Menjelang Pemilihan Kepala Daerah serentak di pertengahan bulan ini, KH. Said Aqil Sirajd mengeluarkan pernyataan sikap soal posisi Nahdlatul Ulama, ormas Islam yang kini ia pimpin. Mengingatkan Khittah 1926, Kiai Said kembali menegaskan bahwa NU tidak terlibat dalam politik praktis.
“Karenanya, tidak mungkin dan tidak boleh PBNU memberikan dukungan politik pada kandidat manapun. Ini tidak hanya untuk konteks Pilpres, termasuk juga pemilihan legislatif dan Pilkada. Saya tegaskan lagi, saya mematuhi ini (Khittah 1926),” katanya seperti yang ia unggah dalam twitter pribadinya @saidaqil, (10/2)
Karena itu, Ketum PBNU ini mengatakan, kalau ada pernyataan yang menyatakan dukungan terhadap kandidat dalam pilkada mulai dari PBNU, Lembaga, Lajnah, Badan Otonom, dari tingkat pusat sampai daerah, tidak ada yang sah dan boleh mewakili NU sebagai Jam’iyyah (organisasi).
“Kalaupun ada, tidak lebih sebagai pernyataan pribadi,” tegasnya.
Terkait Pilpres, Pileg, maupun Pilkada, sejumlah hal akan dilakukan oleh jebolan Ummul Quro Makkah ini. Pertama, ia akan aktif menggalang dukungan warga NU untuk aktif menggunakan hak pilihnya secara bertanggung jawab.
“Tanggung jawab itu ya cari-cari informasi, pakai perenungan, dan terus berdoa agar Indonesia dikaruniai pemimpin yang tidak dzalim,” jelasnya.
Ini pertimbangan yang sifatnya pribadi sekali. “Silakan pilih nomor berapa saja, asal bertanggung jawab.”
Kedua, lanjut Kiai Said, siapapun yang terpilih nanti harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Ini soal amanah yang tidak mudah. Makanya, tidak hanya NU, semua orang Indonesia harus mengawal dan mengawasi pemerintahan terpilih.
“Saya bilang begini karena doa orang NU di bilik suara itu bunyinya begini, Allahumma la tusallith ‘alaina bidzunubina man laa yakhafuka walaa yarhamunaa (Ya, Allah, ya, Tuhan kami, jangan kuasakan atas kami, karena kesalahan-kesalahan kami, penguasa yang tak takut kepadaMu dan tak berbelas kasihan kepada kami).”
Sekarang ini, menurut pria asal Cirebon ini, prinsip one man-one vote mulai berubah jadi one envelope-one vote. Maka dari itu, kata bidzunubina (sebab kesalahan kami) dalam doa tadi menjadi sangat penting dari sudut pandang pemilih.
Logikanya, kata Kiai Said, pemilih yang ngawur memilih pemimpin yang keliru. Maka, sejak sebelum, ketika, dan seudah mencoblos, setiap pemilih harus menilai tinggi-tinggi suara pribadinya itu.
“Kemarin saya bilang, yang penting bukan saat coblosan saja, tapi hari-hari panjang sesudahnya,” katanya.
Kalau perbedaan pendapat, biasa. Hal itu, bagi Kiai Said, memang biasa dan perlu. Perbedaan pendapat itu yang membuat kita cerdas, kritis. Tapi tidak boleh kemudian saling menjatuhkan, apalagi fitnah.
“Namun tidak sedikit orang luar atau pengamat yang tidak memahami disiplin berpikir pesantren tidak jarang berlebihan melihat perbedaan pendapat di tubuh NU,” katanya.[]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email