Pesan Rahbar

Home » » Naik 170 Kasus Dari Tahun Lalu, Prof. Azra: Indonesia Tampaknya Masih Jauh Dari Bebas Terorisme

Naik 170 Kasus Dari Tahun Lalu, Prof. Azra: Indonesia Tampaknya Masih Jauh Dari Bebas Terorisme

Written By Unknown on Saturday 31 December 2016 | 23:12:00


Sebagai catatan akhir tahun, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyebut, penanganan kasus terorisme pada tahun 2016 ini naik menjadi 170 kasus dibanding 82 kasus pada 2015. Kenaikan ini sebanyak 88 kasus atau 107 persen.

“Penjelasannya, yang terjadi di ISIS, Suriah, tahun 2016 ini, semua negara menekan ISIS sehingga mereka di dalam negerinya tidak bergerak, jaringan di luar negerinya lalu disuruh bergerak,” kata Jenderal Tito di Mabes Polri, Jakarta (28/12).

Mencermati fakta ini, Cendekiawan Muslim Prof. Azyumardi Azra menyebut Indonesia tampaknya masih jauh dari bebas ancaman terorisme.

“Meskipun Indonesia disebut kalangan internasional sebagai salah satu negara paling berhasil memberantas terorisme, jelas mereka yang siap melakukan aksi terorisme masih bergentayangan di berbagai penjuru negeri ini,” kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini di harian Kompas (27/12)

Gejala ini terlihat jelas dari sejumlah peristiwa terkait terorisme sepanjang Desember 2016. Di sisi lain, beberapa rencana teror dapat digagalkan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.

“Keberhasilan Densus 88 menggagalkan aksi terorisme mencegah jatuhnya korban sia-sia sekaligus menyelamatkan negara dari dampak terorisme yang sangat merugikan,” kata pria kelahiran Padang Pariaman ini.

Meskipun sepanjang 2016 tidak terjadi aksi teror yang menewaskan korban dalam jumlah besar, jelas rencana aksi teror untuk menewaskan warga dalam jumlah besar tetap ada. Hal itu terungkap dari 40 terduga teroris yang ditangkap Densus 88 di beberapa tempat.

“Lagi-lagi, walau tidak terjadi aksi teror berskala besar, penting dicermati gejala baru yang berkembang,” katanya.

Pertama, adanya calon pengebom bunuh diri perempuan, Dian Yulia Novi, yang tertangkap dalam kasus Bintara. Kedua, semakin banyak di antara terduga teroris yang berusia di bawah usia 18 tahun (Kompas, 24/12).

Gejala ini mengindikasikan bahwa perekrutan calon teroris kian meluas; mencakup perempuan dan anak-anak. Kedua kelompok ini jelas merupakan bagian masyarakat paling rawan terkontaminasi paham dan praksis ekstrem, radikal, dan teroristik.

“Kenapa terorisme bertahan di Tanah Air?”

Bagi Azyumardi Azra, tak ada penjelasan tunggal yang memadai menjelaskannya. Terorisme merupakan amalgamasi dan kombinasi berbagai faktor yang bekerja menjerumuskan orang tertentu -termasuk ke dalam “kelompok rawan”-ke dalam paham dan praksis teroristik.

“Meskipun demikian, beberapa faktor utama dapat diidentifikasi.”

Selama faktor-faktor utama ini tidak atau belum bisa diatasi, bisa diduga bakal selalu ada orang yang terjerumus ke dalam paham dan praksis terorisme.

Faktor utama adalah berlanjutnya kekerasan dan perang di dunia Arab, terutama terkait Islamic State/IS (atau DaulahIslamiyah/Daes yang sebelumnya dikenal ISIS/Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS).

“Sejak NIIS muncul pada 2013, cukup banyak kalangan Muslim di berbagai penjuru dunia-tak hanya di dunia Muslim, termasuk di Indonesia, juga di dunia Barat- yang berbaiat kepada pemimpin NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, yang mengklaim sebagai pendiri khilafah atau daulah Islamiyah.”

Kekalahan atau kemunduran gerak IS di sejumlah tempat bukan membuat surut keinginan kalangan Muslim tertentu, melainkan masih banyak yang ingin bergabung dengan IS.

“Gejala ini terlihat dari intersepsi yang dilakukan aparat keamanan, baik di Turki, Indonesia, maupun negara lain,” katanya.

Di Indonesia, mereka yang ingin bantu IS membangun jaringan kelompok yang mereka sebut Jamaah Ansharut Daulah (Kelompok Pembela Daulah). Banyak terduga teroris yang digerebek Densus 88 berafiliasi dengan JAD.

“Jelas, JAD bukan satu-satunya kelompok radikal dan teroristik di Tanah Air,” katanya.

Mengingat IS, konflik dan perang lain yang terus membara di dunia Arab menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi segelintir orang melakukan “jihad” teroristik, tidak ada jalan lain kecuali mengakhiri pertumpahan darah di kawasan itu.

“Upaya menciptakan perdamaian-yang tampaknya mesti lewat pendekatan militer-menjadi keharusan.”

Terkait faktor utama ini adalah berkembang atau bertahannya teologi atau ideologi kekerasan yang mencakup takfiri, hijrah, dan jihad. Teologi ini menjadi justifikasi keagamaan untuk melakukan aksi teror.

Dalam konteks itu, Indonesia sepatutnya bisa memainkan peran lebih besar dalam membangun kembali perdamaian di dunia Arab atau kawasan Muslim lain-seperti Afganistan-yang menjadi sumber ilham atau motif bagi orang tertentu untuk jihad teroristik.

“Indonesia tidak perlu terlibat dalam aksi militer, tetapi melakukan diplomasi total dengan penggunaan soft power.”

Pada saat sama, kaum Muslim arus utama, pemimpin, dan politisi perlu bersuara lantang melawan terorisme. Bukan sebaliknya mengeluarkan pernyataan bernada merestui (condoning) terorisme semisal bahwa pemberantasan terorisme sekadar “pengalihan isu” atau “konspirasi Barat”.

Pemberantasan terorisme bukan hanya tanggung jawab Densus 88, melainkan juga pemimpin dan warga pencinta damai secara keseluruhan.

“Jika tidak, seperti ditegaskan Malala Yousafzai, Muslimah muda asal Pakistan, peraih Nobel Perdamaian 2014, terorisme dapat meluber ke mana-mana.”[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: