Sebagian berfikir bahwa dengan menyebarluaskan pembahasan Ghadir Khum ini maka akan menimbulkan perselisihan, padahal tidaklah demikian karena menyebarkan masalah ini sama halnya dengan menyebarkan persatuan Islam.
Shabestan News Agency, berkaitan dengan Ghadir Khum dan wilayat Imam Ali as, Hujjatul Islam Rafi’i dalam sebuah kajiaannya menjelaskan bahwa berkenaan dengan pengganti Rasulullah saww dalam memimpin umat sepeninggalnya ada tiga hipotesis sebelum masuk pada pembahasan ini, yang pertama ialah bahwasanya Rasulullah saww diam dalam masalah ini.
Namun hipotesis yang pertama akan tertolak dengan riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang adab makan, adab menyisir rambut, mewarnai baju dan masalah-masalah lainnya. Lantas bagaimana mungkin masalah kepemimpinan yang begitu penting ini Rasul saww hanya diam saja.
Hipotesis yang kedua ialah terkait dengan pembentukan syura’ untuk memilih pengganti Rasulullah saww, sementara dalam riwayat mengenai masalah ini tidak pernah dijelaskan.
Sementara yang terakhir ialah sebagaimana yang Syi’ah yakini tentang kepemimpinan sepeninggal Rasul saww berdasarkan nash Ilahi. Keyakinan ini bukan hanya miliki Syi’ah saja karena dengan adanya argumentasi-argumentasi yang kuat siapapun tidak bisa mengingkari hal ini, terangnya.
Lebih lanjut Hujjatul Islam Rafi’i menuturkan, sebagian berfikir bahwa dengan menyebarluaskan pembahasan Ghadir Khum ini maka akan menimbulkan perselisihan, padahal tidaklah demikian karena menyebarkan masalah ini sama halnya dengan menyebarkan persatuan Islam.
Maksud dari menyebarkan masalah Ghadir Khum ini yakni kita melakukan semuanya dengan berporos pada kecintaan kepada Imam Ali as serta untuk memperkokoh akidah Syi’ah, demikian jelasnya.
Berikut Penjelasannya:
Menelusuri Khutbah Rasulullah Saw di Ghadir Khum
Saw setelah menanggung berbagai derita selama 23 tahun menyebarkan risalah Ilahi bersabda, “Tidak ada nabi seperti diriku yang menanggung penderitaan berat dalam menyampaikan risalahnya.” Di akhir masa kenabiannya, Muhammad Saw saat menunaikan Haji Wada dan ketika berada di Ghadir Khum menunjuk penggantinya setelah mendapat perintah dari Allah Swt. Pengganti Nabi ini terkenal keberaniannya, ikhlas, pertama memeluk Islam, dan berulang kali telah menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang layak menggantikan sang Nabi.
Disebutkan bahwa Nabi menyadari kekuatan kaum munafik dan kebencian mereka terhadap Imam Ali bin Abi Talib as. Nabi sesaat khawatir untuk mengumumkan penggantinya, namun kemudian ayat al-Quran turun yang mensyaratkan kesempurnaan risalahnya dengan mengumumkan penggantinya serta Allah Swt akan menjaga Nabi-Nya dari kejahatan musuh.
Dengan demikian ketika rombongan haji telah tiba di Ghadir Khum yang merupakan persimpangan bagi para jamaah haji untuk kembali ke rumah masing2, Rasulullah Saw memerintahkan rombongan-nya untuk berhenti dan mendirikan kemah. Ketika jamaah haji lainnya tiba di Ghadir Khum, yang saat itu jumlahnya mencapai sekitar 120 ribu orang, Rasulullah naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya.
Setelah menyampaikan pidatonya, Nabi meminta Imam Ali naik ke mimbar dan mengangkat tangan Imam serta mengenalkan kepada umat Islam bahwa Ali bin Abi Talib adalah penggantinya. Nabi bersabda bahwa ketaatan kepada Ali bin Abi Thalib sama dengan ketaatan kepada beliau. Selanjutnya Nabi memberitahukan kepada umat Islam bahwa keluarganya (Ahlul Bait) posisinya setara dengan al-Quran. Nabi mengingatkan bahwa Ahlul Bait dan al-Quran tidak akan terpisah hingga Hari Kiamat kelak. Keduanya menurut Nabi merupakan harapan kebahagiaan umat Islam.
Tak lama setelah itu, Rasulullah Saw akhirnya menemui Tuhannya. Sang penyebar ajaran Ilahi ini setelah berjuang selama 23 tahun kemudian meninggalkan dunia yang fana ini. Adapun Allah Swt berjanji akan menjaga Kitab Suci al-Quran dari tangan-tangan jahil yang berusaha mengubahnya.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S.15:9)
Kini Ali bin Abi Talib, kelahiran Ka’bah dan besar di pangkuan Nabi, orang pertama yang memeluk Islam yang mengikuti setiap detik turunnya wahyu karena berada di sisi Rasul mulai mengkhawatirkan masa depan umat Islam.
Kini kami akan mengetengahkan khutbah Rasul dan menjadikannya peta jalan risalah beliau guna membuka kembali perjalanan umat Islam. Kami berharap dengan upaya ini umat tidak akan terjebak ke jalan menyimpang dan menjadikan mereka sebagai penyeru pesan Rasul ke dunia. Tak hanya itu, kami juga berharap pembaca menjadi rasul-rasul di tengah keluarga dan kerabatnya yang meneruskan misi Rasulullah Saw dan ajaran Ilahi.
Harapan ini selaras dengan sabda Rasul yang menyebutkan, “Wahai kalian yang hadir dan mendengar pesan ini! Wajib bagi kalian ketika pulang ke rumah masing-masing memberitahukan pesan ini kepada mereka yang tidak hadir.”
Khutbah Rasul di Ghadir Khum
“Puji-pujian hanya milik Allah. Kami memohon pertolongan, dan keyakinan, serta kepada-Nyalah kami beriman. Kami mohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan dosa-dosa perbuatan kita. Sesungguhnya tiada petunjuk bagi seseorang yang telah Allah sesatkan, dan tiada seorang pun yang sesat setelah Allah beri petunjuk baginya.”
“Hai, kaum Muslimin! ketahuilah bahwa Jibril sering datang padaku membawa perintah dari Allah, yang Maha Pemurah, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitahukan kepada kalian suatu hal. Lihatlah! Seakan-akan waktu semakin dekat saat aku akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan menyambut panggilannya.”
“Hai, Kaum Muslimin! Apakah kalian bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya. Surga adalah benar, neraka adalah benar, kematian adalah benar, kebangkitan pun benar, dan ‘hari itu pasti akan tiba, dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya?” Mereka menjawab: “Ya, kami meyakininya.”
Nabi melanjutkan: “Hai, kaum Muslimin! Apakah kalian mendengar jelas suaraku?” Mereka menjawab: “Ya.” Rasul berkata: “Dengarlah! Aku tinggalkan bagi kalian 2 hal paling berharga dan simbol penting yang jika kalian setia pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat sepeninggalku. Salah satunya memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang lain.”
Orang-orang bertanya: “Ya, Rasulullah, apakah dua hal. yang amat berharga itu?”
Rasulullah menjawab: “Salah satunya adalah kitab Allah dan lainnya adalah Itrah Ahlulbaitku (keluargaku).
Berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka ketika aku sudah tidak berada di antara kalian, karena, Allah, Yang Maha Pengasih, telah memberitahukanku bahwa dua hal. ini (Quran dan Ahlulbaitku) tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka bertemu denganku di telaga (al-Kautsar).
Aku peringatkan kalian, atas nama Allah mengenai Ahlulbaitku. Aku peringatkan kalian atas nama Allah, mengenai Ahlulbaitku. Sekali lagi! Aku peringatkan kalian, atas nama Allah tentang Ahlulbaitku!”
“Dengarlah! Aku adalah penghulu surga dan aku akan menjadi saksi atas kalian maka barhati-hatilah kalian memperlakukan dua hal. yang sangat berharga itu sepeninggalanku. Janganlah kalian mendahului mereka karena kalian akan binasa, dan jangan pula engkau jauh dari mereka karena kalian akan binasa!”
“Hai, kaum Muslimin! Tahukah kalian bahwa aku memiliki hak atas kalian lebih dari pada diri kalian sendiri?” Orang-orang berseru: “Ya, Rasulullah.” Lalu Rasul mengulangi: “Hai, kaum Muslimin? Bukankah aku memiliki hak atas kaum beriman lebih dari ada diri mereka sendiri?” Mereka berkata lagi: “Ya, Rasulullah.”
Kemudian Rasul berkata: “hai Kaum Muslim! Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan aku adalah Maula semua orang-orang beriman,” Lalu ia merengkuh tangan Ali dan mengangkatnya ke atas. la berseru: “Barang siapa mengangkatku sebagai Maula, maka Ali adalah Maulanya pula (Nabi mengulang sampai tiga kali)
Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang Yang menyelamatkannya, dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mana pun ia berpaling! (artinya, jadikan ia pusat kebenaran).
Ali adalah putra Abu Thalib, saudaraku, Washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku. Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. la adalah pemimpin kalian setelah Allah dan Utusan-Nya.”
“Hai, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian. Ketaatan padanya wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum pengembara, orang-orang Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan budak, orang-orang tua dan muda, besar dan kecil, putih dan hitam.”
“Perintahnya harus kalian taati, dan kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban bagi setiap orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang tidak mematuhinya, dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya, dan orang-orang yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang beriman. Wilayahnya (keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang Maha kuasa dan Maha tinggi, wajibkan.”
“Hai kaum Muslimin, pelajarilah Quran! Terapkanlah ayat-ayat yang jelas maknanya bagi kalian dan janganlah kalian mengira-ngira ayat-ayat yang bermakna ganda! Karena, Demi Allah, tiada seorang pun yang dapat menjelaskan ayat-ayat secara benar akan makna serta peringatannya kecuali aku dan lelaki ini (Ali), yang telah aku angkat tangannya ini di hadapan diriku sendiri.”
“Hai kaum Muslimin, inilah terakhir kalinya aku berdiri di mimbar ini. Oleh karenanya, dengarkan aku dan taatilah dan serahkan diri kalian kepada kehendak Allah. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan kalian. Setelah Allah, Rasulnya, Muhammad yang sedang berbicara kepada kalian, adalah pemimpin kalian. Selanjutnya sepeninggalku, Ali adalah pemimpin kalian dan Imam kalian atas perintah Allah. Kemudian setelahnya kepemimpinan akan dilanjutkan oleh orang-orang yang terpilih dalam keluargaku hingga kalian bertemu Allah dan Rasulnya.”
“Lihatlah, sesungguhnya, kalian akan menemui Tuhanmu dan ia akan bertanya tentang perbuatan kalian. Hati-hatilah! Janganlah kalian berpaling sepeninggalku, saling menikam dari belakang! Perhatikanlah! Adalah wajib bagi orang-orang yang hadir saat ini untuk menyampaikan apa yang aku katakan kepada mereka yang tak hadir karena orang-orang yang terpelajar akan lebih memahami hal ini daripada beberapa orang yang hadir dari saat ini. Dengarlah! Sudahkah aku sampaikan ayat Allah kepada kalian? Sudahkah aku sampaikan pesan Allah kepada kalian?” Semua orang menjawab, “Ya.” Kemudian Nabi Muhammad berkata, “Ya, Allah, saksikanlah.”
Belum lagi pertemuan akbar ini bubar, Jibril turun membawa wahyu dari Allah swt kepada Nabi-Nya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚفَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙفَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 3: 3)
Kemudian Rasul bertakbir, Allah Akbar! Selamat atas disempurnakannya agama dan disempurnakannya nikmat dan keridhaan Allah terhadap risalahku dan kepemimpinan Ali sepeninggalku.
Setelah takbir Nabi tersebut, umat Islam berduyun-duyun memberikan selamat kepada Imam Ali as. Orang paling pertama yang mengucapkan selamat kepada Imam Ali adalah Abu Bakar dan Umar. Keduanya berkata, selamat kepadamu wahai Abu Turab! Kini Kamu menjadi pemimpin kami dan maula setiap laki-laki serta wanita mukmin.
Ibnu Abbas berkata: “Saya bersumpah bahwa wilayah terhadap Ali diwajibkan bagi seluruh umat.” Hasan bin Tsabit berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan Aku mengumandangkan syair tentang Ali.” Nabi pun kemudian mengijinkan Hasan bin Tsabit membacakan syair tentang peristiwa Ghadir Khum dan pengangkatan Imam Ali as.
ینادیهم یوم الغدیر نبیهم بخم فاسمع بالرسول منادیا
*****
Antara Ghadir Khum dan Saqifah
Bagaimana mungkin seratus ribu lebih jumlah sahabat yang hadir di Ghadir Khum dan mendengarkan hadis al-Ghadir namun tiada satu pun dari mereka yang melontarkan kritikan dan protes di Saqifah?
Akar peristiwa al-Ghadir menurut nukilan sejarah merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dan dibuktikan validitasnya.
Para penulis sejarah dengan merekam pelbagai peristiwa dan menukil turun-temurun kisah ini dan menjadi sandaran masyarakat melalui jalan yang beragam, mengakui kebenaran masalah ini.
Sedemikian masalah ini argumentatif sedemikian sehingga ia dapat dijumpai pada sastra, teologi, tafsir, dan bahkan kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah dan Syiah dimana Nasai salah seorang ulama besar Ahlusunnah menukil hadis ini melalui 250 sanad.
Terlepas dari itu, berhimpunnya masyarakat sedemikian besar di Ghadir Khum bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa al-Ghadir terjadi pada tahun sepuluh Hijriah dimana dengan menyebarnya tabligh untuk Islam banyak orang yang condong untuk memeluk Islam Terkhusus kewajiban Haji yang merupakan salah satu syiar Ilahi, Nabi Saw mengumumkan pada tahun itu bahwa beliau akan ikut serta dalam musim haji tahun itu dan secara langsung beliau sendiri yang akan mengajarkan hukum-hukum haji pada tahun itu.
Sekarang pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa masyarakat yang sedemikian besar, tidak melancarkan protes dan memilih jalan untuk bungkam di hadapan penyelewengan Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir tidak menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali As?!
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sejatinya secara umum tiadanya protes para sahabat di Saqifah dapat digugurkan dan dibatalkan; karena para sahabat besar seperti Salman, Miqdad, Thalha dan sebagainya melancarkan protes kepada para pembesar Saqifah dan bahkan Zubair menghunuskan pedangnya di hadapan para pembesar Saqifah.
Dalam masalah ini, terdapat ragam kelompok sahabat dalam menyikapi hadis al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat yang memilih untuk diam; atau demi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari perpecahan dan perberaian, seperti yang dilakukan Abbas paman Nabi Saw, atau di antara mereka ada yang gentar dan takut dari ancaman para antek khalifah ketika itu. Atau di antara mereka banyak mendapatkan keuntungan dengan berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti banyak di antara sahabat yang baik atau mereka yang dari golongan Bani Umayyah. Sebagaimana terdapat kelompok lainnya bukan karena ancaman atau larangan, karena mereka mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin menyebarkan keadilan, mereka menolak untuk menentang penyimpangan di Saqifah ini. Dan terakhir, sebagian dari mereka juga, didasari oleh kebodohan dan ketidaktahuan, mengira bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang dipilih oleh Nabi Saw sebagai khalifah oleh karena itu mereka memilihnya sebagai khalifah dan membaiatnya.
Imam Ali juga sesuai dengan wasiat Nabi Saw bertugas untuk tidak membiarkan komunitas Muslimin ini bercerai-berai dan terpecah belah, karena itu beliau puluhan kali melancarkan protes pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis al-Ghadir meski protes dan penentangannya ini terbatas pada penentangan lisan saja.
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat dua kemungkinan: Kemungkinan pertama yang dapat diasumsikan adalah bahwa tiada dari kalangan sahabat yang melancarkan protes terhadap keputusan Saqifah dan adanya pengingkaran terhadap akar peristiwa al-Ghadir; Kemungkinan kedua yang dapat diasumsikan adalah tentang akar peristiwa al-Ghadir dan tiadanya protes para sahabat serta pengingkaran terhadap petunjuk hadis al-Ghadir atas wilayah (khilafah) Imam Ali As.
Untuk menjawab dua kemungkinan ini cukup bagi kita menetapkan akar peristiwa Saqifah melalui nukilan sejarah sebagaimana berikut ini.
Banyak kitab-kitab sejarah dari kalangan Sunni dan Syiah mengakui nukilan peristiwa al-Ghadir ini[1]dan memandangnya sebagai sesuatu yang pasti telah terjadi dalam sejarah kaum Muslimin.
Khalil Abdulkarim, salah seorang ulama kiwari Ahlusunnah, dalam pembahasan pengumpulan al-Qur’an, menulis: “Bilangan para sahabat Nabi Saw, pada haji al-Widâ’ (haji perpisahan, dimana peristiwa al-Ghadir terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus dua puluh empat ribu.”[2] Demikian juga Ibnu Katsir menulis, “Riwayat-riwayat dan hadis-hadis tentang peristiwa Ghadir Khum sangat mutawatirdan kami menukil peristiwa tersebut, sesuai dengan kemampuan kami (sebagian darinya).[3]
Terlepas dari kitab-kitab sejarah yang disebutkan, dalam kitab-kitab hadis Ahlusunnah, terdapat banyak riwayat yang menukil hadis Ghadir ini. Sebagian dari mereka menyebutkan hadis ini dengan satu kandungan dengan jalan yang berbeda-beda. Dimana sebagai contoh, Nasai menukil hadis ini dengan dua ratus lima puluh sanad.[4]
Kesemua ini merupakan bukti atas banyaknya jumlah sahabat pada peristiwa Ghadir Khum sehingga tidak menyisakan lagi keraguan dan sangsi, bukan pada akar peristiwa Ghadir, juga bukan pada banyaknya jumlah bilangan sahabat yang hadir ketika itu.
Terlepas dari itu, berkumpulnya manusia sedemikian besar dan banyak di Ghadir Khum ini bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa Ghadir Khum, terjadi di daerah yang bernama Rabigh,[5] sebuah daerah yang letaknya kurang-lebih dua ratus kilometer dari Mekkah. Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju Irak, Madinah,[6] Mesir dan Yaman. Dengan demikian, seluruh haji tatkala mereka usia menunaikan ibadah haji, mau-tak-mau, harus melintasi daerah ini untuk kembali ke tempat mereka masing-masing.
Dari sudut pandang kondisi waktu juga harus dikatakan bahwa peristiwa Ghadir Khum, terjadi pada 18 Dzul-Hijjah akhir bulan tahun ke-10 Hijriah.[7] Namun pada tahun itu, jumlah orang yang hadir lebih banyak dari pelaksanaan haji sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak ayat yang diwahyukan bahwa haji merupakan salah satu dari syiar Allah, dan dengan gencarnya tabligh Islam, banyak masyarakat dari pelbagai strata yang memeluk agama Ilahi ini.
Dari sisi lain, karena Nabi Saw menginstruksikan sebelum berangkat haji untuk mengumumkan bahwa beliau sendiri akan turut serta pada musim haji tahun itu dan mengajarkan langsung hukum-hukum haji.[8]
Seluruh sebab-sebab ini berujung hingga tahun tersebut, jumlah bilangan haji sangat banyak dari tahun-tahun sebelumnya dan karena peristiwa Ghadir Khum terjadi di Rabigh, lantaran kaum Muslimin belum lagi berpencar untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, peristiwa Ghadir Khum merupakan sebuah perhelatan akbar dan tiada duanya dalam sejarah kaum Muslimin.
Kemungkinan kedua bahwa bagaimana mungkin para sahabat meski mereka melihat peristiwa Ghadir Khum secara langsung dan mendengar sabda Rasulullah Saw serta baiat yang disampaikan kepada Ali As, mereka malah memilih orang lain untuk urusan khilafah yang merupakan urusan Ilahi ini? Hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum tidak menunjukkan pada wilayah (khilafah) Imam Ali As.[9]
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, klaim tiadanya protes para sahabat terkait peristiwa Ghadir Khum merupakan klaim yang tidak benar. Dan tidak sedikit para pengikut sejati yang tetap setia memegang teguh baiat dan ikrar mereka serta melarang para pembesar Saqifah dari tindakan berbahaya mereka.
Imam Ali As yang menjalankan wasiat Nabi Saw untuk tidak membiarkan kaum Muslimin bertikai dan berpecah belah, karena itu beliau hanya melakukan penentangan lisan dan tidak mengangkat senjata untuk melaksanakan titah Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu Bakar selama Fatimah As masih hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam Ali terpaksa dan berdasarkan pada kemaslahatan memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun beliau menyampaikan protes lisannya pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis Ghadir.
Sahabat-sahabat besar seperti Salman, Abu Dzar, Thalha, Zubair[10] dan lainnya angkat suara menentang keputusan Saqifah dan tidak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Melainkan mereka tidak mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan mereka menghunus pedang di hadapan para pembesar Saqifah.[11]
Sebagian lainnya seperti Abbas paman Nabi Saw, kendati ia tidak menyatakan penentangan secara terang-terangan, karena ingin menghindar dari pertumpahan darah dan perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan sokongan terhadap pembesar Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada mereka.[12]
Dari sebagian penentangan secara praktik, sekelompok besar sahabat dan juga penyandaran berketerusan Imam Ali terhadap hadis Ghadir Khum pada pelbagai kesempatan menandaskan bahwa apa yang ditegaskan oleh hadis Ghadir ini sebagai penunjukan khilafah dan wilayah Amirul Mukminin As adalah penunjukkan yang lengkap dan sahih.
Akan tetapi masyarakat awam yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum berada pada dua posisi. Sebagian mereka banyak mengambil manfaat dari kejadian Saqifah, atau dalam kondisi terpaksa atau mendapatkan ancaman sehingga memberikan baiatnya kepada para pembesar Saqifah ini.[13] Atau sebagian dari mereka, tidak mendapatkan keuntungan juga tidak terpaksa memberikan baiat, namun mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib atau mereka memiliki dendam kepadanya, karena kebanyakan dari kabilah orang-orang Kafir atau Musyrikin yang terbunuh dalam pelbagai medan perang. Sebagian lainnya disebutkan bahwa mereka memberikan baiat kepada Abu Bakar karena dasar tidak tahu. Mereka adalah orang-orang yang mendengar peristiwa Ghadir dan menyangka bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang mendapatkan rekomendasi wilayah dari Nabi Saw lalu mereka membaiatnya.[14][]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Ghadir, Sanad-e Ghuyâ-ye Wilâyat, Geruh-e Ma’arif wa Tahqiqat-e Islami.
2. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, 11 jilid.
3. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, 1 jilid.
4. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm, Ja’far Subhani.
5. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim.
6. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qubi bin Ja’far bin Abi Wadhih.
7. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi.
8. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, Muhammad Qul’aji.
9. Asrâr Âli Muhammad Saw, Salim bin Qais Hilali.
10. Farâid al-Simthain, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani.
11. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari.
12. Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abil Hadid.
13. Jamal, Syaikh Mufid.
14. Syarh Ushul Kafi, Maula Muhammad Shalih Mazandarani.
15. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi.
Catatan Kaki:
[1]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qub bin Ja’far bin Abi Wadhi, jil. 2, hal. 112.
[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.
[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.
[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.
[5]. Ibid, hal. 7.
[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.
[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, hal. 222
[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.
[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.
[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.
[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.
[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.
[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260.
[14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.
*****
Arti kata “MAULA” pada hadits al-Ghadir Khum
Karena kaum Ahlussunnah tidak bisa menolak keabsahan dari hadits al-Ghadir Khum, maka sebagian dari mereka mencari cara lain untuk mengesampingkan pentingnya hadits tersebut dengan menyimpangkan makna kata Maula yang ada dalam hadits tersebut.
Mereka menerjemahkan kata Maula itu dengan kata Teman. Jadi kalau kata Teman itu dimasukkan kedalam hadits tersebut, maka bunyi hadits itu menjadi:
“BARANGSIAPA YANG MENJADIKAN DIRIKU SEBAGAI ‘TEMAN’, MAKA ALI AKAN MENJADI ‘TEMAN’-NYA”
Padahal sebelumnya hadits itu berbunyi:
“BARANGSIAPA YANG MENJADIKAN DIRIKU SEBAGAI ‘PEMIMPIN’. MAKA ALI AKAN MENJADI ‘PEMIMPIN’-NYA”
Kebetulan kata MAULA itu bisa diterjemahkan sebagai PEMIMPIN maupun TEMAN.
Akan tetapi masalahnya ialah tidak ada seorangpun yang hadir di wadi Ghadir itu yang menangkap kata-kata Rasulullah itu dan mengartikan MAULA dengan kata TEMAN. Hassan Ibn Tsabit misalnya. Ia adalah seorang penyair yang bekerja pada Rasulullah. Ia menggubah sebuah syair atau puisi yang mengabadikan apa yang terjadi di Ghadir Khum pada waktu itu. Ia membacakan puisinya itu di depan khalayak yang hadir pada hari itu di Ghadir Khum.
FAQOLA LAHU QUM YAA ‘ALI FA INNANII
RODHIYTUKA MIN BA’DI IMAAMAN WA HADII
Rasulullah kemudian berkata kepada Ali:
“Berdirilah engkau, ya Ali! Karena aku ridho untuk menjadikanmu Imam dan Petunjuk bagi umat sepeninggalku!”
Umar bin Khattab yang juga hadir pada hari itu di tempat itu mendekat kepada Ali dan kemudian memberikan ucapan selamat kepada Ali seraya berkata:
“Selamat, selamat, ya putera Abu Thalib. Pagi ini engkau telah menjadi MAULA bagi setiap orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan.”
LIHAT rujukan berikut ini :
1. al-Khatib at-Tabrizi: Mishkatu ‘l-masabih, halaman 557
2. Mir Khwand: Habibu ‘s-siyar, volume 1, pt 3, halaman 144
3. at-Tabari: al-Wilayah, ar-Razi: at-Tafsiru ‘l-kabir, volume 12, halaman 49—50
4. Ahmad: al-Musnad, volume 4, halaman 281
5. Ibn Abi Shaybah: al-Musannah;
6. Abu Ya’la: al-Musnad
7. Ahmad ibn ‘Uqbah: al-Wilayah, dan masih banyak lagi (anda bisa juga lihat dalam kitab al-Ghadir tulisan dari al-Amini, volume 1, halaman 270—283 untuk referensi lebih lengkapnya)
***
Kembali kepada pembahasan tentang kata MAULA. Kalau seandainya kata MAULA itu diartikan dengan kata TEMAN maka akan timbul banyak sekali pertanyaan yang susah untuk dijawab seperti misalnya:
Mengapa Umar mengucapkan “SELAMAT” kepada Ali karena Ali telah diangkat menjadi TEMAN bagi setiap kaum Muslimin sebagaimana kaum Muslimin telah menjadikan Rasulullah sebagai TEMAN?
Apakah Ali telah menjadi MUSUH kaum Muslimin sehingga Rasulullah mengadakan upacara seperti itu yang disaksikan lebih dari seratus ribu orang di sebuah padang pasir yang terik bukan kepalang?
Umar bin Khattab berkata: “Selamat, selamat, ya putera Abu Thalib. Pagi ini engkau telah menjadi MAULA bagi setiap orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan.” seolah-olah Ali sebelumnya bukanlah TEMAN bagi kaum Muslimin. Mengapa Umar berkata seperti itu kalau memang kata MAULA itu diartikan dengan kata TEMAN?
Imam Ali bin Abi Thalib sendiri pada suatu kesempatan menulis sebuah surat kepada Mu’awiyyah. Di dalam surat itu tertulis kata-kata:
“DAN RASULULLAH TELAH MEMBERIKU KEKUASAAN ATAS DIRI KALIAN PADA HARI GHADIR KHUM.”
(LIHAT: al-Amini: al-Ghadir, volume 1, halaman 340)
Dan masih banyak lagi para sahabat Rasulullah yang seringkali menggunakan kata MAULA dalam puisi-puisi yang mereka ciptakan untuk menggambarkan peristiwa Ghadir Khum dengan arti kata sebagai PEMIMPIN dan bukan sebagai TEMAN.
Banyak sekali para penafsir al-Qur’an, para ahli tata bahasa Arab, dan para ahli sastra Arab yang menerjemahkan kata MAULA dengan arti SESEORANG YANG DIBERIKAN KEKUASAAN. Sebagian kecil dari mereka itu saya akan tuliskan di bawah ini sebagai contoh. Dan anda bisa melihat rujukannya sekaligus sebagai daftar pustaka yang akan memperkuat hujjah kita:
1. Ibn Abbas (dalam kitab TAFSIR, pada catatan pinggir dari ad-Durru ‘l-mantsur, volume 5, halaman 355)
2. al-Kalbi (seperti dikutip dalam kitab AT-TAFSIRU ‘L-KABIR-nya ar-Razi, volume 29, halaman 227
3. al-Alusi (dalam kitab RUHUL-IMANI, volume 27, halaman 178)
4. al-Farra (Lihat ar-Razi, ibid; dan al-Alusi, ibid)
5. Abu Ubaydah Mu’ammar ibn Muthanna al-Basri (Lihat ar-Razi, ibid; dan asy-Syarif al-Jurjani, SHARHUL-MAWAQIF, volume 3, halaman 271)
6. al-Akhfash al-Ausath (dalam NIHAYATUL ‘UQUL)
7. al-Bukhari (dalam AS-SAHIH, volume 7, halaman 240)
8. Ibn Qutaybah (dalam AL-QURTAYN, volume 2, halaman 164)
9. Abu ‘l-Abbas Tha’lab (dalam SHARHU ‘S-SAB’AH AL-MU’ALLAQAH dari Az-Zuzani)
10. at-Tabari (dalam TAFSIR-nya, volume 9, halaman 117)
11. al-Wahidi (dalam AL-WASIT)
12. ats-Tsa’labi (dalam AL-KASHF WAL BAYAN)
13. az-Zamakhshari (dalam AL-KASHSHAF, volume 2, halaman 435)
14. al-Baydawi (dalam TAFSIR-nya, volume 2, halaman 497)
15. an-Nasafi (dalam TAFSIR-nya, volume 4, halaman 229)
16. al-Khazin al-Baghdadi (dalam TAFSIR-nya, volume 4, halaman 229)
17. Muhibbud-Din Afandi (dalam TANZILUL-AYAT)
UNTUK LEBIH LENGKAPNYA BISA DILIHAT DALAM:
AL-GHADIR, tulisan Al-Amini, halaman 344—350
taken and translated from IMAMATE, an awesome work of Sayyid Saeed Akhtar Rizvi
*****
Bagaimana mungkin seratus ribu lebih jumlah sahabat yang hadir di Ghadir Khum dan mendengarkan hadis al-Ghadir namun tiada satu pun dari mereka yang melontarkan kritikan dan protes di Saqifah?
Jawaban Global
Akar peristiwa al-Ghadir menurut nukilan sejarah merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dan dibuktikan validitasnya.
Para penulis sejarah dengan merekam pelbagai peristiwa dan menukil turun-temurun kisah ini dan menjadi sandaran masyarakat melalui jalan yang beragam, mengakui kebenaran masalah ini.
Sedemikian masalah ini argumentatif sedemikian sehingga ia dapat dijumpai pada sastra, teologi, tafsir, dan bahkan kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah dan Syiah dimana Nasai salah seorang ulama besar Ahlusunnah menukil hadis ini melalui 250 sanad.
Terlepas dari itu, berhimpunnya masyarakat sedemikian besar di Ghadir Khum bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa al-Ghadir terjadi pada tahun sepuluh Hijriah dimana dengan menyebarnya tabligh untuk Islam banyak orang yang condong untuk memeluk Islam Terkhusus kewajiban Haji yang merupakan salah satu syiar Ilahi, Nabi Saw mengumumkan pada tahun itu bahwa beliau akan ikut serta dalam musim haji tahun itu dan secara langsung beliau sendiri yang akan mengajarkan hukum-hukum haji pada tahun itu.
Sekarang pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa masyarakat yang sedemikian besar, tidak melancarkan protes dan memilih jalan untuk bungkam di hadapan penyelewengan Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir tidak menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali As?!
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sejatinya secara umum tiadanya protes para sahabat di Saqifah dapat digugurkan dan dibatalkan; karena para sahabat besar seperti Salman, Miqdad, Thalha dan sebagainya melancarkan protes kepada para pembesar Saqifah dan bahkan Zubair menghunuskan pedangnya di hadapan para pembesar Saqifah.
Dalam masalah ini, terdapat ragam kelompok sahabat dalam menyikapi hadis al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat yang memilih untuk diam; atau demi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari perpecahan dan perberaian, seperti yang dilakukan Abbas paman Nabi Saw, atau di antara mereka ada yang gentar dan takut dari ancaman para antek khalifah ketika itu. Atau di antara mereka banyak mendapatkan keuntungan dengan berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti banyak di antara sahabat yang baik atau mereka yang dari golongan Bani Umayyah. Sebagaimana terdapat kelompok lainnya bukan karena ancaman atau larangan, karena mereka mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin menyebarkan keadilan, mereka menolak untuk menentang penyimpangan di Saqifah ini. Dan terakhir, sebagian dari mereka juga, didasari oleh kebodohan dan ketidaktahuan, mengira bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang dipilih oleh Nabi Saw sebagai khalifah oleh karena itu mereka memilihnya sebagai khalifah dan membaiatnya.
Imam Ali juga sesuai dengan wasiat Nabi Saw bertugas untuk tidak membiarkan komunitas Muslimin ini bercerai-berai dan terpecah belah, karena itu beliau puluhan kali melancarkan protes pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis al-Ghadir meski protes dan penentangannya ini terbatas pada penentangan lisan saja.
Jawaban Detil
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat dua kemungkinan: Kemungkinan pertama yang dapat diasumsikan adalah bahwa tiada dari kalangan sahabat yang melancarkan protes terhadap keputusan Saqifah dan adanya pengingkaran terhadap akar peristiwa al-Ghadir; Kemungkinan kedua yang dapat diasumsikan adalah tentang akar peristiwa al-Ghadir dan tiadanya protes para sahabat serta pengingkaran terhadap petunjuk hadis al-Ghadir atas wilayah (khilafah) Imam Ali As.
Untuk menjawab dua kemungkinan ini cukup bagi kita menetapkan akar peristiwa Saqifah melalui nukilan sejarah sebagaimana berikut ini.
Banyak kitab-kitab sejarah dari kalangan Sunni dan Syiah mengakui nukilan peristiwa al-Ghadir ini[1] dan memandangnya sebagai sesuatu yang pasti telah terjadi dalam sejarah kaum Muslimin.
Khalil Abdulkarim, salah seorang ulama kiwari Ahlusunnah, dalam pembahasan pengumpulan al-Qur’an, menulis: “Bilangan para sahabat Nabi Saw, pada haji al-Widâ’ (haji perpisahan, dimana peristiwa al-Ghadir terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus dua puluh empat ribu.”[2] Demikian juga Ibnu Katsir menulis, “Riwayat-riwayat dan hadis-hadis tentang peristiwa Ghadir Khum sangat mutawatir dan kami menukil peristiwa tersebut, sesuai dengan kemampuan kami (sebagian darinya).[3]
Terlepas dari kitab-kitab sejarah yang disebutkan, dalam kitab-kitab hadis Ahlusunnah, terdapat banyak riwayat yang menukil hadis Ghadir ini. Sebagian dari mereka menyebutkan hadis ini dengan satu kandungan dengan jalan yang berbeda-beda. Dimana sebagai contoh, Nasai menukil hadis ini dengan dua ratus lima puluh sanad.[4]
Kesemua ini merupakan bukti atas banyaknya jumlah sahabat pada peristiwa Ghadir Khum sehingga tidak menyisakan lagi keraguan dan sangsi, bukan pada akar peristiwa Ghadir, juga bukan pada banyaknya jumlah bilangan sahabat yang hadir ketika itu.
Terlepas dari itu, berkumpulnya manusia sedemikian besar dan banyak di Ghadir Khum ini bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa Ghadir Khum, terjadi di daerah yang bernama Rabigh,[5] sebuah daerah yang letaknya kurang-lebih dua ratus kilometer dari Mekkah. Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju Irak, Madinah,[6] Mesir dan Yaman. Dengan demikian, seluruh haji tatkala mereka usia menunaikan ibadah haji, mau-tak-mau, harus melintasi daerah ini untuk kembali ke tempat mereka masing-masing.
Dari sudut pandang kondisi waktu juga harus dikatakan bahwa peristiwa Ghadir Khum, terjadi pada 18 Dzul-Hijjah akhir bulan tahun ke-10 Hijriah.[7] Namun pada tahun itu, jumlah orang yang hadir lebih banyak dari pelaksanaan haji sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak ayat yang diwahyukan bahwa haji merupakan salah satu dari syiar Allah, dan dengan gencarnya tabligh Islam, banyak masyarakat dari pelbagai strata yang memeluk agama Ilahi ini.
Dari sisi lain, karena Nabi Saw menginstruksikan sebelum berangkat haji untuk mengumumkan bahwa beliau sendiri akan turut serta pada musim haji tahun itu dan mengajarkan langsung hukum-hukum haji.[8]
Seluruh sebab-sebab ini berujung hingga tahun tersebut, jumlah bilangan haji sangat banyak dari tahun-tahun sebelumnya dan karena peristiwa Ghadir Khum terjadi di Rabigh, lantaran kaum Muslimin belum lagi berpencar untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, peristiwa Ghadir Khum merupakan sebuah perhelatan akbar dan tiada duanya dalam sejarah kaum Muslimin.
Kemungkinan kedua bahwa bagaimana mungkin para sahabat meski mereka melihat peristiwa Ghadir Khum secara langsung dan mendengar sabda Rasulullah Saw serta baiat yang disampaikan kepada Ali As, mereka malah memilih orang lain untuk urusan khilafah yang merupakan urusan Ilahi ini? Hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum tidak menunjukkan pada wilayah (khilafah) Imam Ali As.[9]
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, klaim tiadanya protes para sahabat terkait peristiwa Ghadir Khum merupakan klaim yang tidak benar. Dan tidak sedikit para pengikut sejati yang tetap setia memegang teguh baiat dan ikrar mereka serta melarang para pembesar Saqifah dari tindakan berbahaya mereka.
Imam Ali As yang menjalankan wasiat Nabi Saw untuk tidak membiarkan kaum Muslimin bertikai dan berpecah belah, karena itu beliau hanya melakukan penentangan lisan dan tidak mengangkat senjata untuk melaksanakan titah Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu Bakar selama Fatimah As masih hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam Ali terpaksa dan berdasarkan pada kemaslahatan memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun beliau menyampaikan protes lisannya pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis Ghadir.
Sahabat-sahabat besar seperti Salman, Abu Dzar, Thalha, Zubair[10] dan lainnya angkat suara menentang keputusan Saqifah dan tidak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Melainkan mereka tidak mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan mereka menghunus pedang di hadapan para pembesar Saqifah.[11]
Sebagian lainnya seperti Abbas paman Nabi Saw, kendati ia tidak menyatakan penentangan secara terang-terangan, karena ingin menghindar dari pertumpahan darah dan perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan sokongan terhadap pembesar Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada mereka.[12]
Dari sebagian penentangan secara praktik, sekelompok besar sahabat dan juga penyandaran berketerusan Imam Ali terhadap hadis Ghadir Khum pada pelbagai kesempatan menandaskan bahwa apa yang ditegaskan oleh hadis Ghadir ini sebagai penunjukan khilafah dan wilayah Amirul Mukminin As adalah penunjukkan yang lengkap dan sahih.
Akan tetapi masyarakat awam yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum berada pada dua posisi. Sebagian mereka banyak mengambil manfaat dari kejadian Saqifah, atau dalam kondisi terpaksa atau mendapatkan ancaman sehingga memberikan baiatnya kepada para pembesar Saqifah ini.[13] Atau sebagian dari mereka, tidak mendapatkan keuntungan juga tidak terpaksa memberikan baiat, namun mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib atau mereka memiliki dendam kepadanya, karena kebanyakan dari kabilah orang-orang Kafir atau Musyrikin yang terbunuh dalam pelbagai medan perang. Sebagian lainnya disebutkan bahwa mereka memberikan baiat kepada Abu Bakar karena dasar tidak tahu. Mereka adalah orang-orang yang mendengar peristiwa Ghadir dan menyangka bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang mendapatkan rekomendasi wilayah dari Nabi Saw lalu mereka membaiatnya.[14][]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Ghadir, Sanad-e Ghuyâ-ye Wilâyat, Geruh-e Ma’arif wa Tahqiqat-e Islami.
2. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, 11 jilid.
3. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, 1 jilid.
4. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm, Ja’far Subhani.
5. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim.
6. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qubi bin Ja’far bin Abi Wadhih.
7. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi.
8. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, Muhammad Qul’aji.
9. Asrâr Âli Muhammad Saw, Salim bin Qais Hilali.
10. Farâid al-Simthain, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani.
11. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari.
12. Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abil Hadid.
13. Jamal, Syaikh Mufid.
14. Syarh Ushul Kafi, Maula Muhammad Shalih Mazandarani.
15. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi.
Catatan Kaki:
[1]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qub bin Ja’far bin Abi Wadhi, jil. 2, hal. 112.
[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.
[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.
[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.
[5]. Ibid, hal. 7.
[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.
[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, hal. 222
[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.
[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.
[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.
[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.
[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.
[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260.
[14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.
*****
Peristiwa Ghadir
Lukisan Idul Ghadir karya Mahmoud Farcshian
Peristiwa al-Ghadir (Bahasa Arab: واقعة الغدير ) sesuai dengan keyakinan Syiah merupakan perstiwa terpenting sejarah Islam. Pertistiwa ini terjadi ketika Nabi Muhammad Saw kembali dari Haji Wada' yang mengenalkan Imam Ali As sebagai wali dan khalifahnya di sebuah tempat bernama Ghadir Khum. Orang-orang yang ada hadir di tempat itu kebanyakan adalah sahabat utama dan para pembesar kaumnya. Mereka pada hari itu dan di tempat itu memberikan baiat kepada Imam Ali As.
Tentang Peristiwa Al-Ghadir
Perjalanan Haji
Artikel utama: Haji Perpisahan
Berdasarkan riwayat, Nabi Muhammad Saw pada 24 atau 25 Dzulkaidah tahun ke-10 bersamaan dengan ribuan orang untuk mengadakan manasik haji bergerak dari Madinah ke arah Mekah. [1] Perjalanan Rasulullah Saw ini disebut dengan nama Haji Wada', hajjatul Islam dan hajjat al-balagh. Pada bulan itu, Imam Ali As pergi ke Yaman untuk bertabligh, namun ketika beliau mengetahui tentang rencana perjalanan haji Nabi Muhammad Saw, maka beliau bersama beberapa sahabat lainnya bergerak ke arah Mekah dan sebelum manasik haji dimulai, ia bergabung dengan Nabi Muhammad Saw. [2] Amalan haji pun selesai dan Nabi Saw bersama dengan kaum Muslimin meninggalkan Mekah dan bergerak menuju Madinah.
Turunnya Ayat Tabligh
Artikel utama: Ayat Tabligh
Kaum Muslimin yang melaksanakan ibadah haji pada hari Kamis, 18 Dzulhijjah sampai di sebuah tempat bernama Ghadir Khum dan sebelum terjadi perpisahan antara penduduk Syria, Mesir dan Irak dari rombongan malaikat Jibril dari sisi Allah Swt menurunkan ayat tabligh kepada Nabi Muhammad Saw dan memerintahkan supaya Nabi Muhammad Saw mengenalkan wali dan wasiy setelah wafatnya diri Nabi.
Setelah turunnya ayat ini, Nabi Saw memerintahkan karavan haji untuk berhenti dan berkata bahwa mereka yang telah sampai di depan supaya kembali dan karavan yang masih dibelakang diperintahkan untuk segera bergabung dengan karavan yang telah sampai di Ghadir Khum. [3]
Foto lokasi Ghadir Khum
Penyampaian Khutbah
Artikel utama: Khutbah al-Ghadir
Nabi Muhammad Saw, setelah mengerjakan salat Dhuhur, menyampaikan khutbah yang terkenal dengan nama Khutbah al-Ghadir. Pada khutbah itu ia menyampaikan:
"Segala puji syukur hanya bagi Allah Swt dan dari-Nya aku mohon pertolongan dan aku beriman kepada-Nya dan kami memohon pertolongan dari-Nya dari bujukan hawa nafsu yang tercela…Allah Swt yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui mengabarkan kepadaku bahwa aku akan segera kembali kepada-Nya, aku akan segera memenuhi panggilan-Nya… Aku akan datang terlebih dahulu di tepi telaga Kautsar kemudian kalian akan memasuki telaga itu, oleh itu, perhatikanlah setelahku, bagaimana kalian akan memperlakukan tsaqalain, tsiql akbar (al-Quran) dan tsiql yang lain (itrahku)…."
Kemudian Rasulullah mengangkat tangan Imam Ali As sehingga orang-orang melihatnya:
"Wahai manusia!Bukankah aku lebih memiliki wilayah atas kalian? Orang-orang menjawab: 'Iya, wahai Rasulullah!' Kemudian Nabi Saw melanjutkan: 'Allah Swt adalah waliku dan Aku adalah wali kaum Mukminin dan Aku lebih memiliki wilayah (otoritas) atas diri kalian sendiri. Oleh itu, siapa saja yang menjadikan aku sebagai pempimpin (maula) maka Ali adalah pemimpin baginya.'
Rasulullah mengulangi kalimat ini sebanyak 3 kali dan bersabda:
"Ya Allah cintailah orang-orang yang mencintai Ali dan menjadikannya sebagai maulanya dan musuhilah orang-orang yang memusihinya, tolonglah orang-orang yang menolongnya, tinggalkanlah orang yang meninggalkannya. Kemudian Nabi Saw berkata kepada orang-orang: Wahai kalian yang hadir, sampaikan pesan ini kepada orang-orang yang gaib (tidak hadir)."
Ilustrasi Peristiwa Ghadir Khum
Turunnya Ayat Ikmal
Artikel utama: Ayat Ikmal
Ketika karavan itu belum berpisah, Malaikat Jibril turun untuk kedua kalinya untuk menyampaikankan ayat ke-3 surah al-Maidah yang terkenal dengan nama ayat ikmal.
«الْیوْمَ أَکمَلْتُ لَکمْ دینَکمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَیکمْ نِعْمَتی وَ رَضیتُ لَکمُ الْإِسْلامَ دیناً»
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu."
Ucapan Selamat kepada Imam Ali As
Pada saat itu, orang-orang yang hadir memberikan ucapan selamat kepada Imam Ali As. Sahabat-sahabat yang pertama kali memberi ucapan kepada Imam Ali As terlebih dahulu dari pada yang lainnya adalah Abu Bakar dan Umar. Umar selalu berkata kepada Imam Ali As: "Selamat atasmu, Wahai putra Abu Thalib! Anda telah menjadi maulaku dan maula setiap laki-laki dan perempuan beriman." [4]
Nabi Muhammad Saw memerintahkan supaya kemah-kemah didirikan untuk Imam Ali As dan meminta kaum Muslimin untuk mendatangi Imam Ali As secara ramai-ramai dan mengakui Imam Ali As sebagai pemimpin bagi kaum Muslimin dan memberi salam kepadnya. Semua orang-orang, termasuk para istri Nabi dan para istri kaum Muslimin menjalankan perintah Nabi itu.[5]
Jumlah yang Hadir
Terkait dengan orang-orang yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum terdapat perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan 10 ribu orang, [6], 12 ribu orang[7], 17 ribu orang, [8] dan 70 ribu orang. [9]
Dengan memperhatikan orang-orang yang hadir pada peristiwa al-Ghadir dan penduduk Madinah pada tahun ke-10 Hijriah, demikian juga dengan memperhatikan orang-roang yang hadir di Mekah pada pelaksanaan Hajjatul Wada, maka pendapat yang mengatakan bahwa jumlah yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum sebanyak 10 ribu orang adalah lebih bisa dipercaya. [10]
Periwayat Ghadir Khum
Hadis Ghadir dinukil dari literatur Syiah dan Sunni dan sebagian hadis seperti "Man Kuntu Maulahu Fahadza Aliyyun maula" (Barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya) adalah hadits mutawatir. [11] Banyak sahabat dan tabiin yang menukil hadis ini. Periwayat hadis Ghadir Khum sangat banyak, di antaranya: Ahlulbait As, yaitu Imam Ali As, Hadhrat Fatimah Sa, Imam Hasan As dan Imam Husain As. Kemudian nama-nama kira-kira lebih dari 110 sahabat nabi di antaranya: Umar bin Khatab, [12] Utsman bin Affan, [13] Aisyah binti Abu Bakar, [14] Salman Farsi, [15] Abu Dzar, [16] Zubair bin Awwam, [17] Jabir bin Abdillah al-Anshari,[18]Abbas bin Abdul Muthalib, [19]Abu Hurairah[20]dan lainnya dimana semua sahabat itu hadir di telaga al-Ghadir dan meriwayatkan hadis al-Ghadir secara langsung.
Demikian juga para tabiin meriwayatkan hadis al-Ghadir yaitu sebanyak 83 tabiin, seperti: Asbagh bin Nubatah, [21] Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah Bani Umayyah. [22]Setelah para tabiin, di antara ulama Ahlusunnah semenjak kurun ke dua hingga kurun ke empat belas, ada sebanyak 360 orang menukil hadis al-Ghadir, misalnya: Imam Syafi'i, [23]Imam Hanbali, [24] Ahmad bin Syua'aib Nasai, [25] Ibn Maghazali, [26] Ahmad bin Abdullah, [27] dan Ahmad bin ‘Abdur-Rabih. [28]
Di antara ulama hadis dan ulama Syiah juga terdapat tokoh-tokoh yang menuliskan hadis al-Ghadir dalam berbagai kitab-kitab mereka seperti: Syaikh Kulaini, Syaikh Shaduq, Sayid Murtadha dan lainnya. [29]Sangat banyak ulama-ulama yang menilai bahwa hadis al-Ghadir termasuk kategori hadits hasan dan sebagian lainnya lagi menilai hadis al-Ghadir sebagai hadis yang sahih. [30] Demikian juga semua ahli hadis Syiah dan sebagian ulama Sunni menilai hadis al-Ghadir sebagai hadis mutawatir.[31]
Ayat-ayat yang Turun Sehubungan dengan Peristiwa al-Ghadir
Sesuai pendapat mufasir Syiah[32] dan Sunni[33] beberapa ayat dari al-Quran yang menggambarkan tentang peristiwa al-Ghadir turun di Haji Perpisahan.
1. Ayat 3 Surah al-Maidah yang terkenal dengan nama ayat Ikmal:
« ...اَلْیَوْمَ أَکْمَلْتُ لَکُمْ دِیْنَکُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَیْکُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِیْتُ لَکُمُ الْإِسْلَامَ دِیْنًا...»
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu."
2. Ayat 67 Surah al-Maidah yang terkenal dengan nama ayat tabligh:
«يَأَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ وَإِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَٱللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ»
"Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia."
3. Ayat 1 dan 2 Surah al-Ma'arij
«سَأَلَ سَآئِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ . لِّلْكَٰفِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ»
"Seseorang peminta telah meminta kedatangan azab, (dan azab itu) telah terjadi, untuk orang-orang kafir, (dan) tak seorang pun dapat menolaknya."
Setelah Nabi Muhammad Saw mengumumkan wilayah Imam Ali As kepada masyarakat, seseorang bernama Nu'man bin Harits Fihri mendekati Nabi Saw dan memprotes beliau. Ia kepada Nabi Saw berkata: Anda perintahkan kami untuk mengimani tauhid, menerima risalah dan melaksanakan jihad, haji, risalah, salat dan zakat; Kami mengabulkan permintaan Anda, namun Anda belum ridah juga dengan ketaatan kami sehingga seorang pemuda Anda angkat dan engkau jadikan ia wali bagi kami. Apakah pengumuman ini berasal dari Anda ataukah dari sisi Allah Swt? Ketika Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa hal itu berasal dari sisi Allah Swt, dengan keadaan mengingkari ia meminta agar apabila hukum ini berasal dari sisi Allah Swt, maka turunkan batu dari langit sehingga akan menimpa kepalanya. Pada saat itu juga, turunlah batu yang mengenai kepalanya dan ia meninggal seketika itu pula. [34]
Al-Ghadir dalam Tuturan Para Maksum
Imam Ali As bersabda: "Wahai kaum Muslimin, Muhajirin dan Anshar! Apakah kalian tidak mendengar bahwa Rasululullah Saw pada hari Ghadir Khum tidak bersabda begini dan begitu?' Para hadirin menjawab: 'Iya.'" [35]
Fatimah Zahra Sa: "Seolah-olah kalian tidak mengetahui apa-apa yang disabdakan Nabi Saw pada hari Ghadir Khum? Aku bersumpah demi Tuhan pada hari itu adalah hari pengukuhan wilayah dan imamah bagi Ali As, sehingga akar keserakahan Anda akan lenyap." [36]
Imam Hasan As bersabda: "Kaum muslimin melihat Nabi Saw dan dari beliau mendengar bahwa ketika Nabi Saw mengangkat tangan ayahku pada hari Ghadir Khum, Nabi Saw berkata kepada orang-orang: "Seseorang yang menganggap aku sebagai maula dan pemimpinnya, maka Ali adalah maula dan pemimpin baginya." [37]
Imam Husain As bersabda, "Rasulullah Saw mengajarkan semua adab-adab baik kepada Ali As, dan ketika Ali As sudah kuat dan kokoh, maka tanggung jawab wilayah dilimpahkan kepadanya dan pada hari Ghadir bersabda siapa saja yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maula dan pemimpinnya." [38]
Imam Ridha As bersabda: "Hari Ghadir adalah hari yang paling masyhur di antara ahli langit dari pada ahli bumi….Apabila manusia mengetahui pentingnya hari ini, tak diragukan lagi bahwa para malaikat akan bersalam-salaman setiap hari dengan mereka sebanyak 10 kali." [39]
Penyair-Penyair Ghadir
Abad Pertama | Abad Kedua | Abad Ketiga | Abad Keempat | Abad Kelima | Abad Keenam | Abad Ketujuh | Abad Kedelapan | Abad Kesembilan | Abad Kesepuluh | Abad Kesebelas | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Amirul Mukminin Ali As | Abul Mustahal Kumait | Abu Tamam Thai | Ibnu Thabathabai Isfahani | Syarif Radhi | Abul Hasan Panjakardi | Abul Hasan Al-Manshur Billah | Ibnu Dawud Hilli | Ibnu al-Arandas al-Hilli | Ibrahim bin Kaf'ami | Ibnu Abi Syafin al-Bahrani | |
Hasan bin Tsabit | Sayid Himyari | Daghbal Khazai | Ibnu Alawiyah Isfahani | Sayid Murtadha | Akhthab Khawarizmi | Majduddin bin Jamil | Jamaluddin Khu’i | Ibnu Daghir Hilli | Izzuddin Amili | Zainuddin Hamidi | |
Qais Anshari | Abdi Kufi | Abu Ismail Alawi | Mufajja’ | Mihyar Dailami | Qadhi Ibnu Quds | Abul Hasan Jazzar | Suraiji Awwali | Hafizh Bursi Hilli | Syaikh Husain Karaki | ||
Amr bin Ash | Wamiq Nashrani | Abu Qasim Shanubari | Abu Ali Bashir | Abul Gharat Milku Shalih | Qadhi Nizhamuddin | Shafiyuddin Hilli | Dhiyauddin al-Hadi | Syaikh Bahai | |||
Muhammad Himyari | Ibnu Rumi | Abu Faras Hamadani | Abul ‘Ala Mu’arri | Quthbuddin Rawandi | Syamsuddin Mahfuzh bin Wasyah | Syaibani Syafi'i | Al-Hasan Ali Abi Abdul Karim | Syaikh Hurr al-Amili | |||
Humani Afwah | Abu Najib Thahir | Ibnu Jabr Mishri | Abul Ma’ali Al-Qadhi Jalis | Bahauddin Arbili | Syamsuddin Maliki | Husain bin Syahab Karaki[40] |
Idul Ghadir dalam Islam
Artikel utama: Idul Ghadir
Kaum Muslimin, khususnya muslim Syiah merayakan hari al-Ghadir sebagai hari raya utama mereka. Dikalangan mereka, hari raya ini dikenal dengan nama hari raya al-Ghadir. [41]Sedemikan sehingga mereka berbaiat kepada Muata'ali bin Mustanshar (seorang hakim Mesir) pada hari Idul Ghadir pada tahun 487. [42] Demikian juga diriwayatkan dari Ahlu Sunah bahwa barang siapa yang berpuasa pada tanggal 18 Dzulhijjah, maka Allah Swt akan menuliskan pahala baginya seolah-olah berpuasa selama 6 bulan dan hari ini adalah hari Idul Ghadir. [43] Malam Idul Ghadir juga merupakan salah satu malam yang memiliki keutamaan di antara kaum Muslimin. [44]
Rasulullah Saw bersabda: Hari raya Ghadir adalah hari terbaik umatku dan hari itu adalah hari ketika Allah Swt memerintahkan bahwa pada hari itu, saudaraku, Ali bin Abi Thalib As diangkat sebagai pemegang panji umatku, sehingga setelahku, masyarakat akan terhidayahi dengan perantaranya dan hari itu adalah hari ketika disempurnakan nikmatnya dan agama Islam sebagai agama yang diridhai bagi mereka. [45]
Imam Shadiq As: Hari Ghadir Khum adalah hari raya besar bagi Allah Swt, Allah Swt tidak mengutus Nabinya kecuali pada hari ini dijadikan hari raya, kebesarannya telah diakui dan diketahui, nama hari ini di langit adalah hari perjanjian, dan di bumi hari perjanjian dan kehadiran bagi semuanya. [46]
Literatur-literatur untuk mempelajari Ghadir lebih lanjut
Kitab Al-Ghadir fi l-Kitāb wa al-Sunah wa al-Adab terkenal dengan al-Ghadir, Allamah Amini
1. 'Abaqāt al-Anwār fi Imāmah al-Aimah al-Athar, (hadis al-Ghadir),Mir Hamid Husain Kanturi Lakanhui
2. Ghadir dar Aineh Kitāb, Muhammad Anshari, dalam bahasa persi
3. Chāhardah Qarn bā Ghadir, Muhammad Baqir Anshar, salam bahasa persi
4. Hamegān bā Payāmbar dar Hujatul Wada, Husain Watsaqi
5. Al-Ghadir wa al-Mu'aridhun, Sayid Ja'far Murtadha Amili, dalam bahasa Arab
6. Al-Ghadir fi l-Islām, Muhammad Ridha Farajullah Khalfi Najafi, dalam bahasa Arab
7. Syarah wa Tafsir Khutbah Payāmbar Akram dar Ghadir Khum, Sayid Muhammad Taqi Tsaqafi, bahasa Arab
Catatan Kaki
- ↑ Thabarsi, Ihtijāj, jld. 1, hlm. 56; Mufid, hlm. 91; Halabi, jld. 3, hlm. 308.
- ↑ Halabi, jld. 3, hlm. 318 dan 319; Mufid, hlm. 92.
- ↑ Nasai, hlm. 25
- ↑ Ahmad Hanbal, jld. 4, hlm. 281, Mufid, hlm. 94.
- ↑ Mufid, jld. 1, hlm. 176; Qumi, jld. 1, hlm. 268; Amini, jld. 1, hlm. 9-30.
- ↑ ‘Ayāshi, jld. 1, hlm. 332.
- ↑ ‘Ayāsyi, jld. 1, hlm. 329.
- ↑ Sya'iri, hlm. 10.
- ↑ Thabarsi, Ihtijaj, hlm. 56.
- ↑ Sayid Jalal Imam, Maqalah Barrasi Te'dad Jam'iyat Hadir dar Ghadir.
- ↑ Muthahhari, hlm. 113-114.
- ↑ Muhib Thabari, jld. 2, hlm. 161.
- ↑ Ibnu Maghazali, hlm. 27.
- ↑ Ibnu Uqdah, hlm. 152.
- ↑ Hamuini Juwani, jld. 1, hlm. 315.
- ↑ Hamuini Huwani, jld. 1, hlm. 315.
- ↑ Ibnu Maghazai, hlm. 37.
- ↑ Mutaqi Hindi, jld. 6, hlm. 398.
- ↑ Jazri Syafi'i, hlm. 3 dan 48.
- ↑ Mutaqi Hindi, jld. 6, hlm. 154.
- ↑ Ibnu Atsir, jld. 3, hlm. 307.
- ↑ Abu Na'im jld. 5, hlm. 364.
- ↑ Baihaqi, jld. 1, hlm. 337.
- ↑ Ahmad, jld. 1, hlm. 84, 118 dan 331.
- ↑ Nasai, jld. 5, hlm. 45.
- ↑ Ibnu Maghazali, hlm. 16.
- ↑ Ahmad bin Abdullah, hlm. 67 dan 87.
- ↑ Ahmad bin Abduriyah, jld. 2, hlm. 275.
- ↑ Amini, jld. 1, hlm. 14 dst.
- ↑ Turmudzi, jld. 5, bab 20.
- ↑ Ibnu Katsir, jld. 5, hlm. 233; Thusi, Talkhish al-Shāfi, jld. 12, hlm. 168.
- ↑ Thusi, Al-Tebyān, jld. 3, hlm. 436 dan 578; Thabarsi, Majma' al-Bayan, jld. 3 hlm. 274 dan 380; Thabathabai, jld. 5, hlm. 193-194.
- ↑ Wahidi Neisyaburi, hlm. 126; Hakim Huskani, jld. 1, hlm. 200 dan 249.
- ↑ Thabarsi, jld. 10, hlm. 530; Qurthubi, jld. 19, hlm. 278; Tsa'labi, jld. 10, hlm. 35.
- ↑ Shaduq, Khishāl, hlm. 505.
- ↑ Thabarsi, Ihtijāj, jld. 1, hlm. 80.
- ↑ Shaduq, Amāli, jld. 2, hlm. 171.
- ↑ Rei Syahri, jld. 2, hlm. 232.
- ↑ Thusi, Tahdzib al-Ahkām, jld. 6, hlm. 24.
- ↑ Lihat: Al-Ghadir, jld. 2-11.
- ↑ Abu Raihan Biruni, hlm. 95.
- ↑ Ibnu Khallaqan, jld. 1, hlm. 60.
- ↑ Khatib Baghdadi, jld. 8, hlm. 290.
- ↑ Tsa'alabi, hlm. 511.
- ↑ Shaduq, Amali, hlm. 125.
- ↑ Hur Amili, jld. 5, hlm. 224.
Daftar Pustaka
- Al-Quran
- Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah, Riset: Muhammad Ibrahim Bana, Dar al-Sya'b, Qahirah
- Ibnu Khallaqan, Wafayat al-A'yān, Riset: Ihsan Abas, Dar al-Tsaqafah, Libanon
- Ibnu Abdurriyah, Dar wa Maktabah al-Hilal, Beirut.
- Ibnu Uqdah Kufi, Kitab al-Wilāyah, Riset: Abdul Razaq Harz din, Intisyarat Dalil Ma, Qum.
- Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Riset: Ali Syiri, Dar Ihya al-Tsuratsh, Beirut.
- Ibnu Maghazali, Manāqib Ali bin Abi Thalib, Maktabah Islamiyah, Tehran.
- Abu Raihan Biruni, Atsar al-Baqiyah, Intisyarat Ibnu Sina, Tehran.
- Abu Na'im, Hilyah al-Auliya, Dar al-Kitab ak-Arabi, Beirut.
- Ahmad bin Abdullah Thabari, Dzakhair al-Uqba, Maktabah al-Qudsi, Qahirah.
- Ahmad Hanbal Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, Beirut.
- Imam, Sayid Jalal, Majalah Tārikh dar Aineh Parwarisy, Zemestan 1386, vol. 4.
- Amini, Al-Ghadir, Dar al-Kitab ak-Arabi, Beirut.
- Baihaqi, Manāqib al-Syafi'i, Riset: Sayid Ahmad Saqar, Maktabah Dar al-Tsurats, Qahirah.
- Turmudzi, Sunan Turmudzi, Dar al-Ma'rifah, Beirut.
- Tsa'alabi, Tsamar al-Qulub, Riset Ibrahim Saleh, Dar al-Basyair, Damisyq
- Tsa'labi, Al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsir al-Qurān, Dar Ihya al- Tsurats al-Arabi, Beirut, 1422.
- Jazri Syafi'I, Asna al-Mathalib, Riset: Muhammad Hadi Amini, Mathbu'ah Imam Amiral Mukminin, Isfahan.
- Hakim Huskani, Syawāhid al-Tanzil, Riset: Muhammad Baqir Mahmudi, Wezarat Irsyad Islami, Tehran.
- Hur Amili, Wasāil Syiah, Muasasah Ali al-Bayt, Qum.
- Halabi, Al-Sirah al-Halabiyah, Dar al-Ma'rifah, Beirut.
- Hamuini Juwaini, Farāid Simthain, Riset: Muhammad Baqir Mahmudi, Muasasah Mahmudi, Beirut.
- Khatib Baghdadi, Tārikh Baghdadi, Riset: Musthafa Abdul Qadir, Dar al-Kitab Ilmiyah, Beirut.
- Rei Syahri, Mausu'ah al-Imam Ali bin Abi Thalib, Dar al-Hadis, Qum.
- Sya'iri, Jāmi al-Akhbār, Intisyarat Radhi, Qum.
- Syaikh Shaduq, Amāli, Riset: Muasasah Bi;tsah, Qum.
- Thabathabai, Al-Mizān, Jamiah Mudarisin, Qum.
- Thabarsi, Al-Ihtijaj, Nasyar Murtadha, Masyhad.
- Thabarsi, Majma' al-Bayān, Muasasah A'lai lil Mathbu'ath, Beirut.
- Thusi, Al-Tibyān, Riset: Ahmad Habib Qushair, Maktab I'lam al-Islami.
- Thusi, Talkhish al-Syāfi, Riset: Sayid Husain Bahrul Ulum, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Tehran.
- Thusi, Tahdzib al-Ahkām, Sayid Hasan Musawi Khurasan, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Tehran.
- ‘Ayasyi, Kitāb Tafsir, Terjemah Sayid Hasyim Rasuli Mahalati, Cet. Ilmiyah, Tehran.
- Qurthubi, Al-Jami' li Ahkām al-Qurān, Nasyir Khosro, Tehran, 1364 S.
- Qumi, Muntaha al-Amāl, cet. Naqsy Negin, Isfahan.
- Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, Muasasah al-Risalah, Beirut.
- Majlisi, Bihar al-Anwār, Muasasah al-Wafa, Beirut.
- Muhibuddin Thabari, Al-Riyadh al-Nadhirah, Dar al-Nadwah, Beirut.
- Mufid, Irsyad, Muasasah Alu al-Bait, Qum.
- Muthahhari, Murtadha, Imamat wa Rahbari, Intisyarat Sadra, Cet. 2, Tehran, Urdibehesy, 1364.
- Nasai, Sunan Kubra, Riset: Abdul Ghafar Sulaiman, Dar al-Kitab Ilmiyah, Beirut.
- Wahidi, Naisyaburi, Asbab Nuzul al-Ayat, Muasasah Halabi, Qahirah.
(ICC-Jakarta/Islam-Itu-Cinta/Wiki-Shia/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email