Menyusul ditegurnya dua Kapolres terkait surat edaran yang merujuk fatwa MUI, pandangan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian soal fatwa dan hukum pun jadi perbincangan netizen.
Seperti diberitakan sebelumnya, bagi Kapolri Tito, fatwa MUI bukan rujukan hukum positif, tapi sifatnya koordinasi. Di media sosial, sebagian netizen mempertanyakan sikap sang jenderal ini ke Prof. Mohammad Mahfud M.D, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
“Kapolri benar, fatwa bukan hukum positif sehingga penegakannya tidak bisa menggunakan Polri sebagai aparat penegak hukum,” kata pria yang aktif di twitter ini menanggapi pertanyaan netizen.
Di harian Media Indonesia (26/12), kembali Mahfud menegaskan, “Saya mengatakan bahwa dari sudut konstitusi dan hukum, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengikat dan tidak bisa dipaksakan melalui penegak hukum.”
Tidak lama kemudian, masih di media sosial, dimunculkan satu statemen dari pakar hukum Prof. Yusril Ihza Mahendra yang seakan-akan dipertentangkan dengan pendapat Mahfud.
Meski demikian, jebolan Universitas Islam Indonesia ini menegaskan pernyataan Yusril yang oleh media diberi judul ‘Yusril: Hukum Islam adalah the Living Law’ sebenarnya tidak ada pertentangan dengan pendapatnya.
“(Yaitu) bahwa ‘fatwa MUI bukan Hukum Positif dan tidak mengikat.”
Mahfud menambahkan, “Saya dan Yusril Ihza sependapat bahwa hukum agama yang belum diformalkan negara, apalagi hanya fatwa, adalah tidak mengikat dan tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya oleh aparatur hukum negara.”
Tetapi, lanjut Mahfud, statemen Yusril itu dikonfrontasikan dengan pendapatnya di media sosial, seakan-akan bertentangan. Akun Twitter @kawanabadi misalnya, menanyakan bagaimana pendapat Mahfud tentang pendapat Yusril terkait “the living law” itu.
“Di beberapa grup WhatsApp (WA) pernyataan Yusril Ihza itu dijejer dengan pernyataan saya disertai caption, ‘Sesama Ahli Hukum, Mana yang Benar?’”
Lulusan Pendidikan Hakim Islam Negeri ini memastikan pendapatnya tidaklah bertentangan dengan Yusril bahwa hukum Islam adalah “living law”. Sebab living law pun, kalau belum diberlakukan secara resmi oleh negara, keberlakuannya tidak bisa dipaksakan dengan sanksi heteronom atau sanksi yang dipaksakan negara.
“Istilah living law itu sendiri, sekurang-kurangnya, mempunyai dua arti,” kata penulis “Potret Akademisi dan Politisi” ini.
Pertama, norma yang hidup karena ditaati keberlakuannya oleh masyarakat meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara. Kedua, hukum resmi yang bersifat dinamis dan kenyal atau supel, sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman dan selalu aktual dalam keadaan apa pun.
“Untuk pengertian yang kedua tersebut di dalam ilmu politik dan konstitusi ada juga istilah living constitution dan living ideology,” katanya.
Masih di harian Media Indonesia, pria asal Madura ini lalu mengajak untuk merunut secara singkat pandangannya dan pandangan Yusril. Bagi Mahfud, jangankan fatwa MUI, fatwa Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di negara Indonesia juga tidak mengikat.
“Di dalam tata hukum kita yang mengikat dari Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan hanyalah vonis yang sudah inkracht, bukan fatwa,” tegasnya.
Fatwa itu tak lebih dari pendapat hukum (legal opinion) yang boleh diikuti dan boleh tidak diikuti. Dari sudut peraturan yang bersifat abstrak, fatwa baru bisa mengikat kalau sudah diberi bentuk hukum tertentu oleh lembaga yang berwenang, misalnya dijadikan undang-undang atau peraturan daerah sehingga menjadi hukum positif.
“Bahwa ada orang Islam yang mau melaksanakan fatwa itu bisa saja sebagai kesadaran beragama secara pribadi, bukan sebagai kewajiban hukum,” katanya.
Kalau pun, misalnya, orang bersalah karena tidak mengikuti fatwa keagamaan, sanksinya adalah sanksi otonom atau sanksi yang datang dari dalam diri sendiri berupa penyesalan atau rasa berdosa. Pernyataan Yusril Ihza bahwa hukum Islam adalah living law tidak lantas bisa diartikan bahwa fatwa, bahkan hukum Islam sendiri, adalah hukum yang mengikat dan bisa dipaksakan.
“Yusril Ihza tidak mengatakan itu,” katanya.
Hukum Islam sebagai living law, seperti yang dipergunakan dalam pernyataan Yusril Ihza, merupakan hukum yang hidup dan ditaati keberlakuannya oleh masyarakat meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Living law seperti hukum Islam yang belum dijadikan isi undang-undang tentu tidak bisa dipaksakan penegakannya oleh aparat penegak hukum.
“Mengapa? Karena keberlakuannya bersifat sukarela berdasar kesadaran pribadi pihak yang menerima sehingga sanksinya hanyalah dosa menurut agama atau sanksi otonom berupa penyesalan,” katanya
Itulah sebabnya, menurut Mahfud, Yusril juga menyertakan dalam statemennya itu agar pemerintah memformalisasikan living law menjadi hukum formal, sehingga bisa ditegakkan negara.
“Artinya, pada titik ini, saya dan Yusril Ihza sama-sama berpendapat bahwa norma-norma yang menurut ilmu hukum disebut hukum Islam, meskipun sudah menjadi living law, tidak bisa dipaksakan keberlakuannya oleh negara, jika tidak atau belum dijadikan hukum positif dulu melalui pengundangan dalam bentuk undang-undang, peraturan daerah, dan sebagainya.”
Pria 59 tahun ini menjelaskan, pelajaran yang paling awal diberikan kepada pembelajar hukum adalah bahwa hukum merupakan kristalisasi norma di dalam masyarakat, yang diberlakukan secara resmi oleh negara dengan disertai ancaman sanksi yang dapat ditegakkan melalui aparatur penegak hukum negara.
“Di dalam kehidupan masyarakat ada empat jenis norma yakni norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum,” katanya.
Norma yang mengikat dan bisa dipaksakan berlakunya oleh negara dengan sanksi heteronom adalah norma hukum. Hubungan norma hukum dengan norma-norma lainnya bersifat gradual, artinya, norma-norma lain itu baru mengikat dan bisa dipaksakan keberlakuannya kalau ditingkatkan menjadi norma hukum melalui, misalnya, proses legislasi.
“Dalam konteks ini karena bukan merupakan norma hukum yang sudah diformalkan, menurut tata hukum Indonesia, fatwa MUI tidak mengikat dan tidak dapat dipaksakan keberlakuannya oleh aparatur negara.”
Lalu bagaimana kedudukan fatwa MUI di depan pengadilan?
Menurut Mahfud, “Fatwa MUI di depan pengadilan bisa dijadikan keterangan dan atau pendapat ahli, bahkan doktrin, dalam rangka pembuktian kasus konkret-individual (in concreto), bukan sebagai peraturan yang abstrak-umum (in abstracto).”[]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email