Ilustrasi
Oleh: Amin Mudzakkir
Dalam situasi politik sekarang, bersikap netral adalah sebentuk cuci tangan. Sebaliknya, kita harus terlibat. Oleh karena itu, kita bisa mengambil tanggung jawab.
Terlibat berarti kita masuk ke dalam kancah masyarakat yang terbelah. Bagi saya itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Kenyataannya memang masyarakat kita telah terbagi entah oleh kelas sosial entah oleh identitas kultural.
Apapun itu, sejak awal masyarakat kita memang telah berbelah. Formasi ideologi yang melahirkan perseteruan antara pendukung Jokowi vs. pendukung Prabowo atau antara pendukung Ahok vs. pendukung Anies telah ada dalam sejarah politik Indonesia 1950-an atau bahkan sebelumnya. Namun dulu pada masa Orde Baru kita menutup-nutupinya. Sekarang demokrasi dan media sosial membukanya.
Masalahnya sebagian kita masih suka berpura-pura. Umumnya mereka adalah para pengamat atau intelektual yang menahan diri untuk tidak menunjukkan pemihakannya dengan cara bergelantungan pada teori-teori abstrak. Seolah dengan demikian mereka adalah malaikat sejarah yang melihat dengan tenang dari langit kemana dunia akan mengarah. Padahal, kata Hegel, pengamat atau intelektual hanyalah burung minerva yang datang sore hari menjelang matahari tenggelam. Dengan kata lain, pengamat atau intelektual pada dasarnya adalah sejenis spesies yang selalu datang telat. Mereka selalu datang dengan sejumlah saran di saat peristiwanya sendiri hampir tamat.
Pertanyaanya: keberpihakan pada apa dan kepada siapa? Tentu saja dalam konteks politik Indonesia sekarang keberpihakan kita, setidaknya saya, tidak akan diberikan pada ide atau kepada orang yang mengatakan kolonialisme Belanda di masa lalu hanya ada di Jakarta.
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email