Tentara PETA. (Foto:Istimewa)
Muradi adalah perwira PETA yang bersama Supriyadi memimpin perlawanan terhadap Jepang di Blitar pada 1945. Ia dipenggal oleh Jepang yang mengingkari kesepakatan damai.
Aksi perlawanan yang bertepatan dengan hari kasih sayang itu terancam gagal total. Tanggal 14 Februari 1945, ratusan prajurit yang tergabung dalam Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) melancarkan “pemberontakan” terhadap Jepang di Blitar. PETA merupakan kesatuan militer bentukan Jepang yang diisi oleh orang-orang lokal.
Sayangnya, terkadang pelaksanaan memang tidak selalu selaras dengan apa yang sebelumnya telah dirancang. Rencana penyerangan itu bocor. Jepang ternyata sudah tahu dan langsung mengirimkan pasukan ke Blitar. Posisi para prajurit “pemberontak” pun mulai terdesak.
Korban Sumpah Palsu Supriyadi sang komandan utama lenyap entah ke mana. Posisi pimpinan kemudian diambil-alih oleh Muradi yang berpangkat sama dengan Supriyadi. Jepang mengirimkan komandan resimen bernama Teisha Katagiri untuk berembug. Kepada Muradi, Kolonel Katagiri meminta agar seluruh anggota PETA yang terlibat perlawanan untuk segera menyerah dan kembali ke markas.
Muradi tidak serta-merta menuruti perintah tersebut. Ada syarat yang ia ajukan jika Jepang menginginkan mereka mengakhiri pertempuran, yaitu senjata para anggota PETA yang terlibat tidak akan dilucuti, dan mereka juga tidak boleh diperiksa atau diadili atas perlawanan tersebut.
Katagiri langsung menyanggupi. Sebagai bukti atas ucap janji itu, Katagiri menyerahkan pedang samurainya kepada Muradi di depan para anggota PETA dan tentara Jepang yang hadir dalam perundingan gencatan senjata itu (R.P. Suyono, Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial, 2005: 337).
Namun, sumpah Katagiri rupanya hanya tipu daya belaka agar kaum “pemberontak” itu bisa ditangkap dengan mudah dan tanpa harus mengerahkan tenaga yang lebih besar. Mengingkari martabatnya sebagai orang Jepang yang dikenal berpegang teguh pada kehormatan diri, Katagiri menghadapkan para anggota PETA itu ke meja hijau, lebih dari 78 orang.
Pengadilan militer Jepang di Jakarta memutuskan bahwa 6 orang terdakwa, termasuk Muradi, harus menjalani hukuman mati. 6 orang lainnya dibui seumur hidup, dan sisanya disanksi sesuai tingkat kesalahannya, kecuali 4 orang yang tewas semasa berada di dalam tahanan usai disiksa (Suhartono W. Pranoto, Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi, 2007:69).
Satu Misi dengan Supriyadi
Muradi dan Supriyadi berasal dari Jawa Timur dan sama-sama mendaftarkan diri menjadi anggota PETA. Pemerintah pendudukan Jepang membentuk kesatuan militer ini pada 3 Oktober 1943 sebagai pasukan gerilya (Purbo S. Suwondo, PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, 1996:209).
Jepang mengimbau kepada para pemuda Indonesia untuk secara sukarela bergabung dengan PETA dengan dalih sebagai pasukan pembela tanah air. Mereka sebenarnya dijadikan tentara cadangan yang akan dikerahkan ketika posisi Jepang terdesak dalam Perang Asia Timur Raya dan Sekutu mulai menyerang.
Dari sekian banyak anak muda Indonesia yang bergabung dengan PETA tersebutlah nama Muradi dan Supriyadi. Keduanya menjalani masa pelatihan bersama-sama di Bogor dan merupakan lulusan angkatan pertama pendidikan perwira PETA (Ratnawati Anhar, Pahlawan Nasional Supriyadi, 1992:54).
Setelah lulus dengan menyandang pangkat shodancho alias komandan pleton, Muradi dan Supriyadi ditugaskan ke wilayah asal mereka di Jawa Timur. Keduanya berdinas di Daidan atau Batalyon Blitar, bertugas mengawasi romusha, yakni orang-orang Indonesia yang dijadikan pekerja paksa oleh Jepang.
Menyaksikan sendiri rakyat Indonesia yang diposisikan sebagai romusha diperlakukan secara keji menjadi salah satu alasan Supriyadi berniat melakukan “pemberontakan” terhadap Jepang (F.X. Baskara Tulus Wardaya, Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, 2008:25). Tidak sedikit anggota PETA lainnya yang mendukung rencana gila hasil gagasan Supriyadi itu, termasuk Muradi.
Ditemani Muradi dan beberapa perwira PETA lainnya, Supriyadi sempat menghadap Sukarno yang saat itu sedang pulang ke Blitar untuk meminta masukan atas rencana “pemberontakan” tersebut. Sukarno sebenarnya kurang yakin apakah para pemuda pembernai itu sudah punya kekuatan yang cukup untuk melawan Jepang.
Namun, Supriyadi dengan dukungan Muradi dan kawan-kawan sudah bertekad bulat. "Saya menjamin. Kita akan berhasil!" tegas Supriyadi. Sukarno lantas menyadari bahwa tidak ada satupun yang dapat menghalang-halangi maksud mereka (Purwadi, Sejarah Perjuangan Presiden Soekarno, 2004:173).
Dipenggal, Tumbal Kemerdekaan
Persiapan pun segera dilakukan. Sejak September 1944, diadakanlah rapat-rapat rahasia untuk menyusun rencana penyerangan itu (Joyce L. Lebra, Tentara Gemblengan Jepang, 1988). Tanggal 14 Februari 1945 dipilih karena bertepatan dengan acara pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA yang akan digelar di Blitar. Diharapkan, mereka akan bergabung dalam aksi nanti dan aksi tersebut memantik daerah-daerah lain untuk melakukan hal serupa.
Hari yang dinantikan akhirnya tiba juga. Muradi bertindak langsung sebagai komandan tempur yang memimpin sekitar 200 prajurit PETA dengan dibantu oleh dua shodancho lainnya yaitu Suparjono dan S. Jono (Tim Dinas Pembinaan Mental TNI-AD, Perlawanan Supriyadi terhadap Penjajah Jepang di Blitar, 2008:175).
Mula-mula, Muradi dan pasukan yang dipimpinnya membersihkan para serdadu Jepang yang ada di dalam kota dengan Blitar diam-diam. Kemudian, ia menarik mundur pasukannya ke dalam hutan untuk membuat kubu-kubu pertahanan dan sewaktu-waktu menyerang pada saat yang tepat.
Namun, ternyata rencana itu bocor. Jepang yang mengetahui bahwa akan ada aksi “pemberontakan” kemudian membatalkan pertemuan besar di Blitar secara tiba-tiba. Di saat-saat genting itu, Supriyadi justru tidak diketahui di mana rimbanya. Ada yang mengira ia ditangkap Jepang, namun beredar kabar pula yang menyebut bahwa Supriyadi melarikan diri ke Gunung Kelud (Mia Bustam, Sudjojono dan Aku, 2006:68).
Ketiadaan pucuk pimpinan membuat Muradi tampil ke depan guna mengambil-alih kendali atas seluruh pasukan, termasuk sebagai perwakilan untuk bernegosiasi dengan pihak Jepang. Hingga akhirnya ia ditipu mentah-mentah oleh kolonel Jepang berwatak licik bernama Katagiri itu.
Tanggal 16 Mei 1945, tepat 72 tahun silam atau kurang dari 3 bulan sebelum Sukarno menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Muradi dan 5 orang perwira PETA lainnya dieksekusi mati.
Ke-6 terhukum dibawa ke kawasan Eevereld yang sepi. Di tempat yang kini termasuk wilayah Ancol di pesisir pantai utara Jakarta itu, mereka menjadi tumbal bagi republik yang sebenarnya sedang menyongsong kemerdekaan. Mereka dipenggal dengan pedang samurai, senjata sakral yang sempat dijadikan jaminan janji kepada Muradi, kendati ternyata diingkari.
(Tirto/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email