Ditulis Oleh: Arya Mahendra
Bagi yang akrab dengan literatur keislaman klasik (baca: kitab kuning) akan dengan mudah menjumpai keterangan tentang kehidupan seksualitas lelaki yang memiliki porsi lebih banyak dibanding perempuan, bahkan seksualitas perempuan nyaris tidak mendapat halaman dalam kitab-kitab yang ditulis puluhan abad silam itu. Dalam literatur hukum Islam (fikih) terdapat pembahasan tentang perempuan pemuas seks lelaki atau biasa disebut dengan “ammat” atau “milku al-yamin”.
Asy-Syafi’i dalam karya fikihnya, al-Umm, mengatakan; “Fa laa yahillu al-‘amalu bi adz-dzakari illaa fî az-zaujati au fî milki al-yamin (lelaki tidak boleh memainkan alat kelaminnya kecuali kepada istri atau budak yang dimilikinya)”.[1] Pernyataan demikian berdasarkan pada QS. Al-Mu’minun 5-6: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap ‘isteri-isteri’ mereka atau ‘budak’ yang mereka miliki (maa malakat aimanuhum).”
Melalui ayat ini Asy-Syafi’i juga merumuskan hukum seorang perempuan tidak boleh melakukan hubungan intim dengan budak lelaki yang dimilikinya, karena posisi perempuan adalah orang yang dinikahi (mankuhah), bukan orang yang dapat menikahi (nakihah). Jadi, hukum boleh menyalurkan hasrat seksual kepada “manusia yang dimiliki (milku al-yamin)” tertentu bagi kaum lelaki.
Dalam teks keislaman, perempuan diposisikan sebagai objek (maf’ul) bagi lelaki, sehingga pantas jika dalam persoalan ini Asy-Syafi’i memberikan hukum tidak setara antara lelaki dan perempuan.
Dalam fikih munakahat, perempuan juga menempati posisi sebagai maf’ul, yakni sebagai “pihak yang dibeli” (al-ma’qud ‘alaih). Artinya, seorang perempuan boleh dinikmati dengan timbal balik berupa mahar. Keharusan memberi imbalan pada perempuan atas pemanfaatan “tubuhnya” dapat dibuktikan dalam kasus orang yang salah melakukan hubungan intim dengan wanita yang bukan istrinya. Dalam fikih, kejadian demikian mewajibkan lelaki untuk memberikan mahar mitsil (baca: bayaran/mahar susulan).[2]
Bahkan karena fikih terpaku pada aspek timbal balik materi dengan tubuh, Abu Hanifah mengkategorikan hubungan intim yang dilakukan antara lelaki dengan perempuan yang disewanya (al-mar’ah al-musta’jarah) sebagai wathi’ syubhat yang kedua pelakunya tidak boleh dikenai sanksi hadd.
Bagi Abu Hanifah, apabila lelaki menyewa perempuan untuk berzina maka tidak boleh dihukum (la yajibu ‘alaihi al-hadd). Hal ini berdasarkan pada riwayat yang menginformasikan bahwa sahabat Umar bin Khathab tidak menghukum lelaki yang melakukan zina dengan perempuan yang diberi upah. Al-kisah, pada masa Umar ada seorang perempuan meminta duit kepada lelaki, lelaki itu tidak memberikannya kecuali apabila perempuan merelakan dirinya untuk dibelai mesra. Lalu terjadilah perzinaan di antara keduanya. Setelah perempuan tersebut lapor kepada Umar, Umar tidak menghukumnya sembari mengatakan: Hadza mahruha (uang ini sebagai maharnya).
Selain itu dalam Al-Quran kata mahar juga disebut dengan upah (ajran),[3] sehingga perzinaan dengan transaksi timbal balik materi ini masuk dalam kategori syubhat (tidak jelas).[4]
Kembali ke pembahasan awal yang menjadi fokus dalam tulisan ini, bahwa dalam bentang sejarah yang sangat panjang, Islam telah memberikan porsi penyaluran libido yang sangat besar bagi kaum lelaki. Dalam alam pikir mainstream, nabi Muhammad telah membatasi jumlah istri yang sebelumnya tak terbatas menjadi angka empat sebagai jumlah maksimal. Namun kenyataannya, banyak sahabat yang beristri lebih dari jumlah yang dipercaya sebagai batas maksimum itu.
Khalil Abdul Karim dalam karya monumentalnya, Syadwu ar-Rababah bi Ahwal Mujtama’ ash-Shahabah, menginventarisir jumlah dan nama-nama istri 10 sahabat yang dijanjikan masuk sorga (al-mubasysyirina bi al-jannah), yaitu: (1) Abu Bakar punya 4 istri, (2) Umar bin Khathab 9 istri, (3) Utsman bin Affan 9 istri, (4) Ali bin Abi Thalib 9 istri dan 14 selir, menurut pendapat lain 16 selir, (5) Thalhah bin Ubaidillah 9 istri, (6) Az-Zubair bin al-‘Awwam 6 istri, (7) Abdurrahman bin ‘Auf 20 istri, (8) Sa’d bin Malik bin Abi Waqqash 11 istri, (9) Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail, sejarawan tidak menyebutkan jumlah istrinya, tapi menyebutkan jumlah anaknya yaitu 30 orang (13 laki-laki, selebihnya perempuan). Apabila diandaikan satu istri melahirkan 3 anak, maka dapat diperkirakan berjumlah 10 istri (orang merdeka/zaujah dan ummu walad), (10) Abu Ubaidah bin al-Jarrah 1 istri. Dalam penilaian Khalil Abdul Karim, sahabat ini termasuk sahabat yang tidak terbujuk dengan gemerlap dunia.[5]
Dengan memahami banyaknya tempat saluran libido bagi kaum lelaki Arab-Islam, terlebih dilakukan oleh para sahabat yang ungkapan, pengakuan, dan perilakunya dapat dijadikan sebagai sumber keagamaan (al-atsar) membawa pada pemahaman awal, bahwa Islam menganggap wajar terhadap seseorang yang haus seks.
Prostitusi Arab-Islam
Sebelum nabi Muhammad mendapatkan wahyu yang oleh banyak umat Islam dipahami sebagai permulaan turunnya agama Islam, prostitusi di Arab sangat marak. Bisnis ini rata-rata dilakukan oleh pemilik budak perempuan (sayid). Kepada para tamu dan lelaki yang berminat, sayid menawarkan budaknya untuk disetubuhi, lalu sayid mendapatkan imbalan materi. Prostitusi Arab-Pra Islam dinamakan dengan al-baghy atau al-bigha’, istilah yang dikemudian hari diadopsi al-Quran.[6] Dalam QS. An-Nur 33 dinyatakan: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran (‘ala al-bigha’), sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”
‘Ikrimah menceritakan bahwa di Makkah dan Madinah sangat banyak sekali pekerja seks, yang paling terkenal antara lain adalah Ummu Mahzul (pekerja seks milik al-Sa’ib bin Abi al-Sa’ib al-Makhzumi), Ummu ‘Ulaith (pekerja seks milik Shafwan bin Umayyah), Hannah al-Qibthiyyah (pekerja seks milik al-‘Ash bin Wa’il), Muznah (pekerja seks milik Malik bin Amilah bin al-Sabbaq), Jalalah (pekerja seks milik Suhail bin ‘Amr), Ummu Suwaid (pekerja seks milik ‘Amr bin ‘Utsman al-Makhzumi), Suraifah (pekerja seks milik Zam’ah bin al-Aswad), Farasah (pekerja seks milik Hisyam bin Rabi’ah bin Habib bin Hudzaifah bin Jabal bin Malik bin ‘Amir bin Lu`ayy), Quraiba (pekerja seks milik Hilal bin Anas bin Jabir bin Namir bin Ghalib bin Fihr), Fartana (pekerja seks milik Hilal bin Anas).[7]
Melalui QS. An-Nur 33 di atas, nabi melarang umat Islam melacurkan budak peliharaannya. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah ketika nabi Muhammad hidup hingga wafat, masyarakat Arab-Islam bersih dari dunia esek-esek ?
Jawaban atas pertanyaan ini tentu membutuhkan penelitian tersendiri, namun dengan berdasarkan beberapa data yang mudah didapatkan, yakni dalam buku-buku sejarah Islam, tafsir, dan humaniora (al-adab), menunjukkan bahwa aktivitas seksualitas lelaki Arab-Islam masih memperlihatkan tidak ada perubahan dibandingkan masa sebelumnya yang disebut dengan Jahiliyah.
Perubahan aktivitas seksualitas Arab-Islam hanya mengubah nama. Jika sebelumnya lelaki bisa berhubungan intim dengan wanita-wanita peliharaan orang lain (milku al-yamin), pada masa nabi, masyarakat Arab-Islam melakukannya dengan wanita-wanita peliharaannya sendiri yang didapatkan dari penaklukkan daerah (baca: tawanan perang) dan pemberian (hadiah) atau warisan.
Kenyataan aktivitas seksual sahabat yang memiliki banyak perempuan ini melahirkan hipotesa, Islam tidak melarang prostitusi apabila dilakukan dengan tanpa paksaan dan perempuan yang menjajakan dirinya tidak memiliki suami. Hipotesa ini berdasarkan pada Al Qur’an yang hanya melarang pemaksaan, dan pemahaman atas konsep milku al-yamin yang boleh disetubuhi apabila tidak punya suami. Hipotesa ini membedakan antara zina dengan al-bigha’, jika zina dilakukan oleh perempuan yang memiliki ikatan pernikahan, maka al-bigha’ berlaku bagi perempuan tidak punya suami.
Perlu disampaikan di sini, pembahasan di atas bukan berarti kita setuju dengan prostitusi, tapi sebatas memperlihatkan kenyataan seksualitas Arab-Islam yang termuat dalam literatur-literatur keislaman sebagai upaya menahan diri supaya tidak ikut mencemooh orang-orang yang terlibat dalam prostitusi yang kini sedang gencar diberitakan berbagai media. Dari sini juga, seharusnya umat Islam sadar dan tak perlu kaget, bahwa dunia esek-esek yang kini marak diperbincangkan itu, bukan kenyataan baru, tapi dalam rentang sejarah yang sangat panjang sudah ada, bahkan dalam sejarah Islam. Itulah sisi gelap kewajaran dalam sejarah, prostitusi.
---------------------------
Referensi:
[1] Asy-Syafi’i, al-Umm, 1990, Beirut: Dar al-Ma’rifah, vol. V, hal. 102
[2] Abdurrahmân al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, cet. II, 2003, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, vol. IV, hal. 8
[3] An-Nisa 24 :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيماً حَكِيما
“Maka wanita-wanita yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (ujurahunna) sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[4] Ahmad Fathi Bahnasi, Madkhal al-Fiqh al-Jina’i al-Islami, cet. IV, 1989, Beirut: Dar al-Syuruq, hal. 62.
[5] Khalil Abdul Karim, Syadwu ar-Rababah bi Ahwal Mujtama’ ash-Shahabah, cet. I, 1997, Sîna li an-Nasyr, vol. II, 359-367
[6] Baca Khoirul Anwar, Lokalisasi Pelacuran Menurut Fikih Islam, Jurnal Justisia.
[7] Abu al-Hasan ‘Ali al-Naisaburi, Asbab Nuzul al-Qur’an, hal. 325. Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, vol. XVII, hal. 154.
(Facebook/Sumber-ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email