Jonru Ginting
Oleh: Niken Satyawati
Sosok Jonru Ginting yang bernama asli Jonriah Ukur lagi banyak dibicarakan, sejak dia menjadi tamu Karni Ilyas di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada TV One semalam.
Kemarin rupanya dia girang bukan kepalang setelah diundang sebagai salah satu narsum.
Dia pun membuat banner pengumuman yang dia share di fanpage, twitter dan dalam sekejap tersebar di berbagai timeline medsos. Itu siang hari. Lucunya pada sore hari, dia kembali membuat postingan bahwa dia malas datang ke ILC, katanya karena diakit-kaitkan dengan Saracen (lha kan sejak awal memang temanya Saracen). Dan lucunya, malam hari di tayangan ILC ternyata dia nongol. Orang Jawa bilang “esuk dele, sore tempe, bengi tempe bosok”.
Istilah yang menggambarkan orang labil, yang keputusannya berubah-ubah setiap saat.
Cukup mengejutkan menyimak kiprah Jonru, metamorfosisnya sempurna bak ulat yang berubah jadi kepompong lalu terbang sebagai kupu-kupu.
Dia aslinya penulis cerpen remaja, soal cinta-cintaan. Walau sulit menemukan karyanya yang bermutu, namun setidaknya dia sendiri mentahbiskan diri sebagai penulis waktu awal-awal saya tersambung ke akun dia di Multiply.com dulu
Kumpulan cerpen yang agak dikenal orang mungkin yang berjudul “Cowok di Seberang Jendela”.
Melalui Multiply, dia menjadi motivator kawan-kawan sesama Multiplier untuk menulis.
Dia juga pernah menggalang kawan-kawan untuk bersama-sama membuat buku kumpulan tulisan.
Terakhir ada kabar orang yang sudah menyetor karya dan dana namun tidak kunjung menerima hasil proyek bersama ini.
Waktu berlalu. Multiply ambruk. Ketika ada Facebook, dia masuk. Dan ketika ada potensi konflik yg besar saat Pilpres, dia ambil kesempatan ini.
Naluri bisnisnya saya akui lumayan tokcer. Preferensi politiknya ke satu kelompok, ditunjukkan dengan foto-foto dia bersama seorang capres di kandang kuda. Saat ada potensi konflik ini ruanya dia melihat peluang besar.
Dia pun mengembangkan bisnis dengan memproduksi status kebencian. Dia mengunggulkan kelompoknya, dan secara bersamaan menebar racun benci terhadap kelompok lainnya.
Dia sangat pintar meraih simpati, caranya dengan menggosok sentimen antar agama secara terus-menerus.
Dia pun memoles diri, menjelma menjadi tokoh relijius dengan simbol-simbol artifisial kesalehan yaitu berjenggot dan jidat yang menghitam.
Padahal di awal Pilpres dia masih tampak rangkul-rangkulan bebas dengan sesama influencer wanita di kelompok politiknya, pada suatu acara di Bali.
Ada yang bertanya, mengapa banyak orang menjadi pengikutnya padahal tak jarang dia ketahuan menebar fitnah dan hoax?
Jawabannya adalah karena Jonru ini menerapkan ilmu hipnoterapi dengan baik. Di setiap postingan termasuk hoax/fitnah/hasut dia pakai kalimat-kalimat thoyibah untuk menyasar kalangan religius.
Tak lupa pula postinga-postingan tu diakhiri dengan kalimat afirmasi berupan klaim bahwa dia di pihak yg benar.
Kebobrokan bila selalu diafirmasikan senagai kebenaran secara berulang-upang akan dianggap kebenaran. Dan itu bekerja. Orang lama-lama pun memaklumi dan mengiyakan bahwa fitnah dan hoax itu gakpapa, karena mereka di pihak yang benar.
Begitulah cara-cara hipnoterapi yg melenakan dan membuat orang-orang terus berkumpul di page dia. Mereka menjadi sangat agresif dan bersemangat mengikuti apapun yg dikatakan jonru.
Dan sebagai kamuflase atas bisnis kebencian ini, dia menggalang donasi/sedekah untuk pesantren-pesantren yg dipilihnya, dananya dipotong sekian persen masuk kantong Jonru.
Jadilah dia “pahlawan yang sempurna” di kalangannya, sekaligus dana mengalir deras ke rekeningnya. Dia memblokir akun yang kritis, sehingga yang berkumpul di page-nya tinggal orang-orang yang satu jurusan dengannya.
Di satu sisi ini adalah big data yang sangat berguna bagi polisi ketika mengusut siapa orang-orang di lingkarannya yang turut membantu menebarkan kebencian.
Ada yang bertanya-tanya mengapa orang yang sudah jelas-jelas setiap postingannya mengandung racun kebencian dan terus menggosok sentimen yang merusak persatuan bangsa kok dibiarkan? Oooh, memang tidak semudah itu menjerat Jonru. Karena dia basisnya penulis, dia pintar muter-muter belibetan untuk menghindar dari celah hukum.
Postingannya biasanya model bertanya atau memposting ulang tulisan orang lain. Jadi dia semacam melempar isu, membiarkan isu yang membuat sentimen orang terbakar dan juga menggunakan orang lain untuk tamengnya.
Jonru membantah dan tak mau dikaitkan dengan Saracen. Baiklah. Postingan Jonru memang berbeda, tidak seperti postingan Sri Rahayu Ningsih yang kasar dan binal. Namun sebenarnya setiap postingannya lebih beracun dan keji, hanya lebih halus saja membungkusnya.
Karena itu dia tidak mudah ditangkap. Namun jangan salah… selama ini para polisi cyber mengamati dan terus mengumpulkan bukti.
Dan satu kata dia “iya” saat anggota DPR Akbar Faizal mengkonfirmasi apakah dia memposting status penghinaan kepada Presiden Jokowi, telah menjadi barang bukti signifikan dan disaksikan jutaan pasang mata yang menonton ILC semalam. Ketika Akbar meminta polisi mengusut Jonru, Jonru memekik “tidak takut” walau terlihat sekali dia gemetaran.
Tidak bisa tidak, demi persatuan dan kesatuan bangsa yang sudah suah payah diperjuangkan para pahlawan kemerdekaan, Jonru memang harus segera ditangkap dan dihentikan kegiatannya menghasut rakyat Indonesia. Dan agaknya saat itu sudah dekat. Bersiaplah, Jonru.
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email