Pesan Rahbar

Home » » Nadzar Untuk Selain Allah

Nadzar Untuk Selain Allah

Written By Unknown on Sunday 9 October 2016 | 23:10:00


Oleh: Najmudin Tabasi

Wahabisme berpandangan hukumnya nadzar untuk selain Allah adalah haram, menurut mereka perbuatan itu menyerupai nadzar untuk berhala-berhala dan muncul akibat sikap yang berlebihan dalam mengagungkan pihak yang dimaksud.

Qusaimi mengatakan: “Perbuatan itu satu dari sekian syi’ar-syi’ar Syi’ah yang disebabkan oleh sikap mereka yang berlebihan terhadap imam-imam mereka bahkan penuhanan mereka terhadap Ali dan keturunannya”. [1]

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Menurut ulama’ kita, tidak boleh hukumnya perbuatan nadzar apapun untuk kuburan atau siapa saja yang bersebelahan dengannya, baik sesuatu yang dinadzarkan itu berupa dirham, minyak, lilin, binatang atau apa saja yang selainnya, semua itu masuk kategori nadzar yang maksiat, karena sungguh telah terbukti dalam hadis sahih bahwa barangsiapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah maka hendaknya dia menaati-Nya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk maksiat kepada Allah maka hendaknya dia tidak bermaksiat kepada-Nya”. [2]

Dia juga mengatakan: “Jika permintaan itu ditujukan kepada orang-orang yang mati –meskipun mereka adalah para nabi– maka hukumnya terlarang, karena dikhawatirkan terjadi kesyirikan terhadap Allah, itulah sebabnya perbuatan nadzar untuk kuburan atau untuk penghuni kuburan adalah nadzar yang haram dan batil serta menyerupai perbuatan nadzar untuk berhala-berhala, dan siapa saja yang meyakini bahwa perbuatan nadzar untuk kuburan adalah bermanfaat atau berpahala maka dia adalah orang yang sesat dan bodoh”. [3]


Kritik atas Pandangan

Kritikan pertama yang menggugurkan pandangan Wahabisme di atas adalah yang dimaksud dengan nadzar di sini ialah nadzar sedekah dengan tujuan menghadiahkan pahalanya kepada Rasulullah saw., wali Allah, atau orang saleh, dan bukan dengan tujuan menyembah atau mendekatkan diri kepada selain Allah swt.
Maka sepatutnya bagi mereka untuk tidak gegabah dalam mengkafirkan orang lain atau menyerang muslimin dengan fatwa-fatwa yang tidak dipertimbangkan secara cukup, sebaliknya lebih beralasan apabila mereka menghukumi perbuatan orang yang muslim dengan sah dan benar.

Alasan kenapa tempat-tempat tertentu yang dipilih, karena kemuliaannya, sehingga dengan itu diharapkan pahala ibadah yang dilakukan di sana jadi berlipat ganda. Hal yang sama juga menjadi alasan kenapa ada waktu-waktu tertentu yang dipilih untuk beribadah. Selain itu juga didukung oleh beberapa hadis sebagai berikut:


Hadis-hadis Tentang Nadzar

1. Diriwayatkan dari Tsabit bin Dhahhak bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang dirinya yang bernadzar untuk menyembelih binatang di Buwanah[4], Rasulullah saw. bertanya: “Apakah di sana ada berhala-berhala Jahiliyah yang disembah?”, sahabat yang hadir pada waktu itu menjawab: “Tidak”, lalu beliau kembali bertanya: “Apakah di sana dirayakan hari-hari besar Jahiliyah?”, mereka menjawab: “Tidak”, maka Rasulullah saw. bersabda: “Penuhilah nadzarmu, karena nadzar yang tidak boleh dipenuhi adalah nadzar dalam hal maksiat kepada Allah atau dalam sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak Adam”. [5]
2. Maymunah meriwayatkan bahwa ayahnya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang dirinya yang bernadzar untuk menyembelih lima puluh kambing di Buwanah, beliau bertanya kepadanya: “Apakah di sana ada berhala-berhala?”, dia menjawab: “Tidak”, maka Rasulullah saw. bersabda: “Jika begitu maka penuhilah nadzarmu”. [6]

Mungkin hadis ini satu dengan hadis sebelumnya dan hanya sedikit berbeda dalam redaksinya. Dan mungkin pertanyaan Rasulullah saw., tentang apakah di sana terdapat berhala yang disembah atau apakah di sana dirayakan hari-hari besar Jahiliyah, untuk menyingkirkan kekhawatiran nadzar itu dilakukan sesuai dengan adat istiadat Jahiliyah yang masih belum lama berlalu.

Kritikan yang selanjutnya berkisar dalam makna nadzar itu sendiri. Nadzar adalah hendaknya seseorang mengharuskan dirinya untuk melakukan sesuatu tertentu dengan syarat jika targetnya terealisasi dan kebutuhannya terpenuhi, lalu dia berkata: Wajib bagiku demi Allah untuk melakukan ini (perbuatan) jika itu (target atau kebutuhan) terjadi.

Ini adalah nadzar yang sah menurut syari’at Islam, adapun ibarat nadzartu lifulan (aku bernadzar untuk sifulan) bersifat majas dan merupakan singkatan dari nadzartu lillahi ‘ala an af’ala sya’ian yakunu tsawabuhu lifulanin (aku bernadzar demi Allah untuk melakukan ini (perbuatan) yang pahalanya aku hadiahkan untuk si fulan).


Apakah Keserupaan Membolehkan Pengkafiran

Hal yang sangat mengherankan adalah pengkafiran yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah terhadap orang-orang muslim yang bernadzar sebagaimana di atas dengan alasan mereka telah melakukan sesuatu yang menyerupai perbuatan orang-orang musyrik.

Jika memang keserupaan menjadi tolok ukur, maka banyak perbuatan-perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang musyrik, seperti beberapa ritual haji yang secara dzohir serupa dengan perbuatan orang musyrik; thawaf mengelilingi Ka’bah, mencium Ka’bah, menyembelih binatang dan lain sebagainya.
Tolok ukur yang tepat adalah niat dan bukan keserupaan dengan sesuatu atau tidak. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya semua perbuatan dinilai dari niatnya”.

Azzami Syafi’i mengatakan: “Siapa saja yang mencari tahu keadaan muslimin yang melakukan nadzar tersebut maka dia pasti sampai pada kenyataan bahwa mereka tidak bermaksud apa-apa dari sembelihan dan sesuatu yang mereka nadzarkan untuk orang-orang mati kecuali sedekah dari pihak orang-orang yang mati tersebut dan menghadiahkan pahalnya kepada mereka.

Mereka juga tahu bahwa Ulama Ahli Sunnah berijmak atau bersepakat bahwa sedekahnya orang yang hidup juga bisa bermanfaat bagi orang mati dan pahalanya bisa sampai kepada mereka, hal itu didukung oleh hadis-hadis yang sahih sekaligus masyhur, seperti:
Hadis sahih dari Sa’ad; dia bertanya kepada Nabi saw.: “Wahai Nabiyullah! Ibuku telah mati, dan aku tahu andaikan dia sekarang hidup maka dia akan bersedekah, oleh karena itu apabila aku bersedekah dari pihak dia apakah sedekah itu bermanfaat baginya?”, beliau menjawab: “Iya”. Lalu Sa’ad bertanya lagi kepada beliau: “Sedekah apa yang paling bermanfaat wahai Rasulullah saw.?” beliau menjawab: “Air”. Maka Sa’ad menggali sumur dan berkata: “Sumur ini diniatkan untuk Ummu Sa’ad”. [7]

Ibnu Taimiyah dan orang-orang yang sependapat dengan dia salah dalam memandang muslimin, mereka beranggapan bahwa kata “untuk” dalam ucapan orang-orang muslim yang mengatakan “Sedekah ini untuk Nabi saw. atau untuk wali Allah” adalah sama dengan kata “untuk” yang digunakan saat kita bernadzar; “Aku bernadzar untuk Allah”, mereka mengira Nabi saw. atau wali itu menjadi maksud utama orang yang menyebutnya sebagaimana saat kita menyebut Allah swt.. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah dan semisalnya lalai atau pura-pura lalai bahwa perbuatan itu dilakukan oleh muslimin untuk mengabdi pada Allah swt. dan mendekatkan diri kepada-Nya, sedangkan kata “untuk” dalam ucapan mereka menunjukkan pihak yang diniatkan dalam sedekah tersebut.

Azzami mengatakan: “Kata “untuk” dalam ucapan Sa’ad digunakan dengan maksud menunjukkan pihak yang diniatkan dalam sedekah dan bukan bermaksud menyembah atau mendekatkan diri kepada pihak tersebut, itulah juga yang dimaksudkan oleh muslimin pada ucapan-ucapan mereka, mereka mengikuti jejak Sa’ad dan tidak mengikuti para penyembah berhala, dan kata “untuk” itu sama halnya dengan kata “untuk” dalam firman Allah swt.:

اِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلفُقَرَاءِ وَ المَسَاکِینِ / التوبة: 60.

Artinya: “Sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin”. (QS. At-Taubah: 60).


Sejarah Muslimin dalam Bernadzar

Nadzar menyembelih binatang atau semacamnya yang diniatkan untuk para nabi atau wali adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh umat Islam dan bukan ciri khas satu kelompok tertentu melainkan perbuatan yang populer di kelompok-kelompok Islam. Dan orang melakukan nadzar itu akan mendapat pahala apabila dia melakukannya demi Allah swt. dan menyembelih binatang korban itu dengan mengingat serta menyebut nama Allah swt.

Khalidi mengatakan: “Mereka mendapatkan pahala, dan sembelihan itu dinadzarkan demi Allah swt., sama halnya ketika masyarakat mengatakan: “Aku sembelih binatang ini untuk mayit dari keluargaku”, artinya aku sedekah dari pihak mayit tersebut, begitu pula sama halnya dengan perkataan seseorang: “Aku sembelih binatang ini untuk tamu”, artinya faktor yang menyebabkan penyembelihan binatang itu adalah keberadaan tamu. [8]


Dalam hal ini, kami cukupkan hanya dengan menyebutkan sebagian bukti sejarah umat Islam:

1. Kuburan Basti di Maroko;

Ahmad bin Ja’far Khazraji Abu Abbas Basti, dari Maroko, dia wafat pada tahun 601 H. Kuburannya selalu ramai oleh peziarah dan terkenal sebagai tempat pengijabahan doa. Ibnu Khatib Salmani mengatakan: “Dalam satu hari, pemasukan untuk kuburan ini bisa mencapai delapan ratus mitsqol emas logam, dan bahkan di sebagian hari sampai seribu dinar, dan kemudian harta itu dikelola untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin yang berada di daerah tersebut, ...”. [9]
Penulis buku Naylul Ibtihaj sendiri mengatakan: “Sampai sekarang kuburan itu selalu ramai oleh para peziarah dan menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, aku sendiri lebih dari lima ratus kali menziarahi tempat itu, aku juga pernah menginap di sana lebih dari tiga puluh malam, dan aku melihat berkah di berbagai urusan ...”. [10]

2. Kuburan Ahmad Badawi di Tandeta;

Syekh Ahmad bin Ali Badawi wafat pada tahun 675 H dan dimakamkan di Tandeta[11], mereka dirikan bangunan di atas kuburannya, dan keramat-keramat Badawi masyhur di mana-mana, serta banyak yang melakukan nadzar untuk dia. [12]

3. Kuburan Ubaidullah bin Muhammad bin Umar di Baghdad.

Dia adalah dari keturunan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Baghdadi mengatakan: Bab Burdan adalah tempat orang-orang yang berkeutamaan, di sana juga terdapat mushalla yang biasanya digunakan untuk menunaikan ibadah shalat hari raya, dan di mushalla itu ada kuburan yang dikenal dengan kuburan Nudzur, mereka mengatakan bahwa jenazah yang tekubur di sana adalah lelaki dari keturunan Ali bin Abi Thalib as., kuburan yang selalu diziarahi dan diambil berkah darinya, serta dikunjungi oleh siapa saja yang ingin sekali kebutuhannya terpenuhi.


Qadhi Abul Qasim Tanukhi meriwayatkan padaku bahwa ayahnya menceritakan: “Suatu saat aku duduk di majlis Adhudud Dawlah[13], kami berkemah di dekat mushalla, tempat shalat ‘id yang terletak di kawasan timur Madinah Salam, kami ingin keluar bersamanya ke Hamadzan, tiba-tiba matanya menatap bangunan yang didirikan di atas kuburan Nudzur. Lalu dia bertanya kepadaku: “Apa bangunan ini?”, aku jawab: “Ini adalah Masyhad Nudzur” dan tidak aku katakan kepadanya kalau ini adalah kuburan Nudzur, dia berkata: “Aku sudah tahu dari sebelumnya kalau ini adalah kuburan Nudzur, tapi aku ingin tahu penjelasan tentang itu”, maka aku jawab: “Menurut riwayat ini adalah kuburan Ubaidullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, dan menurut sebagian riwayat ini kuburan Ubaidullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abi Thalib, pada waktu itu para khalifah hendak membunuhnya secara sembunyi-sembunyi, mereka perintahkan anak buah mereka untuk menggali lubang perangkap, lalu mengajak Ubaidullah untuk jalan di atas lubang perangkap yang disembunyikan tersebut, Ubaidullah pun tidak mengetahui niat itu sehingga dia pun terperangkap dalam lubang dan terkubur oleh tanah secara hidup-hidup, dan tempat itu dikenal dengan nama Kuburan Nudzur karena setiap kali ada yang bernadzar di sana untuk dia maka nadzar itu terkabulkan dan orang yang bernadzar mendapatkan apa yang mereka inginkan, saya termasuk orang orang yang berulang kali nadzar di sana, tidak terbilang lagi jumlahnya berapa kali saya bernadzar di sana dan mendapatkan apa yang saya inginkan, lalu saya penuhi nadzar-nadzarku tersebut. Adhudud Dawlah tidak mempercayai cerita ini dan dia katakan bahwa hal itu jarang terjadi dan hanya kebetulan saja, kemudian masyarakat awam yang membesar-besarkannya dan mulai banyak membicarakannya. Aku pun diam saja, tapi beberapa hari kemudian, dia memanggilku di pagi hari seraya berkata: “Naiklah bersamaku ke Masyhad Nudzur”, aku pun naik bersamanya dan pergi ke Masyhad Nudzur, ketika sampai dia langsung masuk dan menziarahi kuburan serta shalat dua rakaat di sampingnya, setelah shalat dia sujud lagi dua kali dengan munajat dan doa yang panjang serta tidak didengar oleh siapapun. Selesai berdoa kami kembali ke perkemahan dan menetap selama beberapa hari. Kemudian, kami bersama rombongan bergerak menuju ke Hamadzan dan tinggal di sana selama beberapa bulan. Suatu saat, tiba-tiba dia memanggilku seraya berkata: “Apakah kamu masih ingat apa yang kamu bicarakan kepadaku tentang Masyhad Nudzur di Baghdad?”, aku jawab: “Iya”, lalu dia berkata: “Pada waktu itu aku mengatakan sesuatu yang menunjukkan ketidakpercayaanku akan penjelasanmu. Menurutku semua yang dikatakan orang tentang Masyhad Nudzur adalah bohong. Tapi tak lama kemudian aku dihadapkan pada satu persoalan yang aku khawatirkan, aku kerahkan semua pikiranku untuk menyingkirkannya walau dengan segala harta yang ada di rumah dan dengan segala bala tentara yang kumiliki, namun aku tetap tidak menemukan jalan keluar, lalu aku teringat apa yang kamu beritakan kepadaku tentang nadzar di Kuburan Nudzur, aku katakan kepada diriku sendiri: apa salahnya jika aku coba? Maka aku bernadzar: jika Allah swt. menyelesaikan persoalanku ini maka aku akan kirimkan sepuluh ribu dirham ke kotak Kuburan Nudzur. Sehari belum berlalu, aku mendapat berita kalau persoalan ini terselesaikan, maka aku perintahkan anak buahku untuk memenuhi nadzarku itu ke Kuburan Nudzur”. [14]


Pendapat Ulama tentang Nadzar

Khalidi berkata setelah menyebutkan dua hadis Abu Dawud: “Adapun Khawarij yang berdalil dengan hadis ini untuk melarang nadzar di tempat-tempat para nabi dan orang saleh serta beranggapan bahwa para nabi dan orang saleh sama dengan berhala –na’udzu billah– dan perbuatan itu sama dengan perayaan Jahiliyah, adalah tidak benar, hal itu menunjukkan kesesatan mereka dan kekurangajaran mereka terhadap nabi-nabi Allah dan para wali-Nya sehingga mereka sampai berani menyebut nabi dan orang saleh dengan berhala.
Ini adalah puncak pelecehan terhadap mereka, khususnya para nabi, karena sesungguhnya siapa saja yang menghina mereka walau dengan sindiran maka dinyatakan kafir dan menurut sebagian pendapat taubatnya pun tidak akan diterima. Mereka –orang-orang khawarij– itu adalah orang-orang yang terhinakan oleh kebodohan mereka sendiri, mereka menamakan tawassul kepada para nabi atau orang saleh dengan ibadah, serta menamakan para nabi dan orang saleh itu sendiri dengan berhala, sungguh tidak ada lagi kata-kata yang dapat mengungkapkan kelalaian dan kesesatan mereka”. [15]

Sebagaimana tidak ada juga kata-kata yang dapat mengungkapkan kelalaian dan kesesatan Ibnu Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya. [16]

Rafi’i –menukil dari penulis kitab at-Tahdzib dan yang lain-lain– berkata: “Apabila seseorang bernadzar menyedekahkan sesuatu kepada penduduk kota tertentu maka wajib bagi dia untuk menyedekahkan sesuatu tersebut kepada mereka”. Dia berkata: “Begitu pula dengan sesuatu yang dinadzarkan untuk dikirim ke kuburan yang masyhur di Jurjan, karena sebagaimana laporan tentang tempat itu barang-barang nadzaran tersebut akan dibagi kepada orang-orang yang jelas”. [17]

Khalidi mengatakan: “Persoalan nadzar tergantung pada niat pelakunya, dan sesungguhnya segala perbuatan dinilai sesuai dengan niatnya, apabila niat orang yang bernadzar adalah mendekatkan diri kepada mayit itu sendiri maka itu terlarang, adapun jika niat dia adalah Allah swt., dan dengan harapan orang yang hidup juga bisa merasakan manfaat perbuatannya, selain itu juga pahala perbuatan itu juga dihadiahkan kepada mayit yang dia maksudkan maka wajib bagi dia hukumnya untuk memenuhi apa yang dia nadzarkan, tidak ada bedanya apakah dia perjelas manfaat yang bisa diambil oleh orang lain atau dia mutlakkan begitu saja ... .
Pendapat ini dinukil dari Adzra’i, Zarkasyi, Ibnu Hajar Haytsami al-Makki, Ramli as-Syafi’i, Qubani al-Bashri, Rafi’i, Nawawi, Ala’ud Din al-Hanafi, Khoirud Din Ramli al-Hanafi, Syekh Muhammad Gazzi, dan Syekh Qasim Hanafi”. [18]

Azzami mengatakan: “Sebagian ulama tertipu dengan perkataan Ibnu Taimiyah atau murid-muridnya, padahal itu adalah pemutarbalikan dalam hal agama dan pengalihan makna dari yang sebenarnya diinginkan oleh umat Islam ke makna yang lain. Padahal barangsiapa mencari tahu keadaan muslimin yang melakukan nadzar tersebut maka dia pasti sampai pada kenyataan bahwa mereka tidak bermaksud apa-apa dari sembelihan dan sesuatu yang dinadzarkan untuk orang-orang mati kecuali sedekah dari pihak orang-orang yang mati tersebut dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka. Mereka juga tahu bahwa Ulama Ahli Sunnah berijmak atau bersepakat bahwa sedekahnya orang yang hidup juga bisa bermanfaat bagi orang mati dan pahalanya bisa sampai kepada mereka, hal itu didukung oleh hadis-hadis yang sahih sekaligus masyhur ... .
Oleh karena itu, nadzar menyembelih binatang atau yang lain untuk para nabi atau orang saleh adalah perbuatan yang sah dan boleh menurut sejarah umat Islam seluruhnya ... ”. [19]

Atas dasar bukti-bukti dan kesaksian dari para tokoh Ahli Sunnah yang tersebut di atas, maka Ibnu Taimiyah dan pengikut-pengikutnya tidak pantas untuk bersikeras dalam tuduhan-tuduhannya dan mengharamkan nadzar yang biasa dilakukan oleh umat Islam.

Sumber: Rowafidu al-Iman fi Aqo’idi al-Islam, karya Najmuddin Thabasi, Penerjemah: Nasir Dimyati ; Qum: 2006


Penerjemah: Nasir Dimyati

Referensi:

1. Al-Ghodir: 5/180; Kitabus Shiro’: 1/54.
2. Kasyful Irtiyab: 355.
3. Al-Milalu wan Nihal: 291.
4. Nama anak bukit di dekat pantai laut. Mukjamul Buldan: 2/30.
5. Sunanu Abi Dawud: 3/238, hadis ke3313.
6. Mukjamul Buldan: 2/30 dan 1/505.
7. Furqonul Qur’an: 133.
8. Shulhul Ikhwan: 109; al-Ghodir: 5/182.
9. Naylul Ibtihaj: 2/62; al-Ghodir: 5/204.
10. Ibid.
11. Tandeta, Tanbadza, atau Tanta; terletak di Mesir atau di sekitar Afrika. Mukjamul Buldan: 4/43.
12. Al-Mawahibul Laduniyah: 5/346; Syadzarotudz Dzahab: 7/205.
13. Penguasa Irak Ibnu Sultan Hasan bin Buwaih ad-Daylami, lihatlah kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 16/249, dia mati pada tahun 372 dan dimakamkan di Najaf Asyraf.
14. Tarikhu Baghdad: 1/123.
15. Shulhul Ikhwan: 109.
16. Al-Ghodir: 5/183.
17. Anda bisa lihat al-Ghodir: 5/181; Fatawas Subki: 1/294.
18. Shulhul Ikhwan: 102; al-Ghodir: 5/181.
19. Furqonul Qur’an: 133, lihat juga al-Ghodir: 5/181.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: