Keterlibatan Dirman dan para kolega bisnisnya di Freeport bermula dari masa transisi kekuasaan SBY ke Jokowi (pada saat itu sudah ada Presiden/ Wapres terpilih). September 2014, saat kunjungan terakhir SBY ke New York untuk menghadiri sidang PBB, dirancang satu rencana penandatanganan MOU antara Pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia. Intinya, MoU itu memuat beberapa poin kesepakatan terkait dengan rencana amanden Kontrak Karya sebagaimana disahkan oleh UU No. 4 tahun 2009 dan juga nasib operasi Freeport pasca 2021.
Pihak Pemerintah yang aktif saat itu adalah Chairul Tanjung, pengganti Jero Wacik yang ditahan KPK. Sebelum rencana puncak di New York tersebut, ternyata, Kantor Pusat Freeport di Amerika di lobby oleh Tim JK, diketuai oleh Sofjan Wanandi, agar rencana teken MOU itu dibatalkan saja, dan ditunda sampai pemerintahan baru terbentuk, agar kepastian bisnis lebih terjaga. Sofyan Wanandi memanggul misi JK, meyakinkan dan memastikan operasi Freeport akan aman pasca 2021. Bujukan maut Sofyan menuai hasil manis. Dokumen MOU yang sudah siap diteken Chairul Tanjung batal dan ditunda.
Untuk menunaikan janjinya kepada Freeport secepat-cepatnya, JK harus memastikan bahwa ESDM 1 haruslah “orangnya”. Karenanya, Dirman dipasang jadi ESDM 1, dengan back up koalisi JK, Ari, dan Rini. Di sinilah Dirman memainkan kuncinya. Kebijakan-kebijakannya terkait Freeport persis sama dengan perancangan bisnis JK, Ari dan Rini. Di sinilah kepatuhan Dirman mendapat nilai tertinggi dari JK, Ari, dan Rini.
Untuk pengamanan di level operasional, JK meminta James Moffett, petinggi Freeport, untuk mengganti jajaran Direksi Freeport Indonesia. Perancangan berjalan dengan menunjuk Maroef Sjamsoeddin—adik kandung Sjafrie Sjamsoeddin—yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Kepala BIN, menjadi Dirut PT Freeport Indonesia.
Perancangan terbaik lahir dari JK: memegang kendali dua lini, yaitu pengendali kebijakan, Dirman, dan pengendali operasional, Makroef.
Selanjutnya tinggal meyakinkan Jokowi bahwa Freeport ini penting bagi investasi di Indonesia, dan karenanya mesti dibantu percepatan perpanjangan kontraknya. Janji JK dan Dirman kepada Freeport untuk memutuskan perpanjangan kontrak pada akhir 2014 gagal dipenuhi Dirman.
JK dan Dirman berkali-kali gagal meyakinkan Jokowi, dan berujung pada molornya perpanjangan kontrak sampai dengan saat ini. Bahkan Freeport merasa frustasi dengan kinerja Dirman, yang banyak maunya tapi gagal memenuhi janji.
Motif bisnis adalah alasan terbesar JK dan Dirman “membantu” Freeport mendapatkan kepastian operasi pasca 2021. Mereka bukan pebisnis kacangan. JK dan Dirman bahkan sudah memetakan peluang bisnis mana saja yang akan dikerjakan oleh Bukaka Group, Bosowa Group dan Indika Group.
Bosowa akan memasok semen untuk pembangunan; penerangan tambang bawah tanah akan dipasok Bukaka; Indika akan mendapat proyek pasokan bahan peledak, pembakit listrik tenaga air dan lainnya (http://www.kompasiana.com/fikarahmaningsih/sudirman-said-penjaga-kepentingan-jk-di-freeport_55fe5be40223bd1f206d31e9).
Tidak mengherankan, di media massa Dirman diangap sebagai Menteri yang sangat bersemangat dan agresif memperjuangan Freeport Indonesia, sebelum “dikepret” oleh Rizal Ramli di bulan September baca. Dirman kalap dan membabi buta melayani Freeport, apalagi Freeport sudah protes atas keterlambatan janji Dirman. Meski begitu, Freeport masih support dan memberikan apapun permintaan Dirman antara lain beberapa kontrak pengadaan ke Indika Group.
Indika Energy yang sejak lama eksis di Freeport tentu saja ingin memperdalam pengaruhnya di sana. Dirman bahkan meminta Freeport untuk memberi porsi bisnis lebih besar kepada Indika Group. Upaya Dirman tidak sia-sia. Petrosea, anak usaha dan Dirman pernah jadi Direktur, mendapatkan proyek pembangunan tanggul lumpur senilai US$ 30 juta per tahun. Selanjutnya, penguasaan wilayah kerja Wabu yang akan dikembalikan Freeport ke Pemerintah RI, diminta Dirman untuk diberikan ke Indika. Banyak lagi kegiatan yang bernilai puluhan bahkan ratusan jutaan US$ yang sudah dikondisikan untuk dibagi secara cantik antara Bukaka, Bosowa dan Indika. Kunci semua itu tentu saja Dirman, Sang Pemberantas Mafia Migas.
Jika melihat kelakuan Dirman atas Freeport yang turut mengkapling-kapling bisnis dan mendorong Indika Group, memfasilitasi Bukaka dan Bosowa masuk, tentu bisa dipastikan Dirman sama busuknya dengan orang yang dia ungkap ke publik sebagai politisi yang busuk. Bedanya adalah soal cara.
Jika klaim di rekaman itu benar, politisi itu masih menggunakan cara sangat tradisional, sementara Dirman dan timnya menggunakan cara yang lebih maju. Tapi keduanya sama saja, yaitu pemburu rente! Dirman tahu benar memanfaatkan ketidaktahuan publik atas kelakukannya di Freeport, sehingga rekaman itu dijualnya untuk menangguk kesan positif dari publik, bahwa Dirman selalu pejuang anti korupsi dan karenanya suci.
ISC, Daniel Purba dan Modus National Oil Corporation (NOC)
Pola transaksi dengan NOC Libya yang dicoba terapkan tahun 2009 saat Dirman menjabat sebagai SVP ISC dipakai lagi saat ini. Kali ini ISC dikomandoi oleh Daniel Purba. Transaksinyamasih mengandalkan pola yang sama: melibatkan sang Guru Besar, Nasrat,dan Concord Energy-nya selaku pengatur deal Pertamina ISC dengan NOC tertentu.
Daniel Purba berulang kali mengajukan usulan pergantian prosedur tata cara mendapatkan pasokan migas, yakni dengan cara penunjukan langsung ke NOC. Upaya Daniel tersebut terganjal Dwi Soetjipto, Dirut Pertamina, yang sampai hari ini mendiamkan usulan itu dan ogah menandatanganinya. Dwi tahu persis siapa otak dari semua ini, tak lain dan tak bukan adalah Ari dan Dirman.
Sikap tidak kooperatif Dwi berbuah murka dari Dirman dan Ari melalui Rini. Sembari terus menekan Dwi untuk segera meneken perubahan tata cara, Dirman sangat rajin menyambangi berbagai NOC di Timur Tengah, seperti Aramco, Ednoc, Kuwait Petro dll. Gencarnya Dirman beranjangsana ke NOC haruslah dicermati secara cermat dan serius. Tidak ada sejarahnya, Menteri ESDM begitu getol mendatangi NOC. Hanya Dirman seorang.
Belajar dari kasus 2008, ketika Dirman menjabat SVP ISC dalam kasus NOC Libya yang dibidani Nasrat melalui Concord Energy, pola serupa diterapkan oleh Daniel Purba. Design kerjasama apik itu disusun bersama Daniel Purba, Dirman dan Ari Sumarno. Tiga serangkai tersebut sering bertemu di bilangan Bundaran Hotel Indonesia untuk menyusun rencana busuk dalam rangka menyukseskan ISC dan Concord Energy dalam memasok minyak mentah dan BBM ke Indonesia.
Cara Dirman Main di Hulu Migas
Petualangan bisnis Dirman tak kenal lelah. Bukan saja di Pertamina dan Freeport, Dirman juga main di kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. Bahkan Dirman sudah perintah ke Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, untuk menyetujui change order berjumlah jutaan US$ di proyek Donggi Senoro. Akibatnya, cost recovery yang harus dibayar oleh negara meningkat drastis. Tripatra, anak usaha Indika Group, menjadi kontraktor di proyek itu atas pesanan Dirman. Dirman juga mengawinkan Pelindo 3 dengan Petrosea membangun pelabuhan dan shorebase logistic di Kupang untuk menjadi pangkalan logistik proyek Abadi Masela.
Satu hal yang juga mengejutkan dari Dirman: memberi perpanjangan kontrak Bagi Hasil ONWJ kepada PT Energi Mega Persada Tbk (EMP), Grup Bakrie, padahal operator Blok itu adalah Pertamina. Banyak kalangan juga tahu bahwa EMP di Blok itu tidak baik kinerjanya, dan karenanya sudah semestinya Blok yang dioperasikan oleh Pertamina itu dialihkan hak pengelolaan sepenuhnya ke Pertamina. Sementara di Blok Mahakam, Dirman begitu semangat memberikan 100% kepada Pertamina. Apa yang dimaui Dirman? Keputusan aneh Dirman ini merupakan desakan dari Rini yang ingin memberikan konsesi kepada Bakrie Group. Parahnya lagi, Dirman menyerahkan Blok Gebang di Sumatera Utara kepada EMP Group, padahal di sana Pertamina mengusai 50% saham.
Dirman, Private Jet dan Helikopter
Dirman sepertinya tau bagaimana memaksimalkan jabatannya sebagai ESDM 1 untuk mendapatkan fasilitas mewah dan kemudahan-kemudahan dari pebisnis migas. Dirman kerap meminta fasilitas pesawat jet pribadi maupun helikopter pribadi untuk tugas kedinasannya. Tidak perlu minta pendapat aktivis anti korupsi yang “hebat” seperti Dirman ini apakah fasilitas itu gratifikasi atau tidak, karena publik awam pun tahu itu jelas-jelas gratifikasi. Dirman bisa diseret ke KPK karenanya.
Memang nikmat bagi seorang Dirman pergi dinas tanpa harus sibuk-sibuk antri dan mengikuti prosedur sebagai penumpang pesawat komersial. Dirman jelas mengabaikan kebijakan Jokowi yang meminta para pejabatnya mengedepankan kesederhanaan bukan kemewahan. Atau, jangan-jangan Dirman—dengan dukungan politik, media, dan mafia migas, sudah merasa berkuasa selayaknya Presiden dan karenanya layak mendapat fasilitas setingkat presiden, meski dengan cara menekan perusahaan-perusahaan migas.
Terpentalnya kursi kementrian ESDM dari tangan Sudirman Said juga membuat berang kelompok ini, terutama Sudirman Said yang menyimpan bara dendam kepada Jokowi dan penggantinya Arcandra Tahar. Tereksposnya kasus dwi kewarganegaraan AT juga bagian dari operasi balas dendam Sudirman Said.
Jokowi merasa ditampar dan dipermalukan dengan tersebarnya kasus Arcandra Tahar. Jokowi harus tahu bahwa tersebarnya skandal dwi kewarganegaraan Arcandra Tahar adalah operasi dari Trio Maut ini terutama Sudirman Said dalam membalas dendam dan menjegal orang –seperti Arcandra Tahar yang dapat menghambat kepentingan trio maut ini dalam menguasai sektor migas dan energi.
Keinginan Jokowi untuk mengembalikan kedudukan Arcandra Tahar sebagai menteri ESDM juga akan kembali diganggu dan dihambat oleh trio maut ini.
Kelompok Ari Soemarno cs akan melakukan penggiringan opini untuk menolak Arcandra Tahar kembali ke posisi menteri ESDM.
Dirmaaan...Dirman. Cukuplah sudah membohongi publik, buka topengmu Dirman.
Baca disini:
http://www.kompasiana.com/mti/buka-dulu-topengmu-sudirman-said-ii_564dc540717e610705947c56
http://www.kompasiana.com/mti/buka-dulu-topengmu-sudirman-said-iii_564dcdec717e615707947bea
(Kompasiana/Info-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email