Pesan Rahbar

Home » » Kisah Merah-Putih Sejak Raja-Raja Nusantara Hingga Indonesia Merdeka

Kisah Merah-Putih Sejak Raja-Raja Nusantara Hingga Indonesia Merdeka

Written By Unknown on Friday, 18 August 2017 | 16:27:00


Perasaan Fatmawati, istri Presiden Soekarno, begitu haru ketika menyaksikan Sang Merah Putih pertama kali resmi dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No 56 (sekarang Jalan Proklamasi), Jakarta Pusat. Sang Merah Putih dikibarkan setelah Soekarno yang didampingi Muhammad Hatta membaca teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Sudanco (komandan Kompi) Latief Hendraningrat didampingi Soehoed Sastro Koesoemo, seorang pemuda dari barisan pelopor, dengan seutas tali kasar mengerek dan mengibarkan Bendera Merah Putih pada tiang bambu diiringi lagu Indonesia Raya. Upacara yang berlangsung di kediaman Bung Karno itu begitu sederhana, tanpa iringan musik dan tanpa barisan protokol, namun hikmat.

Sosok Fatmawati begitu lekat dengan Sang Merah Putih karena beliau yang menjahit sendiri. Dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume 1, terbit 1978, Fatmawati menceritakan dari mana mendapatkan kain untuk membuat Bendera Merah Putih.

Menurut Fatmawati, suatu hari pada 1944, setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan, dirinya mendapat kain dua blok berwarna merah dan putih dari Hitoshi Shimizu, pimpinan barisan Propaganda Jepang lewat pemuda bernama Chairul Basri. Kain itu oleh Fatmawati kemudian dijahit menjadi sebuah bendera.

Saat itu Ibu Fatmawati dalam keadaan mengandung putra sulung, Guntur Soekarnoputra. Ibu Fatmawati sesekali terisak dalam tangis sambil menjahit bendera merah putih karena Indonesia akhirnya merdeka dan mempunyai bendera dan kedaulatan sendiri.

Sebelum 16 Agustus 1945, Fatmawati sudah menyelesaikan sebuah Bendera Merah Putih. Namun ketika diperlihatkan ke beberapa orang, bendera tersebut dinilai terlalu kecil. Untuk itu harus dibuat lagi Bendera Merah Putih yang baru dan lebih besar.

Malam itu juga, saat tiba di rumah, Fatmawati membuka lemari pakaiannya. Beliau menemukan selembar kain putih bersih bahan seprai. Namun tak punya kain merah sama sekali. Ketika itu, ada seorang pemuda bernama Lukas Kastaryo (Di kemudian hari masuk militer dengan pangkat terakhir Brigjen) yang berada di kediaman Soekarno.

Lukas Kastaryo pada majalah Intisari edisi Agustus 1991, menuturkan, saat itu dia berkeliling dan akhirnya menemukan kain merah yang dipakai sebagai tenda warung soto. Kain itu ditebusnya dengan harga 500 sen (harga yang cukup mahal kala itu) dan menyerahkannya ke ibu Fatmawati.

Fatmawati akhirnya menyelesaikan bendera merah putih yang baru, malam itu juga. Bendera berukuran 276 x 200 cm akhirnya dikibarkan tepat 17 Agustus 1945 dan menjadi bendera pusaka. Atas jasanya pada negara, Fatmawati diberi gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid dengan No 118/TK/2000 tanggal 4 November 2000.

Untuk pertama kalinya setelah Proklamasi, Bendera Pusaka dikibarkan di Istana Negara Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950. Kemudian pada 29 September 1950 Sang Merah Putih berkibar di depan gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.

Pada 27 Oktober 1945, Chureng yang menjadi pesawat pertama TNI AU resmi menggunakan warna merah dan putih sebagai identitasnya karena resmi mengabdi untuk RepubIik Indonesa. Penerbang yang pertama kali menerbangkan Chureng adalah Komodor Udara Agustunis Adisutjipto.

***

Bendera Pusaka Sang Merah Putih, memiliki makna filosofis. Merah berarti keberanian, putih berarti kesucian. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia.

Dari sejumlah catatan sejarah, penggunaan bendera merah putih sudah dikenal sejak masyarakat Indonesia kuno. Warna merah dan putih sudah dipakai sebagai lambang pada panji, umbul-umbul, atau pun tunggul.

Raja Jayakatwang atau sering disebut Jayakatong dari Gelang-gelang disebut sudah menggunakan panji dan umbul-umbul berwarna merah putih ketika melawan Kerajaan Singasari dan menggulingkan kekuasaan Raja Kertanegara pada 1292. Penggunaan panji merah putih oleh Raja Jayakatwang ditulis dalam kitab Pararaton dan prasasti perunggu Gunung Butak yang ditemukan dekat Surabaya.

Mpu Prapanca dalam buku karangannya Negara Kertagama menceritakan tentang digunakannya warna Merah Putih dalam upacara hari kebesaran raja pada waktu pemerintahan Hayam Wuruk yang bertakhta di kerajaan Majapahit pada 1350-1389 M.

Dalam suatu kitab Tembo Alam Minangkabau yang disalin pada 1840 dari kitab yang lebih tua terdapat gambar bendera alam Minangkabau, berwarna Merah Putih Hitam. Bendera ini merupakan pusaka peninggalan zaman kerajaan Melayu Minangkabau dalam abad ke-14, ketika Maharaja Adityawarman memerintah (1340-1347).

Di Keraton Solo terdapat pusaka berbentuk bendera Merah Putih peninggalan Kiai Ageng Tarub, putra Raden Wijaya, yang menurunkan raja-raja Jawa. Dalam babad tanah Jawa yang bernama Babad Mentawis (Jilid II hal 123) disebutkan, ketika Sultan Agung berperang melawan negeri Pati, tentaranya bernaung di bawah bendera Merah. Sultan Agung memerintah tahun 1613-1645.

Bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya. Bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.

Sang Merah Putih pun disebutkan pernah menjadi bendera perjuangan Pangeran Diponegoro antara tahun 1825 sampai 1830. Saat itu masyarakat di sekitar Gua Selarong (kini Kabupaten Bantul) – markas perlawanan Pangeran Diponegoro mengibarkan bendera merah putih, saat Diponegoro berangkat dan memimpin pasukannya melawan Belanda.

Ketika perang di Aceh, pejuang-pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al-Qur’an.

Di zaman kerajaan Bugis Bone, Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, Bendera Merah Putih adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone. Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: