Oleh: Emi Nur Hayati Ma’sum Sa’id
Mubahalah dalam definisinya adalah dua orang yang saling melaknat dan mengutuk. Berdasarkan ayat 61 surat Ali Imran mubahalah dilakukan bila terjadi perselisihan pendapat antara dua orang atau lebih dan masing-masing tidak mempercayai argumentasi lainnya,kemudian mereka sepakat untuk berkumpul di sebuah tempat memohon kepada Allah untuk mempermalukan orang-orang yang berdusta di antara mereka. Nah,dalam sejarah kehidupan Rasulullah Saw, di awal kerasulannya, beliau senantiasa mengajak para pemimpin negara-negara di dunia untuk memeluk agama Islam melalui surat-surat yang dikirimnya. Salah satunya adalah surat yang dikirim untuk uskup Najran dalam rangka mengajak orang-orang Kristen untuk memeluk agama Islam. Najran adalah sebuah daerah yang terletak di perbatasan Hijaz (Arab Saudi) dan Yaman. Di masa permulaan Islam daerah ini adalah tempat tinggal orang-orang Kristen.
Pertemuan Para Pemuka Kristen Najran bersama Rasulullah Saw
Pada tahun 10 Hq sebuah rombongan terdiri dari 60 orang Kristen Najran datang menemui Rasulullah Saw bersama 3 orang pembesar bernama ‘Aqib, Sayyid dan seorang uskup Abu Haritsah. Dalam pertemuan itu mereka melakukan dialog dengan Rasulullah Saw tentang Allah, Nabi Isa dan Maryam as. Mereka meyakini akan ketuhanan Nabi Isa as dan tidak mempercayai kelahiran Nabi Isa as yang tanpa ayah. Uskup bertanya: “Hai Muhammad, bagaimana pendapatmu tentang Nabi Isa as?” Rasulullah Saw menjawab: “Sesungguhnya penciptaan Isa di sisi Allah sama seperti penciptaan Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah kemudian Allah berfirman “Jadilah” (seorang manusia) maka jadilah dia.”(Ali Imran ayat 59)
Meski Rasulullah Saw telah menjawabnya dengan jelas, mereka tetap ngotot dan tidak mau menerima apa yang disampaikan Rasulullah Saw sampai akhirnya Allah menurunkan ayat mubahalah (surat al-Maidah ayat 61) yang berbunyi, “Maka barang siapa yang membantahmu tentang kisah Isa setelah datang ilmu yang meyakinkan kamu, maka katakan, “Mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita bermubahalah (saling melaknat dan mengutuk) dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.”
Bersama Siapa Rasulullah Saw Bermubahalah?
Berdasarkan perintah Allah Swt, Rasulullah Saw mengajak orang-orang Kristen Najran untuk bermubahalah. Mereka menerima ajakan Rasulullah Saw untuk bermubahalah namun meminta agar waktunya ditunda sampai besok.
Orang-orang Kristen Najran mengadakan musyawarah dengan mereka sendiri. Abu Haritsah berkata, “Kita tunggu saja sampai besok, sampai kita tahu Muhammad akan datang bermubahalah bersama siapa? Kalau ia datang bersama keluarganya, berarti dia yakin dengan ucapannya, karena dia telah membawa orang-orang tercintanya dalam bahaya. Dengan demikian, kita jangan datang untuk bermubahalah. Kalau ia datang bersama sahabat-sahabatnya, berarti ia ragu dengan ucapannya dan kita harus datang untuk bermubahalah dengannya.”
Keesokan harinya Rasulullah Saw datang di tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Rasulullah Saw datang bersama Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan san Husein as. Melihat pemandangan ini orang-orang Kristen Najran mengurungkan niatnya untuk bermubahalah dengan Rasulullah Saw karena kalau sampai terjadi mubahalah, maka tidak satu orang pun dari orang-orang Kristen akan hidup. Akhirnya mereka menyerah dan berdamai dengan Rasulullah Saw dan siap membayar pajak setiap tahun. (Ibrahim Amini, Banu-e Namuneh Islam Fathimah az-Zahra)
Keagungan Sayidah Fathimah az-Zahra as
Sayidah Fathimah adalah salah satu anggota dari lima orang keluarga Rasulullah Saw yang hadir dalam peristiwa mubahalah dengan orang-orang Kristen Najran.
Di zaman jahiliyah, perempuan tidak memiliki peran sama sekali di tengah-tengah masyarakat. Perempuan hanya sekedar budak dan alat pemuas laki-laki. Perempuan tidak berhak ikut campur dalam urusan politik, sosial dan ekonomi. Di saat perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari anggota masyarakat, di saat anak perempuan dikubur hidup-hidup, di saat perempuan hanya dianggap sebagai alat pemuas laki-laki dan tidak dihargai sama sekali sebagai manusia, Sayyidah Fathimah az-Zahra muncul ditengah-tengah masyarakat.
Sayidah Fathimah mendapatkan penghormatan khusus dari ayah, suami dan anak-anaknya. Karena keagungan dan ketinggian kepribadian dan posisi spiritualnya serta kedekatannya kepada Allah, beliau ikut serta untuk bermubahalah bersama Rasulullah Saw. Mubahalah bukan perkara biasa dan sederhana sehingga yang ikut harus sosok pribadi yang benar-benar memiliki kedudukan dan posisi di hadapan Allah, karena laknat dan kutukannya pasti dikabulkan oleh Allah.
Abu Haritsah sendiri di hadapan rombongannya mengakui, “Demi Allah, dengan keyakinan dan keberaniannya Muhammad seperti para nabi duduk dan siap bermubahalah. Aku menyaksikan wajah-wajah yang bila memohon kepada Allah, gunung pun akan lepas dari tempatnya. Aku takut bila mereka melaknat dan mengutuk kami, pasti orang-orang Kristen di muka bumi akan binasa.”
(IRIB/Walon/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email