Sebagian orang menyembulkan isu bahwa Syiah Ali di Kufah adalah para pembunuh Imam Husain a.s. Muslim Syiah di Kufah saat itu hanya 15% atau sekitar 15 ribu jiwa.
12 ribu dipenjara di tahanan Ibnu Ziyad dan lainnya. Ratusan dieksekusi mati seperti Maytsam at-Tammar dan Hani’ bin ‘Urwah. Sejumlah besar mengungsi ke Mosul dan Khurasan. Sebagian diblokade agar tidak sampai ke Imam Husain a.s.
Orang-orang yang mengundang Imam Husain a.s. lalu membunuhnya bukanlah Muslim Syiah. Mereka mengundang Imam Husain a.s. karena meyakininya sebagai pelanjut khilafah Rasulullah Saw, baik sebagai salah satu sahabat maupun cucu, juga sebagai Imam Maksum yang wajib ditaati.
Sejumlah elit kabilah yang membunuh Imam Husain a.s. adalah para pendukung Bani Umayah sebelum dan setelah peristiwa Asyura, seperti: Umar bin Sa’ad, Hushain bin an-Numair, dan Syabats bin Rab’i.
Celakalah kalian wahai Syiah keluarga Abu Sufyan! Jika kalian tidak beragama dan tidak takut hari Pembalasan, jadilah kalian manusia merdeka di dunia ini!
(Khotbah Imam Husain a.s. kepada pasukan Umar bin Sa’ad di Karbala)
Khotbah ini menegaskan kepada kita, Syiah manakah yang membunuh Imam Husain a.s.
[*]
Hujjah Kebangkitan Imam Husein Melawan Kezaliman Yazid dan Bani Umayah
Berkenaan dengan Tragedi Karbala, pertanyaan utama yang kerap muncul di antaranya adalah: mengapa Imam Husein a.s. bersikeras bangkit melawan Yazid, meski banyak pihak memintanya lebih memilih berbaiat kepada penguasa zalim itu daripada harus melawannya?
Jawaban atas pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Al-Husein saat dihadapkan pada desakan gubernur Madinah yang memintanya untuk berbaiat. Al-Husein tegas mengatakan: “Orang sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.”
Begitupun ketika salah seorang pemuka Arab meminta Al-Husein agar membatalkan perjalanannya menuju Kufah (Irak), berusaha memperingatkan risiko kematian di depan mata, putra Haidar itu justru menjawab, “Risiko ini bukan tidak jelas bagiku, hanya saja mereka tidak akan membiarkanku, ke manapun aku pergi dan di manapun aku berada, mereka akan membunuhku.”
Lebih dari itu, ketika pada malam hari keluar dari Madinah, Al-Husein menyampaikan hadis yang diterimanya dari datuknya Rasulullah SAW dalam mimpinya: “Sesungguhnya Allah menghendaki (yakni, dalam rangka taklif) bahwa aku akan dibunuh”.
Pernyataan senada, juga tak hentinya beliau sampaikan dalam khotbahnya saat bergerak dari Mekah untuk menjawab keinginan orang-orang agar beliau mengurungkan niatnya menuju Kufah.
Untuk menjawab pertanyaan utama: mengapa Imam Husein a.s demikian kukuh dengan pendiriannya? Mungkin kita mesti berupaya memahami posisi beliau sebagai Imam pelanjut Imam Hasan a.s. yang di pundaknya teremban beragam tanggung jawab agama dan kewajiban sosial selaku pemimipin umat.
Dari sudut pandang ini, insya Allah kita akan mulai paham bahwa semua faktor inilah yang sejatinya telah mendorong beliau lebih memilih untuk mengorbankan dirinya ketimbang harus tunduk terhina di hadapan kekuasan Bani Umayah dan penguasa zalim seperti Yazid.
Apa saja hujjah dan faktor-faktor pendorong kebangkitan Al-Husein melawan Yazid? Berikut ini 18 di antaranya.
Pertama: Menunaikan Tanggung Jawab Agama
Kewajiban agama yang diemban oleh Imam Husein a.s. menuntut dirinya untuk bangkit menghadapi kekuasaan Bani Umayah yang telah mengobrak-abrik syariat Allah, melanggar perjanjian, dan menentang sunah Rasulullah SAW.
Kedua: Menunaikan Tanggung Jawab Sosial
Imam Husein a.s. memiliki tanggung jawab sosial di hadapan umat yang dizalimi dan di bawah tekanan Bani Umayah. Dialah yang paling utama untuk memelihara umat dan melawan kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat.
Imam Husein a.s. bangkit dengan memikul tanggung jawab yang besar ini, melaksanakan risalah sebagai amanat dengan penuh keikhlasan, dan mengorbankan dirinya, keluarganya dan para sahabatnya demi menegakkan keadilan Islam dan hukum-hukum Al-Qur’an.
Ketiga: Menegakkan Bukti Otoritas (Hujjah)
Imam Husein a.s. menegakkan hujjah dengan memproklamirkan jihad dan perlawanan menghadapi tirani dan gerakan anti-tuhan.
Surat-surat dukungan dan pelbagai utusan dari warga Kufah bertubi-tubi datang kepada Imam Husein a.s. Jika Imam tidak menjawab surat permohonan mereka untuk menyelamatkan mereka dari kezaliman dan tirani Bani Umayah, niscaya Imam akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
Keempat: Memelihara Kemurnian Islam
Di antara sebab utama yang melatarbelakangi kebangkitan Imam Husein a.s., adalah memelihara Islam dari bahaya laten kekuasaan Bani Umayah yang berupaya untuk menghapus Islam dan mencerabut Islam dari akar-akarnya.
Yazid secara terang-terangan telah menunjukkan kekufuran dan anti-tuhan dengan kalimatnya, “(Bani) Hasyim telah mempermainkan kekuasaan ini. Sejatinya tidak pernah ada kabar langit yang datang maupun wahyu yang turun.”
Puisi ini telah mengungkap akidah jahiliah yang diimani Yazid. Dia sama sekali tidak beriman dengan wahyu apalagi Al-Qur’an, pembawa risalah wahyu, Muhammad apalagi keluarganya, terlebih surga atau pun neraka.
Kelima: Menjaga Kesejatian Khilafah Kenabian
Hal yang mendorong Imam Husein a.s. melakukan kebangkitan juga untuk menyucikan konsep khilafah Islam dari Bani Umayah yang telah merampasnya secara batil. Khilafah dalam pandangan Bani Umayah tidak seperti yang diinginkan oleh Islam, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh manusia dan menumpas segala sebab kemunduran dan kerusakan di muka bumi.
Imam Husein a.s. memandang bahwa status khilafah yang dibangun datuknya, Rasulullah SAW, telah digantikan oleh para pemabuk dan hamba syahwat. Karena itu, Imam Husein a.s. bangkit untuk mengembalikan khilafah Islam kepada maknanya yang sejati, beresensi cemerlang dan bertujuan mulia.
Keenam: Membebaskan Umat dari Belenggu dan Tipu Daya
Umat Islam di masa Mu’awiyah dan Yazid tidak memiliki kebebasan. Mereka terbelenggu oleh aturan ketat yang penuh tipu daya.
Imam Husein a.s. menerjang medan laga seraya mengorbankan dirinya untuk mendidik kaum Muslimin tentang semangat kemuliaan dan keagungan. Syahidnya Imam Husein a.s. di Karbala adalah titik balik yang mengubah sejarah kehidupan kaum Muslimin.
Ketujuh: Menyelamatkan Ekonomi Umat
Terpuruknya ekonomi umat yang merupakan urat nadi kehidupan sosial dan individu juga menjadi salah satu sebab yang mendorong kebangkitan Imam Husein a.s.
Bani Umayah telah menyalahgunakan harta Baitul Mal. Mu’awiyah rupanya telah mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa Baitul Mal adalah harta Allah, bukan lagi harta kaum Muslimin, sehingga dia merasa lebih berhak atasnya. Karena itu, Imam Husein a.s. bangkit untuk menyelamatkan ekonomi umat dan memperbaiki ketimpangan sosial yang terjadi.
Kedelapan: Melepaskan Umat dari Penindasan Sosial
Di setiap jengkal tanah Islam telah terjadi penindasan. Imam Husein a.s. menerjang medan laga demi membuka jalan kemuliaan dan keagungan kaum Muslimin.
Kesembilan: Membebaskan Muslim Syiah dari Keterpurukan
Operasi penindasan yang dilakukan Bani Umayah terhadap Muslim Syiah juga melatarbelakangi kebangkitan Imam Husein a.s. Beliau bangkit untuk menyelamatkan mereka dari keterpurukan yang berkelanjutan.
Kesepuluh: Melawan Upaya Penghapusan Nama Ahlulbait a.s. dari Tengah Umat
Salah satu sebab utama yang mendorong Imam Husein a.s. bangkit adalah penguasa Bani Umayah telah berupaya keras dalam menghapuskan Ahlulbait a.s. dari ingatan umat Islam dan mencerabut jejak-jejak dan keteladanan Ahlulbait a.s. dari sejarah Islam. Mu’awiyah telah menggunakan metode yang paling buruk dalam memuluskan upaya mereka, seperti memerintahkan para khatib Jumat untuk melaknat Imam Ali bin Abi Thalib a.s. di atas mimbar-mimbar mereka.
Imam Husein a.s. merasa hanya kematian yang dapat membayarnya sehingga dia tidak lagi mendengar caci maki atas ayahnya a.s. di atas mimbar dan menara.
Kesebelas: Menentang Upaya Penghancuran Nilai-nilai Islam
Bani Umayah telah menghancurkan nilai-nilai Islam, sehingga nilai-nilai tersebut hilang dari kehidupan masyarakat Islam.
Kedua belas: Menumpas Kerusakan Moral Masyarakat
Moral masyarakat Islam di bawah kendali Bani Umayah telah merosot. Hal ini meliputi seluruh nilai-nilai Islam. Imam Husein a.s. bangkit untuk menumpas kekeliruan dan penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah umat.
Ketiga belas: Mempertahankan Hak-Hak Utama yang Dirampas
Perjuangan Imam Husein a.s. adalah untuk mempertahankan hak-haknya yang dipermaikan dan dirampas oleh Bani Umayah. Hak yang paling utama adalah khilafah, karena Imam Husein a.s. adalah satu-satunya khalifah yang sesuai dengan perjanjian damai antara Imam Hasan a.s. dan Mu’awiyah. Perjanjian ini pun telah dilanggar oleh Mu’awiyah sendiri sebelum wafatnya dengan cara mewasiatkan khalifah untuk putranya, Yazid. Oleh karena itu, membaiat Yazid bertentangan dengan syariat Islam.
Imam Husein a.s. tidak bangkit untuk melawan pemimpin kaum Muslimin sebagaimana dipahami oleh pendukung Bani Umayah bahwa Imam Husein a.s. bangkit untuk merampas kekhalifahan dari Yazid.
Keempat belas: Menegakkan Amar Makruf (Menyeru kepada Kebajikan)
Salah satu sebab paling otoritatif yang mendorong Imam Husein a.s. untuk melakukan kebangkitan adalah menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Keduanya adalah sendi-sendi agama Islam. Imam Husein a.s. adalah yang paling utama dalam melakukannya.
Imam Husein a.s. telah menyampaikan hal ini kepada saudaranya, Muhammad bin al-Hanafiyah, “Aku tidak keluar sebagai orang yang angkuh atau sombong; tidak pula sebagai penindas dan perusak. Namun, aku hanyalah bangkit untuk menuntut perbaikan umat datukku. Aku hendak menyeru kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar.”
Kelima belas: Menghentikan Meluasnya Bid’ah
Penguasa Bani Umayah telah menyebarkan pelbagai bid’ah dalam ajaran Islam yang bertujuan menghapus, merusak dan mengalahkan Islam.
Imam Husein a.s. mengisyaratkan hal ini dalam suratnya kepada penduduk Basrah, “Karena sunah telah dihapuskan dan bid’ah justru dihidupkan.”
Imam Husein a.s. bangkit untuk melenyapkan bid’ah jahiliyah yang disemai Bani Umayah, menghidupkan kembali ajaran datuknya Rasulullah SAW yang telah mereka hapuskan dan menyebarkan panji Islam.
Keenam belas: Menunaikan Perintah Nabi
Rasulullah SAW telah mewanti-wanti bahaya yang membinasakan jika Islam jatuh ke tangan Bani Umayah. Untuk memperbarui risalah dan mengabadikan prinsip-prinsip Islam hanyalah dapat diwujudkan dengan jalan pengorbanan putranya, Al-Husein a.s. sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkan kepadanya untuk mengorbankan dirinya.
Imam Husein a.s. menyampaikan pesan Rasulullah SAW tersebut saat perjalanan dari Madinah menuju Kufah, “Rasulullah Saw memerintahkanku dan aku pun melaksanakannya.”
Ketujuh belas: Mempertahankan Kemuliaan dan Keagungan
Salah satu sebab terkuat yang mendorong Imam Husein a.s. untuk melakukan kebangkitan adalah demi kemuliaan dan keagungan. Bani Umayah bermaksud menghina dan menundukkan Imam Husein a.s. dengan memaksanya membaiat Yazid, namun beliau a.s. menampiknya agar hidup mulia. Imam Husein a.s. menyampaikannya di hari Asyura, “Ketahuilah bahwa seorang jalang putra jalang telah menyudutkanku dengan dua pilihan, kematian atau kehinaan. Sungguh kami pantang hina! Allah dan Rasul-Nya telah melarang hal itu atas kami. Jejiwa mulia dan para pemilik kehormatan pantang taat kepada kaum durjana dan memilih mati mulia.”
Kedelapan belas: Membongkar Rencana Bani Umayah untuk Membunuh Imam Husein a.s.
Imam Husein a.s. meyakini bahwa Bani Umayah tidak akan membiarkannya hidup sekalipun beliau berdamai dan membaiat mereka. Imam Husein a.s. menegaskannya kepada saudaranya Muhammad bin al-Hanafiyah, “Seandainya aku masuk ke lubang landak, niscaya mereka akan mengeluarkanku bahkan membunuhku.”
Karena itu, Imam Husein a.s. memilih untuk mengangkat senjata dan mati mulia demi mengguncangkan singgasana Bani Umayah dan mengalahkan keangkuhan dan tirani mereka.
Itulah di antara hujjah dan faktor-faktor pendorong utama kebangkitan Imam Husein a.s dalam melawan kezaliman Yazid dan Bani Umayah.
Dan demikianlah Sayyidus-Syuhada Al-Husein telah mengambil keputusan tepat menolak tunduk kepada Yazid dengan risiko kematiannya. Beliau mengutamakan kematian daripada kehidupan dunia.
Rangkaian kejadian yang menyusul setelahnya membuktikan tepatnya keputusan beliau tersebut. Karena, kesyahidannya yang berlangsung dalam kondisi paling menggetirkan rasa dan dengan cara yang begitu keji, menandaskan ketertindasan dan keberpihakan Ahlulbait Nabi pada kebenaran.
Sejarah mencatat, sepanjang dua belas tahun pascakesyahidannya, berbagai kebangkitan dan perlawanan yang dihadapi penumpasan berdarah datang beruntun, silih berganti.
Sampai akhirnya, rumah kenabian itulah -yang tidak ada orang mengetuk pintunya semasa hidup Al-Husein- menjadi relatif tenang pada masa Imam Muhammad Baqir as, dan mulai kembali dihampiri banjir para pengikut dan pencinta dari berbagai penjuru dunia.
Sejak saat itu, jumlah pengikut Ahlulbait dari hari ke hari terus membesar, menebarkan kebenaran dan kegemilangan mereka di banyak negeri. Semua itu berawal dari kebenaran sekaligus kemazluman Ahlulbait yang dipelopori oleh kebangkitan Imam Al-Husein a.s.
Kini, memperbandingkan kondisi Ahlulbait Nabi SAW dan kadar kepercayaan kepada mereka pada masa hidup Al-Husein dengan kondisi pascakesyahidannya sepanjang empat belas abad yang terus segar dan mengakar kian dalam dari tahun ke tahun, menyingkapkan kebenaran dan ketepatan keputusan beliau.
Capaian gemilang ini mampu diraih, sebagaimana terungkap dalam bait syair yang beliau rangkai –menurut sebagian riwayat- yang mengisyaratkan hal tersebut:
Penyelesaian kami bukanlah kekerdilan
Melainkan cita-cita kami
Dan keunggulan umat setelah kami
Wallahu ‘a’lam bish shawab.
[*]
Sebab-sebab Imam Husain as Tidak Bangkit di Masa Muawiyah
Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, kenapa Imam Husain as tidak bangkit di masa Muawiyah, padahal ia juga merupakan penguasa zalim dan penindas umat? Adakah alasan-alasan yang mendasari sikap beliau ini? Tulisan ini mencoba menjelaskan, secara ringkas, alasan-alasan Imam Husain as tidak melakukan revolusi di era Muawiyah.
Satu hal yang mesti dicamkan adalah, tidak bangkitnya Imam Husain as di masa kekuasaan Muawiyah tak berarti beliau bersikap ‘adem ayem’ terhadap ayah Yazid ini. Dalam jangka waktu lima belas tahun masa imamah Imam Husain as (49-60 H), sejarah mencatat sejumlah gesekan antara keduanya.
Sebagian di antaranya bisa kita saksikan dalam surat-surat beliau kepada Muawiyah. Dalam surat-surat itu, Imam as menyinggung kejahatan-kejahatan Muawiyah (seperti membunuh para sahabat besar semisal Hujr bin Uday dan Amr bin Hamq). Beliau menyebut pemerintahan Muawiyah sebagai bencana terbesar bagi muslimin[1] dan dengan cara ini, beliau mempertanyakan legalitas pemerintahannya. Menurut Imam as, jihad melawan Muawiyah sebagai amalan paling utama. Tidak melawan Muawiyah disebut beliau sebagai hal yang mengharuskannya beristighfar kepada Allah.[2]
Adapun sebab Imam Husain as tidak melakukan revolusi menentang Muawiyah berakar pada beberapa hal. Sebagian darinya bisa kita lihat dari ucapan-ucapan Imam as. Sedangkan untuk mengetahui sebab-sebab lainnya, kita harus melakukan sebuah analisis sejarah.
Pertama: Adanya Kesepakatan Damai
Dalam salah satu suratnya kepada Muawiyah, Imam Husain as menyebut dirinya masih menaati isi janji perdamaian Imam Hasan as dengan Muawiyah. Beliau menolak tuduhan bahwa ia melanggar perjanjian itu.[3]
Jika ada yang bertanya: bukankah Muawiyah malah menginjak surat itu dan menganggap dirinya tidak memiliki tanggungan apapun terhadap surat perjanjian itu?[4] Lalu, kenapa Imam Husain as tetap setia dengan isi perjanjian itu, sementara musuh beliau sejak awal tidak menghiraukannya sama sekali?
Pertanyaan ini bisa dijawab dari beberapa sisi:
1. Bila ucapan-ucapan Muawiyah diperhatikan dengan seksama, kita akan melihat bahwa ia tidak pernah menyatakan melanggar perjanjiannya dengan Imam Hasan as secara gamblang. Ia hanya mengatakan,”Aku telah menjanjikan beberapa hal kepada Hasan,” dan mungkin hal-hal yang dijanjikannya itu bukan bagian dari perjanjian sehingga ia tidak melaksanakannya. Sebab itu, ia tidak menganggap dirinya telah melanggar perjanjian damai itu, atau paling tidak, ia bisa mengarang dalih bahwa ia tidak melanggarnya.
2. Figur politis Imam Husain as harus dibedakan dari figur politis Muawiyah, sebagaimana halnya perbedaan ini juga terdapat antara Imam Ali as dan Muawiyah.
Pada prinsipnya, Muawiyah adalah seorang politikus yang bersedia melakukan segala tipu daya demi tujuannya. Sebagian dari muslihatnya bisa dilihat saat ia berhadapan dengan Imam Ali as, seperti dalih menuntut balas darah Utsman, memprovokasi Thalhah dan Zubair, menancapkan Alquran di ujung tombak di perang Shiffin, menyerbu daerah-daerah kekuasaan Imam Ali as, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, Imam Husain as adalah seorang pribadi idealis dan fundamentalis yang tidak bersedia menggunakan segala cara demi tujuannya. Beliau bersikap sama seperti ayahnya, yang pernah berkata,”Aku tidak akan menggapai kemenangan dengan perantara kezaliman.”[5]
Sebab itu, wajar bila Imam Husain as tidak melanggar perjanjian yang dilakukan saudaranya dengan Muawiyah, walau Muawiyah telah melanggarnya.
Kita harus melihat kondisi zaman itu dan dampak yang mungkin timbul bila Imam Husain as melanggar perjanjian damai itu. Pada zaman itu, Muawiyah adalah penguasa mutlak umat Islam. Kekuasaannya meliputi berbagai penjuru kawasan Islam, mulai dari Syam, Irak, Hijaz dan Yaman. Di setiap sudut kawasan, para bawahannya melakukan propaganda politiknya dengan giat dan membelanya sepenuh hati.
Di saat pertikaiannya dengan Imam Ali as, Muawiyah mampu menyembunyikan kesalahannya yang menyebabkan Utsman ia terbunuh. Bahkan, ia mengumumkan kepada para penduduk Syam bahwa dirinya adalah satu-satunya penuntut balas darah Utsman. Dalam kondisi semacam ini, jelas dengan mudah ia akan mencitrakan Imam Husain as di mata masyarakat sebagai pembelot dan pelanggar perjanjian bila beliau benar-benar tidak mematuhi kesepakatan damai tersebut.
Walhasil, segala upaya Imam Husain as dan para pengikutnya untuk mengenalkan Muawiyah sebagai pihak yang pertama kali melanggar perjanjian, tidak akan berguna sama sekali.
Kedua: Posisi Muawiyah
Di masa itu, masyarakat, khususnya penduduk Syam, memiliki pendapat positif tentang Muawiyah. Wajar jika hal ini akan menempatkan para penentangnya dalam posisi sulit, karena ia dianggap sebagai seorang sahabat Nabi saw, ipar beliau, dan penulis wahyu. Di mata mereka, Muawiyah adalah orang yang berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan sekitar Syam, khususnya Damaskus.
Selain itu, Muawiyah selalu menonjolkan sisi pengalaman politik dan usianya yang lebih tua dari Imam Hasan dan Husain as. Dalam salah satu suratnya, ia menganggap dua faktor ini sebagai bagian dari sisi kelayakannya menjadi khalifah . Wajar bila ia akan menggunakan keduanya sebagai senjata untuk mengelabui umat sewaktu-waktu ia bertikai dengan Imam Husain as.
Tiga: Politik Muawiyah
Setelah kesepakatan perdamaian dibuat, Muawiyah memanfaatkan setiap peluang untuk memukul Bani Hasyim-khususnya keluarga Ali as-bahkan ia sampai berani meracuni Imam Hasan as . Tentu ia melakukannya sedemikian rupa, sehingga seolah bukan dia yang menjadi aktor intelektual kejahatan-kejahatan itu. Misalnya, ia ‘meminjam’ tangan Ja’dah dalam meracuni Imam Hasan dan menyatakan tidak tahu menahu soal pembunuhan ini. Oleh karena itu, secara lahiriah, sebisa mungkin ia menampakkan penghormatannya kepada mereka, terkhusus Imam Husain as. Salah satu bentuknya berupa hadiah-hadiah bulanan atau tahunan yang dikirimkan Muawiyah kepada pribadi-pribadi seperti Imam Hasan as, Imam Husain as dan Abdullah bin Jafar. Dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki hak di Baitul Mal dan juga memiliki alasan untuk menggunakan hadiah-hadiah itu, maka mereka menerima kiriman hadiah-hadiah itu.
Tradisi “penghormatan” ini tetap dipelihara oleh Muawiyah, bahkan menjelang kematiannya, ia berwasiat kepada Yazid untuk tidak membunuh Imam Husain as.
Sebab politik ini sangat jelas, karena dengan kesepakatan damainya, Muawiyah menyelamatkan pemerintahannya dari krisis legalitas dan bisa mengenalkan dirinya kepada masyarakat sebagai khalifah yang sah. Ia tidak ingin citranya ternoda di mata masyarakat karena telah mengotori tangannya dengan darah cucu Nabi saw. Sebaliknya, ia berusaha menampakkan kedekatan dirinya dengan keluarga Nabi saw sehingga ia dapat menjaga citranya.
Menurut pikirannya, dengan cara ini, ia bisa meredam kemungkinan pemberontakan keluarga Nabi saw. Suatu kali, setelah ia memberi hadiah besar kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as, demi menunjukkan jasanya, ia berkata,”Ambillah harta ini dan ketahuilah bahwa aku adalah putra Hindun. Demi Allah, sebelumku dan setelahku, tidak akan ada orang yang memberi kalian hadiah semacam ini.”
Demi menunjukkan bahwa hadiah-hadiah itu tidak membuat Ahlulbait berhutang budi, Imam Husain as menjawab,”Demi Allah, tidak ada orang sebelummu atau sesudahmu yang bisa memberikan hadiah seperti ini kepada dua orang yang lebih mulia dan agung dari kami berdua.”
Dari sisi lain, Muawiyah tahu bahwa politik dengan kekerasan akan memberikan hasil yang tidak diinginkan, karena masyarakat akan bersimpati kepada Ahlulbait as dan dalam jangka panjang, akan menyebabkan keruntuhan kekuasaannya. Lebih penting dari itu, di zaman itu, Muawiyah tidak merasakan bahaya serius dari Imam Husain as dan dengan cara ini, ia berupaya mencabut akar-akar bahaya bagi pemerintahannya.
Di lain pihak, Imam Husain as selalu berusaha mempertanyakan keabsahan kekuasaan Muawiyah di setiap kesempatan. Contoh nyatanya adalah surat beliau kepada Muawiyah yang menyebutkan kejahatan dan bidah-bidahnya serta penentangan beliau terhadap kedudukan Yazid sebagai putra mahkota. Tentu Imam as juga mengetahui bahwa bila ia bangkit melawan Muawiyah, dengan melihat opini umum di waktu itu, ia tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat dan dengan sarana-sarana propaganda penguasa, mereka akan berada di pihak Muawiyah.
Empat: Kondisi Zaman
Meski sebagian orang-orang Kufah menulis surat kepada Imam Husain as segera setelah Imam Hasan as wafat dan menyatakan kesiapan mereka mendukung beliau, namun dengan melihat faktor-faktor seperti kekuatan pemerintah pusat di Syam, kekuasaan antek Bani Umayah di Kufah, latar belakang penduduk Kufah yang tidak setia terhadap ayah dan saudara beliau, dan citra ‘baik’ Muawiyah di kebanyakan kawasan Islam, Imam Husain as tahu bahwa revolusi yang dilakukannya hanya akan sia-sia. Tiada hasil yang diperoleh kecuali tertumpahnya banyak darah, citra beliau sebagai pembelot, dan kekalahan dirinya sendiri.
Sedangkan ketika beliau melakukan revolusi di zaman Yazid, situasi waktu itu sangat berbeda dan bertolak belakang dengan zaman Muawiyah.
Disadur dari: Porseshha va Pasokhha (vizheye Moharram)
* Referensi:
[1] Al-Imamah wa as-Siyasah 180/1, “Aku tidak pernah mengenal bencana yang lebih besar bagi muslimin selain pemerintahanmu atas mereka.”
[2] Ibid, “Demi Allah, aku tidak mengetahui amalan yang lebih utama dari berjihad melawanmu. Bila aku melakukannya, maka itu akan mendekatkan diriku kepada Allah. Bila tidak, maka aku harus meminta ampun dari Allah.”
[3] Mausuah Kalimat al-Imam al-Husain 239 “Aku berlindung dari Allah bila aku melanggar perjanjianmu dengan saudaraku Hasan as.”
[4] Al-Irsyad, Mufid 355, “Ketahuilah, sebelum ini aku telah menjanjikan beberapa hal kepada Hasan. Namun, sekarang aku meletakkan semuanya di bawah kakiku dan aku tidak akan melaksanakannya.”
[5] Nahj al-Balaghah, khotbah 126.
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email