Peneliti Senior LIPI, Syamsuddin Haris, meminta pemerintah menggandeng kelompok masyarakat sipil (civil society) dalam kampanye gerakan deradikalisasi. Kekuatan kelompok masyarakat sipil, dinilai efektif untuk mencegah radikalisasi.
“Gerakan radikalisasi ini telah mengancam masyarakat itu sendiri bahkan ada masyarakat yang sudah menjadi korban. Karena itu, pemerintah perlu melibatkan civil society dalam upaya deradikalisasi,” ujar Syamsuddin dalam diskusi buku berjudul “Deradikalisasi; Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme” karya Muhammad A.S Hikam di Grand Cemara Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2017).
Selain Syamsuddin, hadir juga sebagai pembicara, antara lain penulis buku yang sekaligus Dosen Universitas Presiden Muhammad A.S Hikam, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Binny Bintarti Buchori dan Direktur NU Online Savic Ali.
Syamsuddin menilai, sekarang ini ada perebutan otoritas keislaman di tingkat masyarakat. Bahkan, kata dia sudah ada pergeseran otoritas keislaman dari Islam moderat ke arah Islam radikal. Salah satunya disebabkan karena dua ormas besar Islam, NU dan Muhammadiyah sibuk dengan rutinitasnya sendiri.
“NU dan Muhammadiyah cenderung gagap menyikapi (gerakan radikalisasi). Mungkin sebagiannya sudah mengubah afiliasi keagamaan ke kelompok Islam yang radikal. Mungkin akibat NU dan Muhammadiyah cenderung pada rutinitas. Muhamudiyah sibuk urus sekolah, panti usahan dan rumah sakit. Sementara, NU sibuk urus dan menangani pesantren dan yang lainnya,” jelas dia.
Selain itu, kata Syamsuddin, para elit NU dan Muhamadiyah cenderung terlibat masuk politik. Menurut dia, politik kadang membuat orang gelap mata.
“Kelompok Islam yang moderat banyak masuk politik sehingga tidak menjaga umat atau mengabaikan umat,” tandasnya.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email