Kemunculan Pao An Tui tidak bisa dilepaskan dari situasi zaman kolonial dan revolusi kemerdekaan. Respons warga Tionghoa atas kondisi keamanan yang tak menentu.
Malam terasa semakin mencekam bagi penduduk Tionghoa di Tangerang dan sekitarnya. Saat itu Mei 1946, hari-hari di kala revolusi berkobar di Indonesia, ada desas-desus beredar: Laskar Rakyat akan membumihanguskan Tangerang yang dikenal sebagai buffer zone vital dan strategis penghubung dengan Jakarta dengan wilayah lain di bagian Barat. Tak mengherankan bila Belanda maupun pihak Indonesia, berupaya keras menguasai daerah itu.
Warga Tionghoa Tangerang yang sejak awal khawatir dengan keselamatan mereka, bisa bernapas lega sejenak karena rencana bumihangus itu tak terjadi. Namun ternyata situasi itu hanya berlangsung sementara. Pada 2 Juni 1946 malam, serombongan Laskar Rakyat yang dipersenjatai bambu runcing, karaben, pistol, dan samurai, menyerang penduduk Tionghoa di Tangerang Barat. Rumah dan toko diluluhlantakkan, seluruh harta benda mereka dirampok.
Dalam sekejap, kerusuhan menjalar ke berbagai wilayah di Tangerang. Menurut laporan Star Weekly, 16 Juni 1946, sebanyak 40-50 perkampungan luluhlantak; 1.200 rumah rata dengan tanah; lebih dari 700 orang Tionghoa terbunuh, 200 korban di antaranya wanita dan anak-anak; 200 orang Tionghoa dinyatakan hilang; dan kerugian materi lebih dari 7 juta rupiah. Belum lagi ribuan pengungsi yang memutuskan meninggalkan Tangerang guna mencari tempat aman.
Insiden tersebut membuat warga Tionghoa Tangerang kecewa. Mereka pun sadar bahwa perlindungan dari pemerintah Republik tidak dapat menjangkau hingga ke daerah-daerah terpencil. Menurut Tsiang Chia Tung, Konsul Jenderal Tiongkok di Batavia, sekalipun Sukarno, Sjahrir, dan Natsir mengutuk keras insiden yang terjadi di Tangerang, namun pihak Republik dipandang tidak mengambil tindakan signifikan untuk melindungi etnis Tionghoa dari potensi kekerasan lanjutan.
Tak adanya jaminan hukum yang pasti pada masa revolusi, menjadi salah satu faktor menjalarnya kerusuhan ke beberapa kota. Setelah insiden Tangerang, meletus juga berbagai peristiwa anti-Tionghoa di Bagan Siapi-api, Palembang, Bekasi, Cilimus, Jember, Madiun, Malang, dan sebagainya.
Tionghoa dalam Prahara Revolusi
Revolusi Indonesia 1945-1950 merupakan periode yang penuh kompleksitas dalam sejarah Indonesia. Soejatno dan Benedict Anderson dalam artikel Revolution and Social Tensions in Surakarta 1945-1950, menyebutkan revolusi Indonesia tidak hanya kental dengan proses dekolonisasi saja, melainkan penuh dengan gesekan sosial dan politik antar kelas.
Di masa revolusi, peristiwa kekerasan acap mewarnai perjuangan di berbagai tempat, terutama di Jawa dan Sumatra. Indonesia saat itu tengah berada dalam kondisi carut-marut. Penculikan, penghilangan paksa, penembakan, perampokan, hingga pembunuhan terjadi hampir setiap harinya.
Sartono Kartodirdjo di dalam tulisan berjudul Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktural, menyebut revolusi Indonesia berperan dalam memunculkan perpecahan antar kelompok, sebagai dampak dari krisis dan tensi politik yang semakin meruncing akibat kolonialisme Belanda. Menurut Sartono, negara saat itu tidak mampu menjamin keselamatan penduduknya, terutama mereka yang berasal dari golongan minoritas.
Di bawah hukum kolonial Belanda, orang Tionghoa dikategorikan sebagai golongan ‘Timur Asing’ (Vreemde Oosterlingen, termasuk juga Arab dan India di dalamnya). Mereka dipisahkan dengan golongan Eropa yang menempati posisi teratas dan bumiputera yang dikelompokkan pada strata terbawah. Pengkategorian ras tersebut berperan dalam menciptakan sekat-sekat di antara kelompok etnis di Indonesia. Ironisnya, diskriminasi tersebut terus diwariskan hingga mencapai puncaknya di masa revolusi, dimana ribuan orang Tionghoa menjadi sasaran kekerasan berdasarkan motif ekonomi dan tuduhan bahwa mereka bekerjasama dengan Belanda.
Dalam chapter bukunya, Anti-Chinese Actions in Southeast Asia: In Search of Causes and Solutions, Leo Suryadinata menyebutkan bahwa periode revolusi merupakan permulaan dari gerakan anti-Tionghoa pertama pasca proklamasi kemerdekaan. Sementara Anne van der Veer menulis dalam tesisnya berjudul The Pao An Tui in Medan bahwa Republik Indonesia yang baru didirikan tidak mampu melindungi etnis Tionghoa sepenuhnya dari serangan kelompok-kelompok yang memanfaatkan panji revolusi demi kepentingannya.
Kemunculan Pao An Tui
Berbagai peristiwa yang terjadi di pengujung 1945 dan awal 1946 menimbulkan kecemasan di kalangan warga Tionghoa. Tidak adanya jaminan perlindungan keamanan pada masa revolusi yang serba kacau itu mendorong mereka mengambil langkah sendiri untuk melindungi diri.
Tsiang Chia Tung kemudian mengusulkan kepada pihak Republik agar orang Tionghoa diperkenankan untuk membentuk organisasi pertahanan sendiri. Melalui Radio-Batavia, Tsiang menginformasikan kepada presiden Soekarno dan perdana menteri Amir Sjarifuddin mengenai rencana pembentukan Pao An Tui (PAT/Barisan Pertahanan Tionghoa) yang sepenuhnya akan dibiayai oleh penduduk Tionghoa.
Usulan tersebut baru dibahas dalam konferensi Chung Hua Tsung Hui (Asosiasi Tionghoa Pusat), 24-26 Agustus 1947 yang dihadiri oleh perwakilan CHTH seluruh Indonesia (kecuali CHTH Yogyakarta dan Solo). Hasil konferensi menyepakati berdirinya Pao An Tui pada 28 Agustus 1947. Sejatinya, PAT sudah berdiri lebih dulu di Medan pada Desember 1946, beberapa bulan sebelum kembalinya Belanda ke Medan. Namun pembahasan intensif mengenai fungsi, susunan, dan tujuan organisasi menjadi lebih matang dan terarah setahun kemudian.
Tujuan utama pendirian PAT adalah melindungi harta dan nyawa orang-orang Tionghoa, di samping menjaga keamanan dan ketertiban di daerah-daerah yang dianggap rawan. Regulasi organisasi semi-militer ini diatur dalam Ordonansi No. 516 tanggal 12 September 1947. Di samping itu, PAT juga berinisiatif untuk mengadakan donasi berkala yang diperuntukkan bagi orang-orang Tionghoa yang menjadi korban kekerasan.
Pihak Republik pada awalnya tidak setuju dengan ide pembentukan organisasi ini dengan alasan masih mampu menjaga keselamatan orang-orang Tionghoa di daerah kekuasaan Republik. Namun pada akhirnya pemerintah Republik tetap memberikan izin, dengan syarat tidak mengintervensi perjuangan Indonesia. Pemerintah Republik bahkan mempertimbangkan untuk menyumbangkan senjata, meskipun tidak diketahui apakah tindakan tersebut benar-benar direalisasikan.
Dimanfaatkan Belanda
Simon Hendrik Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, melihat kemunculan PAT sebagai sinyalemen positif. Merenggangnya hubungan antara etnis Tionghoa dan pemerintah Republik coba dimanfaatkan Spoor dengan jalan menarik simpati orang-orang Tionghoa yang tergabung dalam PAT. Militer Belanda menyetujui untuk memberikan PAT seragam, senjata, dan pelatihan militer di Cimahi, Bandung. Belanda juga memanfaatkan segelintir PAT untuk melaksanakan berbagai operasi militer dan bahkan mengizinkan anggota PAT untuk memegang senjata.
Namun dalam beberapa kesempatan, meletus juga beberapa bentrokan antara PAT dan Polisi Belanda yang dianggap coba mengintervensi urusan internal organisasi PAT. Menurut Anne van der Veer PAT tidak pernah sepenuhnya berada di bawah kontrol Belanda. PAT tetap tumbuh sebagai organisasi independen, yang bergerak sesuai dengan aturan, metode dan prinsip dasar organisasi.
Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa ada segelintir oknum PAT yang memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi. Menurut Roel Frakking dalam artikelnya Who Wants to Cover Everything, Covers Nothing’: The Organization of Indigenous Security Forces in Indonesia, 1945–50, beberapa oknum PAT juga dimanfaatkan pemilik modal Tionghoa sebagai centeng perkebunan.
Khusus untuk pendanaan, biaya operasional PAT berasal dari sumbangan sukarela perorangan atau keluarga Tionghoa yang berani membayar lebih guna mendapatkan perlindungan. Dana lain berasal dari berbagai kegiatan amal seperti pasar malam, kegiatan olahraga, pertunjukan musik, hingga pemutaran film yang diadakan secara berkala. Selang beberapa bulan, cabang PAT sudah tersebar seluruh kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, terkecuali Yogyakarta dan Solo mengingat pemerintah Republik berargumen masih dapat menjamin keselamatan penduduk Tionghoa di kedua wilayah tersebut. Hingga Februari 1949, sebanyak lebih dari 30 cabang PAT sudah berdiri di seluruh Jawa dan Sumatera.
Pro-Kontra Pao An Tui
Kemunculan PAT membawa angin segar bagi masyarakat Tionghoa. Mereka berlomba-lomba memberikan bantuan seperti meja, peralatan masak, peralatan makan, ke barak militer PAT yang terletak di Mangga Besar 47, Jakarta. Namun ada juga beberapa orang Tionghoa yang menentang ide pembentukan PAT. Suara oposisi datang dari Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie, anggota Partai Sosialis Indonesia. Mereka menganggap PAT ditunggangi kepentingan politik Kuomintang dan Belanda. PAT juga dianggap menyimpang dari tujuan awal karena dalam perkembangannya kelak PAT kerap dimanfaatkan pihak asing untuk mencapai tujuan tertentu.
Berdirinya PAT juga memunculkan polemik di kalangan intelektual Indonesia. Noto Soeroto, seorang aristokrat Jawa yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Belanda, menganggap kemunculan PAT dapat memperkeruh hubungan orang Tionghoa dan bumiputera. Dia khawatir bila PAT kelak akan menyalahgunakan kekuatan militernya untuk melakukan aksi balas dendam terhadap milisi Indonesia. Namun suara pro datang dari Soegardo Poerbakawatja, salah seorang pengurus Hollandsch-Inlandsche School (HIS), kemunculan PAT merupakan respons yang wajar dari etnis Tionghoa, mengingat tidak ada pihak yang berani menjamin keselamatan nyawa dan harta orang Tionghoa. Oleh karena itu, orang Tionghoa pun berhak untuk mempertahankan harta dan nyawa mereka, terutama di masa revolusi yang penuh ketidakpastian.
PAT sejatinya didesain sebagai organisasi temporer. Artinya, bila situasi keamanan sudah mulai kondusif bagi orang Tionghoa, maka PAT otomatis akan kehilangan fungsi dan peranannya. Pada Maret 1949 CHTH memutuskan untuk membubarkan seluruh PAT di Jawa dan Sumatera. Namun banyak PAT telah lebih dulu dibubarkan di berbagai tempat karena situasi keamanan dianggap sudah semakin kondusif. PAT tidak lagi mendapat dukungan dana dari para konglomerat Tionghoa, karena mereka menganggap kondisi di kota-kota besar sudah relatif aman.
Menurut Nasrul Hamdani buku dalam Komunitas Cina di Medan, setelah PAT dibubarkan, bekas anggotanya banyak yang tercerai-berai. Berbeda dengan bekas anggota organisasi paramiliter Indonesia yang kemudian diserap untuk bergabung dengan TNI, tidak ada satupun anggota PAT yang mendapatkan hak istimewa serupa. Prasangka bahwa PAT adalah organisasi anti-Republik ditengarai menjadi alasan di balik perlakuan tersebut.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Lim Seng (tengah) pemimpin milisi Pao An Tui di Medan berbincang dengan Kapten V Been dari Tentara NICA Belanda. (Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia).
Malam terasa semakin mencekam bagi penduduk Tionghoa di Tangerang dan sekitarnya. Saat itu Mei 1946, hari-hari di kala revolusi berkobar di Indonesia, ada desas-desus beredar: Laskar Rakyat akan membumihanguskan Tangerang yang dikenal sebagai buffer zone vital dan strategis penghubung dengan Jakarta dengan wilayah lain di bagian Barat. Tak mengherankan bila Belanda maupun pihak Indonesia, berupaya keras menguasai daerah itu.
Warga Tionghoa Tangerang yang sejak awal khawatir dengan keselamatan mereka, bisa bernapas lega sejenak karena rencana bumihangus itu tak terjadi. Namun ternyata situasi itu hanya berlangsung sementara. Pada 2 Juni 1946 malam, serombongan Laskar Rakyat yang dipersenjatai bambu runcing, karaben, pistol, dan samurai, menyerang penduduk Tionghoa di Tangerang Barat. Rumah dan toko diluluhlantakkan, seluruh harta benda mereka dirampok.
Dalam sekejap, kerusuhan menjalar ke berbagai wilayah di Tangerang. Menurut laporan Star Weekly, 16 Juni 1946, sebanyak 40-50 perkampungan luluhlantak; 1.200 rumah rata dengan tanah; lebih dari 700 orang Tionghoa terbunuh, 200 korban di antaranya wanita dan anak-anak; 200 orang Tionghoa dinyatakan hilang; dan kerugian materi lebih dari 7 juta rupiah. Belum lagi ribuan pengungsi yang memutuskan meninggalkan Tangerang guna mencari tempat aman.
Insiden tersebut membuat warga Tionghoa Tangerang kecewa. Mereka pun sadar bahwa perlindungan dari pemerintah Republik tidak dapat menjangkau hingga ke daerah-daerah terpencil. Menurut Tsiang Chia Tung, Konsul Jenderal Tiongkok di Batavia, sekalipun Sukarno, Sjahrir, dan Natsir mengutuk keras insiden yang terjadi di Tangerang, namun pihak Republik dipandang tidak mengambil tindakan signifikan untuk melindungi etnis Tionghoa dari potensi kekerasan lanjutan.
Tak adanya jaminan hukum yang pasti pada masa revolusi, menjadi salah satu faktor menjalarnya kerusuhan ke beberapa kota. Setelah insiden Tangerang, meletus juga berbagai peristiwa anti-Tionghoa di Bagan Siapi-api, Palembang, Bekasi, Cilimus, Jember, Madiun, Malang, dan sebagainya.
Tionghoa dalam Prahara Revolusi
Revolusi Indonesia 1945-1950 merupakan periode yang penuh kompleksitas dalam sejarah Indonesia. Soejatno dan Benedict Anderson dalam artikel Revolution and Social Tensions in Surakarta 1945-1950, menyebutkan revolusi Indonesia tidak hanya kental dengan proses dekolonisasi saja, melainkan penuh dengan gesekan sosial dan politik antar kelas.
Di masa revolusi, peristiwa kekerasan acap mewarnai perjuangan di berbagai tempat, terutama di Jawa dan Sumatra. Indonesia saat itu tengah berada dalam kondisi carut-marut. Penculikan, penghilangan paksa, penembakan, perampokan, hingga pembunuhan terjadi hampir setiap harinya.
Sartono Kartodirdjo di dalam tulisan berjudul Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktural, menyebut revolusi Indonesia berperan dalam memunculkan perpecahan antar kelompok, sebagai dampak dari krisis dan tensi politik yang semakin meruncing akibat kolonialisme Belanda. Menurut Sartono, negara saat itu tidak mampu menjamin keselamatan penduduknya, terutama mereka yang berasal dari golongan minoritas.
Di bawah hukum kolonial Belanda, orang Tionghoa dikategorikan sebagai golongan ‘Timur Asing’ (Vreemde Oosterlingen, termasuk juga Arab dan India di dalamnya). Mereka dipisahkan dengan golongan Eropa yang menempati posisi teratas dan bumiputera yang dikelompokkan pada strata terbawah. Pengkategorian ras tersebut berperan dalam menciptakan sekat-sekat di antara kelompok etnis di Indonesia. Ironisnya, diskriminasi tersebut terus diwariskan hingga mencapai puncaknya di masa revolusi, dimana ribuan orang Tionghoa menjadi sasaran kekerasan berdasarkan motif ekonomi dan tuduhan bahwa mereka bekerjasama dengan Belanda.
Dalam chapter bukunya, Anti-Chinese Actions in Southeast Asia: In Search of Causes and Solutions, Leo Suryadinata menyebutkan bahwa periode revolusi merupakan permulaan dari gerakan anti-Tionghoa pertama pasca proklamasi kemerdekaan. Sementara Anne van der Veer menulis dalam tesisnya berjudul The Pao An Tui in Medan bahwa Republik Indonesia yang baru didirikan tidak mampu melindungi etnis Tionghoa sepenuhnya dari serangan kelompok-kelompok yang memanfaatkan panji revolusi demi kepentingannya.
Kemunculan Pao An Tui
Berbagai peristiwa yang terjadi di pengujung 1945 dan awal 1946 menimbulkan kecemasan di kalangan warga Tionghoa. Tidak adanya jaminan perlindungan keamanan pada masa revolusi yang serba kacau itu mendorong mereka mengambil langkah sendiri untuk melindungi diri.
Tsiang Chia Tung kemudian mengusulkan kepada pihak Republik agar orang Tionghoa diperkenankan untuk membentuk organisasi pertahanan sendiri. Melalui Radio-Batavia, Tsiang menginformasikan kepada presiden Soekarno dan perdana menteri Amir Sjarifuddin mengenai rencana pembentukan Pao An Tui (PAT/Barisan Pertahanan Tionghoa) yang sepenuhnya akan dibiayai oleh penduduk Tionghoa.
Usulan tersebut baru dibahas dalam konferensi Chung Hua Tsung Hui (Asosiasi Tionghoa Pusat), 24-26 Agustus 1947 yang dihadiri oleh perwakilan CHTH seluruh Indonesia (kecuali CHTH Yogyakarta dan Solo). Hasil konferensi menyepakati berdirinya Pao An Tui pada 28 Agustus 1947. Sejatinya, PAT sudah berdiri lebih dulu di Medan pada Desember 1946, beberapa bulan sebelum kembalinya Belanda ke Medan. Namun pembahasan intensif mengenai fungsi, susunan, dan tujuan organisasi menjadi lebih matang dan terarah setahun kemudian.
Tujuan utama pendirian PAT adalah melindungi harta dan nyawa orang-orang Tionghoa, di samping menjaga keamanan dan ketertiban di daerah-daerah yang dianggap rawan. Regulasi organisasi semi-militer ini diatur dalam Ordonansi No. 516 tanggal 12 September 1947. Di samping itu, PAT juga berinisiatif untuk mengadakan donasi berkala yang diperuntukkan bagi orang-orang Tionghoa yang menjadi korban kekerasan.
Pihak Republik pada awalnya tidak setuju dengan ide pembentukan organisasi ini dengan alasan masih mampu menjaga keselamatan orang-orang Tionghoa di daerah kekuasaan Republik. Namun pada akhirnya pemerintah Republik tetap memberikan izin, dengan syarat tidak mengintervensi perjuangan Indonesia. Pemerintah Republik bahkan mempertimbangkan untuk menyumbangkan senjata, meskipun tidak diketahui apakah tindakan tersebut benar-benar direalisasikan.
Dimanfaatkan Belanda
Simon Hendrik Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, melihat kemunculan PAT sebagai sinyalemen positif. Merenggangnya hubungan antara etnis Tionghoa dan pemerintah Republik coba dimanfaatkan Spoor dengan jalan menarik simpati orang-orang Tionghoa yang tergabung dalam PAT. Militer Belanda menyetujui untuk memberikan PAT seragam, senjata, dan pelatihan militer di Cimahi, Bandung. Belanda juga memanfaatkan segelintir PAT untuk melaksanakan berbagai operasi militer dan bahkan mengizinkan anggota PAT untuk memegang senjata.
Namun dalam beberapa kesempatan, meletus juga beberapa bentrokan antara PAT dan Polisi Belanda yang dianggap coba mengintervensi urusan internal organisasi PAT. Menurut Anne van der Veer PAT tidak pernah sepenuhnya berada di bawah kontrol Belanda. PAT tetap tumbuh sebagai organisasi independen, yang bergerak sesuai dengan aturan, metode dan prinsip dasar organisasi.
Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa ada segelintir oknum PAT yang memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi. Menurut Roel Frakking dalam artikelnya Who Wants to Cover Everything, Covers Nothing’: The Organization of Indigenous Security Forces in Indonesia, 1945–50, beberapa oknum PAT juga dimanfaatkan pemilik modal Tionghoa sebagai centeng perkebunan.
Khusus untuk pendanaan, biaya operasional PAT berasal dari sumbangan sukarela perorangan atau keluarga Tionghoa yang berani membayar lebih guna mendapatkan perlindungan. Dana lain berasal dari berbagai kegiatan amal seperti pasar malam, kegiatan olahraga, pertunjukan musik, hingga pemutaran film yang diadakan secara berkala. Selang beberapa bulan, cabang PAT sudah tersebar seluruh kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, terkecuali Yogyakarta dan Solo mengingat pemerintah Republik berargumen masih dapat menjamin keselamatan penduduk Tionghoa di kedua wilayah tersebut. Hingga Februari 1949, sebanyak lebih dari 30 cabang PAT sudah berdiri di seluruh Jawa dan Sumatera.
Pro-Kontra Pao An Tui
Kemunculan PAT membawa angin segar bagi masyarakat Tionghoa. Mereka berlomba-lomba memberikan bantuan seperti meja, peralatan masak, peralatan makan, ke barak militer PAT yang terletak di Mangga Besar 47, Jakarta. Namun ada juga beberapa orang Tionghoa yang menentang ide pembentukan PAT. Suara oposisi datang dari Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie, anggota Partai Sosialis Indonesia. Mereka menganggap PAT ditunggangi kepentingan politik Kuomintang dan Belanda. PAT juga dianggap menyimpang dari tujuan awal karena dalam perkembangannya kelak PAT kerap dimanfaatkan pihak asing untuk mencapai tujuan tertentu.
Berdirinya PAT juga memunculkan polemik di kalangan intelektual Indonesia. Noto Soeroto, seorang aristokrat Jawa yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Belanda, menganggap kemunculan PAT dapat memperkeruh hubungan orang Tionghoa dan bumiputera. Dia khawatir bila PAT kelak akan menyalahgunakan kekuatan militernya untuk melakukan aksi balas dendam terhadap milisi Indonesia. Namun suara pro datang dari Soegardo Poerbakawatja, salah seorang pengurus Hollandsch-Inlandsche School (HIS), kemunculan PAT merupakan respons yang wajar dari etnis Tionghoa, mengingat tidak ada pihak yang berani menjamin keselamatan nyawa dan harta orang Tionghoa. Oleh karena itu, orang Tionghoa pun berhak untuk mempertahankan harta dan nyawa mereka, terutama di masa revolusi yang penuh ketidakpastian.
PAT sejatinya didesain sebagai organisasi temporer. Artinya, bila situasi keamanan sudah mulai kondusif bagi orang Tionghoa, maka PAT otomatis akan kehilangan fungsi dan peranannya. Pada Maret 1949 CHTH memutuskan untuk membubarkan seluruh PAT di Jawa dan Sumatera. Namun banyak PAT telah lebih dulu dibubarkan di berbagai tempat karena situasi keamanan dianggap sudah semakin kondusif. PAT tidak lagi mendapat dukungan dana dari para konglomerat Tionghoa, karena mereka menganggap kondisi di kota-kota besar sudah relatif aman.
Menurut Nasrul Hamdani buku dalam Komunitas Cina di Medan, setelah PAT dibubarkan, bekas anggotanya banyak yang tercerai-berai. Berbeda dengan bekas anggota organisasi paramiliter Indonesia yang kemudian diserap untuk bergabung dengan TNI, tidak ada satupun anggota PAT yang mendapatkan hak istimewa serupa. Prasangka bahwa PAT adalah organisasi anti-Republik ditengarai menjadi alasan di balik perlakuan tersebut.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email