Setelah menuai kecaman dunia internasional, Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato tentang tragedi yang menimpa warga di Rakhine State. Dalam pidatonya di hadapan komunitas diplomatik dan disiarkan secara internasional pada 19 September 2017, Daw Suu Kyi yang menjabat penasihat negara dan menteri luar negeri itu mengatakan Myanmar (dia menggunakan nama Burma) tidak takut diteliti atas apa yang terjadi di Rakhine State.
Kekerasan bersenjata yang terjadi di sana sejak 25 Agustus 2017 telah menyebabkan lebih dari 400.000 warga Muslim Rohingya lari menyelamatkan diri ke Bangladesh.
Suu Kyi menyampaikan pidato setelah mendapat tekanan bertubi-tubi dari dunia internasional, termasuk PBB. Bahkan, Menteri Luar Negeri se-ASEAN dijadwalkan akan bertemu di New York untuk membahas krisis yang menimpa warga etnis Rohingya.
Pidato Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian, disampaikan selama 30 menit dalam bahasa Inggris, dan disiarkan televisi negara, tanpa teks terjemahan dalam bahasa Burma.
Dalam pidatonya, Aung San Suu Kyi mengatakan: “Mayoritas dari desa-desa Rohingya tidak terdampak kekerasan.”
FAKTA: Pada tanggal 7 September 2017, Pelapor Khusus Hak-Hak Asasi Manusia dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Myanmar Yanghee Lee mengatakan lebih dari 1.000 orang, mayoritas warga Rohingya, kemungkinan telah terbunuh di Arakan atau Rakhine State.
Aung San Suu Kyi juga mengatakan: “Sejak tanggal 5 September, tidak terjadi lagi bentrokan bersenjata, dan tidak terjadi lagi operasi mengamankan situasi (dari pihak militer).”
FAKTA: Dari gambar satelit Amnesty International, diperoleh informasi bahwa antara tanggal 25 Agustus sampai 11 September 2017, sedikitnya ada 26 desa Rohingya yang dibakar di bagian utara Araakan State. Organisasi Human Right Watch melaporkan ada 62 desa di kawasan ini yang dibakar di antara tanggal 25 Agustus sampai tanggal 14 September 2017.
Aung San Suu Kyi berkata: “Dalam jumlah mayoritas yang besar, warga Muslim di area konflik masih menetap di sana, dan lebih dari 50% desa-desa yang dihuni warga Muslim, dalam keadaan utuh. Kondisi mereka sama saja dengan sebelum ada serangan.”
FAKTA: Pada tanggal 19 September, organisasi PBB untuk pengungsi, UNHCR, memperkirakan ada 421.000 warga Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kawasan Rakhine State di utaara Myanmar ke wilayah Bangladesh. Kondisi ini terjadi sejak 25 Agustus 2017.
Aung San Suu Kyi juga dianggap berlagak tidak tahu dengan apa yang terjadi di negerinya, meskipun dia adalah pemimpin partai politik yang menguasai mayoritas kursi di parlemen Myanmar.
Pidato Aung San Suu Kyi: “Kami ingin mencari tahu mengapa eksodus terjadi.”
Padahal, dalam laporan finalnya, yang diterima Suu Kyi pada 24 Agustus 2017, sehari sebelum serangan ke warga di Rakhine State, Komisi Penasihat atas Rakhine State telah mengindentifikasi sejumlah isu, termasuk masalah tanpa status kewarganegaraan yang dialami warga Muslim Rohingya, sebagaimana tantangan kondisi ekonomi yang dihadapi Rakhine State, serta operasi polisi dan militer di provinsi itu. Laporan itu menyebutkan: “Operasi militer dan polisi yang dilakukan kemudian telah membuat puluhan ribu warga Muslim melarikan diri menyeberangi perbatasan ke Bangladesh.”
Pernyataan Aung San Suu Kyi bahwa “semua warga di Arakan State mendapatkan akses ke layanan kesehatan dan pendidikan tanpa diskriminnasi,” juga dianggap bertentangan dengan laporan komisi penasihat yang dipimpin mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan.
Menurut laporan itu, pembatasan mobilitas yang dihadapi baik oleh warga Muslim maupun warga Rakhine State, telah menyebabkan “efek merugikan, termasuk kurangnya akses ke layanan pendidikan, kesehatan, memperkuat pemisahan komunal dan mengurangi interaksi ekonomi.” Laporan final komisi Penasihat untuk Rakhine State juga menyebutkan: “Akses ke layanan kesehatan khususnya bagi warga Muslim di wilayah utara dan tengah provinsi sangat rendah. Di beberapa daerah, warga Muslim mendapat diskriminasi dan hambatan untuk mendapatkan layanan minimal bagi kehidupan.”
Dalam pidatonya, Aung San Suu Kyi mengundang para diplomat di Myanmar untuk mengunjungi dan mempelajari kawasan yang dianggap damai. Mereka dapat pergi ke kawasan itu sendiri.
FAKTA: Akses ke Rakhine State bagi organisasi-organisasi internasional dan media sangat dibatasi.
Selain mengatakan bahwa pemerintah Myanmar tidak takut diteliti, Aung San Suu Kyi juga mengatakan: “Kami ingin mencari tahu mengapa eksodus terjadi.”
Dalam pernyataan yang disirkulasikan di jaringan aktivis peduli Myanmar, ALTAsean menyerukan agar Pemerintah Myanmar memerikan akses misi pencari fakta ke Myanmar, termasuk ke wilayah Arakan/Rakhine State.
“Segera izinkan organisasi kemanusiaan untuk mengakses ke semua area dan membantu warga yang membutuhkan bantuan,” kata Debbie Stodhard, pendiri jaringan ALTAsean, organisasi yang sejak 1996 mengamati situasi HAM di Myanmar.
Indonesia adalah satu-satunya negara yang saat ini diizinkan Myanmar mengirimkan bantuan kemanusiaan untuk warga Rakhine State.
Suu Kyi juga mengatakan bahwa aparat keamanan telah diinstruksikan untuk mematuhi kode perilaku dalam melakukan operasi keamanan, menangani dengan hati-hati dan memastikan untuk menghindari kerusakan dan ancaman bagi warga sipil.
Para aktivis menanggapi pernyataan Aung San Suu Kyi ini dengan mengatakan agar Myanmar mengadopsi resolusi PBB yang menyerukan agar Tatmadaw (militer Myanmar) dan aparat keamanan segera menghentikan semua operasi di utara Arakan State.
“Kami mengutuk pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang melanggar hukum,” kata Aung San Suu Kyi dalam pidato itu.
Aktivis kemanusiaan meminta Suu Kyi melawan impunitas atau kekebalan yang dimiliki militer, dan meminta akuntabilitas atas pelanggaran hak-hak asasi manusia.
“Burma bersedia menerima kembali para pengungsi setiap saat, bergantung kepada proses verifikasi,” ujar Suu Kyi.
Aktivis meminta Suu Kyi dan pemerintah Myanmar memastikan bahwa semua proses untuk mendapatkan kewarganegaraan sesuai dengan standar internasional, dan para warga yang berpartisipasi mendapatkan cukup informasi tentang prosesnya.
Dalam pidatonya, Aung San Suu Kyi juga mengatakan, “Burma terus melanjutkan rencana pembangunan ekonomi.”
Aktivis kemanusiaan justru ingin agar pembangunan proyek-proyek ekonomi di Arakan State dihentikan, dengan mempertimbangkan konflik yang masih berlangsung, situasi yang tidak aman dan pelanggaran hak-hak asasi di kawasan itu.
(Rappler/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email