I. Abstraksi Singkat Imam Husain as
Imam Abu Abdillah al-Husain, putra Ali bin Abu Thalib as, yang gugur sebagai syahid di Karbala adalah Imam ketiga dari rangkaian para Imam Ahlulbait setelah wafatnya Rasulullah saw. Pemimpin pemuda surga ini—seperti kesepakatan seluruh ahli hadis—adalah salah seorang dari dua pribadi yang darinya keturunan Rasulullah saw berlanjut.
Beliaulah salah seorang dari empat orang yang diajak Nabi Muhammad saw untuk ber-mubahalah dengan pemimpin kaum Nasrani Najran. Beliaulah salah seorang dari lima orang yang berada dalam selimut (al-Kisa’) Rasulullah. Allah telah menjauhkan mereka dari segala bentuk kekotoran dan nista serta mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya. Beliaulah salah seorang dari anggota keluarga Rasulullah saw.
Allah Swt telah memerintahkan kita untuk mencintainya. Imam Husain adalah salah satu dari dua pusaka yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw, pusaka yang akan menyelamatkan siapapun ang berpegang teguh
kepada keduanya dan akan tersesat bagi siapapun yang meninggalkan dan mengabaikannya.
Al-Husain dan saudaranya al-Hasan as tumbuh berkembang dalam asuhan ibu, ayah dan kakek yang suci dan penuh berkah. Dia mendapatkan tauladan akhlak yang agung dari sumber yang paling jernih yakni kakeknya, al-Musthafa saw yang menyayanginya. Dalam keluarga itulah dia mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang besar. Dia mewarisi tingkah laku, hidayah, sifat dan keberanian dari Rasulullah saw.
Karena itulah beliau memiliki kesiapan sebagai pemimpin besar setelah ayahnya, Ali al-Murtadha dan
saudaranya Hasan al-Mujtaba. Nabi Muhammad saw telah menjelaskan keimamahan Al-Husain dalam beberapa kesempatan kepada kaum muslimin. Di antara sabda beliau tentang kepemimpinannya adalah sebagai berikut:
“Al-Hasan dan al-Husain adalah dua imam, baik ketika berdiri (bangkit berjuang) atau duduk (berdamai).”
“Ya Allah sungguh aku mencintai keduanya, maka cintailah siapa pun yang mencintai keduanya.”
Imam Husain berkepribadian mulia dan mewarisi keutamaan para nabi sebagai pemimpin. Hirarki keturunannya paling terhormat. Seluruh muslimin mendapati kepribadian kakek, ayah dan ibunya dalam diri Imam Husain yang suci, tulus, gagah berani dan dermawan. Setiap orang yang mengenal beliau, niscaya teringat kepada kakek, ayah dan ibunya. Karenanya umat Islam mencintai dan mengagungkannya.
Kecuali keutamaan itu semua, Imam Husain menjadi satu-satunya rujukan untuk menyelesaikan segala problema dunia dan akhirat setelah ayah dan saudaranya syahid, khususnya ketika umat berada dalam kesulitan karena ditindas para tiran bar bar Bani Umayyah. Para tiran inilah yang menghimpit dan menyengsarakan mereka. Kejahatan Bani Umayyah tiada bandingnya.
Al-Husain sebagai satu-satunya wujud Islam yang hidup telah berhasil menyelematkan umat Muhammad saw
khususnya, dan kemanusiaan pada umumnya dari virus jahiliyah modern yang berbahaya.
Selama hidupnya, al-Husain menjelmakan kembali kepribadian ayah dan kakaknya.
Dia bersikap sama seperti ayahnya (Ali al-Murtadha) dan dan saudaranya (Hasan al-Mujtaba) yang menjadi insan sempurna, risalah yang hidup, pengejawantah keluhuran akhlak Nabi ketika bersabar
menanggung semua derita. Semua itu dilakukan karena Allah.
Al-Husain menolak kezaliman sebagai abdi-Nya.
Beliau memegang teguh kebenaran hingga menggelegarkan revolusi melawan kebatilan. Beliau simbol kepahlawanan, perjuangan di jalan Allah, wujud amar makruf dan nahi mungkar, teladan sempurna sebagai pribadi yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Beliaulah wujud nyata pengorbanan yang menghidupkan nilai-nilai tinggi ajaran kakeknya, pemimpin para rasul. Oleh karena itu, Rasulullah Muhammad saw bersabda, “Husain dariku dan aku dari Husain.” Sabda ini berbanding lurus dengan ketinggian dan keagungan kepribadian al-Husain sebab Rasulullah saw sendirilah yang mendidiknya secara langsung.
Setelah kakeknya wafat, al-Husain dibimbing Fathimah az-Zahra, penghulu para wanita dan ayahnya Ali al-Murtadha, pemimpin kaum muslimin yang hidup pada era semaraknya penyelewengan kepemimpinan umat; kepemimpinan tanpa legalitas syariah. Pada era ini, Imam Husain as dan kakaknya masih sangat muda usianya. Meski dalam usianya yang muda, beliau memahami dengan sempurna arti kesengsaraan dan musibah yang mereka alami.
Masa belianya dijalani pa da masa kekhalifahan ke dua, Umar bin Khattab. Beliau menarik diri untuk terlibat langsung dalam kegiatan politik dan kekuasaan bersama saudara dan ayahnya. Beliau lebih banyak menghabiskan hari-harinya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat Islam akan ajaran Islam yang murni karena beliaulah pewaris risalah Nabi, seperti ayahnya Ali bin Abi Thalib as.
Pada masa kekhalifaan Utsman, Imam Husain menginjak usia remaja. Beliau mengerahkan seluruh kemampuan demi Islam bersama ayahnya. Imam Husain dan ayahnya adalah benteng pelindung umat dari kerusakan sosial pada masa kepemimpinan Usman dan kroninya. Beliau tidak pernah bertindak melebihi si
kap ayahnya. Al-Husain menjadi prajurit murni yang dikomando syariat seperti ketetapan Rasulullah saw tentang kewenangan ayahnya Ali al-Murtadha as.
Pada masa kepemimpinan Imam Ali as, Imam Husain as selalu berada dalam barisan sang ayah yang memimpin umat serta bertahan dan menghadang serangan musuh. Al-Husain tidak mundur sejengkal pun ketika terjadi peperangan Nakitsin, Qasitin dan Mariqin, meskipun ayahnya sangat ingin dia dan saudaranya al-Hasan terus hidup agar keturunan Rasulullah saw tidak terputus jika keduanya mati. Keduanya selalu bersama Imam Ali bin Abu Thalib sampai sang ayah menghembuskan nafas terakhir. Keduanya menghadapi hal yang sama seperti ayahnya. Ali Bin Abu Thalib meneguk cawan syahadah di salah satu rumah Allah, di Mihrab Masjid Kufah, Irak. Kematian ayah Imam Husain terjadi pada waktu yang paling istimewa; ketika beribadah dan bermunajat kepada Allah, Pemilik Ka’bah. Ketika kepalanya tertetak pedang, Ali bin Abu Thalib as tersungkur sambil berteriak, “Fuztu Wa rabbil ka’bah (Demi Pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan).”
Setelah itu beliau bergabung dan menyatakan baiat kepada kakaknya, Hasan al-Mujtaba as, sebagaimana kaum muslimin di Kufah, dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikutinya. Imam Husain as tidak pernah mendahului atau bertindak tanpa izin saudaranya. Hal ini disebabkan Imam Hasan as telah ditunjuk sebagai pemimpin oleh ayah dan kakeknya. Al-Husain tetap mendukung secara total kepemimpinan kakaknya meski
Muawiyah melancarkan berbagai siasat licik serta adu domba untuk menjatuhkan Imam Hasan dan memporakporandakan kepemimpinan dan pemerintahannya.
Al-Husain sangat memahami strategi dan pencapaian saudaranya dengan sempurna. Imam Husain as memahami situasi dan kondisi umat Islam setelah ayahnya syahid. Pada saat itu berbagai rekayasa dan tipu daya Muawiyah menjadi penyebab banyaknya umat Islam awam mati. Masyarakat yang menjadi korban itu kebanyakan dari Kufah, pusat kekhalifahan Islam. Propaganda dan fitnah yang ditebar Muawiyah banyak menjadikan kalangan muslimin meragukan kebenaran Imam Ali dan kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Imam Hasan as dengan segala kepiawaian politiknya, keberanian dan kehebatan retorikanya, tidak juga menjadikan rakyat sadar atas tipuan, kepalsuan dengan dalih perdamaian yang dilakukan Muawiyah dan antek-anteknya. Tujuan Muawiyah menebar propaganda tersebut adalah untuk merampas kepemimpinan dengan harga murah. Semua itu memaksa Imam Hasan as untuk menerima tawaran perdamaian yang diajukan oleh Muawiyah, setelah semua strategi politik beliau terapkan.
Akal sehat tak lagi dikehendaki. Seorang pemimpin pilihan Nabi saw diragukan keabsahannya. Masyarakat Islam secara umum tidak berkenan menerima pemimpin Ilahiah.
Kondisi politik seperti ini memaksa Imam Hasan as melepaskan kursi khilafah, setelah menyepakati perjanjian damai dengan Muawiyah. Namun Imam Hasan as tidak pernah melegalkan kepemimpinan Muawiyah.
Terbukti syarat-syarat damai yang telah disepakati, semuanya dilanggar oleh Muawiyah. Kebusukan Muawiyah dan kepemimpinan Bani Umayyah telah terbukti ketika berkuasa.
Setelah melewati perjuangan yang sulit, termasuk menghadapi berbagai gangguan dan intimidasi segenap musuh dan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya, Imam Hasan as akhirnya berhasil menguak realitas
kepemimpinan Bani Umayyah yang menampilkan kembali masa jahiliyah dengan memakai baju Islam. Slogan perdamaian Muawiyah menjadikan mayoritas muslimin lupa diri. Strategi Muawiyah yang mengaku sebagai klan suku Quraisy, suku Rasulullah saw, menjadikan kaum muslimin lupa bahwa sebenarnya keluarga Abu Sufyan telah merampas tahta suci kepemimpinan atas nama Rasulullah. Padahal mereka adalah orang-orang yang memerangi Rasulullah dan Islam.
Dengan menandatangani perjanjian damai tersebut, berarti Imam Hasan telah mempersiapkan masyarakat untuk bangkit melawan kepemimpinan barbar Bani Umayyah yang mengenakan simbol Islam.
Muawiyah telah melanggar semua pasal perjanjian tersebut, temasuk di dalamnya keharusan untuk tidak mengganggu dan mengintimidasi para pengikut serta pecinta Ahlulbayt dan tidak mengangkat pemimpin setelahnya.
Pasal perjanjian tersebut membuat Muawiyah kehabisan akal dan strategi. Dia menempuh jalan pintas dengan meracun Imam Hasan as untuk dapat mewariskan kepemimpinan kepada anaknya, Yazid yang fasik. Namun Muawiyah tidak menyadari akibat pelanggaran dan konspirasi busuknya. Meski lama berselang, setelah dua periode kepemimpinan Bani Umayyah, akhirnya kaum muslimin mengetahui kebobrokan dan tindakan barbar yang dilakukannya.
Melihat kenyataan tersebut, masyarakat Syiah perlahan memiliki semangat bangkit melawan rezim yang sedang berkuasa. Hari demi hari semangat tersebut semakin kokoh hingga mencapai puncaknya ketika Muawiyah menemui ajal setelah menobatkan Yazid sebagai khalifah. Yazid adalah seorang fasik yang terang-terangan melanggar dan melecehkan aturan-aturan agama. Lelaki inilah yang memaksa para pemuka sahabat dan tabiin untuk membaiatnya. Si fasik ini sangat mengutamakan baiat Imam Husain as, imam kaum muslimin, figur yang menolak segala bentuk kompromi dan kezaliman.
Muawiyah berkuasa selama hampir dua puluh tahun. Selama itu pula dia mengumbar kekejian tak berprikemanusiaan. Dia menindas, membunuh, dan menipu. Tindakannya ini membuka tabir kepalsuan dirinya.
Akhirnya tidak sedikit ma syarakat yang sadar dan terjaga dari tidur panjangnya. Mereka mulai yakin bahwa langkah-langkah Ahlulbait as benar. Namun mereka tidak memiliki keberanian untuk bangkit melawan kezaliman yang mereka rasakan.
Farazdaq, seorang penyair terkenal saat itu berkata kepada Imam Husain as yang menuju Irak untuk memenuhi panggilan rakyat di sana, “Hati-hati dengan mereka yang mengundangmu namun pedang-pedang mereka terhunus untukmu.”
Imam Husain as merasa kewajiban syar‘i di pundaknya harus ditunaikan. Beliau harus bangkit dan melakukan revolusi. Surat-surat undangan rakyat Kufah kepada Imam Husain as berisi berita kesediaan mereka dipimpin oleh beliau. Bukan hanya itu, mereka juga memberi tahu bahwa antek-antek Muawiyah telah diusir dari kota itu.
Mereka meyakinkan bahwa kota itu telah dihuni masyarakat yang menyadari kebobrokan pemerintahan Muawiyah dan anaknya Yazid.
Situasi dan kondisi pada zaman Imam Husain as sangat berbeda dengan zaman kepemimpinan Imam Hasan as.
Pada zaman Imam Hasan as masyarakat berada dalam kubangan kebodohan. Mereka tidak sadar akan kebejatan Muawiyah. Pada masa itu revolusi tidak akan efektif. Imam Husain as menerima ajakan rakyat Kufah.
Secara bulat, Imam Husain as telah mengambil keputusan untuk bangkit dan melakukan revolusi. Keputusan ini tetap beliau jalankan meskipun beliau tahu dan sadar bahwa rakyat Kufah tidak akan mampu untuk setia kepada janji mereka sendiri.
Semangat rakyat Kufah akan dikalahkan oleh rayuan, teror, intimidasi rezim yang berkuasa. Namun, Imam Husain as tetap harus melakukan perubahan karena beliau harus mengobati penyakit baru yang menjangkiti muslimin waktu itu. Jika keputusan itu tidak beliau ambil, maka ajaran Islam akan lenyap dan sistem kepemimpinan Islam akan berubah menjadi sistem kerajaan atau kekaisaran.
Imam Husain as menjalankan keputusannya untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan Yazid dan kroninya adalah ilegal. Tindakan beliau telah membuka mata dunia bahwa kepemimpinan Bani Umayyah telah menghidupkan kembali budaya jahiliyah berkedok Islam. Akhirnya semua tahu, merekalah yang telah berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan Islam.
Setelah semua syarat untuk bangkit melawan kezaliman telah terkumpul dan hasil-hasil serta tujuan yang akan diraihnya telah diperhitungkan secara sempurna dengan segala kemampuan, maka Imam Husain as merevolusi pola pikir dan budaya umat Islam. Sejarah mencatat konsep dan terapan revolusi beliau yang abadi.
Hati yang telah sekarat bahkan mati dihidupkan kembali oleh Imam Husain as. Sisi kemanusiaan yang sejak lama ditinggal oleh masyarakat telah tampil kembali karena misi Imam Husain as. Beliau telah membumikan pandangan dunia tauhid. Penolakan kepada penguasa tiran telah dikumandangkan oleh beliau. Jargon-jargon tipuan dan tabir kepalsuan telah disingkapnya.
Inilah tugas keagamaan yang disandangkan kepada beliau, jejak yang harus ditapaki oleh setiap generasi sepanjang masa.
Para tiran tidak mampu me reduksi nilai-nilai revolusi Imam Husain as. Mereka tak kuasa menghentikan dan memadamkan semangat revolusioner para pencinta al-Husain as sepanjang masa. Revolusi beliau telah menjadi mercusuar risalah bagi seluruh umat dan menjadi tolok ukur penilaian seluruh rezim dan penguasa.
Salam sejahtera baginya sang penyongsong syahadah.
(Dikutip dari buku: Abstraksi Singkat Sejarah Imam Husain as Bab I)
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email