Pesan Rahbar

Home » » Wawancara IQNA Dengan Sejumlah Muslimah Austria: Hari Hijab Sedunia; Jawaban Telak Atas Islamofhobia di Barat

Wawancara IQNA Dengan Sejumlah Muslimah Austria: Hari Hijab Sedunia; Jawaban Telak Atas Islamofhobia di Barat

Written By Unknown on Sunday 5 February 2017 | 20:48:00


Hari hijab sedunia merupakan jawaban telak untuk seseorang yang berupaya memanifestasikan anugerah Ilahi ini untuk para muslimah dan kewajiban Islam sebagai perintah kemajuan dalam masyarakat.

Menurut laporan IQNA, dalam agama Islam, hijab memiliki urgensi khusus dan sangat diafirmasi. Namun sekarng ini di sebagian penjuru dunia, sejumlah orang berupaya menunjukkan anugerah Ilahi ini kepada para muslimah sebagai sebuah perintang bagi kemajuan.

Adapun hijab sebagai sebuah manifestasi salah satu dari keindahan-keindahan agama suci Islam, sama sekali tidak menghalangi peran seorang muslimah dalam masyarakat. Di dunia sekarang ini, kita berkali-kali menyaksikan di sebagian kawasan dunia, khususnya negara-negara Eropa, para hijaber mendapat diskriminasi agama. Sementara jika nilai-nilai kemanusiaan menjadi tolok ukur evaluasi, busana Islam seorang muslimah sama sekali tidak kontras dengan nilai-nilai tersebut. Seorang muslimah memiliki hak yaitu hidup di bawah naungan ajaran-ajaran agamanya.

Pada tahun-tahun terkahir, dimana para pejabat sejumlah negara Barat tidak dapat menerima peningkatan populasi dan kemajuan kaum muslim, mereka melakukan kebijakan perlawanan dengan lembaga dan nilai-nilai Islam. Namun di tengah-tengah ini semua, juga terdapat sejumlah muslim yang cerdas yang senantiasa membela ajaran-ajaran agamanya dengan segenap kemampuan.

Nazma Khan, muslimah keturunan Bangladesh, termasuk salah seorang yang memaparkan ide besar dalam rangka membela hijab. Namun pertanyaan utamanya adalah ide besar tersebut apa dan bagaimana mempaparkannya. Untuk lebih jelasnya, alangkah baiknya kita melihat pandangan singkat tentang beografinya.

Nazma Khan di usia 11 tahun bermigrasi ke Amerika bersama keluarganya dan melanjutkan pendidikannya di negara ini. Namun dikarenakan hijab, ia mendapat perlakuan diskriminatif selama belajar di Amerika. Bertahun-tahun ia melewati perlakuan tersebut; sampai akhirnya ia memasuki universitas dan memulai babak kehidupan baru. Seakan Nazma berperan paling aktif untuk membela nilai-nilai Islam.

Pada saat itu dengan terjadinya insiden 11 September di Amerika dan masyarakat mengarahkan tuduhan kepada kaum muslim, kondisi kehidupan untuk mereka di negara Barat mulai terasa sukar. Sampai-sampai kalimat seperti Islam Terorisme marak di dunia Barat dan para muslimah juga tidak terlepas dari stereoatipe negatif tersebut. Sampai-sampai kondisi mereka dikarenakan hijab tersebut mendapatkan perlakukan diskriminatif setiap hari melebihi sebelumnya.

Melawan pemikiran palsu Barat, yakni mengenyampingkan hijab dan ketidakmajuan membutuhkan sebuah inisiatif khusus, yang dipaparkan Nazma Khan untuk pertama kalinya pada tahun 2013.


Inisiatif ini tak lain adalah hari hijab sedunia, yang menjadi jawaban telak atas Islamofhobia Barat dan langkah kokoh dalam rangka membela nilai-nilai Islam.

Ia memilih tanggal 1 bulan Februari setiap tahunnya sebagai hari hijab sedunia. Hal ini tidak berlangsung lama, yang terpublikasi lewat dunia maya di seluruh penjuru dunia dan mendapat sambutan baik kaum muslim. Sampai-sampai setiap tahun sekitar 116 negara dunia merayakan hari hijab sedunia.

Meski pengumuman tanggal pertama Februari sebagai hari hijab sedunia memiliki refleksi besar-besaran, meski hal ini ada di negara-negara dunia, namun diupayakan untuk mengambil undang-undang dalam rangka melarang hijab.

Austria termasuk salah satu negara, dimana dalam beberapa pekan terakhir menjadi tempat banyak protes terhadap udang-undang pelarangan hijab. Sebuah undang-undang yang diupayakan untuk disetujui Sebastian Kurz, Menteri Luar Negeri Austria melebihi siapapun. Kurz menginginkan pengumuman pelarangan undang-undang hijab di seluruh tempat-tempat umum negara ini. Udang-undang ini jika disetujui majlis Austria, maka undang-undang yang sudah diberlakukan terkait pelarangan hijab di negara Perancis dan Jerman akan semakin lebih sukar.

Karenanya, IQNA menelusuri pendapat sejumlah muslimah yang tinggal di Austria terkait persetujuan kemungkinan undang-undang tersebut dan meminta mereka agar menjelaskan pendapatnya tentang hal ini.


Yasmin Karagoz tinggal di kota Innsbruck Austria dan direktur pelajaran kebudayaan agama dan Islam. Ia menjelaskan pendapatnya terkait undang-undang pelarangan hijab di Austria sebagai berikut: "Saya lahir di keluarga muslim. Namun saya memilih hijab bukan karena paksaan, namun karena semangat, dan kecintaan yang melimpah. Hijab adalah bagian dari kehidupan saya. Dengan demikian, saya tidak menerima undang-undang yang melarang kebebasan ideologi agama muslim. Karenanya, saya juga menentang undang-undang pelarangan hijab. Karena pelarangan undang-undang ini melanggar Hak Asasi Manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Saya harap suatu saat kita semua menyaksikan pembahasan-pembahasan seperti pelarangan hijab di Austria”.


Minerva Hamad, penulis dan jurnalis Wina, Austria, yang sampai saat ini telah menulis banyak artikel tentang hijab. Penulis Austria ini memaparkan pendapatnya tentang hijab sebagai berikut: "Menurut saya hijab adalah jenis busana terbaik. Karena memberikan kedamaian khusus untuk manusia. Menurut saya, ikut campur dalam busana muslimah hijab adalah sebuah masalah yang akan menimbulkan banyak tantangan untuk Eropa. Kebijakan menjauhkan atau menolak kaum muslim juga tak lain adalah hal yang merusak struktur masyarakat. Kita sekarang ini juga harus menatap masa depan. Karenanya pengambilan undang-undang seperti pelarangan hijab akan merintangi kemajuan negara. Saya juga berkeyakinan manusia harus bersandar pada kriteria-kriteria bersama, sebagai ganti dari perbedaan”.


Saadat Balta, wanita 31 tahun tinggal di kota Bregenz, Austria. Ia yang saat ini aktif sebagai pengajar TK menjabarkan ideologinya tentang hijab dan persetujuan kemungkinan pelarangan kehadiran hijaber di tempat-tempat umum sebagai berikut: "Saya lebih memprioritaskan hijab, karena ini adalah salah satu dari perintah agama suci Islam. Saya lebih banyak merasakan kedamaian. Menurut saya hijab bukan berarti duduk di rumah dan menjahui masyarakat. Karena para muslimah juga memiliki kehadiran aktif di masyarakat. 10 tahun saya tinggal di Austria dan memiliki dua anak. Sampai saat ini hijab sama sekali tidak merintangi kemajuan saya di masyarakat. Menurut saya kita harus menghormati keyakinan dan ideologi-ideologi orang lain. Sebagaimana masyarakat non muslim Austria memiliki busana mereka, kita juga memiliki hak tersebut, yaitu untuk memilih model pakaian diri kita. Kita sama sekali tidak pernah mendiskreditkan mereka dan kita tidak memiliki perilaku kurang pantas dengan mereka. Dengan demikian, kita mengharap mereka juga menghormati keyakinan dan ideologi-ideologi kita”.


Hulya Akinji, hijaber lainnya yang aktif sebagai direktur pelajaran kebudayaan agama dan Islam di kota Innsbruck. Ia terkait penggunana sebagian para pejabat Barat akan nilai-nilai Islam sebagai sebuah sarana politik, mengatakan:

"Saya berumur 26 tahun dan memutuskan untuk menjaga hijab. Menurut saya, hijab berartikan ketenangan dan simbol keyakinan akan pengaturan Ilahi. Pemaparan pembahasan-pembahasan seperti pelarangan hijab di Austria akan memberikan dampak positif untuk negara ini, dari aspek sosial dan ekonomi. Sungguh sangat memprihatinkan sebagian para politisi menggunakan pembahasan pelarangan hijab untuk kemajuan tujuan-tujuan politik. Undang-undang ini jika disetujui, akan mencakup seluruh muslimah, yang melewati hari-harinya di negara ini dengan mengamalkan keyakinan-keyakinan religinya. Saya mendukung pemikiran yang mendukung kebudayaan dan ideologi-ideologi berbeda yang ada di sebuah negara. Alih-alih provokasi masalah ini, saya harap para pejabat Austria mengambil langkah-langkah tinggi untuk kebebasan agama dan ideologi”.


Aisyah Nur Fidan, tinggal di kota Innsbruck, seorang pelajar hijaber muslimah, dimana dengan mengkritik pembahasan undang-undang pelarangan hijab di Austria, juga membela hijab sebagai berikut: "Sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Quran tentang masalah hijab, saya juga mengangap hijab sebagai kawajiban agama. Ini adalah hak alami saya untuk hidup sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam. Karenanya saya menganggap pelarangan hijab sebagai hal yang melanggar kebebasan ideologi agama di Austria. Ini benar-benar tidak dapat dimengerti, kenapa sebagian masyarakat tidak dapat menerima hijab. Kita senantiasa menghormati masalah pakaian non muslim. Mereka juga harus mengetahui keharusan menghormati busana muslim”.


Yailiz Dagdawir, psikolog dan pakar komunikasi kebudayaan dan antar agama tinggal di kota Lustenau Austria. Ia menjabarkan pandangan dan ideology tentang keindahan-keindahan hijab dan urgensinya bagi muslimah sebagai berikut: "Hijab diafirmasi dalam al-Quran dan bagian dari kehidupan Islam. Hijab simbol lain dari keindahan dan kasih sayang Allah swt. Hijab bagi saya berartikan manifestasi iman. Busana Islam menciptakan rasa lain untuk manusia dan sama sekali tidak merintangi keindahan. Dengan mengindahkan hijab, dapat menciptakan banyak keindahan. Hijab memiliki arti ketika berdasarkan cinta dan hasrat kepada Allah swt. Menurut saya, harus berperilaku dengan para wanita sesuai dengan kadar mereka. Sekarang ini, masyarakat Austria meski kaum muslim merupakan bagian dari komunitas negara ini, namun sebagian orang ada yang tidak menghendaki realita tersebut. Politik yang berupaya untuk menyingkirkan kaum muslim dari masyarakat adalah hal yang benar-benar mengecewakan. Sementara masyarakat Austria harus berupaya menenangkan masyarakatnya. Masyarakat Austria, terlepas dari segala bentuk diskriminasi agama, harus memikirkan untuk membuat sebuah masa depan yang cemerlang untuk negara mereka”.

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: