Pesan Rahbar

Home » » Negeri Sabah Milik Siapa?

Negeri Sabah Milik Siapa?

Written By Unknown on Tuesday, 31 January 2017 | 19:54:00

Wilayah sengketa itu kini kembali dipersengketakan.


Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad bersuara lantang mengomentari penyerangan bersenjata di Sabah yang memakan banyak korban jiwa. “Tidak ada jalan keluar selain meluncurkan serangan balik untuk mengusir mereka,” ujarnya. Mahathir menganggap pemerintah Malaysia keliru mengirimkan polisi. “Ancaman eksternal semestinya ditangani oleh angkatan bersenjata,” kritiknya.

Konflik itu diawali oleh penyusupan ratusan warga Filipina Selatan, yang mengklaim sebagai Tentara Diraja Kesultanan Sabah ke Lahad Datu, Sabah, Malaysia awal Februari 2013. Mereka berusaha mengambil kembali Sabah (Kalimantan Utara) dari Malaysia, yang mencaploknya 50 tahun silam.

Pada 1 Maret 2013 pihak keamanan Malaysia mengepung mereka. Baku tembak menewaskan sedikitnya 14 orang. Dua hari kemudian konflik meluas ke Semporna, 150 kilometer selatan Lahad Datu. Enam polisi Malaysia dan enam penyerang tewas.

Meningkatnya eskalasi konflik membuat PM Najib Razak mengirimkan dua batalyon tentara, lengkap dengan kendaraan lapis baja. Sementara itu, pemerintah Filipina yang awalnya memerintahkan para penyusup menyerahkan diri, kini mendesak pemerintah Malaysia agar menggunakan “toleransi maksimum” terhadap warganya. Di samping mengutus Menteri Luar Negeri Albert del Rosario ke Kuala Lumpur, pemerintah Filipina juga meminta Malaysia agar mengizinkan kapal angkatan lautnya merapat ke Lahad Datu guna memberi bantuan medis dan membawa pekerja sosial.

Sabah atau Kalimantan Utara awalnya milik Kesultanan Brunei. Pada abad ke-7, wilayah ini rumah bagi komunitas bernama Vijayapura, vasal Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan. Banyak yang percaya, Vijayapura leluhur orang Brunei.

Sejak abad ke-6, Kalimantan Utara ramai dikunjungi orang dari berbagai tempat. Ia menjadi pusat transit karena posisinya berada di tengah jalur perdagangan Tiongkok-Nusantara. Sewaktu Kesultanan Brunei Darussalam berdiri pada abad ke-14, Sabah dan wilayah-wilayah lain di Kalimantan belum resmi bagian kerajaan. Baru pada era kekuasaan Raja Bolkiah (abad ke-15), yang melakukan ekspansi besar-besaran hingga ke Banjarmasin di selatan, Sabah resmi dimasukkan ke dalam Brunei Darussalam. “Pada abad ke-16 Brunei merupakan satu kerajaan besar yang meliputi Kalimantan Utara dan merentang hingga ke Filipina,” tulis John Stewart Bowman dalam Columbia Chronologies of Asian History and Culture.

Di kawasannya, dominasi Brunei mendapat tantangan dari Kesultanan Sulu di Mindanao. Namun setelah terjadi perpecahan dalam tubuh kerajaan pada pertengahan abad ke-17 dan Kesultanan Sulu turut membantu mengatasinya, menurut Graham Saunders dalam A History of Brunei, Brunei terpaksa memberikan Sabah kepada Kesultanan Sulu sebagai kompensasi.

Di bawah Kesultanan Sulu, yang lalu takluk oleh Spanyol, Sabah kembali berganti pemilik. Wilayah itu lalu dijadikan pos perdagangan Kongsi Dagang Inggris (EIC) setelah Alexander Dalrymple, perwira EIC, menandatangani perjanjian kontrak dengan sultan Sulu. British North Borneo Provisional Association Ltd. –lalu menjadi British North Borneo Company– mendirikan kantor di situ dengan ibukota di Kudat. Ketika Protokol Madrid ditandatangani oleh Inggris, Spanyol, dan Jerman pada 1885, yang mengakui Sulu sebagai wilayah kedaulatan Spanyol sebagai ganti atas klaim Spanyol terhadap Kalimantan Utara, Sabah tetap menjadi konsesi perusahaan Inggris itu.

Pasca-Perang Dunia II, wilayah-wilayah yang diduduki Jepang kembali menjadi bagian dari pemilik-pemilik sebelumnya. Sabah dan wilayah lain seperti Brunei menjadi protektorat Inggris, salah satu pemenang perang. Konflik baru kembali muncul pada paruh pertama 1960 ketika tiga negara (Brunei Darussalam, Filipina, dan Federasi Malaya) mengklaim Sabah secara bersamaan. Berdasarkan sejarah, klaim Brunei, Sabah adalah wilayah kekuasaannya; Filipina bersikukuh Sabah bagian wilayahnya karena sebelumnya merupakan milik sah Kesultanan Sulu yang disewakan kepada perusahaan Inggris; dan Federasi Malaya mengklaim Sabah miliknya karena mulanya Sabah milik Inggris. Malaya ingin menyatukan Sabah, Sarawak, dan Brunei ke dalam Federasi Malaysia, yang disponsori Inggris.

Konflik Brunei-Filipina berhasil diselesaikan pada 1962. Sedangkan konflik Filipina-Malaya, meski alot, akhirnya bisa diselesaikan dengan –bantuan Indonesia, yang lebih condong ke Filipina lantaran Sukarno menganggap Malaysia sebagai proyek neokolonialisme– ditandatanganinya Manila Agreement pada 31 Juli 1963. Isinya antara lain, Sabah dan Serawak bisa bergabung ke dalam Malaysia asalkan sebelumnya diadakan referendum terlebih dulu, apakah rakyat di kedua wilayah setuju atau tidak bergabung dengan Malaysia.

Yang sulit adalah konflik Brunei-Malaya, masing-masing pihak bersikukuh terhadap pendiriannya. Namun sebuah penyerangan bersenjata –oleh rakyat Brunei terhadap pos-pos keamanan Inggris di hampir seluruh Kalimantan Utara– pada 8 Desember 1962 membuat posisi politik Brunei runtuh. Inggris kembali menggenggam Brunei dan Sabah sebagai protektoratnya. Yang tersisa tinggal Malaya. Gerbang kelancaran proyek Malaysia pun kian menganga.

Ketika tim pencari fakta PBB, yang dibantu wakil-wakil Indonesia dan Filipina, sedang bekerja sebagai kelanjutan dari keputusan Manila Agreement, PM Malaya Tunku Abdul Rahman Putera mengumumkan proklamasi Federasi Malaya pada 16 September 1963. “Tentu saja aku marah. Pemerintah Indonesia telah ditipu dan diperlakukan seperti patung,” ujar Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta dan Manila menganggap Tunku mengangkangi perjanjian yang telah mereka sepakati. Namun, nasib Sabah –dan Serawak– secara formal tetap masuk ke dalam Malaysia pada 1963, meski ada permintaan Sukarno kepada Sekjen PBB U Thant untuk menyelidiki ulang hasil referendum. “Ini adalah penggabungan wilayah yang dipaksakan,” tegas Sukarno.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: