Pesan Rahbar

Home » » Zarif: Iran-Saudi Bisa Kerjasama Jika Riyadh Melihat Realitas di Lapangan

Zarif: Iran-Saudi Bisa Kerjasama Jika Riyadh Melihat Realitas di Lapangan

Written By Unknown on Thursday, 19 January 2017 | 16:11:00

Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menghadiri pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, 18 Januari 2017. (Foto: Reuters)

Iran dan Arab Saudi dapat bekerja sama untuk membantu mengakhiri konflik regional, tapi Riyadh perlu melihat realitas lapangan sebelum hubungan kedua negara bisa kembali normal, menteri luar negeri Iran mengatakan.

“Saya tidak melihat alasan [kenapa] Iran dan Arab Saudi harus memiliki kebijakan bermusuhan terhadap satu sama lain. Kami sebenarnya bisa bekerja sama untuk stabilitas wilayah kami masa depan. Kami sebenarnya dapat bekerja sama untuk mengakhiri kondisi rakyat penderitaan rakyat di Suriah, Yaman, Bahrain dan di tempat lain di kawasan itu, “kata Mohammad Javad Zarif dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, Rabu (18/1 /17).

Zarif menambahkan bahwa Iran dan Arab Saudi mampu “menghentikan proses pemilihan presiden di Lebanon yang terhambat,” menekankan bahwa hal yang sama bisa diterapkan untuk masalah lainnya.

Namun Zarif, mengatakan bahwa Iran memiliki banyak keluhan, termasuk hilangnya lebih dari 460 peziarah Iran dalam insiden tragis selama ritual haji pada bulan September 2015, yang dikatakannya disebabkan oleh “kelalaian” dan retorika anti-Iran petinggi Saudi.

“Kami telah mendengar berbagai retorika di Arab Saudi … komentar yang menarik datang dari menteri luar negeri Arab Saudi, yang menganggap Iran harus bertanggung jawab untuk Daesh (ISIS), ini lelucon abad ini,” kata Zarif, menambahkan bahwa Riyadh perlu untuk melihat realitas di lapangan dan alasan mendasar di balik masalah yang saat ini mencengkeram wilayah tersebut bukan menunjuk jari menyalahkan orang lain.

Diplomat tinggi Iran ini mengatakan bahwa “tidak ada yang dapat memperoleh manfaat maupun keuntungan dengan mendukung terorisme dan sektarianisme.”

“Sekali lagi kami memahami bahwa kami tidak ingin ada terorisme di salah satu bagian dari wilayah kami, terorisme dan ekstremisme seperti penyakit menular yang akan menyebar ke seluruh tempat di seluruh dunia karena kami tahu itu – dan itu yang terjadi saat ini – maka Iran dan Arab Saudi [sebenarnya] bisa mulai berpikir tentang adanya hubungan tentang modus operandi mereka, “kata Zarif.


Pembicaraan Astana fokus pada perluasan gencatan senjata

Dalam pidatonya kepada WEF, diplomat Iran juga menyinggung tentang situasi di Suriah, dan memuji gencatan senjata yang telah dilakukan di negara Arab sejak bulan lalu.

Dia mengatakan pembicaraan mendatang tentang Suriah di kota Kazakh Astana akan ditujukan untuk memperluas perjanjian gencatan senjata.

“[Yang] perlu kita lakukan di tingkat internasional adalah membantu Suriah untuk mulai melangkah ketahap berbicara satu sama lain, dan saya percaya langkah pertama telah diambil oleh Iran, Rusia dan Turki dalam upaya penghentian permusuhan “yang telah berlangsung” lebih dari sebulan dan itu adalah rekor terbaik yang ada selama lima tahun konflik Suriah. ”

“Kami berharap bahwa di Astana, gencatan senjata ini dapat diperluas, kami berharap bahwa gencatan senjata [akan] menggabungkan semua Suriah,” tambahnya.

Zarif juga memperingatkan terhadap pengambil kesimpulan sebelum dimulainya perundingan di Astana.

“Kita tidak harus berupaya untuk mengira-ngira hasil negosiasi politik, sebelum kita mulai negosiasi politik. [Namun] apa yang penting bagi semua pihak untuk tidak melakukan solusi militer di Suriah, “katanya, mengungkapkan harapan bahwa semua pihak yang menandatangani perjanjian gencatan senjata Suriah” akan datang ke Astana dengan maksud untuk mengakhiri permusuhan untuk jangka panjang dan juga mulai proses politik. ”

Astana akan menjadi tuan rumah perundingan antara perwakilan dari pemerintah Suriah dan kelompok oposisi bersenjata pada 23 Januari.

Kelompok teroris Takfiri Daesh dan Jabhat Fateh al-Sham Takfiri dikecualikan dari pembicaraan yang dimediasi oleh Rusia, Turki, dan Iran.

Ketiga negara berhasil menerapkan perjanjian serupa pada bulan Desember tahun lalu, menyusul kekalahan militan di kota Suriah Aleppo. Zarif mengatakan pembicaraan Astana akan membahas prinsip-prinsip proses perdamaian berdasarka persatuan dan integritas teritorial Suriah serta pemerintah yang inklusif, tetapi ia menekankan bahwa hanya rakyat Suriah yang harus menentukan nasib masa depan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

(Reuters/Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: