Jauh sebelum kasus Ahok, tuduhan penistaan agama pernah terjadi pada awal abad ke-20. Sarat muatan politik
Dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendorong ratusan ribu umat muslim di Indonesia turun ke jalan. Mereka menuntut hukuman penjara bagi gubernur DKI Jakarta yang juga sedang mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode 2017-2022 itu. Bola panas kasus penistaan agama semakin bergulir kencang seturut dengan Pilkada putaran kedua yang bakal diselenggarakan April mendatang.
Kendati istilah “penistaan agama” belum dikenal, peristiwa serupa juga pernah terjadi di masa yang lalu. Pada 9 dan 11 Januari 1918, Martodharsono redaktur Djawi Hiswara memuat tulisan karya Djojodikoro. Tulisan yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” itu menyulut kemarahan HOS Tjokroaminoto karena memuat kalimat “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin, minoem opium dan kadang soeka mengisep opium.”
Selang sebulan kemudian, 24 Februari 1918, HOS Tjokroaminoto menggalang solidaritas umat muslim di Hindia Belanda untuk turun ke jalan. Pada hari itu di 42 tempat berbeda di Jawa dan sebagian Sumatera, sekitar 150 ribu orang melangsungkan demonstrasi menuntut pemerintah kolonial menghukum Martodharsono dan Djojodikoro.
Apakah peristiwa demonstrasi tersebut berdiri sendiri dan semata dipicu oleh penghinaan terhadap Nabi Muhammad sebagaimana termuat di dalam Djawi Hiswara?
Sejarawan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 mencatat bahwa aksi itu tak lepas dari pertarungan pengaruh antara HOS Tjokroaminoto dengan pemimpin Sarekat Islam lain, seperti Semaoen dan Darsono yang semakin lama semakin populer di mata rakyat.
“Kemunculan Semaoen dan SI Semarang pada 1917-1918 semakin mengusik Tjokroaminoto,” tulis Shiraishi.
Oposisi Semaoen terhadap Tjokroaminoto telah dimulai semenjak mencuat persoalan pengelolaan keuangan di dalam pengurus pusat Sarekat Islam (CSI, Central Sarekat Islam). Kendati akhirnya meminta maaf atas tuduhannya, Darsono, salah satu pemimpin Sarekat Islam Semarang menuduh Tjokroaminoto menyalahgunakan wewenangnya sebagai ketua CSI.
Perdebatan makin meluas ketika CSI di bawah Tjokroaminoto turut menyetujui keanggotaan di dalam Volksraad (Dewan Rakyat), semacam parlemen bentukan pemerintah Belanda. Menurut Semaoen Volksraad tak lebih “komedi omong” belaka. Dari 19 anggota Volksraad yang terpilih, “tida ada satoe wakil dari ra’jat’ dan “tida ada satoe jang oleh kromo boleh dibilang ‘penekat’ jang menjerahkan djiwanja,” tulis Semaoen dalam “Antie Indie Werbaar, Antie Militie dan 3de National Congres Sarekat Islam”, Sinar Djawa, 1918, sebagaimana dikutip dari Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen karya Soewarsono.
“Volksraad adalah omong kosong,” ujar Semaoen, “Boekan Volksraad jang akan bisa bikin baik nasibnja ra’jat, tapi gerakannja ra’jat sendiri,” kata dia melanjutkan.
Abdoel Moeis, wakil CSI di dalam Volksraad, menampik tuduhan Semaoen. Menurut Moeis, sebagaimana ditulis oleh Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, partisipasi di dalam Volksraad memungkinkan partai untuk mengemukakan pandangannya tentang berbagai masalah dan untuk membela hak-hak rakyat.
Konflik jadi semakin runcing saat Tjokroaminoto ditunjuk pemerintah kolonial sebagai anggota Volksraad pada 23 Februari 1918, sehari sebelum aksi protes terhadap Martodharsono berlangsung. Upayanya untuk meminta persetujuan cabang-cabang SI terganjal sikap oposisi dari para pengurusnya. Mas Marco Kartodikromo, jurnalis terkemuka yang tiga tahun sebelumnya sempat kena hukuman penjara atas kritiknya kepada pemerintah kolonial, pun kerap menyindir Tjokroaminoto sebagai “Ksatria di bawah perlindungan pemerintah”.
Sementara itu muncul pula gagasan Indie Werbaar (aksi pertahanan Hindia Belanda) yang lagi-lagi ditentang oleh pengurus cabang SI Semarang. Usulan Indie Werbaar merespons situasi dunia yang sedang dilanda perang dunia I serta kekhawatiran menjalarnya perang hingga Hindia Belanda. Semaoen cum suis menolak ide tersebut karena tak sepantasnya rakyat Hindia Belanda membela tanah airnya yang justru sedang dijajah oleh tuan-tuan kolonial Belanda.
Berbagai macam serangan politik yang dilancarkan terhadap kepengurusan CSI pimpinan Tjokroaminoto itu perlahan-lahan mendelegitimasi perannya. Popularitas Tjokroaminoto yang berkibar-kibar di masa awal pendirian Sarekat Islam dirongrong dari dalam: sebagian SI lokal menjadi kelompok oposan, terutama cabang Semarang.
Tjokro berupaya sebisa mungkin menangkis serangan-serangan kepada dirinya, namun baru menemukan momentum untuk menyerang balik musuh-musuhnya itu setelah Martodharsono menerbitkan artikel Djojodikoro. Menurut Takashi Shiraishi artikel Djojodikoro itu menjadi kesempatan emas bagi Tjokroaminoto untuk membalikkan keadaan.
Aksi yang dipicu dari artikel itu dimanfaatkan oleh Tjokroaminoto untuk memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memedulikan Islam, menghimpun saudagar-saudagar santri dan Arab, menghimpun uang, dan menggerakan SI-SI yang terbengkalai di bawah pimpinannya dalam semangat membela Islam; lalu menyerang musuh-musuh lamanya dari Surakarta, Martodharsono, Samanhoedi dan Sosrokoernio.”
Tjokro pun mendirikan Tentera Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum muslimin.” Cabang-cabang TKNM didirikan di berbagai wilayah di Jawa untuk membangkitkan kembali SI-SI lokal. Dia juga berupaya untuk mengambil alih SI Semarang dan turut di dalam arus gerakan buruh yang menjadi ciri utama gerakan Sarekat Islam di Semarang itu.
Melalui artikel Djojodikoro itu yang dinilai melecehkan Nabi Muhammad itu Tjokroaminoto berhasil memukul balik lawan-lawan politiknya secara efektif. Dia juga berhasil memperkuat kembali cengkeraman kendalinya atas SI-SI lokal yang terbengkalai. Solidaritas muslim yang digalang oleh Tjokroaminoto sukses menaikkan posisi tawarnya tak hanya di hadapan musuh-musuh politik dalam tubuh SI tapi juga di hadapan pemerintah kolonial Belanda.
Turbulensi politik dan rongrongan terhadap Tjokro mulai bisa dikendalikan pada saat kongres CSI September-Oktober 1918. Dia pun mengakomodasi para pengkritiknya seperti Semaoen dan Darsono sebagai komisaris dan propagandis CSI, sekaligus bisa mengendalikan mereka yang sebelumnya dikenal keras dalam mengkritik Tjokroaminoto.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Foto: HOS Tjokroaminoto dan Semaoen.
Dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendorong ratusan ribu umat muslim di Indonesia turun ke jalan. Mereka menuntut hukuman penjara bagi gubernur DKI Jakarta yang juga sedang mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode 2017-2022 itu. Bola panas kasus penistaan agama semakin bergulir kencang seturut dengan Pilkada putaran kedua yang bakal diselenggarakan April mendatang.
Kendati istilah “penistaan agama” belum dikenal, peristiwa serupa juga pernah terjadi di masa yang lalu. Pada 9 dan 11 Januari 1918, Martodharsono redaktur Djawi Hiswara memuat tulisan karya Djojodikoro. Tulisan yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” itu menyulut kemarahan HOS Tjokroaminoto karena memuat kalimat “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin, minoem opium dan kadang soeka mengisep opium.”
Selang sebulan kemudian, 24 Februari 1918, HOS Tjokroaminoto menggalang solidaritas umat muslim di Hindia Belanda untuk turun ke jalan. Pada hari itu di 42 tempat berbeda di Jawa dan sebagian Sumatera, sekitar 150 ribu orang melangsungkan demonstrasi menuntut pemerintah kolonial menghukum Martodharsono dan Djojodikoro.
Apakah peristiwa demonstrasi tersebut berdiri sendiri dan semata dipicu oleh penghinaan terhadap Nabi Muhammad sebagaimana termuat di dalam Djawi Hiswara?
Sejarawan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 mencatat bahwa aksi itu tak lepas dari pertarungan pengaruh antara HOS Tjokroaminoto dengan pemimpin Sarekat Islam lain, seperti Semaoen dan Darsono yang semakin lama semakin populer di mata rakyat.
“Kemunculan Semaoen dan SI Semarang pada 1917-1918 semakin mengusik Tjokroaminoto,” tulis Shiraishi.
Oposisi Semaoen terhadap Tjokroaminoto telah dimulai semenjak mencuat persoalan pengelolaan keuangan di dalam pengurus pusat Sarekat Islam (CSI, Central Sarekat Islam). Kendati akhirnya meminta maaf atas tuduhannya, Darsono, salah satu pemimpin Sarekat Islam Semarang menuduh Tjokroaminoto menyalahgunakan wewenangnya sebagai ketua CSI.
Perdebatan makin meluas ketika CSI di bawah Tjokroaminoto turut menyetujui keanggotaan di dalam Volksraad (Dewan Rakyat), semacam parlemen bentukan pemerintah Belanda. Menurut Semaoen Volksraad tak lebih “komedi omong” belaka. Dari 19 anggota Volksraad yang terpilih, “tida ada satoe wakil dari ra’jat’ dan “tida ada satoe jang oleh kromo boleh dibilang ‘penekat’ jang menjerahkan djiwanja,” tulis Semaoen dalam “Antie Indie Werbaar, Antie Militie dan 3de National Congres Sarekat Islam”, Sinar Djawa, 1918, sebagaimana dikutip dari Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen karya Soewarsono.
“Volksraad adalah omong kosong,” ujar Semaoen, “Boekan Volksraad jang akan bisa bikin baik nasibnja ra’jat, tapi gerakannja ra’jat sendiri,” kata dia melanjutkan.
Abdoel Moeis, wakil CSI di dalam Volksraad, menampik tuduhan Semaoen. Menurut Moeis, sebagaimana ditulis oleh Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, partisipasi di dalam Volksraad memungkinkan partai untuk mengemukakan pandangannya tentang berbagai masalah dan untuk membela hak-hak rakyat.
Konflik jadi semakin runcing saat Tjokroaminoto ditunjuk pemerintah kolonial sebagai anggota Volksraad pada 23 Februari 1918, sehari sebelum aksi protes terhadap Martodharsono berlangsung. Upayanya untuk meminta persetujuan cabang-cabang SI terganjal sikap oposisi dari para pengurusnya. Mas Marco Kartodikromo, jurnalis terkemuka yang tiga tahun sebelumnya sempat kena hukuman penjara atas kritiknya kepada pemerintah kolonial, pun kerap menyindir Tjokroaminoto sebagai “Ksatria di bawah perlindungan pemerintah”.
Sementara itu muncul pula gagasan Indie Werbaar (aksi pertahanan Hindia Belanda) yang lagi-lagi ditentang oleh pengurus cabang SI Semarang. Usulan Indie Werbaar merespons situasi dunia yang sedang dilanda perang dunia I serta kekhawatiran menjalarnya perang hingga Hindia Belanda. Semaoen cum suis menolak ide tersebut karena tak sepantasnya rakyat Hindia Belanda membela tanah airnya yang justru sedang dijajah oleh tuan-tuan kolonial Belanda.
Berbagai macam serangan politik yang dilancarkan terhadap kepengurusan CSI pimpinan Tjokroaminoto itu perlahan-lahan mendelegitimasi perannya. Popularitas Tjokroaminoto yang berkibar-kibar di masa awal pendirian Sarekat Islam dirongrong dari dalam: sebagian SI lokal menjadi kelompok oposan, terutama cabang Semarang.
Tjokro berupaya sebisa mungkin menangkis serangan-serangan kepada dirinya, namun baru menemukan momentum untuk menyerang balik musuh-musuhnya itu setelah Martodharsono menerbitkan artikel Djojodikoro. Menurut Takashi Shiraishi artikel Djojodikoro itu menjadi kesempatan emas bagi Tjokroaminoto untuk membalikkan keadaan.
Aksi yang dipicu dari artikel itu dimanfaatkan oleh Tjokroaminoto untuk memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memedulikan Islam, menghimpun saudagar-saudagar santri dan Arab, menghimpun uang, dan menggerakan SI-SI yang terbengkalai di bawah pimpinannya dalam semangat membela Islam; lalu menyerang musuh-musuh lamanya dari Surakarta, Martodharsono, Samanhoedi dan Sosrokoernio.”
Tjokro pun mendirikan Tentera Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi dan kaum muslimin.” Cabang-cabang TKNM didirikan di berbagai wilayah di Jawa untuk membangkitkan kembali SI-SI lokal. Dia juga berupaya untuk mengambil alih SI Semarang dan turut di dalam arus gerakan buruh yang menjadi ciri utama gerakan Sarekat Islam di Semarang itu.
Melalui artikel Djojodikoro itu yang dinilai melecehkan Nabi Muhammad itu Tjokroaminoto berhasil memukul balik lawan-lawan politiknya secara efektif. Dia juga berhasil memperkuat kembali cengkeraman kendalinya atas SI-SI lokal yang terbengkalai. Solidaritas muslim yang digalang oleh Tjokroaminoto sukses menaikkan posisi tawarnya tak hanya di hadapan musuh-musuh politik dalam tubuh SI tapi juga di hadapan pemerintah kolonial Belanda.
Turbulensi politik dan rongrongan terhadap Tjokro mulai bisa dikendalikan pada saat kongres CSI September-Oktober 1918. Dia pun mengakomodasi para pengkritiknya seperti Semaoen dan Darsono sebagai komisaris dan propagandis CSI, sekaligus bisa mengendalikan mereka yang sebelumnya dikenal keras dalam mengkritik Tjokroaminoto.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email