Di era globalisasi sekarang ini, kebohongan dan kepalsuan telah menjalar dan menjadi borok di setiap lapisan masyarakat. Sebagian umat Islam pun ada yang kecanduan dengan sikap tercela ini. Tulisan di bawah ini mudah-mudahan menguatkan kita semua untuk menghindari kebiasaan tercela tersebut. Allah telah melarang dengan tegas dalam al-Quran dan as-Sunnah dan para ulama pun telah bersepakat tentang tercelanya dusta. Ketahuilah, kejujuran adalah ukuran kabahagiaan dunia dan akhirat. Tiada kunci kebahagiaan dan ketentraman hakiki melainkan bersikap jujur di manapun kita berada. Kejujuran merupakan nikmat Allah Ta’ala –yang sepatutnya seorang hamba merealisasikannya- sekaligus penopang utama bagi berlangsungnya kehidupan dan kejayaan Islam.
Hukum Membicarakan dari Segala yang Didengar
Betapa banyak kabar yang kita dengar dari orang lain, terkadang benar terkadang juga salah, bahkan ada yang tidak sesuai dengan kenyataan. Oleh sebab itu, Rasulullah sejak jauh-jauh hari telah melarang kepada umatnya agar tidak menceritakan segala berita yang didengarnya, karena hal tersebut bisa menimbulkan dampak negatif, diantaranya jauh ke dalam kedustaan dan mengatakan perkataan yang tidak layak diceritakan kepada orang lain.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Cukuplah seseorang berdosa karena menceritakan setiap apa yang ia dengar.” Dalam riwayat lain beliau mengatakan:”Cukuplah seseorang berbohong karena menceritakan setiap apa yang yang ia dengar.” (HR. Muslim: 5, Abu Dawud: 4992)
Imam Nawawi berkata: “Hadits ini merupakan celaan terhadap orang yang menceritakan kepada orang lain setiap apa yang didengarnya karena biasanya setiap yang didengar itu mengandung kebenaran dan kebohongan. Apabila ia menceritakan dari segala yang didengarnya, kemungkinan besar dia telah berdusta atas segala kabar yang tak sesuai dengan kenyataan.” (Syarh Shohih Muslim 1/69).
Larangan Berdusta
Al-Quran as-Sunnah telah menjelaskan secara tegas larangan berbohong, bahkan telah menjadi kesepakatan para ulama akan haramnya perbuatan dusta. Sebabnya, sifat bohong merupakan ujian terbesar jika menimpa seseorang, dan kebohongan merupakan penyakit yang menggerogoti akhlaq seseorang yang dapat menghantarkan ke jurang api neraka dan dapat menghancurkan kejayaan Islam.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isro [17]: 36)
Abu Qatadah mengatakan: “Janganlah engkau mengatakan aku telah melihat padahal engkau tidak melihatnya, ‘aku mendengar’ padahal engkau tidak mendengarnya, dan janganlah engkau mengatakan ‘aku mengetahui’ padahal engkau tidak mengetahuinya.” (Tafsir Qurtubi 5/167)
Dan firman-Nya pula yang artinya: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl [16]: 105)
Demikianlah wahai saudaraku, Allah telah melarang hamba-Nya berbicara tanpa ilmu. Atas dasar ini, larangan berbuat dusta adalah karena ia sama halnya berbicara tanpa berlandaskan ilmu. Jika kita tidak mampu berbuat demikian, selayaknya kita diam daripada berbicara tanpa memberikan faedah dan tanpa dilandasi ilmu.
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, sedangkan kebaikan menuntun ke surga. Sungguh seseorang yang membiasakan jujur niscaya dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada kemungkaran, sedangkan kamungkaran menjerumuskan ke neraka. Sungguh orang yang selalu berdusta akan dicatat sebagai pendusta.” (HR. Bukhari: 6094, Muslim: 2607)
Imam Nawawi berkata di dalam bab tentang haramnya berdusta: “Al-Kadzbu (berdusta) adalah seseorang mengabarkan tentang sesuatu tetapi menyelisihi kenyataan yang ada. Misalnya ia mengatakan: ‘Si fulan telah melakukan begini dan begitu’ tetapi (perkataan ini) menyelisihi kenyataan yang ada (ia berbohong).” (Syarh Riyadhush Sholihin 4/188)
Macam-macam Dusta Dalam Tinjauan Syar’i
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya dusta itu bermacam-macam menurut tinjauan syar’i, diantaranya ialah:
1. Berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya
Berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya adalah perbuatan keji dan termasuk di antara jajaran dosa-dosa besar. Misalnya seseorang mengatakan “Allah telah berfirman dalam al-Quran begini dan begitu” padahal tidak demikian kenyataannya, begitu pula orang yang mengatakan “Rasulullah telah bersabda begini dan begitu”, padahal Rasulullah tidak bersabda demikian.
Sungguh, Rasulullah telah memberi peringatan kepada orang yang berbuat demikian dalam sabda beliau yang artinya: “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka tempat kembalinya adalah api neraka.” (HR. Bukhari: 153, Muslim: 3007)
Dan termasuk berdusta atas nama Allah adalah sengaja menafsirkan al-Quran dengan mengikuti hawa nafsu belaka, sehingga bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Maka siapakah yang lebih zholim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zholim. (QS. Al-An’am [06]: 144)
2. Berdusta dengan menampakkan keimanan di hadapan manusia
Menampakkan kebaikan dan ketaqwaan di hadapan orang lain, mengaku beriman kepada Allah dan mengakui risalah Rasul-Nya, bersumpah atas nama Allah, padahal hatinya kufur (mengingkari) Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang disebut dengan orang-orang munafik dan hal ini termasuk dosa besar.
Allah telah menjelaskan tentang kedustaan orang-orang munafik dalam al-Quran yang artinya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah; Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun [63]: 1).
3. Berbicara dusta kepada orang lain
Yaitu mengabarkan dan membicarakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya mengatakan kepada orang lain “Telah terjadi gempa di kota sana”, padahal kenyataanya tidak demikian. Hal seperti ini adalah salah satu ciri orang-orang munafik dan termasuk perbuatan dosa yang harus dijauhi oleh seorang muslim. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila berkata ia berdusta, bila berjanji dia ingkar dan bila dipercaya dia berkhianat.” (HR. Bukhari: 33 Lihat Syarh Riyadhush Sholihin 4/188).
Kapan diperboehkan berdusta?
Telah disebutkan dalam kitab Hashoidul Alsun (hal. 78) tentang kapan diperbolehkannya berdusta, di antaranya ialah:
1. Berdusta ketika bertujuan mendamaikan orang lain ketika yang bersengketa.
2, Berdusta kepada musuh dengan tujuan untuk melindungi pasukan kaum muslimin.
3. Seorang suami berbohong kepada istrinya bertujuan untuk memperbaiki rumah tangganya.
Bolehnya berdusta pada ketiga keadaan ini, berdasarkan sebuah hadits yang telah diriwayatkan dari Ummu Kultsum bin Uqbah, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah membolehkan berdusta dalam tiga keadaan: ketika berperang, mendamaikan orang, perkataan seorang suami kepada istrinya, dan perkataan istri kepada suaminya.” (HR. Bukhari: 2692, Muslim: 2605, Abu Dawud: 4921, Tirmidzi: 1939)
Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Dusta
1. Tipisnya rasa takut kepada Allah Ta’ala
2. Usaha memutarbalikkan fakta dengan berbagai motifnya; baik untuk melariskan barang dagangan, melipatgandakan keuntungan, atau yang lain.
3. Mencari perhatian, seperti: ikut dalam seminar dan diskusi dengan membawakan trik-trik dan kisah-kisah bohong menarik supaya para peserta terpesona.
4. Tiadanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan hidup.
5. Kebiasaan berdusta sejak kecil, baik karena pengaruh kebiasaan orang tua atau lingkungan tempat tinggalnya.
6. Merasa bangga dengan kebohongannya, karena ia menganggap kebohongan itu suatu kecerdikan, kecepatan daya nalar, dan perbuatan baik.
Akhirnya hanya kepada Allah Ta’ala kita memohon agar kita dijauhkan dari sifat tercela ini, sehingga kita termasuk golongan hamba-hamba-Nya yang selalu bersikap jujur dalam segala situasi dan kondisi. Dan kita memohon kepada Allah semoga kita semua mendapat naungan di akhirat kelak. Aamin.
(Abu-Usamah/Buletin-Al-Huda/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email