencemari niatnya. Ia berkata dengan hatinya, “Aku akan segera membunuh si kafir itu, sehingga keledai itu akan jadi milikku.”

Dengan niat itulah ia menyerang orang kafir tersebut. Sayang justru dirinyalah yang terbunuh di tangan orang kafir itu. Muslimin yang mengetahui niatnya yang tercemar itu, menjulukinya sebagai syahid keledai.
Ya, jihad harus di jalan Allah (fî sabîlillah), bukan di jalan keledai (fî sabîli al-khimâr).


Orang Paling Cerdik

Pada masa bahagia, para sahabat mengelilingi Rasulullah saww laksana kupu-kupu yang mengitari bunga. Mereka mendapat siraman maknawiah dari beliau saww.

Rasulullah saww bertanya kepada mereka, “Maukah kalian akan kuberitahu tentang orang yang paling cerdik dan paling dungu?”

Rasa ingin tahu mendorong mereka untuk mendapatkan jawabannya. Dengan penuh semangat, mereka menyatakan kesiapannya untuk mendengar jawabannya dangan berkata, “Ya, wahai Rasulullah saww.”

Rasulullah saww bersabda, “Orang paling cerdik adalah orang yang memperhitungkan dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian. Dan orang paling dungu adalah orang yang menuruti hawa nafsunya lalu mengharapkan dari Allah berbagai pengharapan (ketakwaan dan surga).”


Masyarakat Islam Sejati

Suatu hari, Said bin Hasan―seorang murid Imam Muhammad al-Baqir―menemui beliau. Imam al-Baqir bertanya, “Apakah dalam masyarakat di mana engkau hidup di dalamnya, terdapat kebiasaan ini; bila ada saudara seagama memiliki suatu kebutuhan lalu menemui saudara seagamanya dan memasukkan tangannya ke sakunya, kemudian mengambil uang (dari saku itu) sesuai kebutuhannya, dan si pemilik uang tidak berusaha mencegahnya?”

Said menjawab, “Tidak, hal ini tidak saya saksikan dalam masyarakat saya.”

Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Kalau begitu, tidak terdapat persaudaraan islami di antara kalian.”

Said bertanya, “Apakah hal ini menandakan kami tengah berada dalam kehancuran dan kebinasaan?”

Imam Muhammad al-Baqir menjawab, “Akal masyarakat itu masih belum sempurna.” Maksudnya, tugas dan tanggung jawab (taklfî) setiap orang berbeda-beda sesuai kapasitas akal dan perkembangan keislamannya. Kalau sebuah masyarakat Islam di mana akal dan keislamaannya benar-benar tumbuh dan berkembang, niscaya orang-orang yang membutuhkan akan leluasa mengambil uang (sebatas diperlukan) dari saku orang-orang yang berkecukupan tanpa menemui hambatan apapun.


Dilarang Keras Membantu Orang Zalim

Adzafir adalah seorang murid Imam Ja’far al-Shadiq. Imam al- Shadiq mendengar berita bahwa Adzafir bekerja untuk Rabi’ dan Abu Ayyub (dua orang zalim) dan membuntu keduanya. Kemudian Imam al-Shadiq memanggilnya, “Wahai Adzafir! Aku mendengar berita demikian (engkau bekerja untuk orang zalim).

Apakah engkau tidak berpikir bahwa di hari kiamat nanti engkau akan diseru Allah sebagai penolong orang-orang zalim? Saat itu bagaimana keadaanmu? Apa yang hendak kamu lakukan ?”

Adzafir merasa gelisah mendengar nasihat dan teguran keras Imam Ja’far al-Shadiq. Saking sedihnya, ia mengepalkan tangannya dan memukulkan ke tubuhnya. Lalu terdiam dengan memendam rasa sedih.

Imam Ja’far al-Shadiq mengetahui apa yang dirasakannya. Beliau berkata, “Wahai Adzafir, aku menakutimu tentang perkara yang Allah menakutiku akan perkata itu (maksudnya, masalah yang tergolong serius ini bukan perintah Imam melainkan perintah Allah).”

Putera Adzafir berkata, “Setelah beberapa hari, dikarenakan rasa sedih dan sesal lantaran telah bekerja sama dengan orang zalim, ia pun meninggal dunia.”


Pertolongan Allah

Di antara Bani Israil, hiduplah sebuah keluarga yang tinggal di dalam kemah di tengah padang pasir. Mereka sehari-hari sibuk beternak kambing dan menjalani pola hidup sederhana. Selain beberapa ekor kambing, mereka juga memiliki seekor ayam jantan, seekor keledai, dan seekor anjing.

Ayam jantan dipelihara untuk membangunkan mereka menunaikan shalat [subuh]; keledai untuk membawa perlengkapan hidup dan mengambil air dari tempat yang jauh; sedangkan anjing dijadikan sebagai penjaga dari gangguan binatang buas, khususnya di malam hari.

Pada suatu malam, datanglah seekor musang yang menyantap ayam jantan milik mereka. Semuanya bersedih, kecuali seorang lelaki (kepala keluarga) yang saleh yang berkata, “Tidak, insya Allâh.”

Selang beberapa hari, anjing mereka mati. Kembali mereka bersedih kecuali lelaki (kepala keluarga) itu yang lagi-lagi berkata, “Tidak, insya Allâh.” Tak berapa lama, datanglah beberapa ekor srigala yang menerkam dan memangsa keledai milik mereka. Sepert biasa, kepala keluarga itu berkata, “Tidak, insya Allâh.”

Dalam hari-hari itu, tatkala terbangun di waktu Subuh, mereka menyaksikan seluruh keluarga di sekitar kemah mereka diranipok musuh dan dijadikan tawanan. Di padang pasir itu, kini hanya satu keluarga itulah yang selamat dari perampokan.

Lelaki saleh itu berkata, “Rahasia mengapa kita selamat dari mereka adalah dikarenakan para penghuni kemah itu memiliki anjing, ayam jantan, dan keledai. Dikarenakan suara binatang itulah tempat mereka diketahui dan akhirnya menjadi tawanan musuh. Namun, dikarenakan kita tidak memiliki anjing, ayam jantan, dan keledai, tempat kita tidak diketahui mereka. Kita pun selamat, dari tangan mereka. Karenanya, keselamatan kita berkat kematian ayam jantan, anjing, keledai kita.”

Inilah hasil rasa syukur kepada Allah yang senantiasa dipanjatkan lelaki saleh itu yang senantiasa menghadapi berbagai musibah dengan ucapan, “Tidak, insya Allâh.” Ya, pertolongan dan karunia Allah senantiasa diberikan kepada orang-orang seperti itu.


Hasil Rasa Kasihan

Seorang ulama agung yang hidup di abad ke-12 Hijriah, almarhum Sayyid Muhammad Baqir Syifti Rasyti, yang biasa dipanggil Hujjatul Islam Syifti, merupakan mujtahid yang mulia dan bertakwa. Ia dilahirkan pada tahun 1175 Hijriah di kota Gilan dan meninggal pada usia 85 tahun di Isfahan. Kuburnya terletak di samping masjid Sayyid Isfahan, dan biasa diziarahi kaum mukminin.

Ia memiliki sebuah kisah yang amat menarik tentang hasil rasa kasihan terhadap kehidupannya.
Semasa menuntut ilmu di madrasah di Najaf dan Isfahan, hidup Hujjatul Islam Syifti amatlah miskin. Adakalanya dikarenakan menahan lapar, tubuhnya kehilangan tenaga dan jatuh pingsan. Namun ia senantiasa menyembunyikan kefakirannya dan tidak mengeluh kepada siapapun.

Suatu hari, di madrasah Isfahan, ada pembagian uang kepada mereka yang bersedia melakukan shalat wahsyah (shalat yang dilakukan sebagai hadiah bagi jenazah pada malam pertama dikuburkan). Ia pun menerima sejumlah uang untuk melaksanakan shalat itu. Dikarenakan sudah lama tidak makan daging, ia pun pergi ke pasar dan nmembeli hati kambing. Setelah itu, ia kembali ke madrasah. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor anjing sedang terbaring di tanah dan anak-anaknya sibuk menghisap puting susunya. Anjing itu kurus kering dan tak mampu lagi berjalan.

Hujjatul Islam Syifti berkata dalam hatinya, “Kalau engkau benar-benar adil, anjing ini jauh lebih layak memakan hati itu ketimbang dirimu sendiri; karena ia amat kelaparan, begitu pula anak-anaknya.” Ia langsung memotong-motong hati yang baru saja dibelinya dari pasar dan diletakkan di dekat mulut anjing yang kelaparan itu.

Hujjatul Islam Syifti mengatakan bahwa tatkala melemparkan potongan hati kambing itu ke dekat mulut anjing tersebut, dirinya melihat anjing itu mendongakkan kepalanya ke langit seraya mengeluarkan suara. Ia tahu bahwa anjing itu sedang mendoakan dirinya.

Tak lama berselang dari kejadian itu, seseorang dari tempat kelahirannya mengirim uang untuknya dengan sebuah pesan, “Saya tidak rela uang ini engkau habiskan untuk memenuhi keperluan hidupmu. Tapi serahkanlah uang ini kepada seorang pedagang untuk dijadikan modal. Ambillah keuntungannya untuk memenuhi keperluan hidupmu.”

Ia lalu menjalankan pesan itu. Singkat cerita, berkat keuntungan yang diperolehnya, kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik. Bahkan ia memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. Darinya, ia mampu membeli seribu kedai dan tempat penginapan. Bahkan, ia membeli sebuah desa di dekat tempat tinggalnya. Hasil sewa sawah dari desa itu setiap tahunnya mencapai 900 karung beras. Ia hidup sejahtera bersama isteri dan anak-anaknya. “Semua ini berkat belas kasihan saya kepada anjing kelaparan itu. Saya lebih mengutamakan anjing itu dari diri saya seridiri.”


Menjaga dan Memelihara Hasil Perbuatan Baik

Sekelompok orang mendaangi Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww menghadap mereka dan bersabda, “Barangsiapa mengucapkan ‘subhanallâh’, Allah akan menanam untuknya sebatang pohon di surga. Dan barangsiapa mengucapkan ‘alhamdulillâh’, Allah juga akan menumbuhkan sebatang pohon di surga. Dan barangsiapa mengucapkan ‘lâilâhaillallâh’, Allah juga akan menumbuhkan baginya sebatang pohon di surga.”
Seorang Quraisy berkata, “Kalau begitu, kita akan memiliki banyak pohon di surga, karena kita sering mengucapkan kalimat itu.”

Rasulullah saww bersabda, “Ya, tapi jangan sampai kalian mengirim api padanya dan membakar (semua)nya, karena Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amal kamu sekalian.(Muhammad: 33)”


Menolak Usulan Damai Quraisy

Tatkala Rasulullah saww berdakwah secara terang-terangan di Mekah, orang-orang musyrik melakukan berbagai upaya untuk menghalang-halanginya. Namun mereka selalu gagal. Untuk tujuan damai, akhirnya mereka mendatangi Abu Thalib dan berkata, “Kemenakanmu melecehkan tuhan kita dan merusak akidah para pemuda kita serta menciptakan perpeahan di antara kita. Kami datang kemari untuk berdamai.

Katakan kepadanya, kalau ia kekurangan harta, kami akan memberikan harta yang cukup banyak hingga ia menjadi orang Quraisy paling kaya. Kalau menginginkan kedudukan, kami bersedia menjadikannya sebagai pemimpin kami.”

Abu Thalib menyampaikan usulan musyirikin kepada Rasulullah saww. Lalu beliau saww menjawab, “Kalau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tidak menginginkannya, tetapi aku menghendaki mereka memberiku satu kalimat saja, yang dengan kalimat itu mereka akan menguasai Arab, dan orang-orang selain Arab (‘Ajam) akan cenderung pada agama mereka, dan di akhirat mereka akan menjadi pemimpin surga.”

Abu Thalib menyampaikan pesan Rasulullah saww kepada musyrikin Quraisy. Mereka masih belum mengerti apa kalimat yang dimaksud itu. Mereka berkata, “Tak ada masalah. Hanya satu kalimat saja amatlah ringan. Bahkan sepuluh kalimat pun kami akan mengkabulkannya. Katakanlah, apa kalimat itu?”

Kemudian Rasulullah saww menyatakan (via Abu Thalib), “Kalian bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah.”

Mendengar jawaban ini, musyikin terperanjat dan berkata, “Apakah kita harus meningalkan tuhan kita yang jumlahnya 360, lalu hanya memuja satu tuhan saja? Sungguh ini amat mengherankan?”

Ayat ke-4 sampai ke-6 dari surat al-Shad diturunkan berkenaan dengan kejadian ini. Pada ayat kelima berbunyi: Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Mahaesa? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu hal yang sangat mengherankan.

Dengan cara demikian, Rasulullah saww menolak dan menentang berbagai bentuk usulan damai dari musyrikin. Dalam menjaga dan mempertahankan ketauhidan beliau tidak menyambut usulan mereka untuk menghentikan dakwahnya.


Oleh-oleh Syahid Muthahhari dari Paris

Sewaktu Imam Khomeini keluar dari Irak menuju Paris, sejumlah tokoh menemui beliau. Di antaranya adalah Syahid Muthahhari. Sekembalinya Syahid Muthahhati dari Paris, teman-temannya bertanya kepadanya, “Apa yang engkau saksikan di Paris?” Ia menjawab, “Aku menyaksikan empat âmana (ia percaya).” Marilah kita dengarkan secara langsung tuturan Syahid Muthahhari.

“Kurang lebih selama 12 tahun, saya belajar kepada pribadi agung ini. Dan selama perjalanan ke Paris, saya berkunjung dan bertemu dengan beliau. Banyak hal yang saya saksikan dari sisi kejiwaannya yang membuat saya tercengang dan menambah keimanan saya. Tatkala saya kembali ke Iran, teman-teman saya bertanya, ‘Apa yang kamu saksikari?’ Saya menjawab, ‘Saya menyaksikan empat âmana (ia percaya, ia beriman).

1. Ia percaya pada tujuannya; jika dunia ini dikumpulkan, tak mampu menyimpangkan dirinya dari tujuannya.
2. Ia percaya pada jalannya; tidak mungkin dibelokkan dari jalan itu. Ini persis seperti iman dan kepercayaan Rasul saww terhadap tujuan dan jalannya.
3. Ia percaya pada ucapannya; di antara teman-teman dan sahabat saya, saya tidak menjumpai seorang pun yang memiliki kepercayaan terhadap jiwa dan semangat rakyat Iran sebagaimana beliau. Tatkala mereka menasihati beliau agar bergerak secara perlahan lantaran rakyat sedang kurang semangat dan merasa keletihan, beliau malah menjawab, ‘Tidak, rakyat bukan sebagaimana yang kalian katakan, saya mengenal rakyat dengan baik.’ Saya menyaksikan bahwa hari demi hari ucapan beliau menjadi kenyataan.

Lebih dari itu, ia percaya kepada Tuhannya; dalam sebuah majelis khusus, beliau (Imam Khomeini) berkata kepada saya, ‘Hai fulan! Ini bukan kita yang melakukannya. Saya merasakan dengan jelas tangan Allah.’ Sosok yang mampu merasakan pertolongan dan karunia Allah, serta melangkahkan kaki di jalan Allah, niscaya Allah pun akan menurunkan bantuan dan pertolongan-Nya sebagaimana yang tercantum dalam ayat suci-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukannmu. (Muhammad: 7) Saya benar-benar menyaksikan pertolongan Allah kepada pribadi agung itu; beliau bangkit demi Allah, dan Allah pun menganugerahi beliau hati yang tegar, yang sama sekali tidak terguncang rasa takut.... Pribadi ini sehari-harinya duduk dan memberi berbagai wejangan yang mengobarkan semangat, sedangkan di pagi buta minimal selama sejam, beliau berdoa dan bermunajat kepada Allah, seraya meneteskan air mata. Ini sulit dipercaya. Sosok ini, persis sebagaimana sosok Imam Ali bin Abi Thalib―yang sering disebut tersenyum ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, dan menangis ketika berada di mihrab―sering menangis, meneteskan air mata, dan pingsan. Semua itu saya saksikan pada diri beliau (Imam Khomeini).”


Syiah Sejati menurut Imam Kedelapan

Imam Ali bin Musa al-Ridha tinggal di Khurasan. Secara lahiriah, beliau tampak seperti putera mahkota (waliyyul ahd) dari Ma’mun Abbasi. Serombongan Syiah lalu menemui beliau di Khurasan. Mereka meminta izin kepada penjaga pintu untuk masuk ke dalam rumah. Penjaga pintu menyampaikan kedatangan mereka kepada Imam Ali al- Ridha. Namun Imam tidak memberi izin.

Selama dua bulan penuh, setiap harinya dua kali mereka datang ke rumah Imam Ali al-Ridha. Namun beliau tetap tidak menerimanya. Mereka berkata kepada penjaga pintu untuk menyampaikan pesan kepada beliau bahwa mereka adalah Syiah beliau. Tatkala penjaga pintu itu menyampaikan pesan mereka, Imam Ali al-Ridha menjawab, “Sekarang saya sedang sibuk. Jangan engkau izinkan mereka masuk.”

Akhirnya mereka berkata kepada penjaga pintu, “Sampaikanlah kepada Imam, kami berasal dari negeri yang jauh. Sudah berulang kali kami meminta izin, namun beliau selalu menolak. Musuh-musuh kami tentu akan merasa gembira. Kalau kami kembali ke negeri kami sebelum berjumpa dengan Anda, niscaya kami merasa malu terhadap masyarakat negeri kami....”

Penjaga pintu menyampaikan pesan itu kepada Imam Ali al-Ridha. Lalu Imam berkata, “Izinkan mereka masuk.” Penjaga pintu mengizinkan mereka masuk.

Akhirnya mereka pun bertemu dengan Imam Ali al-Ridha. Setelah menanyakan keadaannya, mereka bertanya kepada Imam Ali al-Ridha, “Wahai putera Rasulullah, mengapa kami begitu hina dan rendah, setelah Anda enggan menerima kedatangan kami. Kami tak lagi memiliki harga diri. Apa sebabnya?”

Imam Ali al-Ridha menjawab, “Bacalah ayat ini: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (al-Syûra: 30) Berkenaan dengan kalian, saya mengikuti tuntunan Allah, Rasul-Nya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, ayah dan kakek-kakekku yang suci.”

Mereka menjawab, “Mengapa Anda tidak mempedulikan kami?”

Imam Ali al-Ridha berkata, “Karena kalian mengaku diri kalian adalah Syiah (pengikut) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Celakalah kalian! Sesungguhnya Syiah Ali bin Abi Thalib adalah pribadi-pribadi seperti al-Hasan, al-Husain, Abu Dzar, Salman, Miqdad, Ammar, Muhammad bin Abubakar. Mereka semua sama sekali tak pernah melanggar perintah dan larangan beliau (Imam Ali bin Abi Thalib). Namun, sewaktu kalian menyatakan diri kalian adalah Syiah Ali, sebagian besar perbuatan kalian justru bertentangan dengan perintah dan larangan beliau. Kalian melalai- kan tugas dan kewajiban kalian, tidak menjaga dan memperhatikan hak-hak saudara kalian. Pada saat wajib bertaqiah, kalian tidak bertaqiah, dan pada saat haram bertaqiah kalian justru bertaqiah. Sekiranya kalian tidak mengatakan bahwa kami adalah Syiah, tetapi mengatakan bahwa kami adalah teman para kekasih Allah (auliyâullah) dan musuh orang yang memusuhi mereka (para kekasih Allah), maka saya tak akan menolak kalian. Namun kalian mengaku diri kalian memiliki kedudukan yang terhormat (Syiah). Padahal pengakuan kalian itu tidak sesuai dengan perbuatan dan perilaku kalian; kalian tengah melangkah di jalan kebinasaan, kecuali jika kalian bertobat dan mengganti kekurangan yang lalu.”

Mereka menjawab, “Setelah ini kami akan menyatakan bahwa kami adalah teman anda dan musuh mereka yang memusuhi Anda (dan bukan Syiah anda.)”

Imam Ali al-Ridha berkata, “Bagus, wahai saudara dan temanku.” Lalu Imam menghormati mereka dan mempersilahkan mereka duduk di dekat beliau. Kemudian beliau bertanya kepada penjaga pintu, “Berapa kali engkau menghalanginya masuk?” Ia menjawab, “Enam puluh kali.” Imam berkata, “Datanglah menemui mereka sebnyak enam puluh kali, lalu sampaikanlah salam saya kepadanya. Lantaran bertobat, mereka telah diampuni oleh Allah, dan berkat kecintaan mereka kepada kami, mereka beserta sanak keluarga mereka mendapat rahmat dan karunia khusus-Nya dan dianugerahi makanan serta harta melimpah ruah, dan dijauhkan dari berbagai penderitaan.”


Mengenang Seorang Syuhada Karbala

Seorang syuhada Karbala bernama Muhammad bin Basyar Hadhrami. Di awal malam ‘Âsyûrâ, sebagaimana seluruh sahabat Imam Husain lainnya, ia juga menyampaikan ungkapan kesetiaannya kepada beliau. Saat itu, ia mendengar kabar bahwa anaknya yang ada di perbatasan kota Rayy ditangkap dan ditawan musuh. Muhammad berkata, “Saya mengharapkan pahala dari Allah atas musibah yang menimpa anakku dan diriku.”

Imam Husain mendengar ucapannya. Beliau berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Saya melepas baiatmu kepadaku. Pergilah, berusahalah untuk menyelamatkan anakmu.” Muhammad bin Basyar berkata, “Binatang buas memakanku hidup-hidup, jika aku berpisah darimu.”

Kemudian Imam Husain memberinya beberapa helai pakaian senilai seribu dinar, seraya berkata, “Berikanlah pakaian ini kepada anakmu yang lain, sehingga ia yang akan memberi pakaian ini kepada musuh (sebagai tebusan), yang dengannya ia akan membebaskan saudaranya dari tawanan musuh.”

Dengan demikian, sekalipun memiliki kesempatan untuk meninggalkan Imam Husain, namun Muhammad bin Basyar tetap tegar dan setia membela Imam Husain.


Ridha terhadap Ridha Ilahi

Seorang murid Imam Ja’far al-Shadiq bernama Qutaibah mengatakan, “Salah seorang anak Imam Ja’far al-Shadiq jatuh sakit. Lalu saya pergi ke rumah beliau untuk menengoknya. Tatkala sampai di depan pintu rumah beliau, saya melihat beliau sedang berdiri di samping pintu rumah dalam keadaan sedih. Saya bertanya, ‘Bagaimana kondisi anak Anda?’ Beliau menjawab, ‘Seperti itu dan terbaring.’ Kemudian beliau masuk ke dalam rumah. Selang beberapa jam, beliau keluar. Saya melihat beliau dalam keadaan gembira. Tak ada tanda-tanda kesedihan di wajah beliau. Kemudian saya berguman, ‘Pasti anak beliau sudah sembuh dan kesehatannya pulih kembali.’ Lalu saya bertanya kepada beliau, ‘Bagaimana kondisi anak Anda?’ Beliau menjawab, ‘Telah meninggal dunia.’ Saya heran dan bertanya, ‘Saat anak Anda masih hidup, Anda bersedih. Tapi tatkala ia meninggal dunia, saya tidak melihat tanda-tanda kesedihan di wajah Anda.’ Beliau menjawab, ‘KamiAhlul Bait, sebelum musibah kematian, kami bersedih. Namun tatkala qadha Ilahi telah datang, kami ridha dan pasrah pada ketentuan Ilahi.’”


Rasulullah Marah terhadap Ucapan Bilal

Pada masa Rasulullah saww, seorang wanita menderita sakit dan meninggal dunia. Setiap orang yang mendengar berita kematiannya seperti biasa berkata, “Wanita itu telah lega dan berbahagia.” Sudah menjadi kebiasaan bahwa tatkala seorang hidup di dunia dalam keadaan menderita lalu meninggal dunia maka orang-orang akan mengatakan bahwa dirinya sudah lega. Tak terkecuali Bilal. Tatkala berjumpa dengan Rasulullah saww ia berkata, “Wanita fulanah telah meninggal dan telah lega.”

Mendengar ucapan Bilal ini, Rasulullah saww marah dan bersabda, “Sesungguhnya lega bagi yang mendapat ampunan.” Maksudnya seseorang―dalam kondisi apapun―yang meninggal dunia tidak akan merasa lega dan bahagia. Boleh jadi itu malah menjadi awal kesengsaraannya. Lain hal dengan orang yang mendapatkan ampunan dikarenakan keimanan dan ketakwaannya; orang semacam ini akan merasa lega dan berbahagia.


Keberanian dan Firasat Imam Khomeini

Ada sebuah kejadian menarik sewaktu Imam Khomeini berada di Paris. Waktu itu, di Iran, Syah telah membentuk dewan kerajaan. Setelah itu, ia melarikan diri ke luar Iran. Kepala dewan kerajaan adalah Sayyid Jalaluddin Tehrani. Sosok Sayyid Jalaluddin cukup terkenal dan ahli nujum (astrologi). Ia punya tulisan tangan yang indah. Dalam upaya mengobati penyakitnya, ia bertolak ke Paris. Ia menggunakan kesempatan itu untuk menemui dan mengatakan pembicaraan dengan Imam Khomeini. Sesampainya di pintu rumah Imam, ia meminta izin bertemu dengan beliau. Lalu penjaga menyampaikan kedatangannya kepada Imam Khomeini.

Imam berkata, “Pertemuannya denganku harus dengan syarat; ia menulis surat pengunduran dirinya dari dewan kerajaan.”

Jawaban Imam disampaikan kepadanya. Dengan tulisannya yang indah, ia menulis surat pengunduran dirinya. Lalu surat itu diserahkan kepada Imam Khomeini.

Setelah mambaca surat itu, Imam berkata, “Ini tidak cukup. Karena ada kemungkinan, setelah keluar dari sini, ia akan mengatakan bahwa dirinya terpaksa menulis semua itu; ia harus menulis alasan pengunduran dirinya.” Pesan itu disampaikan kepada Sayyid Jalaluddin. Lalu ia menulis demikian, “Sesuai pernyataan Imam Khomeini bahwa dewan kerajaan bertentangan dengan undang-undang dasar, maka saya mengundurkan diri.”

Baru setelah itu Imam Khomeini mengizinkannya masuk dan bertemu beliau di sela-sela pembicaranya dengan Imam Khomeini, ia berkata, “Sikap ini amat berat dan mencemaskan. Saya takut akan risikonya.” Imam Khomeini berkata, “Engkau sama sekali jangan merasa takut. Syah telah pergi dan sama sekali tak akan pernah kembali!”


Lelaki Miskin Meninggal di Kubur Imam Ali

Alkisah, sekembalinya Imam Hasan dan Imam Husain dari menguburkan jasad suci Imam Ali, dan hendak ke Kufah, di tengah perjalanan keduanya melihat seorang lelaki miskin dan buta duduk di sampaing bangunan reot. Wajahnya tampak sangat sedih dan ketakutan dengan kepala tetunduk seraya menangis. Keduanya bertanya, “Siapakah Anda? Mengapa bersedih?”

Ia menjawab, “Saya adalah orang asing dan sendirian. Saya tak punya seorang pun untuk berbagi duka.

Selama setahun saya berada di kota ini. Setiap hari ada seseorang yang baik hati menemui saya dan menanyakan keadaan saya, memberi saya makanan, dan berbincang-bincang dengan saya. Namun sekarang telah tiga hari berlalu dan ia tidak datang kemari, tidak menanyakan keadaan saya.”

Mereka bertanya, “Apakah engkau tahu namanya?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak menanyakan namanya?”

Ia menjawab, “Saya sudah menanyakannya, namun ia menjawab, ‘Apa kepentinganmu dengan namaku.

Saya merawatmu demi keridhaan Allah.’”

Mereka bertanya, “Bagaimana wajah dan postur tubuhnya?”
Ia menjawab, “Saya buta saya tidak mengetahui wajah dan postur tubuhnya.”

Mereka bertanya, “Apakah engkau sama sekali tidak mengenal ciri-ciri sikap dan pembicaraannya?”

Ia menjawab, “Lisannya senantiasa dalam keadan berzikir. Tatkala ia berzikir dan bertasbih, bumi, pintu, dan dinding-dinding ikut bertasbih bersamnya; tatkala duduk di samping saya, ia berkata, ‘Orang miskin duduk di sebelah orang miskin, orang asing duduk di sebelah orang asing.’”

Imam Hasan dan Imam Husain, (Muhamad Hanafiah dan Abdullah bin Ja’far) amat mengenal orang baik dan tak dikenal itu. Mereka saling berpandangan dan berkata, “Hai orang miskin dan asing! Ciri-ciri yang engkau sebutkan itu adalah ciri-ciri ayah kami, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”

Orang miskin berkata, “Lalu mengapa sudah tiga hari ini ia tidak datang menemuiku?”

Mereka menjawab, “Hai orang miskin dan asing! Seorang terkutuk telah menghunuskan belatinya ke kepalanya. Ia pun berpulang ke hadirat Allah. Tadi, baru saja kami kembali dari kuburnya.”

Tatkala mengetahui peristiwa yang terjadi, orang miskin itu menjerit dan menangis. Ia merebahkan tubuhnya ke tanah dan melempari wajahnya dengan pasir seraya berkata, “Apa keistimewaanku sehingga Amirul Mukminin merawatku? Mengapa mereka membunuhnya?”

Imam Hasan dan Imam Husain berusaha menenangkannya. Namun ia tak juga tenang. Kemudian orang tua miskin itu memeluk Imam Hasan dan Imam Husain dan berkata, “Demi kakek-kakek kalian, demi jiwa ayah kalian yang mulia, bawalah aku kuburnya.”

Imam Hasan memegang tangan kanannya, sementara Imam Husain memegang tangan kirinya. Mereka memapahnya ke kubur Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Setelah sampai, ia me-rebahkan dirinya ke kubur beliau dalam keadaan menangis dan meratap. Ia berkata, “Ya Allah, saya tak mampu menanggung beban perpisahan dengan ayah yang baik ini. Demi pengbuni kubur ini, ambillah nyawaku!”

Doanya terkabul! Ia pun menghembuskan nafas terakhirnya di atas kubur suci Imam Ali. Menyaksikan kejadian itu, Imam Hasan dan Imam Husain tak kuasa menahan tangis kesedihan. Mereka berdua segera memandikan, mengafani, dan menyalati jenazah si miskin, lalu dikuburkan di sekitar makam suci tersebut.


Penjara Pertama Imam Musa al-Kazhim

Berdasarkan perintah Harun al-Rasyid, Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim dibawa dari Madinah ke Irak. Di sana, beliau lalu dipenjara. Beliau dipindah-pindahkan dari satu penjara ke penjara lain. Pertama kali beliau dimasukkan ke penjara Isa bin Ja’far di Bashrah, lalu dipindahkan ke penjara Fadhl bin Rabi’ di Baghdad, kemudian di pindahkan lagi ke penjara Fadhl bin Yahya juga di Baghdad. Terakhir beliau dimasukkan ke penjara Sindi bin Syahik. Di situ, beliau diracun sehingga menghembuskan nafas terakhirnya.

Pada kali yang pertama, Imam Musa al-Kazhim dibawa ke Bashrah dan diserahkan kepada Isa bin Ja’far bin Mansur (cucu Mansur al-Dawaniqi). Selama setahun, beliau menghuni penjara itu. Lalu Isa menulis surat kepada Harun sebagai berikut, “Selama Musa berada dalam penjara saya, saya telah mengujinya dan mengutus beberapa mata-mata untuk mengawasinya. Mereka tidak melihatnya [berbuat apapun] selain beribadah dan berdoa. Kemudian saya mengutus seseorang untuk mencari tahu apa yang dipanjatkan dalam doanya itu. Ternyata ia senatiasa memohon ampunan dan rahmat dari Allah untuk dirinya. Karena itu, tidak pantas saya menahannya dalam penjara. Utuslah seseorang untuk mengambilnya dari saya.”

Setelah menerima surat Isa, Harun segera mengutus seseorang untuk menjemput Imam Musa al-Kazhim dari penjara Isa bin Ja’far dan membawanya ke Baghdad menemui salah satu menterinya (Fadhl bin Rabi’). Di situ, beliau dimasukkan ke dalam penjara kedua.


Nasihat Orang Bijak dari Pisau Tukang Cukur untuk Raja

Dahulu kala, hiduplah seorang tukang cukur termasyhur yang biasa merapikan rambut dan janggut raja. Suatu hari, ia pergi ke pasar. Di situ, ia melihat seorang lelaki tua sedang duduk di sebuah kedai sederhana.

Di hadapannya terdapat pena dan kertas. Namun, tak ada sesuatupun dalam kedai itu. Ia merasa heran dan bertanya-tanya, gerangan apa yang dijual lelaki bersurban itu. Ia pun menghampirinya dan bertanya, “Wahai tuan! Apa yang Anda jual?” Lelaki tua itu menjawab, “Aku orang bijak yang menjual nasihat.”
Tukang cukur, “Nasihat apa?”

“Nasihatku tidak gratis. Hargnya seratus dirham,” jawab lelaki tua.

Setelah terjadi tawar menawar, akhirnya si tukang cukur setuju memberinya seratus dirham. Lelaki tua itu pun segera mengambil ungnya dan menulis nasihat di atas selembar kertas. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada si tukang cukur.

Nasihat yang diberikan kepada situkang cukur adalah sebagai berikut, “Orang yang paling cerdik adalah orang yang tidak melakukan suatu perbuatun sampai dirinya tahu apa akibat dari perbuatannya itu.”

Si tukang cukur segera mengambil kertas berisi nasihat itu. Dikarenakan nasihat tersebut dibelinya dengan harga yang tinggi, ia pun menyimpannya baik-baik. Bahkan, ia senantisa menuliskan nasihat itu di berbagai benda. Termasuk di atas batu yang biasa digunakannya untuk mengasah pisau cukurnya.

Suatu hari, perdana menteri saat itu (yang berniat jahat) datang menemui tukang cukur dan berkata, “Saya baru saja datang dari luar negeri dan membawa hadiah untukmu, sebuah pisau cukur terbuat dari emas. Karena kamu terbiasa mencukur dan merapikan janggut raja, sebaiknya setelah ini kamu gunakan pisau cukur ini untuk mencukur janggut raja (pisau cukur itu telah dilumuri racun oleh perdana menteri. Ia menginginkan racun itu bercampur dengan darah raja dan meninggal dunia).”

Tukang cukur merasa amat gembira. Tatkala hendak mencukur janggut raja, ia pun mengeluarkan pisau cukur emas itu. Saat itu matanya tertumbuk pada nasihat yang tertulis di batu asahan. Ia lalu merenung, “Saya masih belum pernah mengamalkan nasihat ini. Sebaiknya saya sekarang mengamalkannya. Karena saya masih belum tahu akibat dari menggunakan pisau cukur ini, saya tak akan menggunakannya untuk mencukur janggut raja.”

Mengetahui tukang cukurnya terdiam dan tercenung, Sang Raja bertanya, “Apa yang terjadi?” Lalu tukang cukur itu menceritakan tentang nasihat orang bijak dan hadiah pisau cukur dari perdana menteri.
Sang Raja tahu bahwa perdana menteri hendak membunuhnya lewat racun yang melekat di pisau cukur itu. Lalu ia segera mengumpulkan para pembesar kerajaan dan mengundang perdana menteri untuk hadir di sana. Ia memerintahkan tukang cukur untuk mencukur dan merapikan cambang serta janggut orang-orang yang berniat jahat. Tukang cukur itupun melaksanakan perintah raja. Tak lama, semunya meninggal dunia termasuk si perdana menteri.

Tukang cukur itu menerima hadiah yang besar. Ia tahu bahwa harga nasihat orang bijak itu lebih dari seratus dirham. Ya, uang seratus dirham yang dikeluarkannya ternyata tidaklah sia-sia.


Pelajaran buat Kaum Wanita

Ummu Salamah, isteri RasuIullah saww, menceritakan bahwa pada suatu hari, dirinya tengah duduk bersama Rasulullah saww. Saat itu salah seorang isteri beliau saww lainnya yang bernama Maimunah juga ada disitu. Tak lama berselang, Ibnu Ummi Maktum yang buta masuk untuk menemui Rasulullah saww. Lalu Rasulullah saww bersabda kepadanya dan Maimunah, “Kenakanlah hijab kalian berdua.” Saya bertanya, “Wahai Rasulullah saww, bukankah ia orang buta?” Rasulullah saww bersabda, “Apakah kalian berdua juga buta, bukankah kalian berdua melihatnya?”


Contoh Pengorbanan Murid-murid Rasulullah

Seorang memberi sebuah kepala kambing kepada seorang sahabat Rasulullah saww (saat itu terjadi kekurangan pangan sehingga hadiah ini dianggap sangat berharga). Sahabat tersebut menerima hadiah itu. Ia berguman, “Si fulan lebih membutuhkan dari saya.” Lalu ia memberikannya kepad si fulan dan diterimanya. Ia juga berguman, “Si fulan lebih membutuhkan dari saya.” Ia pun memberikan kepala kambing itu kepadanya orang ketiga juga berguman, “Si fulan lebih membutuhkan dari saya.” Lalu ia juga memberikannya kepada orang keempat, dan seterusnya sampai orang ketujuh. Orang ketujuh tidak tahu dari mana awal mula pengorbanan ini. Ia lalu menghadiahkan lagi kepada orang pertama....
Dengan demikian, kepala kambing itu telah mengelilingi tujuh rumah.


Kemurahan Imam Ali al-Ridha terhadap Orang Miskin yang Sakit

Pada masa Imam Ali al-Ridha, serombongan kafilah dari Khurasan bergerak menuju Kirman. Di tengah perjalanan, mereka diserang sekumpulan perampok yang menjarah harta mereka. Salah seorang kafilah, (sebut saja namanya Abdullah) ditawan para perampok. Mereka berkata kepadanya, “Engkau memeliki harta yang cukup banyak. Engkau harus menyerahkan seluruh hartamu kepada kami.” Abdullah memohon kepada para perampok itu untuk membebaskannya. Namun mereka menolak. Di pagi hari, mereka menyiksa Abdullah agar segera menyerahkan hartanya.

Para perampok membaringkan Abdullah di tengah salju dan memenuhi mulutnya dengan salju. Mulutnya pun sakit parah sehingga ia tak mampu lagi berbicara.

Akhirnya salah seorang wanita dari kawanan perampok itu merasa iba. Ia memohon kepada para perampok itu untuk melepaskannya. Abdullah melarikan diri dari kawanan perampok itu. Dengan mulut penuh luka, ia kembali ke Khurasan. Di sana ia mendengar bahwa Imam Ali al-Ridha datang ke Khurasan dan sekarang sedang berada di Nisyabur, sekitar 75 kilometer dari Khurasan (Abdullah adalah seorang pecinta Ahlul Bait Rasulullah saww dan berharap memperoleh kesembuhan melalui mereka).

Sepanjang hari-hari itu Abdullah bermimpi seseorang datang menemuinya dan berkata, “Imam Ali al-Ridha berada di Nisyabur. Temuilah beliau dan mintalah beliau menyembuhkan sakit mulut dan lidahmu.” Dalam mimpi itu, Abdullah menemui Imam Ali al-Ridha dan menceritakan kejadian yang dialaminya. Imam bekata, “Raciklah sedikit uwisyan (sejenis sayuran) yang dicampur dengan jintan dan garam, lalu tumbuklah sampai halus dan lumat. Kemudian tempelkan racikan itu ke mulut dan lidahmu sebanyak tiga atau empat kali sehari.”

Abdullah terjaga. Namun ia tidak menghiraukan mimpinya itu seraya bergumam, “Apa yang terjadi dalam mimpi tak dapat dipercaya.” Ia lalu berangkat ke Nisyabur untuk menemui Imam Ali al-Ridha. Ia bertanya kepada orang-orang di Nisyabur tentang tempat Imam berada. Mereka mengatakan bahwa Imam Ali al-Ridha sedang berada di penginapan milik Sa’ad. Abdullah pergi ke tempat penginapan itu dan bertemu dengan Imam Ali al-Ridha. Ia menceritakan kejadian yang dialaminya kepada beliau, dan memohon beliau memberikan obat bagi kesembuhan lidah dan mulutnya.

Imam Ali al-Ridha berkata, “Bukankah aku telah memberitahumu dalam mimpimu tentang obat yang dapat menyembuhkan sakit lidah dan mulutmu?”

Abdullah berkata, “Jika tidak keberatan, saya berharap Anda memberitahu saya sekali lagi cara mengobati sakit lidah dan mulut saya.”

Imam Ali al-Ridha berkata, “Ambillah sedikit uwisyan, lalu campurlah dengan sedikit jintan dan garam, kemudian tumbuklah sampai halus dan lumat, lalu tempelkanlah racikan itu pada lidah dan mulutmu sebanyak tiga atau empat kali sehari, dan kamu akan segera sembuh.”

Abdullah berkata, “Kemudian saya pun melaksanakan apa yang beliau perintahkan. Sebagaimana yang beliau janjikan lidah dan mulut saya sembuh dan kembali seperti sedia kala.”


Balasan terhadap Seorang Kurdi yang Sombong

Seorang pemimpin bangsa Kurdi yang amat bengis dan kejam menjadi tamu seorang putera mahkota. Ia duduk di sampingnya dalam sebuah jamuan makan. Tatkala mata pemimpin Kurdi ini tertumbuk pada beberapa ekor burung puyuh panggang yang tersedia di meja jamuan, ia pun tertawa. Putera mahkota bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda tertawa?” Ia menjawab, “Beberapa tahun lalu di awal-awal saya tumbuh menjadi seorang pemuda, saya pernah menghadang seorang saudagar. Ketika saya hendak membunuhnya, ia menghadap pada dua ekor burung puyuh yang ada di atas bukit seraya berkata, ‘Hai burung puyuh! saksikanlah bahwa lelaki ini adalah pembunuhku.’ Sekarang saya melihat kedua burung puyuh itu telah dipanggang dan tersedia di depan mataku. Saya teringat kedunguan saudagar itu (sekarang kedua burung puyuh itu telah mati dan akan menjadi santapan saya dan tak ada lagi yang akan menjadi saksi).”

Putera mahkota adalah orang yang adil dan bijaksana. Ia berkata kepada si Kurdi pembunuh itu, “Sebenarnya kedua burung puyuh ini telah memberi kesaksiannya.” Kemudian ia memerintahkan memenggal kepala si Kurdi itu. Akhirnya, si Kurdi sombong itu mendapat ganjaran setimpal atas kejahatan yang telah yang telah dilakukannya.


Pertanyaan Matematika kepada Imam Ali

Seseorang datang menemui Imam Ali bin Abi Thalib dan bertanya, “Aku memiliki sebuah bilangan yang dapat dibagi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan tak ada sisanya.”

Imam Ali bin Abi Thalib dengan segera menjawab, “Kalikanlah hari-hari yang ada dalam sepekanmu, dengan hari-hari yang ada pada satu tahunmu.”

Kemudian si penanya mengalikan 7 dengan 360 (hari dalam setahun) dan hasil perkalian itu adalah 2520. Bilangan ini ternyata dapat dibagi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, tanpa tersisa.


Ketenangan Jiwa Imam Husain di Hari Âsyûrâ (Kesembilan Muharam)

Imam Ali Zalnal Abidin al-Sajjad berkata, “Di hari Âsyûrâ, peristiwa yang menimpa Imam Husain amatlah berat. Sebagian sahabat beliau melihat kondisi beliau yang amat berbeda dengan kondisi mereka; tatkala kepungan musuh semakln ketat, mereka semakin bersedih dan jantungnya kian berdebar-debar. Tetapi, kondisi Imam Husain dan sebagian sahabat beliau justru menampakkan raut wajah yang kian berbinar-binar dan tubuhnya semakin tenang. Dalam keadaan itu, satu sama lain akan saling berkata, ‘Lihatlah, seakan-akan lelaki ini (Imam Husain) sama sekali tidak memiliki rasa gentar dalam menyambut kematian.’”

Imam Husain memandangi mereka dan berkata, “Wahai anak- anakku yang mulia dan agung, tenanglah, bersabar dan bertahanlah. Sebab, kematian merupakan jembatan yang akan mengantarkan kalian dari berbagai kesulitan dan bencana menuju surga nan luas yang penuh kenikmatan kekal dan abadi. Adakah di antara kalian yang enggan dipindahkan dari penjara ke istana? Ya, kematian bagi musuh-musuh kalian laksana dipindahkan dari istana menuju penjara. Ayahku meriwayatkan dari Rasulullah saww yang menyabdakan, ‘Sesungguhnya dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir, dan kematian adalah jembatan mereka menuju surga-surganya dan jembatan mereka menuju jahim-jahim mereka.’”

Kemudian Imam Husain berkata, “Saya tidak berbohong dan tidak pula dibohongi (saya tidak berkata bohong dan saya juga tidak dibohongi ayah saya).”


Kejadian di Alam Barzkh

Allamah Thabathaba’i (Sayyid Muhammad Husain) berkata bahwa gurunya yang arif dan bertakwa, Haji Mirza Ali pernah bercerita, “Sewaktu saya berada di Najaf al-Asyraf, di dekat rumah saya ada seorang ibu (anak salah seorang pembesar Usmani Ahlusunah) meninggal dunia. Puterinya menangis, menjerit, dan merasa amat kehilangan. Ia ikut mengantarkan jenazah ibunya sampai ke liang kubur. Di sana ia menangis keras-keras sehingga membuat para pengantar jenazah ikut menangis.

Tatkala jenazah ibunya diletakkan di liang lahat, sang puteri menjerit, “Saya tak akan berpisah dengan ibu.” Orang-orang berusaha membujuk dan menenangkannya. Namun, usaha itu selalu gagal. Mereka kebingungan. Sekiranya mereka tetap memisahkannya dari ibunya, besar kemungkinan itu akan membahayakan jiwanya. Akhirnya mereka bersepakat untuk membiarkannya berbaring di samping jenazah ibunya. Liang kubur itu tidak ditimbuni tanah. Mereka hanya menutup atasnya dengan beberapa lembar papan yang diberi celah kecil agar anak perempuan itu tidak mati lemas lantaran kehabisan udara. Kapan saja ingin keluar, ia dapat melewati celah itu.

Pada malam pertama perempuan itu tertidur di samping ibunya. Keesokan harinya, orang-orang membuka papan penutup kuburan untuk mengetahui keadaan anak perempuan itu. Saat itu mereka melihat seluruh rambut di kepalanya telah menjadi uban.

Mereka bertanya, “Mengapa kamu menjadi semacam ini?” Ia menjawab, “Pada malam itu, saya tidur di samping jenazah ibu. Tiba-tiba saya melihat dua malaikat datang dan berdiri di samping kanan dan kiri ibu. Di tengahnya berdiri seseorang yang mulia. Kedua malaikat itu sibuk menanyakan akidah ibu saya; menanyakan ketauhidan, dan ibu saya menjawabnya dengan benar; menanyakan kenabian, dan ibu saya juga menjawabnya dengan benar bahwa nabinya adalah Muhammad bin Abdullah. Sampai akhirnya mereka menanyakan siapa imamnya? Orang mulia yang berdiri di tengah mereka berkata, ‘Aku bukan Imamnya (orang mulia itu ternyata Imam Ali bin Abi Thalib).’”

“Seketika itu, kedua malaikat tersebut mencambuk kepala ibu saya sampai mengeluarkan api yang percikannya sampai ke langit. Karena dicekam rasa takut yang hebat, saya pun menjadi seperti yang kalian saksikan; seluruh rambut saya menjadi uban.”

Almarhum Mirza Ali berkata, “Seluruh suku puteri ini yang bermazhab Ahlusunah, setelah menyaksikan kejadian ini, berbondong-bondong menganut mazhab Syiah (karena kejadian ini sesuai dengan ideologi mazhab Syiah). Adapun perempuan itu telah mendahului mereka dalam menyakini kebenaran mazhab Syiah.”


Dialog Imam Hasan al-Mujtaba dengan Sahabatnya

Imam Hasan al-Mujtaba memiliki seorang sahabat yang humoris. Setelah lama tidak bersua dengan beliau, ia memutuskan untuk datang menemui Imam Hasan al-Mujtaba. Imam Hasan berkata kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?” Si sahabat menjawab, “Wahai putera Rasulullah! Hari-hari saya tidak saya lewati sesuai dengan yang saya inginkan, tidak sesuai dengan yang Allah inginkan, dan tidak sesuai dengan yang setan inginkan!”

Imam Hasan tertawa dan berkata kepadanya, “Jelaskanlah maksud pembicaraanmu.”

Sahabat, “Allah menginginkan saya taat kepada-Nya, dan saya sama sekali tidak bermaksiat, dan saya tidak demikian; setan menginginkan saya bermaksiat kepada Allah dan sama sekali tidak taat kepada-Nya, saya juga tidak demikian (terkadang taat kepada Allah, terkadang tidak); saya menghendaki untuk tidak mati, namun tidak demikian (karena akhirnya saya akan mati).”

Saat itu salah seorang hadirin berdiri dan berbicara, “Wahai putera Rasulullah! Mengapa kita tidak menyukai kematian dan menganggapnya tidak menyenangkan?”

Imam Hasan menjawab, “Karena kalian telah merusak akhirat dan membangun dunia kalian. Karena itu kalian tidak merasa senang bepergian dari tempat yang indah menuju tempat yang rusak.”


Kutukan Ali bin Abi Thalib

Malam Jumat, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriah, adalah malam terakhir kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Hasan menceritakan bahwa pada malam itu beliau bersama ayahnya hendak berangkat menuju masjid. Ayahnya berkata, “Anakku! Malam ini saya sekejap tertidur. Saat itu saya berjumpa dengan Rasulullah saww. Tetapi saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, betapa besar kebengkokan dan permusuhan yang saya hadapi dari umatmu.’ Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Mohonlah [kepada Allah] agar keburukan menimpa mereka.’ Tetapi saya katakan, ‘Semoga Allah menggantikan mereka bagi saya dengan yang lebih baik, dan menggantikan saya bagi mereka dengan yang lebih buruk.’”
Di subuh hari itu, kutukan Ali terkabul.


Manusia yang Tak Berbahagia

Di masa kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib, hiduplah seorang muslimin bernama Hartsamah bin Salim. Ia adalah orang yang tidak berbahagia dan tidak terlalu menghormati kebesaran Imam Ali. Namun isterinya adalah wanita yang taat dan suci serta pecinta Imam Ali bin Ali Thalib.

Hartsamah berkata, “Saya berangkat bersama Imam Ali dari Kufah menuju medan perang Shiffin. Ketika kami tiba di gurun Karbala, waktu shalat telah tiba. Lalu kami menunaikan shalat berjamaah bersama Imam Ali. Setelah selesai shalat, beliau mengambil segenggam tanah Karbala dan menciumnya seraya berkata, ‘Wahai tanah! Darimu akan dibangkitkan suatu kaum yang akan masuk surga tanpa perhitungan (hisâb).’

Lalu kami melanjutkan perjalanan ke medan Shiffin. Seusai pertempuran, saya pulang ke rumah. Saya menceritakan kepada isteri saya (yang Syiah) pengalaman saya. Saya berkomentar, ‘Ali mengaku memiliki ilmu gaib.’ Isteri saya menjawab, ‘Apa yang dikatakan adalah benar.’ Saya berkata, ‘Saya masih meragukan apa yang dikatakan Ali.’ Sampai kemudian terjadilah peristiwa Karbala (Ibnu Ziyad mengerahkan bala tentaranya ke gurun Karbala untuk memerangi Imam Husain). Saya masuk ke dalam pasukan Umar bin Sa’ad dan bertolak ke Karbala. Di sana, saya terkenang ucapan Imam Ali yang teryata benar. Karena itu, saya pun merasa sedih lantaran termasuk pasukan Umar bin Sa’ad. Pada suatu kesempatan, saya memacu kuda saya menuju Imam Husain dan menceritakan kepada beliau tentang ucapan ayahnya. Imam Husain berkata, ‘Sekarang apakah engkau termasuk pendukungku atau penentangku?’ Saya menjawab, ‘Tidak yang manapun. Sekarang saya sedang memikirkan nasib keluarga saya....’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu, segeralah pergi dari sini. Sebab orang yang ada di sini dan mendengar panggilanku lalu enggan menolongku, pasti akan masuk neraka.’”

Hartsamah orang yang tidak berbahagia. Dalam kondisi genting semacam itu, ia justru enggan bergabung bersama Imam Husain. Ia pun segera memacu kudanya keluar dari gurun Karbala demi menyelamatkan nyawanya.


Jeritan Jenazah yang Menyeramkan

Syaikh Abbas al-Qummi, penyusun buku doa Mafâtih al-Jinân, (wafat 1359 Hijriah) adalah seorang ulama yang dikenal ketakwaan dan kejujurannya. Beliau menghabiskan usianya untuk membimbing manusia lewat goresan penanya.

Seseorang yang dapat dipercaya mengatakan bahwa Syaikh Abbas al-Qummi bercerita kepada dirinya, “Sewaktu berada di Najaf al-Asyraf, saya pergi ke pemakaman Wadi al-Salâm untuk berziarah. Tatkala saya memasuki komplek pemakaman itu, tiba-tiba saya mendengar lengkingan unta (berulang-ulang). Saya berpikir, pasti di sekitar situ ada unta yang sedang dicap dengan besi panas sehingga mengeluarkan lengkingan semacam itu. Suara itu menggema ke seluruh penjuru Wadi al-Salâm. Saya bermaksud menyelamatkan unta malang itu. Bergegas saya melangkahkan kaki ke arah sumber suara. Namun, ketika semakin dekat dengan suara itu, saya tidak melihat adanya seekor unta, melainkan sekumpulan orang yang tengah menggotong jenazah. Ya, suara menyeramkan itu bersumber dari jenazah yang mereka gotong. Saya heran; orang-orang yang hendak membawa jenazah itu ke liang kubur nampak tenang-tenang saja dan sama sekali tidak mendengar jeritan si jenazah.”

Ini merupakan sebagian kejadian di alam barzakh, yang tirai penutupnya telah disingkapkan teruntuk almarhum Syaikh Abbas al- Qummi. Jelas jenazah itu adalah orang yang telah banyak berbuat dosa. Di alam barzakh, ia pun mendapat siksaan Allah. Saking beratnya siksaan itu, sampai-sampai ia melengking semacam itu.

Ya, orang-orang saleh seperti Syaikh Abbas al-Qummi―semoga Allah merahmatinya―dikarenakan selalu menjaga dan menjauhkan diri jeratan hawa nafsu mampu mencapai derajat yang tinggi; di mana beliau mampu mengetahui siksa alam barzakh atas orang-orang yang berdosa.


Contoh Kekejaman Reza Khan terhadap Ruhaniawan

Husain Fardust (mantan jenderal Iran) dalam artikelnya yang menggambarkan keadaan semasa pemerintahan Reza Khan menulis sebagai berikut:
“Reza Khan menerapkan larangan kepada kalangan ruhaniawan untuk mengenakan pakaian khusus keruhanian. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang diizinkan mengenakannya. Sementara yang lainnya, bila di jalan raya dipergoki mengenakan aba’ah (sejenis jubah) dan surban, maka orang-orang Reza Khan akan langsung menarik surban dan melepas aba’ah tersebut, serta memaki-makinya.”

“Para penjaga istana berulangkali mengatakan kepada saya, ‘Ini adalah tugas kita, dan kita akan menjalankannya.’”

Pada masa itu, saya berada sedang di rumah saya di Teheran. Tetangga saya adalah dua orang ruhaniawan yang mengenakan surban. Yang satu seorang Syaikh, dan yang lain seorang sayyid (Sayyid Mahmud). Karena saya punya hubungan yang baik dengan mereka, dan mereka juga sering datang kerumah saya, maka saya membuat sebuah pintu kecil di dinding pemisah antara halaman rumah saya dan halaman rumah mereka. Sebelumnya saya pernah belajar al-Quran dan fikih kepadanya (Sayyid Mahmud). Ia pernah bercerita kepada saya, ‘Pada suatu hari, saya kelupaan dan keluar rumah menuju lorong jalan (dengan mengenakan surban dan jubah). Tiba-tiba seorang polisi menghampiri saya dan menarik surban saya serta melilitkannya ke leher saya. Ia menyeret saya (dengan surban itu) sampai depan rumah saya.’

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: