Di daratan mereka diusir, di lautan mereka diabaikan. Orang-orang Rohingya terlunta-lunta tak tentu nasibnya.
Rohingya mengalami keadaan lebih baik semasa U Ba Swe menjabat Menteri Pertahanan pada 1959. U Ba Swe mengakui orang-orang Rohingya sama seperti ras-ras lainnya di Burma sehingga memiliki hak setara. Orang-orang Rohingya pun bisa ikut pemilihan umum pada 1960. Pemerintah bahkan membentuk Mayu Frontier Administration (MFA). Burma Broadcasting Service (BBS), stasiun radio milik pemerintah, juga mulai menyiarkan berita-berita berbahasa Rohingya dalam acara bertajuk Rohingya Language Program.
Namun, nasib baik orang-orang Rohingya tak berlangsung lama. Pada 1962, Jenderal Ne Win mengkudeta pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Seketika Burma pun berubah menjadi pemerintahan junta militer. Program-program yang berpihak kepada orang-orang Rohingya seperti MFA dihapus.
Setelah nasionalisasi ekonomi besar-besaran oleh pemerintahan Dewan Revolusioner Ne Win pada 1963, orang-orang Rohingya melintas ke Bengali. Pemberontak Mujahidin membubarkan diri, namun segera muncul gerakan baru bernama Rohingya Independence Force (RIF) pada 26 Maret 1963. Setelah itu muncul Rohingya Independence Army, Rohingya Patriotic Front (RPF), dan Rohingya National Alliance (RNA) yang bertujuan menuntut pembentukan daerah otonom bagi Muslim Rohingya di wilayah pemerintahan Burma. Gerakan-gerakan tersebut memunculkan kesadaran baru bagi orang-orang Rohingya untuk memperjuangkan wilayah dengan pemerintahan sendiri. Namun, di sisi lain, ia meningkatkan tindakan represif dari junta militer.
Identitas Rohingya pelan-pelan dihapus. Arakan, nama wilayah yang selalu identik dengan orang-orang Rohingya, secara resmi diubah menjadi Rakhine pada 1974. Empat tahun kemudian, pemerintah menggelar operasi militer bernama Naga Min. Operasi ini dilakukan dengan memeriksa kartu identitas penduduk. Semua yang tercatat sebagai Rohingya diusir. Terjadi pula pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pelanggaran lainnya, yang mendorong 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Tak lama setelah operasi Naga Min, junta militer menerbitkan Burma Citizenship Law pada 1982. Dalam undang-undang tersebut termaktub bahwa pemerintah hanya mengakui 135 kelompok warga negara yang disebut “national race”. Celakanya, Rohingya tak termasuk di dalamnya. “Rohingya adalah rakyat tanpa negara,” maklumat Jenderal Ne Win.
Sejak itulah orang-orang Rohingya tak memiliki status kewarganegaraan. Akses sekolah dan rumah sakit ditutup. Orang-orang Rohingya juga kembali mengalami pengusiran.
Simpul penting dalam kisah pengusiran orang-orang Rohingya adalah dibentuknya Nay-Sat Kut-Kwey Ye atau NaSaKa di Rakhine utara. NaSaKa terdiri dari polisi, badan imigrasi, badan intelijen, dan lembaga anti huru-hara. Lembaga ini menjadi alat junta militer untuk mengusir orang-orang Rohingya. Segera saja gelombang pengungsi Rohingya membanjiri berbagai tempat: Bangladesh, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Di tempat baru mereka hanya mendapat izin tinggal sementara atau tempat pengungsian. Namun tak sedikit yang bersikap tak ramah.
Kritik dari komunitas internasional pun mendera pemerintah Burma. “Pemerintah Burma akan memperoleh keuntungan politis dan ekonomis jika mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara. Secara politis, dunia internasional akan menilai pemerintah dan rakyat Burma sebagai masyarakat beradab dan mengakui hak asasi manusia,” tutur Apipudin.
Toh junta militer Burma bergeming. Bahkan Ye Myint Aung, konsul jenderal Burma di Hong Kong, menyebut orang-orang Rohingya “bukan orang Myanmar, bukan pula kelompok etnis Myanmar.” Dia juga menyebut orang-orang Rohingya sebagai orang-orang “sebodoh makhluk pemakan manusia.”
Hingga kini, perahu-perahu berisi orang-orang Rohingya terdampar di perairan Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Malaysia dan Indonesia dikenal sebagai persinggahan yang ramah. Namun, untuk mencapai kedua negara tersebut, para “manusia perahu” ini harus melintasi wilayah perairan Thailand, yang sering tak bersahabat. Polisi Thailand menembaki orang-orang Rohingya ketika perahu mereka memasuki perairan negara itu.
Orang-orang Rohingya selalu diusir, sementara tak ada rumah yang memanggil mereka untuk pulang.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Pengungsi Rohingya. (Foto: Wikipedia).
Rohingya mengalami keadaan lebih baik semasa U Ba Swe menjabat Menteri Pertahanan pada 1959. U Ba Swe mengakui orang-orang Rohingya sama seperti ras-ras lainnya di Burma sehingga memiliki hak setara. Orang-orang Rohingya pun bisa ikut pemilihan umum pada 1960. Pemerintah bahkan membentuk Mayu Frontier Administration (MFA). Burma Broadcasting Service (BBS), stasiun radio milik pemerintah, juga mulai menyiarkan berita-berita berbahasa Rohingya dalam acara bertajuk Rohingya Language Program.
Namun, nasib baik orang-orang Rohingya tak berlangsung lama. Pada 1962, Jenderal Ne Win mengkudeta pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Seketika Burma pun berubah menjadi pemerintahan junta militer. Program-program yang berpihak kepada orang-orang Rohingya seperti MFA dihapus.
Setelah nasionalisasi ekonomi besar-besaran oleh pemerintahan Dewan Revolusioner Ne Win pada 1963, orang-orang Rohingya melintas ke Bengali. Pemberontak Mujahidin membubarkan diri, namun segera muncul gerakan baru bernama Rohingya Independence Force (RIF) pada 26 Maret 1963. Setelah itu muncul Rohingya Independence Army, Rohingya Patriotic Front (RPF), dan Rohingya National Alliance (RNA) yang bertujuan menuntut pembentukan daerah otonom bagi Muslim Rohingya di wilayah pemerintahan Burma. Gerakan-gerakan tersebut memunculkan kesadaran baru bagi orang-orang Rohingya untuk memperjuangkan wilayah dengan pemerintahan sendiri. Namun, di sisi lain, ia meningkatkan tindakan represif dari junta militer.
Identitas Rohingya pelan-pelan dihapus. Arakan, nama wilayah yang selalu identik dengan orang-orang Rohingya, secara resmi diubah menjadi Rakhine pada 1974. Empat tahun kemudian, pemerintah menggelar operasi militer bernama Naga Min. Operasi ini dilakukan dengan memeriksa kartu identitas penduduk. Semua yang tercatat sebagai Rohingya diusir. Terjadi pula pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pelanggaran lainnya, yang mendorong 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Tak lama setelah operasi Naga Min, junta militer menerbitkan Burma Citizenship Law pada 1982. Dalam undang-undang tersebut termaktub bahwa pemerintah hanya mengakui 135 kelompok warga negara yang disebut “national race”. Celakanya, Rohingya tak termasuk di dalamnya. “Rohingya adalah rakyat tanpa negara,” maklumat Jenderal Ne Win.
Sejak itulah orang-orang Rohingya tak memiliki status kewarganegaraan. Akses sekolah dan rumah sakit ditutup. Orang-orang Rohingya juga kembali mengalami pengusiran.
Simpul penting dalam kisah pengusiran orang-orang Rohingya adalah dibentuknya Nay-Sat Kut-Kwey Ye atau NaSaKa di Rakhine utara. NaSaKa terdiri dari polisi, badan imigrasi, badan intelijen, dan lembaga anti huru-hara. Lembaga ini menjadi alat junta militer untuk mengusir orang-orang Rohingya. Segera saja gelombang pengungsi Rohingya membanjiri berbagai tempat: Bangladesh, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Di tempat baru mereka hanya mendapat izin tinggal sementara atau tempat pengungsian. Namun tak sedikit yang bersikap tak ramah.
Kritik dari komunitas internasional pun mendera pemerintah Burma. “Pemerintah Burma akan memperoleh keuntungan politis dan ekonomis jika mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara. Secara politis, dunia internasional akan menilai pemerintah dan rakyat Burma sebagai masyarakat beradab dan mengakui hak asasi manusia,” tutur Apipudin.
Toh junta militer Burma bergeming. Bahkan Ye Myint Aung, konsul jenderal Burma di Hong Kong, menyebut orang-orang Rohingya “bukan orang Myanmar, bukan pula kelompok etnis Myanmar.” Dia juga menyebut orang-orang Rohingya sebagai orang-orang “sebodoh makhluk pemakan manusia.”
Hingga kini, perahu-perahu berisi orang-orang Rohingya terdampar di perairan Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Malaysia dan Indonesia dikenal sebagai persinggahan yang ramah. Namun, untuk mencapai kedua negara tersebut, para “manusia perahu” ini harus melintasi wilayah perairan Thailand, yang sering tak bersahabat. Polisi Thailand menembaki orang-orang Rohingya ketika perahu mereka memasuki perairan negara itu.
Orang-orang Rohingya selalu diusir, sementara tak ada rumah yang memanggil mereka untuk pulang.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email