Pesan Rahbar

Home » » Islam Menolak Konsep Dosa Asal, Argumentasi Imam Khomeini, Dan Beberapa Riwayat Serta Penjelasan Ulama Telah Disinggung Tentang Dosa Nabi Adam as

Islam Menolak Konsep Dosa Asal, Argumentasi Imam Khomeini, Dan Beberapa Riwayat Serta Penjelasan Ulama Telah Disinggung Tentang Dosa Nabi Adam as

Written By Unknown on Friday, 6 January 2017 | 20:03:00


Riwayat yang dijadikan sebagai bahan argumentasi Imam Khomeini tentang sebab kewajiban wudhu adalah perbuatan Nabi Adam yang dipandang sebab dan tidak ada penegasan bahwa perbuatan Nabi Adam ini dipandang sebagai dosa; karena Islam memandang perbuatan Nabi Adam sebagai tark aula (meninggalkan yang utama) yang apabila bersumber dari para wali Allah maka akan membuahkan hukuman bagi yang melakukannya. Sebagaimana hal ini terjadi dalam kasus Nabi Yunus dan nabi-nabi lainnya. Namun terkait dengan sebab kewajiban wudhu terdapat riwayat-riwayat lainnya yang menunjukkan tiadanya batasan sebab wudhu dalam masalah khusus ini.
*****

Keyakinan terhadap dosa asal dan esensial atau apa yang disebut sebagai the origin of sin merupakan salah satu keyakinan penting dan asasi kaum Kristian. Mereka berkata bahwa apa yang diperbuat Nabi Adam dan Hawa yang memakan pohon terlarang di surga itu adalah sebuah dosa. Sesuai dengan keyakinan ini, generasi manusia adalah pewaris dosa Nabi Adam dan seluruh manusia, bukan dikarenakan perbuatan-perbuatan buruk manusia, melainkan hanya karena merupakan keturunan Adam. Manusia dalam hal ini secara esensial adalah pendosa lahir ke dunia.[1]

Kaum Kristian meyakini bahwa dosa Adam telah menyebabkan seluruh manusia berbuat dosa. Karena hal tersebut, kesucian dan kemaksuman asal telah hilang serta wajah Ilahi telah tercoreng dari wajah anak keturunan Adam, sedemikian sehingga seluruh manusia lahir ke dunia ternoda dengan dosa dan keburukan.[2] Dalam pandangan ini, manusia adalah hamba dosa dan kematian. Ia memasuki dunia ini dalam keadaan tidak beraturan.[3]

John Calvin memandang bahwa dosa asal adalah penyebab kehancuran pelbagai karunia dan anugerah tabiat dan meta-tabiat. Dalam pandanganya, dosa asal ini telah membuat manusia terdepak dari segala anugerah metafisika, sementara sebagian anugerah ini, yaitu iman[4] dan kejujuran sangat dibutuhkan untuk dapat meraih kehidupan samawi dan abadi.

Dengan memperhatikan teori ini sekaitan dengan Nabi Adam, pertanyaan yang mengemuka adalah bahwa bagaimana mungkin Tuhan Yang Mahaadil, meletakkan dosa Adam dan pelbagai konsekuensinya di tangan manusia yang sama sekali tidak memiliki peran dalam perbuatan dosa tersebut?

Orang-orang Kristen telah menyuguhkan rentetan jawaban atas pertanyaan ini yang tidak satu pun dari jawaban tersebut termasuk sebagai jawaban memuaskan dan tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Pandangan representasi[5] dan pribadi-pribadi kolektif[6] dan lain sebagainya yang mengemuka dari kelompok Kristian, berpandangan sama bahwa seluruhnya sekaitan dengan dosa Nabi Adam, telah menyebabkan seluruh manusia terlahir ke dunia ini sebagai pendosa dan layak untuk mendapatkan hukuman dan azab.

Adapun Islam, tidak menerima apa yang dilakukan Nabi Adam dan Hawa itu sebagai dosa, sebagaimana Allamah Thabathabai, dalam ayat-ayat al-Qur’an, meyakini bahwa Nabi Adam tidak melakukan dosa dengan dua dalil sebagai berikut:
1. Larangan Tuhan untuk tidak mendekati pohon terlarang adalah larangan irsyâdi bukan maulawi; karena larangan tersebut keluar di surga dan surga bukan tempat taklif, larangan dan perintah maulawi. Dalam larangan irsyâdi, yang menjadi obyek larangan adalah kemaslahatan pribadi yang dilarang dan pemberi larangan ingin membimbing (irsyâd) supaya ia mengerjakan apa yang maslahat baginya. Larangan-larangan dan perintah-perintah yang sedemikian tidak membuahkan ganjaran apabila dikerjakan dan juga tidak menuai hukuman apabila ditinggalkan. Persis seperti perintah-perintah dan larangan-larangan orang-orang yang memberikan konsultasi kepada kita atau dokter yang memberikan resep kepada pasiennya dimana yang menjadi obyek perintah atau larangan adalah kemasalahatan orang yang meminta konsultasi. Apabila ia melanggar bimbingan tersebut maka hal itu akan berujung pada kerugian dan mafsadah orang itu sendiri.[7]
2. Nabi Adam As adalah seorang nabi dan al-Qur’an memandang para nabi itu suci dan nafas-nafas suci mereka terlepas dari perbuatan dosa dan kefasikan. Argumen-argumen rasional dan ayat-ayat al-Qur’an juga menyokong pandangan ini.[8]

Allamah Thabathabai, dalam tuturan yang panjang menetapkan masalah kemaksuman para nabi dengan dalil-dalil rasional dan referensial.[9]

Dari satu sisi, pandangan kaum Kristian bahwa Nabi Adam melakukan dosa dan perbuatan dosa adalah kemestiannya, adalah pandangan keliru. Karena Allah Swt memilih Nabi Adam As dan memandangnya dengan pandangan rahmat setelah ia memakan pohon terlarang dan keluar dari surga, “Kemudian Tuhan memilihnya, lalu Dia menerima tobatnya dan memberi petunjuk kepadanya.”[10] dan juga “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhan-nya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” [11]

Karena itu, ucapan ini yang menyatakan bahwa “Setiap kesalahan yang dilakukan oleh manusia adalah kemestian yang tidak terpisah darinya” sama sekali tidak dapat dibenarkan dan dengan asumsi adanya kemestian dosa dengan manusia, maka hal itu tidak lagi menyisakan kata maaf dan ampunan bagi manusia. Sementara al-Qur’an banyak membahas persoalan maaf dan ampunan. Al-Qur’an tidak pernah diam dalam menghadapi masalah ini.[12] Karena itu, keyakinan kaum Kristian tentang dosa Adam dan segala konsekuensinya adalah keyakinan batil dan tidak berdasar serta mengingkari masalah maaf dan ampunan Ilahi selama berabad lamanya dalam hubungannya dengan umat manusia.

Dengan memperhatikan hal ini maka menjadi jelas bahwa ucapan Imam Khomeini Ra dalam kitab al-Thahârah yang menukil sebuah riwayat tentang sebab diwajibkannya wudhu selaras dan senada dengan penolakan dosa asal dalam pandangan Islam. Imam Khomeini dalam masalah wudhu mengemukakan sebuah pembahasan dengan judul “Haula Haqiqat al-Thahârah al-Mu’tabara fi al-Shalat” (Ihwal Hakikat Thaharah yang standar dalam Shalat) dan dalam hal ini menyatakan bahwa wudhu diwajibkan bagi Nabi Adam dan keturunannya secara mutlak, terlepas dari manusia sebelumnya memiliki hadats (ternodai dengan kotoran) atau tidak.[13] Manfaat pembahasan ini bahwa tatkala manusia lahir, sebelum kotoran menghinggapinya apakah ia suci atau tidak? Imam Khomeini berkata bahwa bayi yang baru lahir ini juga termasuk dalam hukum wajib Allah Swt terkait dengan masalah wudhu. Berbeda dengan ghusl (mandi wajib), sepanjang belum terjadi hadats yang menyebabkan keharusan mandi maka mandi tidak akan menjadi wajib. Dalam masalah ini, Imam Khomeini bersandar pada sebuah riwayat yang menjelaskan tentang sebab kewajiban wudhu:

Sekelompok Yahudi datang kepada Rasulullah Saw dan menyampaikan beberapa pertanyaan kepada beliau. Salah satu pertanyaan tersebut adalah, Wahai Muhammad! Apa sebabnya empat anggota badan ini harus dikenai wudhu? Sementara anggota badan ini merupakan anggota badan yang tersuci? (Yang dimaksud dengan anggota badan itu adalah wajah, dua tangan dan dua kaki yang dibasuh dan diusap tatkala wudhu).

Rasulullah Saw bersabda, “Tatkala setan mewas-wasi Adam dan Nabi Adam mendekati pohon tersebut dan memandang pohon tersebut kemudian reputasinya hilang (boleh jadi yang dimaksud adalah air mukanya berubah) lalu berdiri dan pergi ke arah pohon. Langkah ini merupakan langkah pertama yang diayunkan ke arah perbuatan salah. Lalu memetik buah pohon tersebut dan memakannya. Permata dan jubah keemasan yang dikenakan robek dan Adam meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya dan menangis. Tatkala Allah Swt menerima taubatnya dan mensucikan baginya dan anak-anaknya serta keturunannya keempat anggota badan ini diwajibkan. Kemudian Allah Swt karena memandang pohon tersebut lalu memerintahkan Adam untuk membasuh wajahnya dan karena Adam memetik buah terlarang itu dengan kedua tangannya, Allah Swt memerintahkan Adam untuk membasuh kedua tangannya hingga sikunya. Karena Adam meletakkan tangannya di atas kepala maka Allah Swt menitahkan kepadanya untuk mengusap kepala dan karena kedua kakinya melakukan kesalahan melangkah menuju pohon tersebut maka Allah Swt memerintahkan kepadanya untuk membasuh kedua kakinya.[14]

Apabila kita mencermati teks riwayat akan kita dapatkan bahwa riwayat ini sama sekali tidak menyatkan dosa Nabi Adam dan sebab wudhu disandarkan pada perbuatan Nabi Adam.

Adapun perbuatan Nabi Adam dipandang sebagai tark aula (meninggalkan yang utama) tidak diingkari oleh Islam. Apa yang ditolak oleh Islam adalah perbuatan Adam itu adalah perbuatan dosa yang telah kami tetapkan dengan dalil-dalil rasional dan referensial.

Dari sisi lain, hukuman bagi tark aula bagi para wali Allah Swt adalah sesuatu yang biasa sebagaimana hal ini kita saksikan pada Nabi Yunus dan nabi-nabi lainnya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kewajiban wudhu adalah disebabkan oleh tark aula yang dilakukan oleh Nabi Adam. Di samping itu, terdapat dalam beberapa riwayat yang menyebutkan sebab-sebab diwajibkannya wudhu[15] dan tidak terbatas pada sebab yang disebutkan di atas, terlepas dari kemaslahatan dan hikmah-hikmah lainya yang tidak kita ketahui dan tersembunyi bagi kita.


Referensi:

[1]. Paul Helm, Faith and Understanding, hal. 153, Eerdmans Publishing Co. Edinburgh University Press, 1997, , sesuai nukilan dari Majalah Ilmi Takhashushi Ma’rifat 74, hal. 22. tahun 12, No. 13, 1382, 1382, Muassasah Amuzesy wa Pazhuhesy Imam Khomeini, Ra.
[2]. Roma 19:5, sesuai nukilan dari Majalah Ilmi Takhashushi Ma’rifat 74, hal. 23. tahun 12, No. 13, 1382, 1382, Muassasah Amuzesy wa Pazhuhesy Imam Khomeini, Ra.
[3]. Saru Khaciki, Ushûl Masihiyyat, hal. 81, Cetakan Kedua, Intisyarat-e Hayat-e Abadi, 1982 M. sesuai nukilan dari Majalah Ilmi Takhashushi Ma’rifat 74, hal. 24. tahun 12, No. 13, 1382, 1382, Muassasah Amuzesy wa Pazhuhesy Imam Khomeini, Ra.
[4]. G Lesley Danstan, Âine Protestân, terjemahan Abdurrahim Sulaimani Ardistani, hal, 105-106, Cetakan Pertama, Qum, Muassasah Amuzesy wa Pazhuhesy Imam Khomeini, 1381 S, sesuai nukilan dari Majalah Ilmi Takhashushi Ma’rifat 74, hal. 23. tahun 12, No. 13, 1382, 1382, Muassasah Amuzesy wa Pazhuhesy Imam Khomeini, Ra.
[5]. Charles Hurren, Nejât Syinâsi, terjemahan Saru Khaciki, hal. 11, Cetakan Pertama, Intisyarat-e Aftab Adalat, Teheran, 1361 S, sesuai nukilan dari Majalah Ilmi Takhashushi Ma’rifat 74, hal. 24. tahun 12, No. 13, 1382, 1382, Muassasah Amuzesy wa Pazhuhesy Imam Khomeini, Ra.
[6]. Henry Tissien, Ilahiyât Masihi, terjemahan Mikailiyan, Intisyarat-e Hayat Abadi, hal. 180/182, sesuai nukilan dari Majalah Ilmi Takhashushi Ma’rifat 74, hal. 24. tahun 12, No. 13, 1382, 1382, Muassasah Amuzesy wa Pazhuhesy Imam Khomeini, Ra.
[7]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 292-293, Cetakan Kelima, Muassasah Ismailiyan, 1371 S, Qum.
[8]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 293, dan jil. 12, hal. 134-139, Cetakan Kelima, Muassasah Ismailiyan, 1371 S, Qum. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzesy ‘Aqaid, jil. 1 & 2, Pelajaran 24, 25 dan 26, Cetakan Ketujuh, Markaz Cap wa Nasyr Sazeman Tablighat Islami.
[9]. Ihwal pembahasan Kemaksuman dan Kesalahan Adam As kami persilahkan Anda untuk merujuk pada beberapa jawaban, 4438 (Site: 4808), 203 (Site: 1114), 112 (Site: 998), 7568, 129 (Site: 1069)
[10]. (Qs. Thaha [20]:122)
ثُمَّ اجْتَباهُ رَبُّهُ فَتابَ عَلَیْهِ وَ هَدی.

[11]. (Qs. Al-Baqarah [2]:37)
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ کَلِماتٍ فَتابَ عَلَیْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحیم.

[12]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 293, Cetakan Kelima, Muassasah Ismailiyan, 1371 S, Qum.
[13]. Imam Khomeini Ra, Kitab al-Thahârah (Taqrirat), hal. 270, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini Qs, Cetakan Pertama, Teheran, 1428 S.
فإنّ ظاهرها(أی ظاهر الروایة) أنّ الوضوء فرض علىٰ آدم و علىٰ ذریّته مطلقاً؛ مسبوقاً بالحدث أو غیر مسبوق، فإنّ سبب وجوبه لیس مجرّد الأحداث المعروفة، بل لأنّ آدم (علیه السّلام) صدر منه العمل المعروف.

[14]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 1, hal. 55 – 57, Jami’a Mudarrisin, Qum, 1404 H.
[15]. Ibid, hal. 57. Imam Ali bin Musa al-Ridha As dalam menjawab sebuah surat berisikan beberapa pertanyaan dari Muhammad bin Sanan menulis, “Sebab wudhu sehingga orang wajib membasuh wajah dan kedua tangan. Mengusap kepala dan kedua kaki bagi para hamba Allah Swt adalah untuk berdiri di hadapan Allah Swt dan berpaling kepada-Nya dengan anggota badan secara lahir dan dengan anggota badan tersebut ia bersua dengan para malaikat pencatat amal kebaikan. Karena itu, wajah untuk bersujud dan engkau basuh dalam kondisi tunduk dan rendah. Membasuh kedua tangan sehingga tersucikan dari dosa-dosa. Mengarahkan badan ke kiri dan ke kanan supaya terpenuhi segala hajat dan permohonan. Membiasakan diri untuk senantiasa takut, ikhlas dan memutuskan hubungan dengan selain-Nya. Mengusap kepala dan kedua kaki karena sifatnya terbuka dan segala kondisinya senantiasa berhadapan dengan anggota badan ini, namun khidmat, ikhlas dan memutuskan dari segala yang lain berada di tangan dan wajah (sehingga harus dibasuh). Karena itu, mengusap kepala dan kaki telah mencukupi.

(Islam-Quest/Israq/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: