Pesan Rahbar

Home » » Persahabatan

Persahabatan

Written By Unknown on Sunday 9 October 2016 | 23:35:00


Oleh: Tim Akhlak

Dalam masyarakat, manusia secara alami menjalin hubungan pertemanan dan persahabatan dengan sesamanya. Ia berhubungan sosial dengan mereka, berteman dan bersahabat serta bertukar pikiran dalam materi dan ruhani. Manusia dalam menyelesaikan masalah dan kesulitan yang dihadapi berembuk dengan mereka, bermusyawarah dan bertukar pikiran. Juga, mereka saling menolong ketika membutuhkan bantuan.

Islam mempunyai pandangan tentang persahabatan dan memilih teman, dan menjelaskannya kepada orang-orang mukmin. Imam Ali as. berkata, “Sesiapa yang tidak mempunyai teman, maka ia tidak memiliki simpanan.” (al-Bihâr, juz 5, h.363).

Beliau juga berkata, “Teman adalah kerabat yang paling dekat.” (al-Ghurar, juz 1, h.177).

Imam dalam hadis lain bersabda, “Teman adalah satu nyawa bagi jasad-jasad yang bermacam-macam.” (al-Ghurar, juz 2, h.123).

Yang harus diperhatikan di sini ialah bahwa tidak semua persahabatan diperkenankan oleh Islam. Ketika seorang teman itu sangat dekat melebihi kerabat, biasanya ia mempunyai banyak pengaruh bagi seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang ingin berteman dalam agama, maka lihatlah dengan siapa ia berteman.” (al-Bihâr, juz 72, bab 14, hadis ke-12).

Nabi saw. pernah bersabda, “Kenalilah orang-orang melalui teman-teman mereka, karena setiap orang berteman dengan seseorang yang membuat dirinya merasa senang.” (al-Mustadrak, juz 8, bab 10, h.327, hadis riwayat 9568).

Imam Ali as. berkata, “setiap orang cenderung pada yang serupa dengannya.” (al-Ghurar, juz 4, h.532)
Imam juga berkata, “Orang-orang baik tidak bersahabat kecuali dengan orang yang sejalan dengan mereka, dan orang-orang buruk tidak suka (berteman) kecuali dengan orang yang serupa dengan mereka.” (al-Ghurar, juz 6, h.376).

Dapat kita simpulkan dari keterangan hadis-hadis di atas bahwa memilih teman dan sahabat harus teliti dan mempunyai kriteria-kriteria khusus. Pada pelajaran ini dengan melihat uraian ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis, akan kami paparkan dengan jelas tentang kriteria terpenting bagi seorang teman dan sahabat. Akan kami terangkan pula di pelajaran berikutnya tentang orang-orang yang tidak layak dijadikan teman—menurut Al-Quran dan hadis— dan berteman dengan mereka harus dihindari jauh-jauh.

1. Dua ayat di bawah ini mengajak kita agar bergaul dan berteman dengan orang-orang yang siang dan malamnya selalu ingat kepada Allah dan selalu mencari keridhaan-Nya.
Firman Allah, “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS al-An’âm:52).

Dan firman Allah, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya.” (QS al-Kahfi:28).

2. Rasulullah saw. juga mewasiatkan agar kita berteman dengan orang-orang besar dan mulia. Sabda beliau mengatakan, “Orang yang paling bahagia adalah orang yang bergaul dengan orang-orang mulia.” (al-Bihâr, juz 1, bab 4, hadis ke-13).

3. Diterangkan dalam hadis (Nabi saw.) yang lain, beliau mengajak kita agar berteman dengan manusia-manusia Ilahi. Nabi saw. ketika ditanya, “Siapakah orang yang paling utama untuk dijadikan teman?”
Rasulullah saw. menjawab, “Adalah orang yang mengingatkanmu kepada Allah ketika memandangnya, dan yang ucapannya menambah pengetahuanmu serta yang amal perbuatannya mengingatkanmu akan hari akhirat.” (al-Mustadrak, juz 5, bab 42, hadis 6173).

4. Imam Hasan Askari as. membawakan sebuah hadis yang panjang dari jalur ayah-ayahnya (ke atas), dari Imam Sajjad as., menjelaskan tentang tolok ukur yang tepat dalam mengenal (pribadi) orang-orang. Dalam hadis itu diterangkan tanda-tandanya yang dengan itu akan dapat mengenal (memilah) antara hamba-hamba Allah yang saleh dan yang lain. Begitu pula sebaliknya, kita dapat mengetahui orang-orang yang tidak layak dijadikan teman. Dari hadis itu, terdapat suatu petunjuk bagi kita, jika memperhatikan dengan saksama keterangan-keterangannya yang memukau dan hal-hal yang jelas dan bermanfaat. Pada hakikatnya hadis itu adalah sebuah pelajaran yang agung.

Imam Ali Zain al-Abidin as. berkata, “Apabila kamu melihat seorang lelaki yang baik kelakuannya dan cara petunjuknya; yang zuhud ucapannya; yang tawadhu tingkah lakunya, maka hati-hati jangan sampai kamu tertipu. Alangkah banyak orang yang ditaklukkan oleh kesenangan dunia dan perbuatan haram yang disebabkan lemahnya dan kerendahan dirinya dan jiwa pengecutnya. Dan karena itu ia jadikan agama sebagai kedok, sehingga orang-orang terkecoh oleh lahiriahnya.

“Jika ia berkuasa atas perbuatan haram, ia akan mencobanya; dan bila kamu temukan ia, ia bersih dari harta yang haram. Maka hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu, sebab nafsu syahwat makhluk bermacam-macam. Alangkah banyak orang yang tidak makan harta haram meskipun nilainya banyak, namun ia masih mau melakukan perbuatan buruk dan akibatnya ia terjerumus dalam perbuatan haram. Jadi, jika kamu melihat perilaku ini, hati- hatilah jangan sampai tertipu, sampai kamu saksikan pandangannya berlandaskan pada apa.

“Sungguh banyak orang yang berbuat buruk tetapi -pada saat yang sama- yang haram ia tinggalkan, lalu ia tidak kembali pada akal yang kukuh. Dalam kondisi seperti itu yang membuat ia tersesat (disebabkan kebodohannya), lebih banyak dari memperbaiki dirinya dengan akalnya. Jadi bila kamu temukan orang yang berakal kukuh, lagi-lagi berwaspadalah, jangan sampai kamu tertipu! Sampai kamu saksikan apakah hawa nafsunya mengalahkan akalnya? Ataukah dengan akalnya ia menguasai nafsunya? Seberapa besar cintanya pada pemerintahan yang batil? Dan seberapa besar kezuhudannya terhadap itu? Sebab, di tengah orang-orang terdapat manusia yang rugi dunia akhirat; meninggalkan dunia karena dunia. Dan ia melihat, kenikmatan pemerintahan yang batil lebih utama dari kenikmatan harta dan kenikmatan-kenikmatan yang mubah dan halal lainnya. Kemudian ia tinggalkan itu semua dengan mencapai kedudukan pemerintahan, sehingga ‘Apabila dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkan berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahanam. Dan sungguh neraka jahanam itu tempat tinggal seburuk- buruknya.’ (QS al-Baqarah:206).

“Ia menjadi geram dan membabibuta, ia ikuti awal kebatilan menuju ke puncak kerugian yang paling jauh; dan Tuhan menolongnya sesudah ia memohon atas lemah terhadap sesuatu di waktu lalim; di waktu itu ia menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Tetapi ketika sukses pemerintahannya, ia tidak peduli dengan kehilangan agamanya. Mereka itu adalah orang-orang yang dalam kemarahan Allah dan Allah melaknat mereka dan janji Allah bagi mereka adalah azab yang sangat pedih.

“Adapun seorang lelaki adalah lelaki yang sejati (sempurna). Seorang lelaki yang paling utama adalah orang yang keinginannya menaati perintah Allah; yang daya kekuatannya dipergunakan untuk meraih keridhaan Allah; ia menyaksikan suatu kehinaan di jalan kebenaran itu lebih dekat pada kemuliaan abadi yang batil; dan ia mengetahui bahwa sedikitnya beban dan ujian yang dipikul dapat mengantarkannya pada kenikmatan yang abadi di alam yang tak binasa dan tak berakhir; dan bahwa kenikmatan yang banyak yang membuatnya tunduk pada hawa nafsu akan mengantarkan pada azab yang tak henti-henti. Seorang lelaki yang demikian itu adalah lelaki yang paling utama, maka berpeganglah kamu kepadanya dan contohlah perilakunya; dan bertawasullah kepada Allah darinya, sebab Allah pasti mengabulkan permohonannya dan tidak akan menyia-nyiakan permintaannya.” (al-Bihâr, juz 2, bab 14, hadis ke-10).

Hadis ini, yang merupakan pandangan Imam Sajjad as., mengungkapkan bahwa tolok ukur keutamaan seseorang bukan kebaikan lahiriah, bukan ucapan yang zuhud, juga bukan sikap jaga jarak dengan harta dan hal yang haram dan lain-lain. Hanyalah orang yang hatinya bersih dari cinta dunia dan jabatan duniawi, yang siap menanggung kehinaan demi keridhaan Allah dan segala keinginannya dilandasi akal dan syariat Allah, adalah orang yang patut diikuti dan menjadi teman karib.

5. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. mewasiatkan agar kita bersahabat dengan orang-orang yang bijaksana dan orang-orang miskin: “Bertanyalah kepada alim ulama, bergaullah dengan orang-orang bijaksana dan duduklah bersama orang-orang miskin.” (al-Bihâr, juz 1, bab 3, hadis ke-5)
Dalam hadis yang serupa dengan hadis atas, Imam Ali as. berkata, “Bergaullah dengan orang-orang yang bijaksana, duduklah bersama para ulama, dan hindarilah dunia materi, maka kelak tempat tinggalmu di surga al-Ma’wa.” (al-Ghurar, juz 4, h.205).

Imam juga berkata, “Sering-seringlah berbuat benar dan maslahat dengan bertemankan para pemikir.”
6. Imam Hasan Mujtaba as. dalam nasihatnya kepada Junadah bin Abi Umayyah, mengatakan, “Bersahabatlah dengan orang yang membuat dirimu mulia dan wibawa; yang dapat menambah kemuliaanmu; yang dalam segala hal membuatmu sempurna; dan yang dengan bantuannya dapat menutupi kekuranganmu.”
Beliau berkata, “Bersahabatlah dengan orang yang jika kamu bersahabat dengannya, dapat menghiasi dirimu; yang jika kamu khidmat kepadanya, terpelihara kepribadianmu; dan yang jika kamu perlu bantuannya, ia membantumu. Dan jika kamu berkata, ia percaya; jika kamu ulurkan tanganmu di hadapannya untuk kebaikan, ia sambut; jika melihatmu mempunyai masalah, ia berusaha menyelesaikan; jika melihat kebaikanmu, ia (selalu) mengingatnya; jika kamu menginginkan sesuatu darinya, ia berikan, dan jika kamu diam, ia sodorkan kepadamu; jika kamu perlu sesuatu, ia sodorkan kepadamu sebelum kamu berkata kepadanya; dan jika marabahaya mendatangimu, ...” (al-Bihâr, juz 44, bab 22, hadis ke-6).

7. Iika berteman dan bersahabat dilandasi kebenaran maka antarteman harus saling menghiasi dan mengisi, saling mengingatkan, dan menutupi kekurangan bukan menguntungkan sepihak serta saling menghormati dan pengertian. Imam Baqir as. berkata, “Iringilah orang yang menangisimu dan menasihatimu. Jangan ikuti orang yang menertawakanrnu dan dia menipumu. Kamu semua akan kembali kepada Allah dan kamu akan mengetahuinya.” (juz 75, bab 48, hadis ke-31).

Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Saudaraku yang paling aku cintai ialah orang yang menghadiahkan aib-aibku kepada diriku.” (juz 74, bab 19, hadis ke-4).

Hal yang perlu diperhatikan dalam hadis Imam Shadiq as. ialah memberitahu kekurangan seperti memberi hadiah yang membuat hatinya senang dan gembira.

Kesimpulannya dari pembahasan di atas adalah, dalam memilih teman dan sahabat kita harus teliti. Di satu sisi, hal itu disebabkan teman membawa pengaruh bagi kepribadian manusia dan di sisi lain menjelaskan tentang kejiwaan, spiritual dan kepribadian setiap manusia dalam masyarakat. Kita harus berhubungan dengan teman dan bersahabat dengan orang-orang tertentu yang memberi pengaruh baik bagi kepribadian kita dan membuat diri kita sempurna, mulia, dan wibawa di masyarakat.

Selanjutnya, kami ingin menjelaskan tentang siapakah orang yang patut dan yang harus kita temani? Dan siapakah orang yang menurut Rasulullah saw. dan para imam as. harus kita jauhi dan waspadai untuk menjadi teman kita?

Pada dasarnya, kita harus tahu bahwa seorang muslim di sisi Allah terikat oleh keadaan dirinya, oleh keinginan akan segala hal, suara dan bisikan hati, ingin berbuat sesuatu, ingin bergaul, dan seterusnya.

Dalam hal ini, Imam Zain al-Abidin as. berkata, “Tidak sepatutnya kamu duduk bersama siapa saja yang kamu inginkan, sebab Allah swt. berfirman, “Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat- ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS al-An’âm:68).

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah merahmati seorang hamba yang berkata baik lalu beruntung atau diam lalu selamat. Dan tidak patut bagimu mendengar segala apa yang ingin kamu dengar, sebab Allah Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya.” (QS al-Isrâ.:36).

Di sisi lain, perhatikanlah bahwa sahabat yang mempunyai kriteria tersebut akan membawa dampak negatif bagi manusia dan menyebabkan hati gelap. Bisa jadi ia akan mendorong manusia untuk berbuat keburukan, atau bisa jadi kita berperan dalam kemarahan Allah dan mengantarkan mereka ke siksaan-Nya.
Terekam dalam sejarah, seorang sahabat Imam Ali bin Musa ar-Ridha as., yang bernama Sulai Ja’fari meriwayatkan, “Suatu hari aku mendengar Imam berkata kepada ayahku, ‘Mengapa kamu berhubungan dengan Abdurrahman bin Ya’qub?’
Ayah menjawab, ‘Ia bapak mertuaku.’
‘Namun pernyataannya tentang Tuhan sangat memberatkan, dia telah menyifati Allah dengan sifat-sifat terbatas, padahal Allah swt. tak tersifati,’ tegas Imam.
Ayah berkata, ‘Apapun yang dikatakannya tidak meyakinkanku sama sekali.’
Imam berkata, ‘Tidakkah kamu takut akan turun malapetaka yang menimpa kalian semua? Tidakkah kamu tahu bahwa seorang sahabat Nabi Musa as., ayahnya adalah teman dekatnya Fir’aun? Ketika tentara Fir’aun mengejar Musa as., sahabat Musa itu keluar dari kelompoknya mendekati tempat ayahnya untuk menasihatinya agar ikut dengan kelompok Musa as. Ia dan ayahnya muncul sedang dalam bertikai, sampai mereka tergiring di pinggir laut. Dan kala itu azab Allah turun, dan kedua-duanya tenggelam bersama tentara Fir’aun. Berita ini terdengar oleh Musa as., dan beliau menanyakan keadaan sahabatnya itu. Jibril as. berkata kepada beliau, “Ia tenggelam, semoga Allah merahmatinya. Ia tidak percaya dengan keyakinan ayahnya, namun saat azab turun maka orang-orang yang berada di dekat orang berdosa tidak dapat menghindari azab.’” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-39).

Nah, dengan mernperhatikan hal-hal di atas, dengan melihat keterangan-keterangan ayat Al-Quran dan hadis para imam, kita akan mengetahui siapakah orang yang tidak patut dijadikan teman dan sahabat.

1.Kelompok pertama ialah orang-orang yang mengolok-olok firman dan agama Allah. Dalam ayat 68 surat al-An’âm yang dimuat dalam hadis Imam Zain al-Abidin as. yang lalu, telah diketahui bahwa Allah swt. melarang orang-orang mukmin bersahabat dengan orang-orang yang mengolok-olok firman-Nya. Juga, dalam surat al-Maidah ayat 57 Allah melarang kita bersahabat dengan kaum kafir dan orang-orang yang melecehkan agama. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agama jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir.”

2.Kelompok kedua ialah orang-orang yang direndahkan dan dicela Nabi saw. dan para imam as. Pada awal periode dakwah Rasulullah saw., di tengah kaum penyembah berhala Hijaz, terdapat seorang lelaki bemama ‘Uqbah bin Mu’ith. Seorang musyrik dan penyembah berhala itu mengundang jamuan makan. Suatu hari Rasulullah berpapasan dengannya dan ia mengharapkan kedatangan beliau dalam acara jamuan makan. Nabi saw. berkata kepadanya, “Aku tidak mungkin makan bersamamu, kecuali kamu seorang Muslim.” ‘Uqbah paham bahwa Rasulullah mau diundang makan bersama, dengan syarat ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi muslim. Di kala itu, Ubay kawan ‘Uqbah menjadi marah ketika mendengar berita tentang masuk Islamnya ‘Uqbah. Ia datang dan mencaci-maki ‘Uqbah, “Kamu sudah murtad dari agamamu.”

‘Uqbah berkata, “Aku mengundang orang sebagai tamuku, dan dia tidak akan datang di meja makanku kalau aku tidak menjadi muslim.”

Ubay berkata, “Sekarang aku bukan sahabatmu lagi, kalau kamu tidak kembali ke agamamu sebelumnya dan cacilah dia (Muhammad).” Ketika itu, ‘Uqbah atas desakan Ubay kembali ke kepercayaannya dan keluar dari Islam. Dan di waktu perang Badar berkecamuk, ia terbunuh di tangan kaum muslimin, dan begitu pula Ubay pada perang Uhud. Mereka mati dalam kemusyrikan. Berkenaan dengan itu turunlah wahyu (ayat 27-29 dalam sural al-Furqan) yang menyinggung ‘Uqbah, “Dan (ingatlah) pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu), satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku).

Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang padaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.”

Ayat di atas telah jelas dengan melihat kejadian dan bentuk pengaruh seorang teman yang tidak saleh dan perusak, bahwa ia telah menyesatkan manusia. Peristiwa ini memberi peringatan kepada kita, untuk menjauhi persahabatan dengan orang-orang bejat yang bisa jadi mereka itu berani menghina Rasulullah saw.

Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Jika kamu menghadapi nawâshib (orang-orang yang mengingkari kebenaran dan kedudukan Ahlulbait as.) dan di majelis-majelis mereka, maka jadilah kamu seolah-olah duduk di atas batu panas sampai kamu berdiri (kiasan untuk cepat-cepat keluar dari majlis itu), sebab Allah melaknat mereka. Dan jika kamu melihat mereka mencela seorang imam dari para imam as., maka berdirilah (pergilah segera) sebab kemarahan Allah turun dari atas menimpa mereka.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-50).

Beliau juga berkata, “Sesiapa yang duduk di tengah para pencela wali-wali Allah, maka telah bermaksiat kepada Allah.” (kitab yang sama).

Imam Shadiq pernah berkata, “Sesiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka janganlah kamu duduk di majelis yang mencela seorang dari para imam atau membahas ruh seorang mukmin.” (juz 74, bab 14, hadis ke- 48).

3. Kelompok yang ketiga ialah orang-orang tukang bid’ah agama dan orang-orang yang melontarkan keraguan terhadap pokok-pokok agama. Tentang masalah ini, Rasulullah saw. bersabda, “Jika kamu melihat ahli keraguan dan ahli bid’ah setelahku, maka tampakkanlah penolakanmu terhadap mereka; perbanyaklah celaanmu kepada mereka; jatuhkanlah mereka; dan diamkanlah mereka supaya mereka tidak merajalela dalam merusak Islam. Peringatkanlah orang-orang akan bahaya mereka agar tidak belajar kepada mereka. Semoga Allah mencatat kebaikan-kebaikanmu dan mengangkat derajat kamu di akhirat.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-41).

Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Janganlah kamu bersahabat dengan ahli bid’ah dan janganlah duduk bersama mereka jika di mata orang-orang, kamu bukan dari golongan mereka. (Karena) Rasulullah saw bersabda, “Orang itu atas agama teman dan karibnya.” (hadis ke-40).

Imam Ali as. berkata, “Tidak seharusnya bagi insan muslim menjalin persaudaraan dengan orang yang bejat, karena dia akan mewarnai dirinya dan senang menjadi serupanya; ia tidak akan membantu dalam urusan dunianya dan urusan akhiratnya; tempat ia masuk,dan keluar adalah buruk bagi seorang Muslim.” (al-Kâfi, juz 2, h.640, hadiske-2).

Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Tidak seharusnya bagi insan muslim menjalin persaudaraan dengan orang yang bejat, tidak pula dengan orang dungu dan juga pendusta.” (al-Kâfi, juz 2, h.640, hadis ke-3)
Beliau juga bersabda, “Tidak patut orang mukmin duduk di majelis maksiat kepada Allah sedang ia tidak mampu mengubahnya.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-38).

Imam Ali as. berkata, “Duduknya orang-orang yang baik di majelis orang-orang yang buruk, melahirkan buruk sangka orang terhadap orang-orang yang baik. Dan duduknya orang-orang yang buruk di majelis orang-orang yang baik akan membuat orang-orang yang buruk ikut baik, dan sebaliknya duduknya orang-orang yang baik di majelis orang-orang yang buruk akan membuat orang-orang yang baik ikut buruk. Maka jika perkara seseorang mirip denganmu dan kamu tidak tahu ia beragama apa, maka lihatlah kumpulan teman-temannya! Jika mereka ahli agama Allah, maka ia atas agama Allah; dan jika mereka bukan beragamakan Allah, maka ia bukan orang yang beragamakan Allah. Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda, ‘Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka janganlah ia menjalin persaudaraan dengan orang kafir dan janganlah bergaul dengan orang yang bejat! Sesiapa yang menjalin persaudaraan dengan orang kafir dan bergaul dengan orang yang bejat, maka ia seorang kafir dan bejat pula.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-31).

Imam Ali juga pernah berkata, “jauhilah bersahabat dengan orang fasik, karena keburukan itu mengiringi keburukan.” (juz 33, bab 29, hadis ke- 707).

5. Kelompok kelima terdiri dari orang-orang yang kurang beragama, kurang berakhlak, kurang berbuat baik dan kurang memahami serta kurang berperasaan. Meskipun mereka mungkin tidak sampai fasik dan bejat, tetapi mereka itu golongan orang-orang pendusta, muka tembok, kikir, pandir dan ingkar janji, dan lain sebagainya.

Imam Ali as berkata, “Hendaklah seorang muslim itu menjauhi tiga hal, yaitu: al-majin (yang bermuka tembok), yang dungu, dan pembohong.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-43).

Imam Baqir as. berkata, “Ayahku Ali bin Husain as. berkata, ‘Wahai anakku, lihatlah lima hal, yang jangan kamu temani, jangan diajak bicara dan jangan kamu jadikan sebagai teman perjalanan.’
“Aku bertanya, ‘Wahai ayah, beritahu aku siapakah mereka?’
“Beliau berkata, ‘(Pertama) Jauhilah bertemankan pendusta karena ia sama halnya dengan fatamorgana, ia mendekatkanmu kepada yang jauh dan menjauhkan dari yang dekat. (Kedua) Hindarilah bertemankan orang fasik, karena ia akan menjual dirimu dengan sesuap makanan atau lebih sedikit dari itu. (Ketiga) Jauhilah orang kikir, karena ia akan merendahkanmu dengan hartanya yang lebih dibutuhkan dari dirimu. Dan (keempat) Hindarilah bertemankan orang dungu, sebab ia ingin memanfaatkanmu tetapi mudarat bagimu. Dan (kelima) jauhilah bertemankan orang yang memutuskan hubungan keluarga, sebab di dalam kitabullah (al-Quran) aku temukan tiga buah ayat yang melaknatnya.” (al-Bihâr, juz 74, bab 14, hadis ke-29).

Kemudian Imam Baqir as. melantunkan tiga ayat itu, yang antara lain adalah Surat Muhammad ayat 22, surat ar- Ra’d ayat 25 dan surat al-Baqarah ayat 27. (lihat pelajaran 4).

Imam Shadiq as. berkata, “Empat hal yang mengusir rezeki, yaitu pertama, cinta yang diberikan orang yang ingkar janji.” (al-Bihâr, juz 2, bab 13, hadis ke-10).

Imam Baqir as. juga pernah berkata, “Jangan dekati dan jangan jadikan saudara empat kriteria ini: orang dungu, orang pelit dan orang pengecut serta pendusta. Adapun orang dungu, ia ingin memanfaatkan kamu tetapi membahayakan dirimu. Orang yang pelit, ia mengambil darimu dan ia tidak memberimu. Orang pengecut, ia akan lari darimu dan dari kedua orang tuanya. Dan pendusta, orang tidak percaya padanya meskipun ia berkata jujur.” (juz 74, bab 14, hadis ke-8).

Etika Islam; Penerbit Al-Huda, Jakarta; Juli 2003/ Jumadil Ula 1424 H.; Hal. 194 –210.


(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: