Oleh: Ali Sastro
Sekilas Sejarah Kerajaan Kediri untuk mendukung gambar diatas : >>>>>Kraton atau pusat istana kerajaan Kediri dengan rajanya yang termasyhur karena terbukti kebenaran ramalannya, Sri Aji Jayabaya, merupakan misteri karena lokasinya belum ditemukan siapapun. Adapun lokasi pamuksan dan makam beliau telah diketahui umum berada di daerah Mamenang, di sebelah timur Kediri. Demikian pula menurut pengetahuan umum lokasi kraton Kediri semasa pemerintahan Jayabaya berada di sekitar wilayah kaki Gunung Kelud dianggap telah musnah terlanda lahar letusan gunung itu.
Dalam menguak misteri kraton Jayabaya masa silam, di samping mengacu pada peninggalan arkeologis dan transkrip yang berhasil ditemukan para pakar dalam bidang tersebut, perlu juga mengkaji ilustrasi masa kini wilayah kerajaan Kediri; di pusat kota Kediri di sisi timur sungai Brantas terdapat sebuah pasar tradisional, Setono Bethek, istana bambu. Ada lagi Setono Gedhong, istana batu. Tempat-tempat tersebut benarkah ada kaitan dengan istana kerajaan Kediri di masa silam? Atau sekadar makam para ulama penyebar agama Islam belaka? Ada sebuah nama lain di tepi Barat sungai Brantas yang menarik: Bandar Lor, Bandar Kidul. Tampaknya memang di masa silam sebuah pelabuhan kuno!
Pada kira-kira 1135 maraklah raja Kediri kelak kemudian menjadi raja besar Nusantara: Joyoboyo, Jayabaya, atau Jayabhaya. Kekuasaannya berpusat di Kediri, Jatim, dan wilayah di bawah pengaruh kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Jawa (Java) ditambah Jambi, Tidore, dan Kalimantan.Sejarah mencatat Sri Krtanegara yang mengucapkan sumpah “Pamalayu” dalam mempersatukan Nusantara, pada akhirnya gagal karena keburu diserang pasukan Kediri, Jayakatwang dengan bantuan sang putra mahkota Raden Ardaraja yang juga merupakan salah satu anak mantu sri Krtanegara penguasa Singosari, di samping juga anak mantu lainnya Raden Wijaya yang bersikap netral dalam kemelut tersebut. Dengan bantuan orang dalam di kerajaan Singosari tersebut akhirnya pasukan Kediri berhasil mengalahkan Singosari dan sekaligus Sri Krtanegara sendiri gugur dalam serbuan pasukan Kediri yang sama sekali di luar dugaan tersebut.
Dengan gugurnya Krtanegara maka berakibat Singosari pun pun runtuh. Pada masa pemerintahan Jayabaya kekuatan militer kerajaan maritim Kediri terletak pada angkatan lautnya yang kuat pada masanya hingga mampu menjaga wilayah kerajaan di seberang pulau yang jauh dari pusat kekuasaan di pedalaman Jawa bagian timur itu.
Kota Kediri yang kita kenal sekarang dibelah oleh sungai Brantas, sungai itu lebarnya kurang lebih 1000 meter. Di masa silam, kapal-kapal perang dan dagang diperkirakan bisa melayari sungai Brantas sepanjang aliran mulai dari pelabuhan laut di Surabaya terus masuk ke pedalaman hingga merapat pusat kota Kediri, sekarang lokasi pelabuhan di tepi sungai di Kediri itu diberi nama pelabuhan Jayabaya, lokasinya di daerah yang kini bernama Bandar Lor.
Satu kilometer ke barat sejak pelabuhan Bandar atau pelabuhan Jayabaya tersebut terbentang jalan lurus menuju bukit KLOTHOK(arti harfiahnya: KOLO THOK, banyak kolo, banyak penyakit). Sebuah prasasti batu raksasa masih menjadi misteri asal-usulnya, diperkirakan dibangun di masa jaman keemasan kerajaan Kediri, yaitu era Jayabaya. Prasasti berbentuk goa berukuran 3 x 10 meter itu diberi nama Mangleng (artinya museum). Bangunan goa Mangleng atau Selomangleng, yang juga disebut museum Jayabaya yang didirikan sekitar tahun 1150-an pada masa Jayabaya itu letaknya cukup terlindung berada di antara bukit-bukit. Di sebelah depan (50 meter) adalah bukit Mas Kumambang yang menurut penduduk setempat terkenal dengan legenda maling sakti. Maling sakti yang hidup di masa kolonial Belanda itu bernama Ki Boncolono bersama dua sahabatnya Tumenggung Poncolono dan Tumenggung Mojoroto. Kuburan ketiganya berada di puncak bukit Mas Kumambang. Pemkot Kediri telah membangun tangga cor menuju puncak Mas Kumambang.
Mengapa cuma membangun sebuah goa batu alam dibandingkan tigaratus tahun sebelum itu telah berdiri Candi Borobudur yang megah di Jawa Tengah?
Diperkirakan Goa Selomangleng merupakan bagian dari bukit Mas Kumambang (emas terapung), akan tetapi kemudian dipisahkan oleh jalan melingkari bukit tersebut, sehingga goa itu dapat dicapai dari dua jurusan.
Jika kita mendaki bukit Klotok itu lurus saja tepat setelah menempuh sekitar dua kilometer ke arah puncak bagian tengah, kita dapat menjumpai dan menemukan petilasan Dewi Kilisuci, tepat di sisi air terjun kecil mengalir ke bawah, menjadi sungai kecil. Dewi Kilisuci merupakan salah seorang anak Prabu Erlangga atau Airlangga yang bertakhta di Kediri pada 1035.
Petilasan Prabu Jayabaya yang dikenal sekarang di desa Mamenang atau Pamenang kec. Pagu berada sekitar enam kilometer ke arah timur pusat kota Kediri berada di kawasan kaki gunung Kelud.
Pusat kerajaan Kediri diperkirakan berada di sekitar Goa Selomangleng, ada sebuah daerah Boto Lengket yang sekarang dijadikan markas Brigif (Brigade Infantri) XVI. Di lokasi Boto Lengket dekat desa Bujel itu tanpa sengaja telah ditemukan batu-batu bata berukuran besar terpendam dalam tanah yang mungkin merupakan bekas bahan pondasi bangunan. Menurut Babad Kadhiri, “Negara Daha sing dumunung ing sisih kulone Kali Brantas, ing wetane Desa Klotok lan Geneng banjur salin aran dadi negara Kediri,” (terjemahan bebas kurang lebih, “Kerajaan Daha yang berkedudukan di sisi sebelah barat Sungai Brantas, dan berada di sebelah timur Desa/Gunung Klotok dan Desa Geneng maka di kemudian hari berganti sebutan menjadi Kerajaan Kediri,”) ada keccokan wilayah sekitar Boto Lengket, Desa Bujel yakni lokasinya berada di antara gunung Klotok dan Sungai Brantas sebagai lokasi pusat kraton Kediri. Penemuan itu belum pernah dipublikasikan, karena masih bersifat penemuan pribadiDiperkirakan tepat di markas Brigif XVI yang baru dibangun dalam dua tahun terakhir, itulah letak pusat Kerajaan Kediri di masa pemerintahan Prabu Sri Aji Jayabaya..:)
Dari segi strategi perang, maka lokasi itu sangat strategis untuk medan pertahanan dari serangan musuh. Letaknya berada di antara bukit-bukit yang berhutan lebat di masa lalu, cocok untuk berlindung sementara bila diserang musuh. Dan untukmengundurkan diri dari serangan besar-besaran dapat masuk hutan di kaki bukit Klotok. Ditambah lagi pada masa silam, dari puncak bukit Mas Kumambang seorang prajurit dapat mengawasi pelabuhan dan seluruh kota Kediri, sekaligus memberikan isyarat kedatangan musuh yang menyerang dari sungai atau dari daratan.
Memang benar-benar strategis tempat itu dalam strategi perang kuno.
Di sekitar daerah hipotesis kraton di bagian sebelah utara kawasan itu terdapat sumber mata air yang sampai hari ini tidak pernah kering sekalipun kemarau panjang.
Demi efektifnya roda pemerintahan maka lokasi kraton itu tidak begitu jauh dari pelabuhan hipotesis Bandar. Tatkala tamu kehormatan kerajaan datang melalui sungai brantas, perjalanan tidak begitu jauh untuk sampai tujuan di kraton Kediri.>>>semoga bermanfaaat..:)salam Damai Nuswantara Jaya!!!
(COPAS) Sekelumit cerita di Gunung Klothok dan Selo Bale tempat pertapaan Dewi Kili Suci, semoga menambah Wawasan pendukung explorasi Peradaban Nuswantara: Babat Kadhiri menyebut sekilas mengenai perilaku orang Kediri yang meniru-niru laku Dewi Kilisuci, akan tetapi sayangnya meniru dalam fasal adigang, adigung, dan adiguna, baik kaum wanitanya maupun kaum prianya. Konon terdapat kutukan pada kerajaan Kediri tatkala terlibat dalam peperangan dengan musuh sebagai berikut, “Jika pasukan Kediri menyerang musuh di daerah lawan lebih dulu akan selalu memenangkan pertempuran, akan tetapi sebaliknya jika musuh langsung menyerang ke pusat kerajaan Kediri lebih dulu maka musuh itu akan selalu berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang.” Barangkali karena kutukan itulah konon para presiden Republik Indonesia selalu menghindari untuk singgah ke kota Kediri dalam setiap perjalanan di wilayah Jawa Timur. Mungkin tatkala sedang singgah di kota Kediri mereka beranggapan akan mudah diserang oleh musuh atau lawan politiknya.
Berkaitan turun takhtanya Sri Baginda Erlangga atau Airlangga sejarah kemudian mencatat atas perintah baginda maka kerajaan dibagi dua oleh Mpu Bharada, dan masing-masing bagian kerajaan, Daha dan Jenggala, dipimpin oleh putra dari selir Erlangga.
Sebuah pengalaman singkat mengunjungi situs pertapaan Dewi Kilisuci pada 1990-an selama beberapa minggu, maka siapa pun yang beruntung tatkala mengunjungi goa batu alami di punggung gunung Klotok sebelah Timur segaris lurus dengan Goa Selomangleng akan menjumpai seorang pertapa sepuh berusia delapan puluhan. Tampilannya biasa saja seperti petani, ia tidak mengenakan apapun selain celana panjang dan baju safari, pakaiannya itu pun tampak sudah tua. Ia seorang diri berada di tengah hutan belantara Klotok yang masih cukup lebat di masa itu. Air terjun di mulut goa tak henti mengalirkan air jernih dari sumber mata air berupa bebatuan cadas di punggung gunung itu.
Pertapa itu berambut putih, bertubuh langsing, wajahnya tampak berseri-seri. Ia tidak banyak bicara apalagi jika tidak ditanya oleh orang yang beruntung dapat menjumpainya di goa Selobale tersebut.
“Bapak tinggal sendirian di sini sedang melakukan apa?”
“Saya hanya menjaga tempat ini atas dawuh susuhunan kraton Solo. Karena kami dari kraton Solo menganggap di sinilah tempat pertapaan Dewi Kilisuci yang sebenarnya, dan bukan di Goa Mangleng di bawah sana maupun di tempat lainnya, Selomangleng itu hanya sebuah museum belaka,” katanya penuh keyakinan. “Kami dari kraton Solo juga percaya bahwa leluhur kami berasal dari wilayah ini (dari Kediri, Jawa Timur).” Ia tidak menjelaskan lebih lanjut tugas yang diembannya dan juga alasan mengapa goa itu harus dijaga saat ini. Selanjutnya ia mengalihkan pembicaraan pada bangunan di luar goa, tepatnya di mulut goa terdapat jurang dan di seberang jurang yang menganga berukuran tiga meter lebar itu terdapat lubang goa mini berukuran satu meter persegi.
Mengenai sedikit hipotesis mengenai misteri goa Selo Mangleng yang belum pernah dipublikasikan baca tulisan kami yang lain di blog ini berjudul, “Rahasia Kraton Sri Aji Joyoboyo”.
“Di tiga ceruk/cekungan dinding gunung berupa batu cadas itulah para prajurit kerajaan Kediri bertugas menjaga keamanan dan mudah mengawasi tempat ini,” ujarnya. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut pengetahuannya yang mendalam mengenai goa selobale. Barangkali ia tengah mengadakan studi mengenai situs goa selobale dengan cara spiritual.
Memang jika kita tengah berdiri di goa selobale maka samar-samar tampak di seberang air terjun mini tampak pada dinding bukit batu yang kemiringannya 90 derajat atau tegak lurus itu terdapat goa-goa berjumlah tiga yang jaraknya satu sama lain teratur simetris dan berukuran satu meter persegi.
“Tempat ini dulu tidak seperti ini, Ada jalan penghubung antara penjaga di seberang dan goa Selo Bale ini. Wilayah ini sekarang dikuasai pihak militer dan dijadikan ajang latihan perang-perangan menggunakan amunisi sungguhan. Mortir atau meriam biasa digunakan jika sedang masa latihan pada tahun 70-an. Dan senapan serbu laras panjang tidak terhitung lagi jumlah pelurunya yang berhamburan di sekitar goa ini.”
Memang benar semua itu, penduduk di kawasan ini sudah tahu hal itu dan menganggap sebagai hal biasa. Memang tidak ada unsur kesengajaan dari militer untuk merusak situs itu, akan tetapi situs itu secara tak langsung terkena dampak buruknya.
“Goa Selo Bale inilah yang benar-benar jadi tempat pertapaan putri Erlangga itu, bukan di Goa Selo Mangleng, itu hanya museum semata-mata,” ujar lelaki tua mengulangi apa yang sudah dikatakannya belum beberapa bentar, kembali suaranya terdengar mantap dan meyakinkan.
“Dulu tempat ini tidak sedalam ini, hanya sampai sebatas sini,” katanya menunjuk lantai goa. “Orang-orang yang mencari harta-karun mencoba menggali dinding ini hingga bertambah sekitar setengah meter. Tampaknya tidak berhasil mendapatkan apapun.”
“Sampai sekarang orang belum berhasil menemukan peninggalan heboh kerajaan Kediri. Mungkin berada di balik bukit ini!” katanya serius, sambil menunjuk suatu sudut punggung gunung. Jika kita berjalan melingkari bukit dan tiba di balik bukit itu memang terdapat air terjun kecil, Tretes. Dan di seberang sana sebelah selatan terdapat daerah dengan julukan Gemblung, bila orang berjalan di atas daerah itu seolah ada suara dari dasar tanah berbunyi “bung, bung, bung.” Mungkin ada semacam ruang bawah tanah berukuran besar.
Di balik bukit sebelah timur terdapat sumber air suci Gunung Klotok, tempat itu terkenal dengan sebutan Sumber Loh, karena di hulu aliran air yang lumayan deras itu kebetulan terdapat sebatang pohon Lo berukuran raksasa, dan dari lobang-lobang di sekitar akar pohon itulah awal mula mata air yang terus memancar sepanjang masa, tak kenal musim, dan tak kenal jaman.
Tahun berganti tahun berlalu di Goa Selobale, dan kini keadaan telah berubah, jika orang tersasar atau sedang mendaki gunung Klotok dan tiba di tempat itu akan menjumpai kembali goa tersembunyi itu sunyi seperti sediakala. Tidak seorang pun berada di sana untuk dapat diajak bicara, kecuali suara serangga yang berdengung siang-malam. Kesunyian itu juga melanda sebuah goa misteri yang lain lagi berada di balik bukit tempat goa Selobali bertengger, goa yang lain itu disebut “Goa Kikik”, arti harfiahnya kurang lebih goa mini. Barangsiapa mencoba melacak keberadaan goa yang satu itu akan kesulitan menemuinya karena tiada bedanya dengan bongkahan batu biasa yang bertebaran di sekitar lokasi goa Kikik. Akan tetapi perlu diketahui bahwa goa Kikik memang goa asli pahatan tangan nenek-moyang di masa silam. Di masa silam Goa Kikik menjadi salah satu garis pertahanan lain dari arena perbukitan itu untuk mengawasi dan memapak pendatang pada masa silam dari jurusan barat laut yang sedang mengarah ke Goa Selo Bale dengan niatnya masing-masing.>>>>Salam Rahayu.
(Ahmad-Samantho/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email