Pesan Rahbar

Home » » Mengenal Syeikh Yusuf Al Makassari, Pahlawan Dua Bangsa

Mengenal Syeikh Yusuf Al Makassari, Pahlawan Dua Bangsa

Written By Unknown on Monday, 12 June 2017 | 13:34:00


Macassar, nama kota kecil di Afrika Selatan, adalah tempat pengasingan dan peristirahatan terakhir pahlawan nasional Syeikh Yusuf Al-Makassari. Dinamakan seperti itu sebagai bentuk penghormatan atas segala jasa dan pengorbanan Syeikh Yusuf yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Syeikh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makassari Al-Bantani adalah seorang ilmuwan, sufi, penulis, dan komandan perang abad 17. Lahir dalam lingkungan kerajaan Gowa pada 1626, ia dinamai Muhammad Yusuf oleh Sultan Alauddin yang berkuasa saat itu—dan juga saudara ibunya. Ibunya bernama Aminah dan sang ayah bernama Abdullah.

Sejak kecil, Syeikh Yusuf sudah ditempa dengan pelajaran berbasis Al-Quran. Kala itu masyarakat Bugis sudah mengenal agama Islam dan, di Gowa, Islam bahkan dijadikan agama resmi kerajaan.

Menginjak usia 15 tahun, Syeikh Yusuf mulai mempelajari ilmu tasawwuf pada Syeikh Jalaludin Al-Aidit dan memperdalam ilmu Al-Qurannya pada Daeng ri Tasammang di Cikoang. Keduanya adalah ulama terkenal kala itu.

Belum puas, ia dibawa orang tuanya ke pondok pesantren Bontoala yang didirikan ulama dari Yaman, lalu kembali ke Cikoang beberapa tahun. Kembali dari Cikoang, Syeikh Yusuf menikahi putri Sultan Gowa, lalu setelah 18 tahun, ia berencana menuntut ilmu di Jazirah Arab.

Menumpangi kapal dagang, beliau singgah di kerajaan Banten dan bersahabat dengan Pangeran Surya, anak Sultan Mufahir Mahmud. Ia lalu melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di sini Syekh Yusuf kembali berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendapat ijasah tarekat Qadiriyyah.

Usai dari Aceh, ia pergi ke Sri Lanka untuk mencapai Najd—sekarang Arab Saudi. Sebelum sampai Makkah, ia mampir di Yaman untuk berguru pada dua Syeikh besar di sana dan mendapat ijasah tarekat Naqsyabandi dan Baalawiyah.

Memasuki musim haji, beliau pergi ke Makkah lalu menziarahi pusara Rasulullah Saw di Madinah. Di Madinah, ia kembali melanjutkan studinya pada ulama terkenal Syeikh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin dan mendapat ijasah tarekat Syattariyah.

Belum selesai, ia mendapat gelar terakhirnya, ijasah tarekat Khalwatiyah dari gurunya di Damaskus, Syam—sekarang Suriah.

Berkat keluasan wawasannya dari pengembaraan mencari ilmu, ajarannya laku di tengah masyarakat Bugis. Ia menyampaikan ajaran lewat murid-murid dari Bugis yang berziarah ke Mekkah.

Ajaran Syeikh Yusuf menitikberatkan pada kesucian batin dan pengendalian hawa nafsu. Para muridnya diharuskan melepaskan keinginan menunjukan kemewahan duniawi. Namun, tidak serta-merta mencampakkan kehidupan dunia begitu saja. Ia berpandangan kehidupan dunia haruslah dimanfaatkan dalam pencapaian kesempurnaan menuju Tuhan. Hawa nafsu harus bisa dikendalikan dan ditunggangi. Dengan ini Syeikh Yusuf mengajarkan murid-muridnya kebebasan, dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat cita-cita dalam menjalani hidup. Inilah salah satu pokok ajaran beliau yang memberi sumbangsih pada model Islam Nusantara, tanpa menyingkirkan budaya-budaya lokal tapi memanfaatkannya untuk tujuan Islami.

Setelah kembali ke tanah airnya, Kerajaan Gowa terlibat pertempuran dengan penjajah Belanda dan mengalami kekalahan. Ia lalu pindah ke Kerajaan Banten, dan diangkat menjadi mufti kerajaan oleh sahabat lamanya, Pangeran Surya—saat itu sudah jadi Sultan.

Di Banten pengaruhnya makin luas dan memiliki banyak sekali murid di berbagai kota, termasuk 400 orang pengikut setianya asal Makassar. Pada periode ini, Kerajaan Banten menjadi pusat pendidikan Islam di Nusantara.

Pada 1682, kerajaan Banten terlibat perang dengan Belanda, namun kalah. Melihat pengaruhnya, pihak Belanda menangkap Syeikh Yusuf dan diasingkan ke Sri Lanka.

Di Sri Lanka, semangat Syeikh Yusuf belum padam. Ia aktif menyebarkan ajaran Islam sambil terus menjalin komunikasi dengan murid-murid di Nusantara, melalui para peziarah yang menuju Mekkah.

Sadar pengaruhnya masih kuat, 1693 Belanda kembali melempar Syeikh Yusuf ke tempat yang lebih jauh, di Afrika Selatan.

Tak hanya bergerak sebagai ulama dengan menghidupkan komunitas Islam di Afrika, beliau juga dikenal sebagai pejuang kesetaraan melawan rasisme kulit putih di Afrika pada masa itu. Bahkan saking vokal perjuangannya, Nelson Mandela sebagai presiden Afrika pada tahun 1994 mencatatnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’ dan ‘Pejuang Kemanusiaan’.

Lebih jauh, Februari 2009, Presiden Thabo Mbeki memberi penghargaan Oliver Thambo—sebuah gelar pahlawan nasional Afrika Selatan—yang diserahkan melalui tiga ahli warisnya. Penyerahan penghargaan ini disaksikan langsung Wakil Presiden Jusuf Kala saat itu. Indonesia sendiri lebih awal, pada November 1995, menyematkan gelar pahlawan nasional pada Syekh Yusuf.

Mengakhiri perjuangannya menegakkan keadilan dan nilai Islam, Syeikh Yusuf meninggal pada 1699 di usia 72 tahun di Cape Town. Meski meninggal di Afrika, masih jadi perdebatan di mana sesungguhnya beliau dimakamkan. Anda bisa menemukan makan Syeikh Yusuf di Macassar Faure-Afrika Selatan, Lakiung-Gowa, Banten, Palembang, Sri Lanka, dan Talango-Madura, dan masyarakat setempat yakin bahwa daerahnya adalah tempat peristirahatan terakhir guru besar Islam tersebut.

Saat ini nama beliau dikenang lewat karya tulisnya yang berjumlah puluhan.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: