Bukankah Dialog Agama dan Peradaban Tersebut Memiliki Risiko Berbahaya Bagi Kaum Muslimin Dimana Ia Akan Terseret Pada Sebuah Sikap Kompromis dan Acuh Tak Acuh Dalam Masalah akidah? Apa Langkah Prefentif Yang Harus Diambil?
Hal yang ditemukan dan ada pada ayat-ayat Al Qur'an dan riwayat-riwayat para Imam Ma'shum as serta yang terjadi pada sepanjang sejarah hidup Nabi saw dan Para Imam as -terkait dengan masalah ini- adalah bahwa Islam sangat menyambut dan senang dengan dialog, dengan catatan bahwa lawan atau pun musuh tidak menunjukkan sikap permusuhan dan keras kepala.
Al Qur'an yang berkedudukan sebagai aturan-aturan bertabligh, menginformasikan kepada Nabi saw bahwa:
أُدْعُ إِلى سَبِـيلِ رَبِّكَ بِالحِكْمَةِ وَالمَوْعِظَةِ الحَسَنَةِ وَجادِلْهُمْ بِالَّتِي هِىَ أَحْسَنُ ... .
Artinya:"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik…".
Dan ini merupakan penjelasan universal, dimana ia mencakup segala bentuk dialog/kajian dengan setiap individu atau kelompok yang sedang mencari kebenaran dan hakikat; yakni siapa saja yang ingin mendiskusikan salah satu diantara berbagai kajian agama -dengan motif mencapai kebenaran- maka hendaknya menggunakan tiga metode ini: pertama dengan logika dan argumen yang tegas (HIKMAH); lalu dengan saran dan nasihat, kemudian dengan bantahan yang terbaik.
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman:
وَلا تُجادِلُوا أَهْلَ الكِتابِ إِلاّ بِالَّتِي هِىَ أَحْسَنُ إِلاّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ ...
Artinya:" Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka".
Ayat ini berkenaan dengan bentuk dialog dengan Ahli Kitab, dimana ia berisi anjuran untuk tetap menggunakan model bantahan yang terbaik dan tidak boleh menggunakan cara-cara yang dilatari oleh kemarahan, kecuali terhadap Ahli Kitab yang zalim dan bermaksud mengkhianati dan menghantam anda.
Singkatnya, bahwa Islam sangat menyambut dialog yang logis dan penuh keterbukaan dan alasan keterbukaan ini mungkin karena secara mendasar manusia-manusia itu -pada wilayah-wilayah pengetahuan- memiliki sebuah silsilah keyakinan dan kepercayaan dimana untuk merealisasikannya harus memerlukan kerjasama. Sebagaimana kaum Muslimin memiliki kesamaan dalam urusan dan perkara akidah dan keyakinan dengan sebagian Ahli Kitab, seperti Masihi/Kristen dan juga dalam masalah nilai-nilai etika; dan untuk terealisasinya serta tersebarnya keyakinan dan akidah monoteis dan nilai-nilai etika di seantero dunia, harus ada dan memerlukan kerjasama.
Adapun terkait dengan hal-hal yang dipertentangkan, pertama mereka harus memiliki usaha dimana dengan kerjasama mereka bisa sampai dan menemukan jawaban yang lebih meyakinkan dan salah satu caranya adalah dengan dialog dan debat; dan selama dalam masalah-masalah ini mereka belum sampai pada hasil yang meyakinkan, maka hendaknya mereka satu sama lain menjalin hubungan yang sehat dan bersahabat sehingga dengan usaha kerjasama mereka bisa saling membantu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut dan seumpama ada sekelompok yang sampai serta mencapai pada hasil yang benar dan akurat, hendaknya yang lain bisa menggunakan dan memakai capaian tersebut.
Kalau sebuah dialog memiliki tujuan-tujuan seperti ini, maka itu merupakan sebuah cita-cita yang sempurna dan diterima serta sangat ditegaskan dalam Islam.
Adapun poin yang Al Qur'an -dalam pada ini- sangat peringatkan adalah hendaknya kita ketahui bahwa kaum musyrikin selalu tidak punya maksud dan tujuan baik dari dialog-dialog semacam ini dan mungkin sekedar ingin melakukan konspirasi dan penipuan belaka.
Allah Swt berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ المُشْرِكِـينَ اسْتَجارَكَ فَأَجِرْهُ حَتّى يَسْمَعَ كَلامَ اللّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ... ؛
Artinya:" Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar (dan merenungkan) firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya".
(Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat-ayat yang mana menunjukkan sikap keras terhadap kaum musyrikin yang sering memberikan sumpah palsu) dan mengatakan:
(bahkan tentang kaum musyrikin yang kita anggap boleh membunuhnya) kalau sebagian dari mereka menginginkan dari kamu sebuah perlindungan sehingga mereka merasa aman dan mereka bisa -dalam urusan dakwah kamu- berdialog dengan kamu, maka berilah mereka perlindungan sehingga mereka mendengar kalam dan firman Allah Swt dan kejahilan serta kebodohan mereka dapat hilang dan berikanlah rasa aman kepada mereka dimana mereka bisa kembali ke tempat semula dan mendapat waktu yang cukup untuk mengkaji serta menganalisis dalil-dalil kenabian dan kebenaran agama dan kaum Muslimin -pada kesempatan ini- jangan sampai mempersulit mereka.
Dari ayat dapat diperoleh bahwa, pada dasarnya dialog itu merupakan hak kaum musyrikin dan hal itu harus disambut; namun pada ayat-ayat berikut telah disebutkan beberapa hakekat yang menunjukkan bahwa jangan sekali-kali merasa yakin sepenuhnya pada janji-janji dan perkataan-perkataan lembut kaum musyrikin:
كَيْفَ وَ إِنْ يَظْهَرُواعَلَيْكُمْ لا يَرْقُبُوا فِـيكُمْ إِلاًّ وَلا ذِمَّـةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْواهِـهِمْ وَتَأْبى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فاسِقُونَ
Artinya:"Bagaimana bisa (perjanjian orang-orang musyrikin itu bernilai), sedangkan jika mereka memperoleh kemenangan terhadapmu, mereka tidak menggubris hubungan kekerabatan dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian terhadapmu? Mereka menyenangkan hatimu dengan mulut mereka, sedang hati mereka menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik".
Oleh karena itu, Al Qur'an telah mengumumkan bahwa hendaknya kalian waspada dan berhati-hati terhadap dialog-dialog dan perjanjian-perjanjian yang kalian adakan dengan kaum kafir dan musyrikin, jangan sampai terperdaya dengan mulut manis mereka, mungkin saja ada konspirasi jahat dibalik itu semua.
Di era kita sekarang ini, hal semacam ini sangat terasa dan sebagaimana hasil tulisan-tulisan sebagian penulis Barat yang sampai ke tangan kita, bahwa Barat menganggap dirinya sebagai pemilik budaya terbaik dan dengan jalan dialog peradaban, mereka dihadapkan serta berurusan dengan peradaban non-Barat yang pada akhirnya bisa menghapus mereka (peradaban Barat). Dan sebagaimana sebagian pemikir Muslim telah menemukan, bahwa kecenderungan konsentrasi dan monopoli dalam proses hubungan Barat dengan yang lain, yang dibangun diatas metode menangani dan cara berinteraksi dengan yang lain dan menaklukkan mereka serta menghilangkan identintas dan pribadi serta kemampuan mereka, sedang berusaha sehingga risalah orisinil peradaban mereka itu bisa diimpor dan dipredikasikan kepada yang lain dan dalam istilahnya mereka itu diberadabkan.
Dasar-dasar Pandangan Benturan Peradaban-peradaban Di Barat
Pada struktur pemikiran Barat, terdapat tiga pandangan dimana ketiganya ini membantu terbentuknya serta memperkuat pandangan yang bersifat benturan:
1. Filsafat Sejarah Hegel: dimana ia meyakini bahwa era baru itu harus menghilangkan era lama dengan jalan melakukan benturan terhadap prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya;
2. Filsafat Evolusi Darwin: dimana didasarkan pada prinsip konflik kehidupan dan hancurnya kaum miskin oleh kelompok yang kuat.
3. Teori Benturan kelas/kasta: dimana hal ini banyak dipaparkan dalam teori Marx dan Liberal Kapitalisme. Berdasarkan teori-teori ini, karena
Barat lebih kuat maka ia lebih layak dan Oleh karena itu berurusan dengan peradaban lemah (menurut pendapat mereka) dan struktur tradisional mereka, misi hukum dan ilmiah akan otentik.
Jadi adanya bahaya merupakan sesuatu yang pasti; namun untuk menghadapi bahaya ini, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan:
Poin pertama: memperhatikan tujuan dan maksud para pelaksana majlis-majlis dialog, apakah memang sekedar untuk mencari kebenaran atau ada tujuan-tujuan tertentu dibalik itu yang bisa memberikan keuntungan kepada kelompok-kelompok yang haus akan kekuasaan dan kaum imperialis.
Poin kedua: para pemikir dan pembicara Islam yang akan ikut serta dalam dialog-dialog ini harus orang-orang yang; pertama: ia betul-betul mengenal Islam sehingga ditengah-tengah dialog ia tidak terjerumus pada keraguan terhadap prinsip-prinsip dasar Islam, dan kedua: ia harus memiliki informasi yang cukup tentang posisi-posisi dan dasar-dasar lawan sehingga nantinya tidak salah memahami.
Poin ketiga: para pemikir ini -dengan mengenal tatacara dan adab dialog- harus bisa mengemban dengan baik dalam menjelaskan Ma'arif Islam dan mempertahankannya dan segala bentuk ucapan itu selalu disesuaikan dengan parameter kebenaran Islam dan dengan cara terbaik ia mampu mengantarkan bahasannya itu, lebih-lebih dalam masalah internal agama -dengan para meter ini- secara sistematis.
Adanya penjelasan poin-poin dan kriteria-kriteria ini, mengingatkan kita pada dialog Ja'far bin Abi Thalib dengan Najasyi dan kaum musyrik Makkah. Beliau adalah salah seorang figur unggul dan sempurna juru bicara Islam yang mampu, dengan penuh wibawa, menarik perhatian dan meluluhkan hati Najasyi, sang raja Habasyah dan juga para kaum musyrikin.
Dengan Adanya "Global Village", Bukankah Sudah Saatnya Kita Memikirkan -Lebih Dari Sebuah Fanatisme Agama- Tentang Prinsip-prinsip Yang Diterima Secara Global?
Maksud dari "Global Village" adalah: dunia yang besar, sudah seperti lingkungan yang kecil -berkat bantuan pesawat terbang yang merupakan rangkaian dari sayap-sayap besi yang dengannya ia melakukan mutasi electron dalam superkonduktor- jarak-jarak yang sangat jauh bisa ditempuh dalam jangka waktu relatif singkat dan lembaga-lembaga serta organisasi-organisasi yang berskala nasional dan internasional memiliki peran pada sub-sub manusia dan tabiatnya yang murah hati itu semuanya berada dalam genggaman manusia dan…
Dalam suasana seperti ini, ada sebagian yang berkeyakinan bahwa kita tidak bisa -dengan membikin sebuah pagar batasan disekitar kita- bersikap fanatik terhadap ajaran-ajaran agama dan akhlak kita, karena prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang diterima di luar batas-batas geografis, mau tidak mau, dampaknya akan mengenai kita dan kita dipaksa untuk menerima prinsip-prinsip ini, dan hari ini, budaya harus menjadi konsep global dan semuanya harus menerima budaya yang satu dan tidak ada lagi batas antara diri sendiri dan orang luar.
Dalam menanggapinya harus dikatakan bahwa, dengan asumsi terwujudnya "Global Village" dalam artian seperti diatas, maka tak ada seorang pun manusia yang berakal yang bisa menerimanya dimana "Global Village" seperti ini akan mengalami berbagai pelanggaran hukum, anarki dan kekacauan dan sudah pasti harus ada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang menaungi "Global Village" ini; namun dengan dasar apa penduduk "Global Village" ini harus mentaati kaidah-kaidah ini? Dan mengapa mereka harus menerima prinsip-prinsip ini? Kami telah membuktikan pada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terdahulu bahwa, hakekat dan kebenaran itu harus berdasarkan kriteria dan standar pengakuan nilai-nilai dan prinsip-prinsip, dan sesuai dengan kriteria ini bahwa Al Qur'an Al Karim -sejak ratusan tahun yang lalu pra munculnya konsep "Global Village"- telah menyuarakan konsep "Globalisasi Budaya Ilahi" dan mengajak seluruh umat manusia untuk beribadah dan menyembah Allah Swt:
يا أَ يُّهَا النّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya:"Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa".
Ayat mulia ini mengajak manusia untuk menyembah Allah Swt dengan alasan bahwa kebahagiaan hakiki individu dan sosial itu hanya ada dibawah naungan ibadah dan pengabdian diri pada Allah Swt; karena segala wujud manusia itu bersumber dari-Nya Ia meletakkan -dengan tujuan keunggulan manusia- fitrah kecenderungan beribadah itu dalam diri setiap manusia dan dalam jiwa manusia terdapat tanda-tanda yang menjadi bukti dan saksi akan keberadaan perkara fitrah ini; dimana diantara tanda-tanda tersebut antara lain adalah bahwa dalam diri ini kita menemukan adanya kecenderungan cinta terhadap sebuah keberadaaan (wujud) yang memiliki kesempurnaan yang lebih dari kita dan kecenderungan dan rasa dahaga ini tidak akan pernah reda, kecuali dengan pengungkapan rasa cinta dan ketertarikan pada wujud yang sempurna dimana tidak ada lagi atau bahkan tidak pernah terbayang lagi wujud yang lebih sempurna dari-Nya; dan paling menyenangkan dari
Dia kepada kita; dan ini adalah maqam Qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah Swt) dimana ia diperoleh berkat ibadah dan pengabdian yang tulus kepada Allah Swt serta ketaqwaan kepada-Nya.
Al Qur'an Al Karim -setelah mengajak seluruh manusia pada agama dan menyembah Allah Swt- dalam ayat-ayat lain ia juga mencoba memberikan bimbingan kepada manusia dalam memilih sebuah agama:
قُلْ يا أَهْلَ الكِتابِ تَعالَوْا إِلى كَلِمَة سَواء بَيْنَنا وَبَيْنَكُمْأَلاّ نَعْبُدَ إِلاّ اللّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنا بَعْضاً أَرْباباً مِنْ دُونِ اللّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنّا مُسْلِمُونَ
Artinya:"Katakanlah, "Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Ayat ini tidak membahas orang-orang musyrik, penyembah berhala, dan ahli khurafat, akan tetapi pada awal ayat menceritakan tentang kelompok yang memiliki agama-agama Ilahi dimana dengan tanpa ada rasa permusuhan dan keras kepala, mereka meyakini wahyu dan keberadaan Tuhan yang Esa, dan mereka diajak untuk komitmen secara ideologis dan praktis atas kesamaan-kesamaan mereka; kesamaan-kesamaan tersebut adalah perkara-perkara yang akan mengantarkan serta membimbing mereka kearah penyerahan diri pada kebenaran dan Ajaran Islam, dan hal itu adalah prinsip-prinsip dimana para nabi (keselamatan atas mereka) diutus demi menyebarkannya ke seantero alam; prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. menafikan segala bentuk syirik dalam ibadah;
2. menafikan maqam Rububiyah selain Allah Swt, dimana hal ini merupakan ringkasan dari seluruh tugas para nabi (keselamatan atas mereka), mereka menginginkan bahwa setiap individu dan social itu bergerak sesuai dengan fitrah Ilahi insane, yaitu Kalimat Tauhid. Fitrah Ilahi manusia menghukumi sesuai dengan tindakan dan perbuatan individu dan sosial, pasrah kepada Allah Swt dan menyebarkan keadilan, dan berdasarkan hal itu semua manusia memiliki hak kehidupan, hak kebebasan berkehendak dan berbuat yang sama.
Kedua prinsip diatas, bukan hanya tidak berasas, bahkan ia dilatari serta didukung oleh argumen-argumen yang bisa dibuktikan.
Argumen prinsip pertama (menafikan segala bentuk syirik dalam ibadah): ibadah dan mengekspresikan rasa hina dina, lemah dan fakir, hanya terhadap sebuah wujud yang lebih layak yang Ia sendiri tidak membutuhkan; dimana ia adalah suatu wujud absolute, yang jauh dari segala bentuk kekurangan, kelemahan dan memerlukan. Ibadah kepada selain Allah Swt ibarat berjalan bukan pada jalan; karena selain Allah Swt tidak ada yang pantas disembah.
Argument prinsip kedua (menafikan maqam Rububiyah selain Allah Swt): Rabb artinya pemilik ikhtiar/otoritas, seorang yang ikhtiar manusia itu berada dalam genggamannya; dan dimaklumi bahwa hanya pencipta manusia yang memiliki ihktiar semacam ini; dan manusia, disetiap detik hidupnya, berada dalam kontrol-Nya.
Dan ketika itu, pada ayat ini dikatakan:
Kalau Ahli Kitab tidak menyambut dan menerima ajakan ini, hendaknya kalian bertahan pada Islam kalian dan jadikanlah saksi akidah dan amal perbuatan kalian yang sesuai dengan Islam atas mereka. Disini tidak bisa dikatakan bahwa, kenapa Al Qur'an mengajak kita untuk bersikap fanatik dan dogmatisme; karena tidak setiap sikap fanatik itu negatif dan bertentangan dengan nilai-nilai, akan tetapi yang negative adalah bersikap fanatik buta dan tak berkriteria serta tak berasas, bukan sikap fanatik pada kebenaran yang didukung oleh argumen rasional.
Adapun prinsip-prinsip yang mana dalam pertanyaan, disebut sebagai prinsip-prinsip yang diterima secara global dan internasioanl, kalau prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah seperti liberal, kapitalis Barat, modernisme dan yang semisalnya, maka:
Pertama, kita kita bisa mengabulkan bahwa kesemua ini merupakan prinsip-prinsip yang diakui dan diterima; karena saat ini semua orang mencintai dunia kebebasan dan para intelektual dunia, bahkan di Barat, dengan tekun berusaha mencari solusi untuk memberikan kompensasi atas kerusakan-kerusakan serta kerugian yang muncul dari kebejatan moral yang disebabkan oleh Liberalisme.
Ekonomi yang berdasarkan pada riba dimana ia merupakan produk kapitalis Barat, yang sekarang ini sedang berjalan, telah memberikan peluang pada penguasa-penguasa untuk menguasai pulse ekonomi manusia dimana pada hasilnya bahwa 80 % kekayaan dunia berada ditangan mereka dan 20 % lainnya pada masyakat dan mayoritas masyarakat hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan.
Modernisme, hanya memberikan sebuah kemajuan yang bersifat parsial dan sangat kurang kepada manusia dan ia lalai dengan dimensi-dimensi lain dari wujud manusia itu, dimana sebagai akibatnya adalah kerugian yang tidak bisa lagi dikompensasi, seperti kerusakan alam dan lingkungan manusia, hilangnya kenyamanan psikologis dan jiwa manusia dan lain-lain. Jadi tidak begitu mudah, prinsip-prinsip ini disebut sebagai prinsip-prinsip yang diakui serta diterima secara global dan internasional.
Kedua, anggaplah kita menerima hal ini, maka perlu kita lihat apa dasar penerimaan prinsip-prinsip ini. Sekedar diterima oleh orang-orang dan bahkan semua atau mayoritas, tidak bisa menjadi dalil atau bukti akan kebenarannya. Manusia yang berakal harus mencari dalil dan bukti serta dasar, dan prinsip-prinsip ini tidak lain hanya berdasar pada relativisme, humanisme, individualisme, dan yang semisalnya, dimana sebelumnya kita telah kritisi secara global tentang dasar-dasar ini dan rinciannya itu memerlukan ruang yang cukup.
Untuk Mencapai Modernisme -seperti yang berlaku di Eropa Barat- Tidak Ada Jalan Kecuali Dengan Teori Toleransi; Oleh Karena Itu, Kita Tidak Ada Pilihan Lagi Selain Pendekatan Untuk Memiliki Toleransi Agama dan Politik?
Pada pertanyaan diatas, Modernisme dianggap sebagai sesuatu yang ideal yang harus diterima secara sempurna; namun sebelum kita secara mutlak menyatakan serta menganggap Modernisme itu sebagai sesuatu yang ideal dan mengikutinya, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu Modernisme? Sejauh mana keidealan dan kebaikan yang dikandungnya dimana ketika tetap mempertahankan prinsip-prinsip agama, keidealan dan kebaikan tersebut akan hilang begitu saja?
Para periset Barat mendefinisikan modernitas dan modernisme itu seperti berikut ini: "percaya kepada kualitas atau suatu kondisi yang menunjukkan pada memenuhi persyaratan kontemporer dan baru-baru diciptakan, dimana pada abad 17, itu sangat dipertimbangkan dan mendukung kategori Baru atau Versi Baru versus Tua atau Kuno; dan menyangkal segala bentuk otoritas dan kredibilitas masa lalu; tidak ada rasa hormat sedikit pun untuk masa kuno dan tradisional; dan mendukung kesediaan dan kesiapan untuk inovasi dan Go ke wilayah-wilayah dimana tak ada seorang pun yang berani menginjakkan kakinya lebih dari itu dan bahkan khayalannya pun tak sampai kesana".
Dengan cara yang terbaik, Modernitas itu bisa dideskripsikan sebagai sebuah era yang ciri khasnya adalah perubahan-perubahan yang permanen dan terus-menerus; tetapi era yang ia sendiri sadar dengan ciri khas ini; era ketika ia melihat masalah hukum, penciptaan moral dan material, pengetahuan dan keyakinan-keyakinannya itu sebagai sebuah arus kejadian yang terus mengalir, berubah dan tak terputus; arus kejadian yang hanya harus dipercayai dan diamalkan hingga pemberitahuan selanjutnya, dan arus kejadian yang pada akhirnya akan kehilangan nilai dan kredibilatasnya, akan diganti dengan arus kejadian yang baru dan lebih baik.
Dalam konteks ini, kriteria dan parameter adalah akal dan intelek manusia dimana untuk mengukur baru dan efektivitasnya sesuatu hal harus dengan intelek tersebut dan menyingkirkan perkara-perkara yang non-efisien. Oleh karena itu, kaum Modernitas sangat menganggap penting rasionalitas manusia.
Satu lagi dari karakteristik Modernisasi, pemisahan-pemisahan yang terjadi dalam bahasan dan kajian dasar-dasar teori ini dan berdasarkan pemisahan-pemisahan ini, Modernisasi menganjurkan adanya pemisahan di bidang-bidang politik, budaya, ekonomi dan etika; karena tidak adanya pemisahan pada wilayah-wilayah ini bisa menyebabkan keterbelakangan dan out of date masyarakat. Atas dasar ini misalnya Max Weber, sosiolog Jerman, meyakini bahwa pemisahan ekonomi dan pekerjaan-pekerjaan dari wilayah keluarga, dianggap sebagai dasar ekonomi modern dan dengan pemisahan ini, keputusan-keputusan ekonomi itu bisa terbebas dan terlepas dari tekanan kewajiban-kewajiban moral dan kesetiaan-kesetiaan pribadi dimana kesemuanya itu yang mengatur kehidupan keluarga dan menuntun mereka.
Menurut definisi dan fitur diatas, untuk mengkritik secara global, unsur-unsur berikut ini bisa diajukan sebagai poin-poin negative dan tidak bisa diterima yang terdapat pada fenomena modernisme:
1. Menolak serta menafikan segala bentuk tradisi dan masalah yang ada kaitannya dengan masa lalu; seperti seolah-olah tradisi kuno itu sama sekali tidak baik! Dan bisa dimaklumi bahwa tidak ada logika yang membenarkan bahwa konsekuensi dari tradisi kuno/tradisional adalah tidak baik.
2. Humanisme dan terpusat pada manusia adalah sebuah dasar palsu dalam epistemology. Dan selain itu, Modernisme juga memandang manusia tidak pada semua aspek wujudnya, bahkan hanya menganggap dimensi fisik dan duniawinya saja sebagai kriteria dan parameter. Dan sangat jelas bahwa program seperti ini tidak akan dapat memberikan jaminan bagi kebahagiaan abadi manusia yang mana kebahagiaan abadi itu berada dalam lingkaran kesempurnaan di semua dimensi dan unsur (manusia).
3. Masalah pemisahan berbagai bidang kehidupan manusia itu, menebarkan dan mendorong bahwa untuk mencapai kemajuan dan perubahan maka kita harus menolak serta menafikan adanya korelasi antara bidang-bidang dan wilayah-wilayah tersebut! pandangan ini bersumber dari sebuah ontologi yang tidak jelas dan dangkal dan menunjukkan bahwa maksud atau tujuan modernisme tentang kemajuan adalah hanya sekedar kemajuan dalam bidang materi dan ekonomi serta industri; tentunya menurut pengakuan para periset kajian modernisme di Barat bahwa, kemajuan ini tidak lebih dari sebuah fata morgana dan hanya menimbulkan krisis kemanusiaan; ada sebagian -dengan penerimaan krisis ini dimana dianggap bahwa fenomena modernisasi ini adalah hal yang tak terelakkan- mengusulkan mekanisme-mekanisme untuk mengeliminasi krisis-krisis ini. Dan sebagian yang lain, seperti Marx yang dianggap sebagai salah seorang kritikus negative modernitas, dan ia menolak modernisme.
Ini hanya sekedar sebuah isyarat atas beberapa konsekuensi negative dari modernisme; Nah, dengan adanya unsur-unsur negative ini, maka kita tidak bisa menganggap bahwa modernisme tersebut sebagai sebuah hal yang seratus persen baik dan menerimanya tanpa mengajukan kritikan atau tinjauan dan revisi kembali. Sebagaimana halnya orang Barat sendiri mencoba mengkritik modernisme itu dan dalam hal ini, muncullah kajian-kajian seperti "postmodern" di Barat sejak akhir dekade 1960 dan secara bertahap pada akhir dekade 1970 dan awal dekade 1980, kajian ini dibahas dalam bentuk sebuah topik budaya. Beberapa periset Barat mengakui kenyataan ini bahwa meskipun modernitas telah mempersembahkan untuk manusia berbagai prestasi positif dan fasilitas-fasilitas serta peluang-peluang, namun pada modernitas juga terdapat kuburan gelap dan suram dimana pada dekade ini wajah aslinya sudah semakin nampak, yang dari situ dapat diisyaratkan akan esensi terus menurunnya kerja industri modern, pertumbuhan totalitarianisme, ancaman kerusakan dan hancurnya lingkungan hidup dan menjamurnya kekuatan-kekuatan berbahaya dan tragis serta persenjataan.
Mungkin aspek dan unsur-unsur positif berikut bisa dianggap sebagai buah dari fenomena modernisme:
1. Menyediakan lapangan untuk pertumbuhan, pengembangan, evolusi dan penyempurnaan lembaga-lembaga sosial yang mana telah menyediakan berbagai peluang dan fasilitas-fasilitas yang cukup luas bagi keturunan umat manusia dan sehingga menyebabkan kehidupan manusia modern yang lebih mudah dan lebih aman;
2. Rasionalitas dimana biasanya dianggap sebagai ciri khas yang istimewa dan tinggi modernisme dan manusia modern.
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email