Pada 2014, operasi militer Israel ke Gaza, yang dinamai Operasi Perlindungan Tepi (Operation Protective Edge), berdalih menghancurkan peluncur-peluncur roket dan terowongan-tero wongan yang dibangun Hamas.
Berapa peluncur roket dan terowongan yang dihancurkan sejak operasi itu dilancarkan pada 8 Juli? Yang jelas, begitu banyak warga sipil tak berdosa yang menjadi korban.
Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan, hingga pertengahan Agustus 2014, 2.016-an warga Gaza tewas. Di antara yang tewas itu adalah 541 anak-anak, 250 wanita, dan 95 lansia.
Melihat situasi ini, mungkin benar apa yang dikatakan penulis buku Holocaust Industry, Norman Finkelstein: “Di Gaza tidak ada perang, yang ada di sana adalah pembantaian.”
Recep Tayyip Erdogan, pemimpin Turki, menyatakan kebiadaban Zionis-Israel di Gaza, setara dengan kebiadaban Hitler Nazi. “Mereka (Israel) mengutuk Hitler siang dan malam, tapi kebiadaban mereka sekarang ini bahkan telah melampaui aksi barbar Hitler,” katanya saat berkampanye untuk pemilihan presiden di Kota Ordu, kawasan sekitar Laut Mati, pertengahan Juli 2014, seperti dikutip media Turki, Hurriyet.
“Genosida yang dilakukan Israel”, kata Erdogan, “Sama saja dengan holocaust yang dilakukan Hitler. Mereka (Israel) sama tidak bermoralnya dengan Hitler.”
Kecaman Erdogan, terutama yang mengait kan kekejaman Israel dengan Hitler, membuat panas kuping Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Media Israel, Haaretz, memberitakan Netanyahu segera menelepon Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, untuk mengeluhkan pernyataan Erdogan. Grup lobi Yahudi di Kongres AS, juga mengecam Erdogan dan menilai Erdogan telah mengajak rakyat Turki untuk melakukan kekerasan kepada orang Yahudi.
Grup lobi ini pun mendesak Erdogan mengembalikan award yang diberikan kepada Erdogan atas upayanya dalam perdamaian Timur Tengah. Menanggapi desakan untuk mengembalikan award itu, Erdogan mengatakan dia akan dengan senang hati mengembalikannya. “Ambil kembali piala itu dan pukulkan saja di kepalamu,” katanya.
Sebenarnya Erdogan telah lama bersuara keras kepada Israel. Bahkan, pada 2009 lalu, dia pernah mengecam langsung Presiden Israel, Shimon Peres, sebagai pembunuh, saat berdiskusi di Forum Ekonomi Dunia di Davos Swiss.
Tapi, sejumlah media mencatat, baru kali inilah Erdogan memparalelkan kekejaman Zionis Israel dengan Hitler-Nazi. Dan, kecaman kali ini, lebih menohok.
Sebenarnya, sebelum Erdogan, sudah banyak menilai banyak kemiripan penderitaan rakyat Gaza itu dengan kekejaman serupa yang pernah dialami orang-orang Yahudi di Eropa Timur, terutama di Ghetto Warsawa, Polandia, yang saat itu dicaplok Nazi.
Analogi itu, mencuat pada 2008-2009 silam, ketika Israel —lewat Operasi Cast Lead— membombardir Gaza dan membunuh 1.440 warganya. Saat itu, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat di antara yang terbunuh adalah 431 anak-anak dan 114 perempuan. Adanya kemiripan itu, antara lain disam paikan oleh Profesor William Robinson, sosiolog Universitas California.
“Gaza adalah Warsawanya Israel, sebuah kamp konsentrasi yang luas, yang memenjarakan dan memblokade orang Palestina, membunuh mereka perlahanlahan dengan kekurangan pangan, penyakit, dan keputusasaan, sebelum kemu dian dibunuh dengan cepat oleh bom-bom Israel. Kita semua menjadi saksi dari sebuah genosida yang berlangsung perlahan-lahan,” katanya dalam email yang dikirimkan kepada para mahasiswanya.
Surat elektronik yang semula dimaksudkan untuk memancing diskusi dengan para mahasiswanya, itu kemudian menyebar, dan membikin gerah Zionis-Israel dan para pendukungnya. Sebuah organisasi lobi pro-Israel, Liga Anti-Fitnah (Anti-Defamation League), mempersoalkan isi email itu dan menuntut Universitas California, Santa Barbara, tempat William mengajar, melakukan investigasi dan memecatnya.
Cukup lama soal ini diproses, dan memancing kontroversi, sampai akhirnya pihak universitas menyatakan itu merupakan bagian dari kebebasan akademik, sehingga tak bisa dituntut.
Gara-gara emailnya yang bikin heboh itu, Prof William akhirnya dicap antisemit, meski dia sendiri seorang Yahudi. Cap antisemit, merupakan cap yang bisa merepotkan di Barat sana. William sendiri mengaku bingung, sebab kritiknya terhadap kebijakan Israel telah dicampuradukkan dengan tuduhan antisemit.
“Itu seperti mengatakan saya adalah anti-Amerika, karena saya mengecam pemerintah AS atas invasinya di Irak. Itu absurd, dan tidak punya basis argumen… saya sendiri adalah Yahudi,” katanya.
Selain disampaikan Prof William, Aljazeera, mencatat analogi Gaza dengan Ghetto Warsawa itu mula-mula dimunculkan oleh kalangan blogger, dan sejumlah media utama. Gambaran lain yang juga sama buruknya, yaitu membandingkan okupasi Israel dengan apartheid di Afrika Selatan, telah kian banyak diterima oleh masyarakat dunia, termasuk di Israel sendiri.
Namun, perbandingan itu terlalu lemah untuk memunculkan gambaran penderitaan rakyat Gaza sesungguhnya. Sehingga, Gaza kemudian disandingkan dengan Ghetto Warsawa, terutama untuk menarik perhatian media Barat.
“Itu gambaran yang tak terhindarkan, terutama setelah perang 2008 dimulai,” tulis Aljazeera.
Tapi, bukan berarti analogi tersebut hanya menjadi propaganda yang dipaksakan. Nyatanya, memang banyak kemiripan Gaza dengan Ghetto Warsawa. Ghetto, adalah bagian dari sebuah kota di mana kalangan minoritas ditempatkan, khususnya untuk melakukan tekanan sosial, hukum, dan ekonomi.
Ghetto Warsawa, adalah ghetto terbesar di Polandia, yang pada Perang Dunia II menjadi wilayah caplokan Nazi. Di sana, 400 ribu orang Yahudi mendiami kawasan 3,4 kilometer persegi. Ghetto itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter, yang di atasnya dipasangi kawat berduri, dan sekelilingnya dijaga pasukan yang siap mengokang senjata.
Gambaran seperti itu, kini terlihat di Gaza. Tembok yang dibangun Israel untuk memblokade Gaza, bahkan lebih tinggi, yaitu delapan meter, dengan panjang 60 kilometer. Ditambah 10 kilometer tembok yang di bangun Mesir atas bantuan AS, total tembok yang mengelilingi Gaza sekitar 70 kilometer, atau separuh panjang Tembok Berlin.
Sementara, bagian Gaza yang berhadapan dengan Laut Mediterania, juga diblokade, dan terus ditongkrongi kapal kapal perang Israel, menjadikan kawasan laut ini pun bak tembok tak kasat mata.
Noam Chomsky, pakar politik dan lingui s tik Amerika, menyebut Gaza —yang luasnya 360 ki lometer persegi, de ngan penduduk sekitar 1,5 juta orang— penjara terbuka ter besar di dunia. Dan, sekali perang pecah di kawasan padat penduduk itu, warga sipil pun langsung ter jebak di zona perang, dan mere ka tidak bisa lari ke mana pun.
Pengepungan Israel atas Gaza —yang dibantu Mesir, dengan 10 kilometer temboknya di perbatasan Rafah— telah membangkitkan memori banyak orang tentang kontrol mutlak Nazi atas Ghetto Warsawa.
Dan, bila warga Ghetto Warsawa dikirim ke kamp konsentrasi untuk dibunuh di kamar gas, di Gaza warganya dibunuhi dengan ribuan ton bom. Selain pembangunan tembok di seke liling nya, dan tembak mati bagi yang berani melintasinya, masih banyak persamaan Gaza dengan Ghetto Warsawa.
Ghetto Warsawa, juga ghetto-ghetto lainnya, dihuni oleh orang-orang Yahudi yang dipaksa keluar dari rumahnya, kemudian digiring menuju salah satu sudut kota. Sementara, kebanyakan warga Gaza, adalah pengungsi dan keturunannya, yang terusir dari rumah-rumah mereka pada Perang 1948.
Restriksi bagi warga Gaza dalam mendapatkan makanan, air, dan keperluan medis, dan peningkatan kasus kurang gizi dan pengangguran, juga membangkitkan memori pada Nazi, yang mencekik ghetto secara perlahan, seperti yang digambarkan Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB tentang hak-hak asasi bangsa Palestina.
Terowongan-terowongan yang dibangun di Gaza, juga sama seperti di Ghetto Warsawa. Ketika orang-orang Yahudi menggu nakan terowongan untuk menyelundupkan makanan dan barang-barang penting lainnya ke dalam ghetto.
Pada 29 Februari 2008 lalu, Wakil Menteri Pertahanan Israel, Matan Vilnai, juga menggunakan istilah yang berbau holocaust untuk Gaza. Dia mengatakan bangsa Palestina akan membawa Shoah yang bahkan lebih besar kepada diri mereka sendiri, jika mereka tidak berhenti menembakkan roket al-Qassam ke Israel.
Shoah adalah perkataan Ibrani untuk holocaust. Bahkan, satu lagi gambaran yang meng hubungkan Gaza dengan Ghetto Warsawa, adalah apa yang digambarkan oleh petinggi Hamas, Mahmoud al-Zahar. Dia kerap menggambarkan serangan Israel ke Gaza sebagai sebuah perang total.
Bahasa ini, tulis Aljazeera, jelas dimaksudkan untuk meng hubungkan aksi Israel di Gaza sebagai sebuah genosida, seperti yang dilakukan Jerman selama Perang Dunia II. “Jika semua perbandingan ini telah terjadi, maka perbandingan Gaza-Ghetto Warsawa akan benar-benar nyata, menjadi sebuah holocaust untuk bangsa Palestina.
”Apa yang dilakukan Israel terhadap Muslim-Palestina ini, sangat jauh berbeda dengan yang pernah dilakukan Muslim kepada Yahudi di masa silam. Dalam pida tonya di Kota Ordu, Erdogan antara lain mengingatkan Israel bahwa dulu, di bawah Khilafah Usmani, orang Yahudi justru dilindungi. “Tidakkah kalian malu? Betapa tidak bermoralnya kalian,” katanya.
Erdogan juga mengingatkan bahwa sejarah mengajarkan tidak ada kekejaman yang abadi. “Kekejaman sistematis, pembantaian, dan genosida yang terus berlangsung sejak 1948, pasti akan dibayar, cepat atau lambat. Tangis anak-anak (Gaza), pasti akan terjawab,” tandas Erdogan.
(Hurriyet/Republika/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email