Aksi 313 kemarin berjalan tertib dan damai. Tetapi tidak demikian dengan nasib pemimpin aksi, Muhammad Al Khaththath. Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) itu justru ditangkap oleh polisi karena diduga ingin melakukan makar terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Penangkapan Al Khaththath sontak membuatnya kembali menjadi sorotan media, setelah cukup lama tidak mendapat ruang publikasi.
Al Khaththath memang bukan pemain baru di panggung politik nasional. Jauh sebelum Aksi 313, aktivitas dan pernyataan pria bernama asli Muhammad Gatot Saptono ini sudah sering diberitakan oleh media massa.
Pada April 2008 silam, Al Khaththath menjadi target pemberitaan karena lantang menentang keberadaan kelompok Ahmadiyah.
Saat itu, bersama sejumlah tokoh organisasi masyarakat Islam, Al Khaththath menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membubarkan Ahmadiyah yang mereka anggap sesat.
Selain menentang Ahmadiyah, Al Khaththath bersama FUI juga lantang menentang keberadaan penganut Syiah di Indonesia. Karena aksi-aksi itu, Khaththath dan organisasinya dicap oleh sebagian kalangan sebagai kelompok Islam garis keras.
Laporan dari International Forum on NGO Indonesian Development (INFID) pada Juni 2016 lalu menyebut FUI, sebagai organisasi, baru terbentuk pada 2012.
FUI merupakan organisasi yang mengklaim menghimpun sejumlah ormas Islam. Pembentukannya dilatari oleh aksi menuntut pembubaran acara diskusi dengan feminis Muslim asal Kanada, Irshad Manji, yang digelar di Yogyakarta.
"FUI tidak percaya dengan pluralisme dan menganggapnya sebagai racun yang merusak iman. Ia memandang pluralisme itu mencampuradukkan semua agama dan menganggap semua agama itu benar. Menurutnya, itu tidak bisa diterima," demikian laporan INFID pada 2016.
Bersama sejumlah ormas Islam lain seperti Front Pembela Islam (FPI), FUI pernah menelurkan wacara NKRI Bersyariah yang tujuannya adalah menerapkan hukum Islam di Indonesia.
Al Khaththath tak hanya aktif di FUI. Sebelumnya, pria kelahiran Pasuruan 12 Juni 1964 ini sempat menjabat sebagai salah satu pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi politik Islam transnasional yang didirikan pada tahun 1953.
Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh lapisan masyarakat di Dunia Islam. Organisasi ini mengajak kaum muslim untuk melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Negara Khilafah. Al Khaththath menjabat sebagai salah satu pimpinan HTI periode 2002-2004
Caleg Gagal
HTI tak hanya bercita-cita mendirikan Khilafah. Organisasi ini juga menentang penerapan sistem demokrasi. Uniknya, Al Khaththath pada Pemilu Legisatif 2014 lalu memutuskan maju sebagai calon legislatif dengan kendaraan Partai Bulan Bintang.
Al Khaththath bertarung di daerah pemilihan DKI Jakarta III yang meliputi wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu.
Al Khaththath gagal terpilih sebagai wakil rakyat. Kenyataan ini sebenarnya sudah diprediksi oleh lembaga survey Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC).
Dalam artikel berjudul Kasus Al Khaththath dan Forum Caleg Syariah, SMRC telah memprediksi Al Khaththath bakal tak mudah mencapai Senayan lantaran dapil tempatnya bertarung dihuni politikus-politukus ternama seperti Marzuki Alie dari Partai Demokrat, Effendi Simbolon dari PDI Perjuangan, Adang Daradjatun dari PKS, dan Tantowi Yahya dari Partai Golkar.
Setelah gagal menembus Senayan, nama Al Khaththath sempat tak beredar di media massa. Namanya mulai kembali diberitakan seiring dengan kontroversi pernyataan Basuki Tjahaja Purnama di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, September lalu, yang mengutip surat Al Maidah ayat 51.
Pernyataan Basuki itu memicu terjadinya rangkaian demonstrasi besar di Jakarta. Massa menuntut proses hukum bagi Ahok, sapaan Basuki, yang dianggap telah menistakan agama Islam.
Peran Al Khaththath dalam rangkaian Aksi Bela Islam jilid I dan II sebenarnya tidak terlalu besar. Setidaknya, sosok Al Khaththath kalah populer dibandingkan tokoh lain seperti Rizieq Shihab, Bachtiar Natsir, atau Ketua MUI Maruf Amin.
Sosok Al Khaththath baru menjulang setelah tokoh-tokoh utama dalam Aksi Bela Islam terjerat oleh persoalan hukum. Dia berhasil memulihkan lagi soliditas gerakan di tengah persoalan hukum yang menjerat tokoh-tokoh utama Aksi Bela Islam.
Hal tersebut dibuktikan oleh Al Khaththath dengan cara menggalang Aksi Bela Islam 21 Februari 2017 atau yang dikenal Aksi Bela Islam 212 Jilid II. Meski tak seramai dua aksi sebelumnya (Aksi 411 dan 212 Jilid I), namun aksi tersebut tetap mampu menarik perhatian media.
Upaya Al Khaththath menjaga kesolidan penentang Ahok berlanjut dengan Aksi 313 yang digelar kemarin. Namun, keberhasilannya menggalang massa aksi harus dibayar mahal dengan penangkapan dirinya oleh Polda Metro Jaya, dini hari sebelum aksi dimulai.
Al Khaththath akhirnya mengikuti jejak tokoh-tokoh penentang Ahok lain yang telah lebih dulu berurusan dengan aparat kepolisian.
Pria lulusan Institut Pertanian Bogor ini dijerat dengan Pasal 107 dan 110 KUHP tentang makar. Polda Metro Jaya menduga Al Khaththath, caleg gagal dari Partai Bulan Bintang, ingin menggulingkan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
(CNN/Muslimoderat/Info-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email