Ketika perang antara bangsa Arab dan Kekaisaran Bizantium meletus sejak abad ketujuh hingga ke-11, Malta sempat jatuh ke tangan dinasti Islam. Pada periode tersebut, Muslimin mulai memperkenalkan irigasi model baru untuk membangun pertanian di Malta. Mulai saat itu, pengaruh bahasa Arab pun semakin meluas di kalangan penduduk negeri kepulauan itu, bahkan sampai hari ini.
“Selama berada di bawah kekuasaan Islam, umat Kristiani di Malta tetap memperoleh kebebasan dalam menjalankan agama,” tulis Carolyn Bain (2004) dalam bukunya, Malta & Gozo.
Sepanjang abad ke-11, kekuasaan Islam di Mediterania kian melemah sehingga Kepulauan Malta pun jatuh ke tangan bangsa Normandia pada 1091. Sejak itu, Muslimin di negeri itu mulai mendapat perlakuan yang buruk dari penguasa Eropa.
“Pada 1224, Raja Frederick II dari Italia mengusir semua Muslim yang tersisa di Malta. Pilihan lainnya, mereka dipaksa memeluk Katolik jika masih ingin tetap tinggal di Malta,” ungkap Stefan Goodwin dalam buku Malta, Mediterranean Bridge.
Pada masa selanjutnya, Malta berada di bawah kekuasaan Dinasti Aragon Spanyol sejak 1282 hingga 1409. Negeri itu kemudian direbut Prancis pada 1798 setelah pasukan yang dipimpin Napoleon Bonaparte berhasil memenangkan pertempuran di Italia.
Namun, sejak 1814, Kepulauan Malta resmi menjadi bagian dari Kerajaan Inggris, menyusul kekalahan Prancis dalam perang melawan negara-negara Koalisi Keenam (Austria, Prusia, Rusia, Inggris, Portugal, Swedia, dan Spanyol).
Malta memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1964. Namun demikian, statusnya ketika itu masih merupakan bagian dari negara persemakmuran independen dengan Ratu Elizabeth II sebagai kepala negaranya.
Sejak 1974, Malta akhirnya menjadi negara republik dengan menempatkan presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.
(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email