Umat Islam di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir kerap disibukkan oleh munculnya polemik terkait hubungan antara agama dengan negara. Di antaranya adalah belum tuntasnya jawaban atas pertanyaan, bagaimana seharusnya negara mengatur persoalan agama, bahkan apakah negara memang berhak mengatur soal itu, berhubung soal agama dan keyakinan merupakan hal yang sifatnya sangat pribadi bagi setiap warga negara?
Ada pendapat yang mengatakan bahwa soal agama dan keyakinan merupakan urusan manusia dengan Tuhan, dan tak sesiapapun, tak terkecuali negara, boleh mengatur, baik menyuruh maupun melarang, membatasi atau mengekang. Apalagi jika kita tahu bahwa soal kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi dan undang-undang.
Di sisi lain, bagaimana seharusnya sikap antara kaum Muslinin yang merupakan mayoritas dengan mereka kaum minoritas dalam menjalin hubungan kebangsaan? Dalam kerangka apa masing-masing umat beragama yang berbeda-beda itu bisa bersepakat demi kemaslahatan bersama?
Tanpa perlu memperpanjang polemik, mungkin ada baiknya kita belajar dari bagaimana cara para tokoh bangsa di zaman dulu mengatasi polemik serupa sebagaimana yang sekarang kembali terulang. Salah satunya dari Presiden pertama RI Soekarno, atau yang lebih kita kenal dengan sapaan Bung Karno.
***
Dalam amanatnya kepada para Ulama yang hadir di dalam pertemuan di Istana Bogor, Presiden Soekarno menyatakan, bahwa Negara Republik Indonesia ini hanya wadah (tempat) yang harus kita sempurnakan sehingga kita dapat mengembangkan agama kita sebaik-baiknya.
“Dapatkah kita sempurnakan air di dalam gelas, kalau gelas itu retak, sekalipun terbuat dari emas?”, demikian antara lain Bung Karno bertanya kepada hadirin.
Pertemuan itu diadakan sekaligus sebagai penutupan Konferensi Ulama seluruh Indonesia yang diadakan dari tanggal 3 hingga 6 Maret 1954, yang di dalamnya antara lain dibicarakan soal-soal Hukum Agama yang berhubungan dengan Hukum Negara.
Hadir dalam pertemuan itu selain Presiden Soekarno beserta Ibu Negara, juga Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Ali Sastroamidjodo, Wakil P.M. I Mr. Wongsonegoro, Wakil P.M. II Zainul Arifin, Menteri Sosial R.P. Suroso, Menteri Agama K.H. Maskur, Ketua Parlemen Mr. Sartono, Sekretaris Jenderal Kementrian Agama Kafrawi dan lebih kurang 35 orang alim-ulama terkemuka dari seluruh Indonesia.
Saat itu pertemuan dibuka pada pukul 9.30 WIB oleh Menteri Agama K.H. Maskur yang kemudian disusul oleh pembacaan laporan tentang keputusan-keputusan hasil konferensi oleh Kjai Daud Rusdi dari Palembang.
Setelah itu Presiden tampil ke muka dan menyatakan, bahwa pertemuan para Ulama seperti di Istana Bogor kala itu belum pernah terjadi sebelumnya. Mengenai konferensi yang baru selesai itu Bung Karno menyatakan, bahwa putusan-putusan konferensi itu mempunyai arti yang istimewa dan penting sekali dan akan dipakai sebagai pedoman Presiden sebagai Kepala Negara di masa mendatang dalam menghadapi masalah-masalah Agama Islam dan kerohanian.
Secara pribadi Bung Karno mengaku terharu, karena di antara putusan-putusan itu ada yang menyatakan, bahwa Presiden Republik Indonesia adalah Waliyul Amri Danuri (penguasa Negara) yang wajib ditaati.
Sesudah menceritakan riwayat pendidikannya dalam soal keislaman, Bung Karno menerangkan, bahwa ditinjau dari alam politik maka suatu bangsa yang ingin merdeka sudah semestinya berupaya mempersatukan semua golongan, terutama golongan agama dan nasional.
“Dan perjuangan kita meniadakan penjajahan, baik politik maupun ekonomi kini belum selesai dan tidak akan berhasil jika kita terus-menerus bertengkar antara kita sama kita”. Demikian dikatakan Bung Karno, yang selanjutnya menambahkan, bahwa persatuan antara kaum Agama dan kaum Nasionalis adalah syarat mutlak untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan itu.
“Tetapi itu tidak berarti, bahwa Islam harus tunduk kepada yang bukan Islam, melainkan persatuan itu adalah sekadar ‘perkawinan’, koordinasi di dalam perjuangan menyempurnakan negara kita ini. Negara Republik Indonesia hanyalah sekadar wadah (tempat) yang harus kita sempurnakan, sebagaimana di dalamnya kita juga dapat mengembangkan agama kita sebaik-baiknya.
“Dapatkah kita sempurnakan air di dalam gelas, kalau gelas itu retak, sekalipun dibuat dari emas?” demikian kata Bung Karno kembali mengingatkan.
Pertemuan kemudian ditutup oleh Menteri Agama K.H. Maskur pada pukul 11.00 siang dan setelahnya para Ulama diberikan kesempatan untuk melihat-lihat Istana Bogor.
Acara kemudian berlanjut ke tempat lain seiring rombongan Presiden dan para Ulama menuju ke Istana Cipanas untuk jamuan makan siang dan ramah-tamah sampai pukul 15.00 WIB.
Sumber: Antara Doeloe
(Antara-News/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email