Bagi Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Sirajd, munculnya ekstrimisme atau radikalisme dan terorisme itu bukan bersifat tunggal, melainkan multifaktor. Kalau dipilah, ada faktor internal dan faktor eksternal.
“Setiap faktor bisa berdiri sendiri dan bisa juga saling terkait,” kata pria yang akrab disapa Kang Said dalam tulisannya di Harian Kompas, 8/3.
Dalam nomenklatur fikih ada disebutkan al’illah muttaridah, sebab itu pasti terjadi. Adanya sebab dan akibat mesti terpenuhi secara bersamaan sehingga jika sebab ada maka akibat pun ada. Beranjak dari sinilah, kita bisa menatapi bahwa sebab musabab yang menjadikan orang terjerat dan terpikat terorisme kian jelas.
“Tak ada yang berangkat dari ruang hampa. Dunia sosial kita sudah dipenuhi berbagai daya jerat dan daya pikat yang kerap membuat kabur kebenaran,” katanya.
Kang Said menambahkan, “Bagaimana kita memahami perilaku seseorang yang tadinya mbeling, setelah taat menjalankan ritual agama, mendadak berubah sikap menjadi radikal dan lalu menindaki teror?”.
Jebolan Ponpes Krapyak Yogyakarta ini pun memberi contoh seperti pelaku perampokan Bank CIMB di Medan beberapa tahun silam yang didasari motif terorisme (fa’i) ternyata banyak yang awalnya berlatar belakang preman.
Setelah bertemu dengan seorang ”ustaz”, mendadak mereka jadi orang yang taat beragama. “Celakanya, mereka ini kemudian mendapatkan ”pelajaran” yang kebablasan melalui pengajaran doktrin radikal,” katanya.
Seperti juga dalam kasus terorisme lewat menabrakkan truk di kerumunan massa di Perancis beberapa waktu lalu, juga memperlihatkan pelaku yang ”mendadak sadar agama” akibat daya pikat Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Dua sampling ini setidaknya merefleksikan dan merepresentasikan bersemayamnya sebab-sebab meluapnya ekstrimisme dan terorisme. Ada faktor penarik (pull factor) dan faktor pendorong (push factor).
“Hal-hal inilah yang hingga kini menjadi kajian para pakar dan pemerhati terorisme,” katanya.
Kajian tafsir Al Quran dan hadis menjadi dua disiplin keilmuan agama yang utama untuk melabrak pemahaman sesat teroris. Para teroris yang hampir semuanya berpaham puritan dan literalis dihadapi dengan cara menggali kembali tafsir dan hadis secara komprehensif dan kontekstual sehingga menghasilkan pemahaman yang sebenarnya dari maksud dan pesan Al Quran dan hadis.
“Nah, model program deradikalisasi yang seperti ini tampaknya telah menjadi ”mitos” yang dipercayai mujarab,” ungkapnya.
Sebagai sebuah mitos, tentu tingkat kepercayaan yang dihunjamkannya begitu mengental dan semakin mengkristal seakan tidak ada lagi metode yang manjur untuk dilakukan. Akibatnya, tidak ada terobosan baru dalam metodologi untuk deradikalisasi.
“Kasus aksi teror Thamrin beberapa waktu lalu menjadi pelajaran bagaimana sosok pelaku, yaitu Sunakim, yang ”gagal” mendapatkan deradikalisasi semasa di penjara dan justru lebih terpikat pada ”radikalisasi” yang diajarkan para ideolog radikal seperti Aman Abdurrahman,” katanya.
Fenomena mendadak ekstrim setelah belajar agama dengan instan ini pernah juga disinggung oleh KH. Mustafa ‘Gus Mus’ Bisri. Bagi Pengasuh Ponpes Raudhatu Tholibin Rembang ini, mereka adalah “Orang pintar baru”, yang jika dianologikan, seperti baru lulus sarjana tapi sudah bangga dan suka pamer dengan ilmu dan keahliannya. Lebih berbahaya lagi, jika ‘orang pintar baru’ banyak yang mengikutinya.
“Padahal orang yang baru lulus sarjana itu, dia baru memulai untuk menjadi orang pintar,” katanya seperti yang pernah diberitakan oleh islamindonesia.id.
Ciri ‘orang pintar baru’ yang diikuti banyak orang akan merasa ‘ghurur’, mengutip istilah Imam Al Gazali yang berarti tertipu dengan dirinya sendiri. “Wah, follower saya banyak nih. Tentu, saya ini orang hebat,” katanya menggambarkan ciri-ciri penyakit hati yang berbahaya ini.
Gus Mus berpesan untuk tidak pernah berhenti belajar. Sebagaimana orang yang tidak putus ngaji kitab bab demi bab secara mendalam, perjalanan manusia kepada Tuhannya ini panjang dan banyak yang harus ditempuh. Sedemikian sehingga tidak mudah seseorang divonis sesat atau kafir oleh orang lain yang berbeda capaiannya dalam perjalanan.
“Tidak boleh juga, kalau orang masih berjalan pada tahap ini, lalu kita hukumi sesat. Padahal perjalanan dia masih jauh kok,” katanya sambil menjelaskan bahwa orang yang bahaya justru yang berhenti di tengah perjalanan dan merasa dirinya paling benar. []
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email