Oleh: Abdillah Toha
Belakangan di negeri kita, lebih khusus lagi di Jakarta, terjadi gonjang-ganjing dan perilaku sebagian umat Islam yang memprihatinkan. Seakan-akan umat ini ada dalam keadaan sedang diserbu oleh “musuh-musuh”nya. Sehingga diantara Muslimin sendiri ada yang menarik garis pembatas antara Muslim sejati dengan Muslim pinggiran yang sering dituduh sebagai munafik. Ada Muslim yang “membela” dan ada yang dianggap tidak membela Islam. Puncaknya terjadi ketika beberapa spanduk provokatif dipasang dan ada masjid-masjid yang menolak menshalati jenazah muslim atau muslimah yang dituduh munafik karena pilihan politiknya.
Karena sudah banyak yang ditulis tentang betapa kelirunya sikap dan perilaku demikian dari sudut pandang Islam, tulisan ini tidak lagi akan membahas dalil-dalil yang menafikan pandangan sempit yang sempat diikuti oleh beberapa pihak itu. Orang-orang itu, dibawah arahan ustad-ustad yang cekak ilmunya ditambah motivasi politik yang berbau SARA telah memberi kesan seakan Islam itu agama yang kolot dan keras, dan bahwa menjadi Muslim yang benar itu tidak mudah. Seakan menjadi Muslim itu sulit, penuh dengan aturan-aturan yang sangat membatasi ruang gerak penganutnya. Benarkah demikian?
Jelas tidak benar. Tulisan ini akan mengurai bahwa Islam itu jelas dan sederhana. Ada ruang yang sangat luas untuk bervariasi. Secara formal, seorang telah menjadi Muslim ketika mengucapkan dua kalimat syahadat yakni bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Hanya itu. Dengan mengucap dua kalimat syahadat ini berarti dia dengan sendirinya menerima apa yang diwahyukan Allah kepada RasulNya yang kemudian diformulasikan dalam bentuk rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima.
Rukun iman yang enam meliputi percaya kepada Tuhan yang Esa, kepada Malaikat, kepada kitab-kitab suci yang diturunkanNya, kepada semua utusan Allah, kepada Hari Akhir, dan kepada takdir Ilahi. Sedang rukun Islam yang lima lebih banyak menyangkut kewajiban peribadatan meliputi ucapan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi yang mampu.
Dalam menjalankan kewajiban beribadah pun Allah memberi keringanan bagi mereka yang tidak mampu. Muslim dalam perjalanan (musafir) dikurangi jumlah rakaat dalam shalat wajibnya. Bila dalam perjalanan atau kesehatan tidak memungkinkan, muslim tidak diharuskan berpuasa pada bulan Ramadhan dan dapat menundanya pada waktu lain. Bila kemampuan fisik tak memungkinkan atau tak mampu memikul biaya, ibadah haji yang wajib dilakukan sekali seumur hidup tidak diharuskan. Membayar zakat juga hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki harta melebihi jumlah tertentu.
Disamping itu, seperti juga pada agama-agama lain, dalam agama Islam ada anjuran, perintah, dan larangan seperti larangan berbohong, mencuri, membunuh, memakan bangkai dan babi, minum minuman keras, dan berzina. Diluar semua yang pokok itu yang disepakati oleh mayoritas ulama, yang ada adalah penafsiran manusia tentang wahyu dan aturan Tuhan serta Sunnah Rasul SAW yang bersifat tidak mutlak dalam arti boleh diikuti dan boleh pula kita memiliki penafsiran yang berbeda. Penafsiran yang berbeda-beda diluar pokok ajaran Islam diatas, dikemudian hari dikelompokkan dalam apa yang disebut sebagai mazhab. Dikalangan ahllusunnah ada empat mazhab besar yang dikenal sebagai mazhab Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Keempat mazhab inipun tidak bisa didudukkan sejajar dengan wahyu Allah karena penerima wahyu Allah terakhir menurut Islam hanyalah Muhammad ibnu Abdillah yang telah wafat 1400 tahun yang lalu. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban bagi Muslim untuk mengikuti salah satu mazhab tersebut secara mutlak karena mazhab juga merupakan penafsiran yang tidak dijamin sepenuhnya pasti benar.
Islam juga bukan agama yang terbatas kepada peribadatan hamba Alllah kepada Penciptanya. Justru yang sering dilupakan adalah bahwa Islam adalah agama Muamalah yakni agama yang menaruh perhatian besar pada perilaku penganutnya terhadap sesama makhluk Allah yang lain. Hadis yang sangat terkenal mengatakan bahwa Rasulullah diutus oleh Tuhan semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ritual ibadah Muslim akan sia-sia bila tak mampu berperilaku baik kepada sesama. Berbagai atribut yang menempel kepada seorang Muslim menjadi sia-sia bila dia mencuri uang rakyat, menipu, menindas, atau menzalimi makhluk Allah lainnya.
Lantas bolehkah kita menilai keislaman seseorang? Karena unsur utama agama adalah iman, sedang iman berada didalam hati, dapatkah kita sebagai manusia biasa mengukur hati orang? Kita hanya dapat menilai dari apa yang tertangkap oleh indra kita. Itupun kita bisa salah tangkap dan terjerumus kedalam kesimpulan yang keliru. Apalagi bila kita kemudian memvonis keislaman seorang Muslim atas dasar penafsiran dan pemahamannya yang berbeda dengan pemahaman kita tentang ajaran Islam.
Untuk memahami Islam yang mendekati kebenaran diperlukan ilmu yang dalam bersamaan dengan kerendahan hati. Meski demikian Islam sebagai agama bukanlah ilmu pengetahuan atau science yang dapat diukur dengan bukti-bukti empiris karena agama menyangkut sisi kerohanian dan spiritual yang tak dapat diukur dengan instrumen ilmu pengetahuan. Bila kita merasa tak cukup ilmu untuk memecahkan persoalan agama, maka dengan akal sehat dan nurani bersih Muslim dibolehkan memilih dan mengikuti pandangan ulama yang dianggapnya paling bisa diterima akal. Ulama-ulama besar pendiri berbagai mazhab pun sangat rendah hati seperti Imam Malik yang sempat menolak permintaan penguasa di zamannya untuk menyebarkan dan menjadikan bukunya Almuwattha’ sebagai satu-satunya rujukan di seantero wilayah kekuasaannya, karena kuatir nanti bisa dianggap sebagai pengganti wahyu Allah. Imam Abu Hanifah, umpamanya, pernah melarang muridnya mencatat fatwanya karena merasa bisa jadi esok hari dia akan mengubah pendapatnya.
Sebuah kekeliruan besar bila kita menjadikan Islam sebagai agama yang sulit dan kaku. Islam adalah agama yang mudah dan ringan. Dalam berbagai ayat Quran seperti Al-Baqarah ayat 185, Al-Maidah ayat 6, Al-Hajj ayat 78, dengan gamblang disampaikan bahwa Allah hanya menghendaki kemudahan bagi Muslim, dan pada Al-Baqarah ayat 286 ditegaskan Allah tidak akan membebani manusia diluar kemampuannya untuk memikul beban. Masih banyak lagi ayat-ayat serupa yang bertebaran di Quran dan hadis serta Sunnah Rasul SAW yang mengindikasikan kemudahan dalam menjalankan syariah yang diwahyukan Tuhan.
Islam juga agama yang progresif paling sedikit dalam dua arti. Pertama, Islam mewajibkan penganutnya terus menerus menuntut ilmu demi kemajuan. Kedua, penafsiran dan pemahaman agama bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda yang menuntut perlakuan khusus demi kemaslahatan bersama.
Masalah timbul ketika muncul ustad-ustad yang kemudian dengan mudah mengkafirkan atau memunafikkan Muslim tertentu karena pemahamannya yang berbeda atau karena pilihan politiknya. Maka sesungguhnya mereka yang menyebut dirinya ustad atau ulama ini telah berlaku angkuh, ceroboh dan sekaligus merasa lebih tinggi kedudukannya dari imam-imam besar mazhab dan ulama terdahulu. Lebih-lebih lagi mereka telah berlaku angkuh kepada Sang Pencipta ketika mengambil alih hak Tuhan untuk menentukan siapa yang berhak masuk sorga dan siapa yang tempatnya di neraka.
Bila kepada non Muslim saja kita dilarang memaksa mereka memeluk Islam, mengapa kita harus memaksakan pemahaman kita tentang Islam kepada mereka yang telah menyatakan diri sebagai Muslim? Sungguh pemuka Islam yang demikianlah yang telah mengabaikan perintah Allah untuk menjadikan iman sebagi basis persaudaraan, bukan basis permusuhan dan bahkan peperangan antar sesama Muslim seperti kekacauan yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah saat ini. Islam hitam putih begitulah yang kemudian menumbuhkan fanatisme yang berkembang menjadi cikal bakal tindak terorisme dan kekerasan lain.
Islam bukan agama yang perlu dibuat sulit dan dipersulitkan. Kita terima semua yang telah menyatakan diri sebagai Muslim, kita serahkan penilaian perilaku pribadi semasa hidupnya kepada Yang Maha Penilai, sedang tindak tanduknya sebagai warga bangsa kita serahkan kepada hukum negara yang berlaku dan norma-norma masyarakat setempat.
Inilah pemahaman saya tentang Islam dengan tidak mengajukan klaim bahwa inilah pemahaman yang paling benar. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada saya dan kita semua. Amiin.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email