Ilustrasi
Ada fenomena menarik dalam memperingati hari santri tahun ini, yaitu kemampuan kaum santri menjadi salah satu garda terdepan dalam mengawal dan menggerakkan bangsa ini.
Kaum “sarungan” yang umumnya berbasis pesantren tradisional ala nahdliyin ini, sangat aktif dalam wacana dan gerakan demokratisasi, penegakkan hak asasi manusia, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam beberapa situasi genting, seperti reformasi 1998 dan kisruh menjelang Pilkada DKI yang lalu, justru kaum santri yang muncul sebagai pihak yang aktif meredam gejolak sosial politik yang sudah mengkhawatirkan dan di ambang perpecahan. Demikian juga di tengah maraknya aksi kekerasan, ujaran kebencian, pemaksaan pendapat dan intoleransi, maka kaum santri pula yang paling nyaring dalam menentangnya.
Ketika kelompok lain masih berkutat dalam perdebatan tentang dasar dan bentuk negara, maka kaum santri sudah sepakat menjadikan Pancasila dan NKRI sebagai dasar dan bentuk negara. Kesepakatan ini tidak bisa diganggu gugat lagi karena diyakini Pancasila dan NKRI lah sebagai dasar dan bentuk negara yang dapat menyatukan bangsa yang sangat beragam ini. Mencintai dan mempertahankan NKRI, bagi kaum santri bukan hanya masalah politik duniawi tetapi juga bagian dari komitmen keimanan. Oleh karena itu tidak aneh jika kaum santri sangat anti penjajahan dan sangat loyal pada NKRI.
Demikian pula di saat yang lain tergagap dan kaget dengan isu-isu kemoderenan, maka kaum santri sudah terbiasa dengan wacana dan gerakan pemberdayaan perempuan dan kaum marjinal, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, egaliterianisme, penguatan civil society, hak asasi, kearifan lokal, toleransi antar umat beragama, anti radikalisme, penerimaan kebinekaan dan negara kebangsaan berdasarkan Pancasila.
Santri dan Kitab Kuning
Pertanyaannya mengapa kaum santri yang secara kultural dianggap tidak moderen ini, tradisi sarungan contohnya, mampu menjadi salah satu penentu perjalanan bangsa. Kenapa kaum santri bisa terbuka dengan ide-ide modernitas, bahkan mereka tampil jadi pegiat demokrasi, toleransi, dan kebangsaan, padahal tadinya mereka biasa terdidik dalam suasana desa yang tradisional.
Lompatan dari tradisionalisme menjadi post tradisionalisme ini – meminjam konsep Rumadi (2008) – memang tidak dapat dilepaskan dari sosok Gus Dur yang dapat mengembalikan NU dari politik praktis menjadi organisasi sosial kemasyarakatan. Gus Dur pula yang telah membina kader-kader muda nahdliyin dengan wacana intelektual progresif dan gerakan kemasyarakatan.
Namun ada sisi lain yang patut diperhitungkan sebagai penentu kemampuan kaum santri dalam ikut menentukan arah gerak pembangunan bangsa ini yaitu tradisi pesantren, dan salah satu tradisi yang membentuk jiwa dan karakter santri di pesantren adalah kajian kitab kuning.
Kitab kuning, atau kitab gundul, adalah satu rukun dari tiga rukun pesantren, setelah kiyai dan pondoknya. Kitab kuning yang biasanya diajarkan di pondok-pondok pesantren kaum nahdliyin ini umumnya ditulis oleh para ulama abad pertengahan. Kitab-kitab ini merupakan literatur keislaman klasik yang menjadi sumber penting dan rujukan otoritatif dalam kajian keislaman para santri di pondok pesantren sampai saat ini. Literatur klasik berbahasa Arab tanpa harakat atau baris ini sangat kaya dengan wawasan kajian keislaman, metodologi pemikiran, pendapat ahli hukum dalam berbagai bidang, pandangan para teolog tentang berbagai keyakinan, ajaran-ajaran kaum sufi yang sarat dengan nilai kesucian, dan sebagainya. Oleh karena itu kajian dan upaya pemahaman ajaran Islam yang mendalam tidak bisa dipisahkan dari literatur-literatur keislaman klasik tersebut.
Dalam prosesnya, ajaran-ajaran kitab kuning yang diajarkan di pesantren atau madrasah inilah yang membentuk jiwa santri menjadi pribadi-pribadi unggul dengan karakter mulia, seperti ikhlas, bersyukur, ulet (sabar), mencari nilai ibadah dan mengejar barokah, hormat pada guru dan senior, hidup sosial dalam kebersamaan, menjaga kebersihan lahiriah dan batiniah (wara’), menanamkan sifat rendah hati (tawadu’) toleran (tasamuh) dan menghargai perbedaan (khilafiyah).
Para ulama besar masa lalu telah mengajarkan dalam berbagai kitab karya mereka akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, baik nilai akademis maupun praktis. Ketika mengeluarkan pendapat (fatwa) tentang suatu masalah, seorang ulama sering menyebutkan pendapat para ulama lain lebih dahulu, baik pendapat yang sama atau yang berbeda, dari ulama era sebelumnya atau yang sezaman dengannya. Setelah itu barulah ulama bersangkutan memilih atau menetapkan pendapatnya sendiri.
Demikian pula dalam pengutipan (nukilan) pendapat seorang atau beberapa ulama selalu diikuti dengan penyebutan judul kitab yang dikutip. Ini membuktikan sejak dahulu para ulama sangat menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, kejujuran ilmiah dan pengakuan hak kekayaan intelektual orang lain serta mencela plagiarisme dan pemalsuan. Inilah nilai-nilai yang mulai tergerus dan menjadi keprihatinan dalam upaya pengembangan perguruan tinggi moderen saat ini.
Toleransi dan Demokrasi
Dalam kitab kuning tingkat menengah dan tinggi, khususnya di bidang hukum atau fikih, selalu diuraikan perbedaan pendapat secara tajam dan mendalam antara dua atau beberapa pihak yang berbeda, namun berbagai pendapat yang bertentangan tetap dipaparkan secara adil dan proporsional. Pihak pro dan kontra diberi ruang pembahasan secara seimbang.
Para ulama klasik, Imam Nawawi dalam karyanya Minhajut Talibin misalnya, sering memilih satu pendapat yang dinilainya kuat atau lebih kuat (rajih/arjah) tetapi pendapat yang berseberangan tetap dipaparkan walau mungkin dinilai lemah (marjuh). Dengan paparan yang rinci, terbuka dan adil tersebut maka ulama penulis kitab kuning telah membuka ruang kebebasan pada pembacanya untuk menganalisis dan memilih sendiri mana pendapat yang terbaik, terkuat dan paling maslahat menurutnya. Nilai-nilai demokratis inilah yang juga membentuk jiwa santri saat di pesantren maupun di tengah masyarakat sehingga siap menerima berbagai perubahan. Kaum santri menjadi terbiasa dengan sikap moderat, toleran dengan perbedaan pendapat, menolak keras radikalisme, tidak mudah terprovokasi, dan mampu hidup bersama dalam keanekaragaman.
Tidak berhenti pada adil dan seimbang saja, para ulama penulis kitab kuning juga tetap bersikap obyektif dan rendah hati dalam menyimpulkan atau menilai status hukum suatu persoalan. Walaupun suatu kesimpulan diyakini benar atau hukum yang diputuskan dianggap tepat, tetapi ulama fikih selalu mengingatkan bahwa kebenaran yang dibuat itu adalah tetap relatif (nisbi) dan bukan kebenaran absolut (mutlak). Di dalamnya tetap ada kemungkinan benar atau salah sehingga tetap ada ruang dialog untuk menerima atau menolak. Oleh karena itu pula maka kesimpulan yang dibuat tersebut tidak diklaim oleh mereka sebagai kebenaran universal yang pasti, melainkan kebenaran sebatas dalam pendapat mereka atau satu kelompok saja.
Adanya statemen al-ashahhu ‘indana (yang lebih benar menurut pendapat kami) atau wallahu a’lam bisshawab (dan Allah yang paling mengetahui) saat menutup suatu pembahasan, jelas membuktikan para ulama berusaha obyektif dan selalu merendah dengan tidak mengklaim pendapat dan pemahamannya sebagai satu-satunya kebenaran. Para ulama yang alim ini seolah ingin memberi pelajaran agar kita tidak egois memonopoli kebenaran sehingga tidak pantas memvonis salah atau sesat kepada pendapat atau kelompok lain yang berbeda. Kaum ulama intelektual ini ingin menekankan bahwa ajaran yang mereka rumuskan hanyalah hasil ijtihad penafsiran manusia yang kebenarannya relatif sedangkan kebenaran yang hakiki hanya dari Allah swt.
Nilai-nilai kesantunan, terbuka, dan rendah hati inilah yang membentuk jiwa kaum santri sehingga menjadi figur-figur yang moderat, toleran dan demokratis. Nilai-nilai inilah yang sangat penting dikembangkan untuk membangun keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Alamsyah, Dekan Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung
(Duta-Islam/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email